Dampak Kerusakan Ekosistem Mangrove

mangrove adalah jumlahkepadatan penduduk, tingkat pendidikan, jenis pekerjaan, dan persepsi masyarakat terhadap hutan mangrove. Oleh karena itu, pendekatan kelembagaan masyarakat juga perlu diperhatikan dalam penanggulangan kerusakan ekositem mangrove. Dahuri 2001 menjelaskan ahwa keberadaan kelompok swadaya masyarakat dan lembaga swadayaprofesi masyarakat sangat diperlukan dalam pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu. Demikian juga dengan Wantasen 2002, menyatakan bahwa adanya kelembagaan pengelolaan yang melibatkan semua elemen stake holder bisa mencegah terjadinya kerusakan mangrove. Studi kasus pada pengelolaan Cagar Alam Mutiara Hijau di Teluk Bintuni juga menyimpulkan bahwa peranan Lembaga Swadaya Masyarakat merupakan salah satu stake holder penting dalam pengelolaan kawasan hutan Sihite, 2005.

2.5.3. Dampak Kerusakan Ekosistem Mangrove

Kawasan pesisir merupakan wilayah yang secara ekologis sangat peka terhadap gangguan akibat adanya perubahan lingkungan, baik yang disebabkan oleh aktivitas manusia yang meningkat, sehingga wilayah pesisir mengalami tekanan dan cenderung menurunkan kualitas lingkungan wilayah pesisir serta kerusakan- kerusakan kawasan pesisir. Kondisi tersebut tidak bisa secara parsial dilihat sebagai masalah salah satu sektor saja, walaupun sektor hulu yang menerima dampak terbesar adalah sektor perikanan. Masalah degradasi kualitas dan nilai ekonomi sumber daya alam merupakan masalah lintas sektoral yang membutuhkan penanganan yang terpadu, tidak hanya pada tataran komitmen namun sampai pada tataran aksi manajemen pengelolaan ekosistem. Potensi manfaat ekonomi, sosial dan kemasyarakatan dari kawasan tersebut akan terus menurun atau bahkan hilang, baik pada tingkat spesies maupun tingkat Universitas Sumatera Utara ekosistem apabila bentuk pengelolaan dan relasi sosial ekonomi yang dibangun antara ekosistem dengan masyarakat sekitar kawasan tidak mengalami perubahan. Ditambah lagi dengan fenomena bahwa sampai dengan saat ini belum terbentuk sistem pengelolaan kawasan mangrove yang efektif dan efisien di Pantai Timur Sumatera Utara dengan berbasis pada potensi kawasan yang ada. Fenomena di atas secara langsung menimbulkan akibat berupa sumber daya alam akan terus menurun, polusi akan meningkat hingga ke tingkat yang sulit dikendalikan, jumlah petani dan nelayan miskin akan terus meningkat, tingkat kesehatan masyarakat akan terus menurun, tingkat hubungan antara kriminal dan kemiskinan akan terus meningkat Siregar dan Purwoko, 2002. 2.6. Ekosistem Mangrove dan Pengembangan Wilayah Pesisir 2.6.1. Potensi dan Manfaat Ekonomi Ekosistem Mangrove Ekosistem mangrove memiliki peran yang strategis dalam pengembangan wilayah di kawasan pesisir, tertutama dalam aspek pengembangan perekonomian wilayah. Sebagaimana dijelaskan dalam Dephut 1997, ekosistem mangrove merupakan ekosistem yang memiliki peranan sangat penting bagi ketersediaan biota laut yang menjadi sumber mata pencaharian utama masyarakat pesisir. Dengan demikian, ekosistem utama memiliki peranan yang sangat strategis bagi perekonomian masyarakat pesisir. Anonimous 1995 juga menjelaskan bahwa secara teknis hutan mangrove memiliki fungsi ekonomis untuk pemenuhan : 1. Keperluan rumah tangga: kayu bakar, arang, bahan bangunan, bahan makanan dan obat-obatan. 2. Keperluan industri: bahan baku kertas, bahan baku tekstil, bahan baku kosmetik, penyamak kulit dan pewarna alami. Universitas Sumatera Utara 3. Penghasil bibit ikan, nener udang, kepiting, kerang-kerangan, madu dan telur burung. 4. Sebagai tempat pariwisata dan tempat penelitian serta pendidikan. Hampir seluruh jenis vegetasi tingkat tinggi yang ada di ekosistem mangrove memiliki potensi ekonomi. Dari berbagai jenis pohontanaman yang ada, beberapa di atnaranya yang secara aktual dimanfaatkan secara ekonomi antara lain : 1. Kayu bakau hitamputih Rhizophora spp. 2. Kayu mata buaya Bruguiera spp. 3. Kayu tengar Ceriops tagal 4. Kayu nirih batu Xilocarpus spp. 5. Kayu lenggadai Bruguiera spp. 6. Nibung Oncosperma filamentosum BL 7. Nypah Nypa fruticans Manfaat ekonomi secara lebih terperinci dari beberapa jenis di atas menurut Anonimous 1995 di antaranya sebagai berikut : 1. Kayu Bakau Kayu bakau terdiri dari beberapa jenis, antara lain bakau putih, bakau hitam, bakau minyak dan bangka. Di antara jenis-jenis tadi yang terbaik untuk dibudidayakan adalah bakau minyak dan bakau putih, karena jenis ini tumbuh lebih cepat, lurus dan akar tunjangnya tunjangnya tidak begitu menonjol. Manfaat kayu ini dalam kehidupan masyarakat pesisir di antaranya : − Untuk kayu bakar atau kayu arang mutu terbaik. − Bahan baku kertas − Untuk jajar ambaibelat alat penangkap ikan − Penyanggaperancah bangunan dan cerocok pilling Universitas Sumatera Utara − Bahan pembuatan rumah sederhana petani dan nelayan − Akar bakau merupakan habitat bertelur dan berkembangnya berbagai jenis biota laut. − Kulitnya untuk samak pencelup pakaian 2. Kayu Mata Buaya Kayu ini disebut mata buaya karena batangnya berbungkul-bungkul seperti mata buaya. Jenis kayu mata buaya ada dua, yaitu jenis mata buaya dan tumus. Secara umum manfaat ekonominya sama dengan kayu bakau, tetapi khusus untuk penggunanya sebagai tiang dan perkakas kayu in lebih baik karena lebih tanahkuat dan lurus. 3. Kayu Tengar Kayu tengar mirip dengan kayu mata buaya, tetapi tidak berbungkul-bungkul. Bedanya, kayu tengar warnanya merah dan kulitnya sangat bagus untuk penyamak. Adapun kegunaannya secara umum sama dengan kayu bakau. 4. Kayu Lenggadai Terdapat dua jenis kayu lenggadai, yaitu lenggadai putih dan lenggadai hitam. Kayu lenggadai putih kurang bagus untuk dijadikan arang, sebab ringan dan mudah patah seperti kayu nyirih. Sedangkan kegunaan lainnya sama dengan kayu tengar 5. Nibung Tanaman nibung mirip pinang, akan tetapi batangnya berduri. Bagi masyarakat nelayan, nibung sangat berguna untuk lantai rumahpelataran masyarakat nelayan, tiang rumah, tiang tangkulbagan. Nibung tumbuh di kawasan tanah yang agak tinggipematang dan dapat hidup di air tawar maupun air asin. Universitas Sumatera Utara Pada kenyatannya, masyarakat di pantai timur Sumatera Utara juga masih sangat bergantung kepada ekosistem mangrove dalam perekonomiannya. Hal ini sebagaimana dilaporkan oleh Rumapea 2005, dimana masih cukup banyak masyarakat pesisir yang mata pencahariannya bergantung kepada hutan mangrove, dimana sebanyak 48.9 dari kegiatan pengambilan kayu bakau di hutan, 24.4 dari kegiatan pembuatan arang bakau, dan sisanya dari kegiatan pemanfaatan hasil hutan non kayu. Keberadaan ekosistem mangrove sebagai penopang pengembagan perekonomian wilayah sangatlah penting. Hal itu sesuai dengan Arsyad 1999, yang menjelaskan bahwa pembangunan ekonomi daerah adalah suatu proses dimana pemerintah dan masyarakatnya mengelola sumber daya yang ada dan membentuk suatu pola kemitraan antara pemerintah dan sektor swasta untuk menciptakan suatu lapangan kerja baru dan merangsang perkembangan kegiatan ekonomi pertumbuhan ekonomi dalam wilayah tersebut. Oleh karena itu, faktor-faktor ketersediaan lapangan kerja dan kemudahankesempatan untuk mengembangkan kegiatan-kegiatan ekonomi masyarakat berbasis sumber daya yang ada merupakan faktor yang penting guna mendorong pembangunan wilayah pesisir. Hal yang sama juga dijelaskan dalam Meneg LH 1994. Disamping mendukung keanekaeagaman flora dan fauna dari komunitas terestis akuatik, dan berfungsi lindung bagi keberlangsungannya berbagai proses ekologis, hutan mangrove telah dimanfaatkan dalam skala komersial terutama untuk gelondongan sebagai bahan baku pulpkertas, rayon dan arang. Studi kasus di Kabupaten Langkat menunjukkan bahwa penerapan teknologi pemanfaatan hasil hutan mangrove salah satunya adalah teknologi pembuatan asam cuka kayu memberikan dampak berupa adanya potensi peningkatan devisa negara Universitas Sumatera Utara dengan, berkurangnya laju kerusakan alam dengan adanya pemanfaatan bahan baku kayu secara efisien, tersedianya bahan alternatif untuk pengganti pestisida yang aman dan ramah lingkungan biopestisida, meningkatnya lapangan kerja dan kesempatan kerja, baik di bidang produksi, perdagangan maupun bidang lain yang terkait dengan keberadaan industri asam cuka kayu Ginting dkk, 2007. Eksistensi ekosistem mangrove sebagai sumber bahan baku aneka kegiatan ekonomi dan sosial juga dilaporkan Sihite 2005. Pemanfaatan dan pengelolaan hutan oleh masyarakat di sekitar kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni CATB menunjukan bahwa hutan merupakan sumber utama kehidupan. Hutan dimanfaatkan untuk memenuhi beragam kebutuhan seperti kegiatan berkebun perladangan berpindah, berburu binatang liar, mencari ikan, menokok sagu, serta sebagai tempat pengambilan bahan baku untuk berbagai kegiatan. Selain sebagai sumber bahan baku, keberadaan hutan mangrove juga terkait dengan ketersediaan lapangan kerja bagi masyarakat pesisir. Berdasarkan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor : Kep. 10Men2002 tentang Pedoman Umum Perencanaan Pengelolaan Pesisir Terpadu Sumberdaya pesisir berperan penting dalam mendukung pembangunan ekonomi daerah dan nasional untuk meningkatkan penerimaan devisa, lapangan kerja, dan pendapatan penduduk. Sumberdaya pesisir tersebut mempunyai keunggulan komparatif karena tersedia dalam jumlah yang besar dan beraneka ragam serta dapat dimanfaatkan dengan biaya eksploitasi yang relatif murah sehingga mampu menciptakan kapasitas penawaran yang kompetitif. Di sisi lain, kebutuhan pasar masih terbuka sangat besar karena kecenderungan permintaan pasar global yang terus meningkat. Peningkatan jumlah penduduk menyebabkan Universitas Sumatera Utara peningkatan kebutuhan kayu bakar, kayu pertukangan, padang penggembalaan, maupun kebutuhan akan lapangan kerja baru Simon, 1993. Tuntutan akan peranan ekonomi hutan juga mendorong intensifikasi kegiatan pengelolaan hutan, yang dapat dilihat pada kegiatan pemungutan kayu dan kegiatan penanaman kembali hutan bekas tebangan dengan permudaan Puryono, 2006. Oleh karena itu, kerusakan atas ekosistem mangrove juga akan berdampak terhadap akses masyarakat pesisir terhadap lapangan pekerjaan dan sumber pemenuhan kebutuhan. Hal ini juga tertera dalam UU No. 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, dimana masyarakat berhak memperoleh kompensasi karena hilangnya akses terhadap Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang menjadi lapangan kerja untuk memenuhi kebutuhan akibat pemberian Hak Pengusahaan Perairan Pesisir sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Dalam Program Pengelolaan Hutan Mangrove di Indonesia Meneg LH, 1994, program-program pengelolaan hutan mangrove di antaranya adalah mengikutsertakan masyarakat di dalam aktifitas pengelolaan hutan mangrove; menumbuhkan kembangkan kesadaran masyarakat tentang arti penting hutan mangrove; memperluas lapangan kerja dan kesempatan berusaha dengan meningkatkan diversifikasi pemanfaatan hutan mangrove; dan mendorong peningkatan mutu pengelolaan produk hutan mangrove. Hal di atas menggambarkan faktor-faktor yang perlu diperhatikan dalam melakukan kajian perencanaan pengelolaan ekosistem mangrove. Dalam penelitian ini tidak semua faktor yang berpotensi memiliki pengaruh terhadap kerusakan dan perubahan peruntukan diteliti, melainkan dipilih sesuai dengan keterkaitannya dengan kondisi lokasi penelitian dan pengembangan wilayah. Faktor-faktor terpilih yang akan dianalisis dalam penelitian ini antara lain intensitas Universitas Sumatera Utara pengamanan, penebangan kayu bakau, kegiatan pertambakan, kegiatan perkebunan, pemanfaatan hasil hutan non kayu, intensitas penyuluhansosialisasi, kedekatan dengan industri pengolahan kayu bakau, adanya akses jalan darat, keberadaan kelompok swadaya masyarakat, keberadaan lembaga swadaya masyarakat, tingkat pemahaman masyarakat terhadap lingkungan. Adapun tingkat kerusakan maupun perubahan peruntukan faktor-faktor dianalisis pengaruhnya terhadap beberapa indikator pengembangan wilayah pesisir, di antaranya pendapatan rumah tangga, kesempatan kerja, kesempatan berwirausaha, ketersediaankemudahan bahan baku, aksesibilitas ekonomi masyarakat terhadap sumberdaya mangrove. Analisis pengaruh tingkat kerusakan dan perubahan peruntukan ekosistem mangrove terhadap pengembangan wilayah pesisir inilah yang merupakan hal baru dalam penelitian ini dan diharapkan bisa memberikan kontribusi terhadap dunia ilmu pengetahuan dan praktik perencanaan pengelolaan ekosistem mangrove untuk pengembangan wilayah pesisir .

2.6.2. Korelasi Ekosistem Mangrove dan Perikanan