2.6.3. Penelitian Terdahulu dan Kontribusi Penelitian Kajian terdahulu
Berbagai penelitian mengenai eksistensi, potensi ekonomi dan peranan ekosistem mangrove dalam pengembangan perekonomian dan wilayah pesisir telah
dilakukan dalam berbagai aspek dan metode. Umumnya penelitian menitikberatkan pada besarnya potensi nilai dan manfaat ekonomi sumber daya mangrove dan adanya
kehiangan nilai economic lost akibat terjadinya kerusakan ekosistem mangrove di berbagai daerah. Secara keseluruhan hasil-hasil penelitian terdahulu disajikan dalam
Tabel 3 di bawah ini. Tabel 3. Rekap Hasil-hasil Penelitian Terdahulu yang Berkaitan dengan Ekosistem
Mangrove
No Nama
Peneliti Penulis
Judul Penelitian Jurnal Ilmiah
Resume Hasil-hasil Penelitian
1
Yudhicara, 2008
Kaitan antara karakteristik
pantai Provinsi Sumatera Barat
dengan potensi kerawanan
tsunami
−
−
Penggunaan GIS menghasilkan data karakteristik wilayah pantai yang digunakan untuk pemodelan tsunami.
Pemodelan tsunami menghasilkan data simulasi yang dijadikan acuan untuk menentukan zonasi rawan bencana
tsunami di daerah penelitian menjadi zona rawan tinggi, menengah, dan rendah.
2 Yuniar
dkk, 2008 Aplikasi Sistem
Informasi Geografis Berbasis Internet
untuk Meningkat- kan Pemahaman
Geospasial Wilayah Pesisir dan Pulau-
Pulau Kecil di Indonesia
− Metode pembuatan Sistem Informasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil menggunakan
Google Maps API. − Sistem ini menggunakan data dari domain
publik yang gratis dan legal, bersifat open source, dan dapat didiseminasikan dengan
mudah sehingga diharapkan bisa secara efektif bermanfaat untuk meningkatkan pemahaman
masyarakat Indonesia akan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
3 Tarigan,
2008 Sebaran dan Luas
Hutan Mangrove di Wilayah Pesisir
Teluk Pising Utara, Pulau Kabaena,
Provinsi Sulawesi − Luasan hutan mangrove yang ditemukan di
wilayah pesisir pantai Teluk Pising utara Pulau Kabaena adalah 152,128 ha dengan nilai
ekonomi sekitar Rp. 9.264.595.200,-. Hutan mangrove yang ditemukan dilokasi tersebut
relatif masih baik dan didominasi oleh
Universitas Sumatera Utara
Tenggara Rhizophora apiculata.
4 Onrizal
Kusmana, 2008
Studi Ekologi Hutan Mangrove di
Pantai Timur Sumatera Utara
Ecological study on mangrove forest
in East Coast of North Sumatra
− Hutan mangrove di pesisir pantai timur Sumatera Utara yang terletak di sistem lahan
KJP dan PTG disusun oleh 20 jenis flora mangrove, dengan jenis paling dominan
adalah A. marina yang merupakan jenis pionir.
− Tumbuhan mangrove yang dijumpai hanya berada pada tingkat semai dan pancang,
sedangkan tingkat pohon tidak dijumpai, sehingga tergolong hutan mangrove muda.
− Parameter tanah dan kualitas air yang penting bagi pertumbuhan mangrove, secara umum
tidak melampaui ambang batas yang diperkenankan, kecuali potensi pirit yang
terdapat di kedua sistem lahan yang akan mengancam pertumbuhan mangrove jika tidak
segera teratasi, karena bersifat racun bagi tumbuhan. Untuk kegiatan rehabilitasi, upaya
mengurangi potensi pirit merupakan prioritas utama. Potensi pirit tersebut bisa dikurangi
jika penghalang aliran air pasang surut bisa dihilangkan, sehingga kawasan tersebut akan
digenangi aliran air pasang surut secara teratur.
− Prioritas utama areal untuk direhabilitasi adalah areal yang seharusnya berupa jalur
hijau mangrove, baik di pesisir pantai maupun di areal kiri kanan sungai.
5 Jamil,
2007 Analisis Opsi Pola
Penggunaan Lahan di Wilayah Pesisir
Kecamatan Muara Gembong,
Kabupaten Bekasi. − Terjadi perubahan pola penggunaan lahan
yang signifikan antara tahun 1990 dengan tahun 2000, dimana telah terjadi konversi
hutan mangrove menjadi areal pertambakan sebanyak 1.582 ha.
− Sebanyak 90.91 lahan sangat sesuai dan sesuai untuk hutan mangrove, dan 97 lahan
sangat sesuai dan sesuai untuk pertambakan. − Total Economic Value TEV hutan mangrove
sebesar Rp. 345,57 jtth, sedangkan TEV areal tambak Rp. 28,39 jtth, sehingga terjadi
economics lost dengan adanya konversi hutan mangrove menjadi tambak.
− Net revenue untuk opsi konversi menjadi tambak menduduki peringkat tertinggi yakni
56.4 jtha, namun konversi lahan mangrove selama ini yang berlebihan menyebabkan
produktivitas tambak menurun sebesar 0.7 ton per ha.
6 Warlina,
Model Perubahan − Tersusun model perubahan lahan dengan
Universitas Sumatera Utara
2007 Penggunaan Lahan
untuk Pemanfaatan Ruang dalam
Rangka Pembangu- nan Wilayah Berke-
lanjutan Studi Kasus Kabupaten
Bandung. menggunakan Conversion of Land Use and its
Effect at Small regional extent CLUE-S, dengan skenario terbaik menggunakan laju
perubahan lahan sebesar separuh dari laju perubahan eksisting dan adanya larangan
konversi di kawasan cagar alam dan kawasan lindung.
− Dengan metode WI, untuk Kabupaten Bandung indeks kesejahteraan manusia
sebesar 55 dan indeks kesejahteraan ekosistem sebesar 69, secara bersama-sama
menggambarkan peringkat ‘sedang’ dalam keberlanjutan.
− Terdapat 7 faktor kunci dalam penataan ruang dalam kerangka pembangunan wilayah
berkelanjutan yaitu kepadatan penduduk, tingkat pendidikan, perencanaan, tingkat
pendapatan masyarakat, status kepemilikan lahan, kebijakan pemerintah dan alokasi dana
pembangunan.
− Skenario terbaik adalah sekenario agak optimis untuk keberlanjutan penataan ruang.
7 Sihombing
, 2007 Desentralisasi dan
Pembangunan Masyarakat Wila-
yah Pesisir Kabupa- ten Langkat, Pro-
vinsi Sumatera Utara.
− Faktor-faktor pemerintahan yang baik, perencanaan partisipatif, pemberdayaan
mayarakat dan hubungan harmonis dengan pemerintah yang lebih tinggi berpengaruh
terhadap pembangunan masyarakat wilayah pesisir di Kabupaten Langkat.
8 Irawan
Sari, 2007 Kajian Implikasi
terbitnya UU RI No 27
tahun 2007 tentang Pengelolaan
Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil
terhadap Pengelola- an Hutan Mangrove
− Pengelolaan mangrove oleh Departemen Kehutanan berdasarkan statusnya sebagi
hutan, sedangkan departemen perikanan dan kelautan berdasarkan status ekosistemnya
sebagai bagian dari ekosistem pesisir.
9 Lindawati,
2007 Faktor-faktor yang
Mempengaru-hi Peluang Berusaha
dan Kegiatan Eko- nomi Rumah Tang-
ga Istri Nelayan Pekerja di Kecama-
tan Medan Belawan − Sebagian besar 62.86 istri nelayan bekerja
di sektor perikanan dengan mayoritas sebagai buruh.
− Pendapatan suami lebih besar dari istri pada sektor perikanan, namun pada sektor non
perikanan pendapatan istri lebih besar dari suami.
− Peluang usaha istri dipengaruhi oleh pendapatan istri di sektor perikanan dengan
probabilitas tertinggi 68 bekerja sebagai pengolah ikan.
10 Maedar, Analisis Ekonomi
− Terjadi penurunan luas dan nilai ekonomi
Universitas Sumatera Utara
2007 Manfaat Alternatif
Ekosistem Mang- rove di Kecamatan
Merawang, Kabupaten Bangka.
hutan mangrove, dimana nilai total ekosistem tahun 2001 adalah Rp. 17.517.612.025th
menjadi Rp. 12.540.125.049th, dan nilai manfaat langsung menurun sebesar Rp.
5.200.626.251th.
− Tahun 2050 diproyeksikan luas hutan mangrove tinggal 15.10 ha dengan nilai
ekonomi total Rp. 11.506.420.070th dan nilai manfaat langsung Rp. 1.250.200.323th.
− Alternatif pemanfatan terpilih berdasarkan kriteria yang digunakan adalah alternatif V
100 hutan mangrove. 11 Tarigan,
2007 Perubahan Garis
Pantai di Wilayah Pesisir Perairan
Cisadane, Provinsi Banten
− Dengan menggunakan data citra Landsat 5TM tahun 1997 dan data lapangan diperoleh hasil
bahwa terdapat beberapa lokasi penambahan pantai akresi yaitu pantai Tanjung Pupaleo
dan pantai dari Tanjung Burung sampai dengan pantai Desa Harapan.
− Pengurangan pantai abrasi terjadi di sepanjang pantai dari Kali Cituis sampai
pantai Desa Kohot, sebelah kiri muara Sungai Cisadane dan di pantai Tanjung Pasir.
Perubahan-perubahan ini diduga disebabkan oleh fenomena alam arus dan gelombang
yang besar dan akibat ulah manusia seperti menguruk pantai untuk dijadikan pemukiman
maupun untuk pertambakan dan pengambilan pasir.
12 Pratomo, 2007.
− GIS diperlukan dalam membangkitkan data- data spasial yang diperlukan, dan GIS sangat
baik untuk digunakan dalam perencanaan wilayah berbasis spatial
Implementing Geographic
Information System for Land Use and
Spatial Planning
13 Marhayudi , 2006
− Nilai Indeks Sustainabilitas Rap- INSUSFORMA sebesar 36.85 kurang
berkelanjutan. Model Pengelolaan
Sumberdaya Hutan Berkelanjutan di
Wilayah Perbatasan Kalimantan Barat.
− Faktor penggerak kunci driven factor untuk pengelolaan hutan berkelanjutan yaitu: 1
pemanfaatan hasil hutan bukan kayu, 2 kegiatan ladang berpindah, 3 teknologi
mitigasi bencana kebakaran hutan, 4 perlindungan biota langka, dan 5 penataan
dan pengukuhan kawasan.
− Prioritas skenario pengelolaan adalah pesimis, moderat, optimis hingga ideal dengan total
skor yang akan dicapai sebanyak 22.90. − Kebijakan yang diusulkan sesuai skenario
untuk 5 tahun pertama yaitu yang berkaitan dengan faktor pemanfaatan hasil hutan bukan
Universitas Sumatera Utara
kayu dan penataanpengukuhan kawasan, untuk 5 tahun kedua yaitu faktor ketersediaan
teknologi mitigasi bencana dan perlindungan terhadap biota langka, untuk 5 tahun ketiga
yaitu faktor kegiatan laang berpindah dan untuk 5 tahun keempat adalah kesinambungan
perubahan untuk semua faktor menuju kondisi ideal.
14 Puryono, 2006.
− Kerusakan ekosistem mangrove disebabkan oleh 2 dua faktor yaitu: 1 Faktor Eksternal,
berupa tekanan yang berasal dari luar ekosistem mangrove, yang berkaitan dengan
konversi hutan mangrove menjadi pemanfaatan lain, misalnya pihak swasta yang
ingin mengembangkan wilayah pesisir menjadi pemukiman, tambak udang, industri,
rekreasi, atau kepentingan lainnya. 2 Faktor Internal, berupa tekanan untuk memanfaatkan
ekosistem hutan mangrove yang bersumber dari masyarakat sekitar hutan mangrove
tersebut, berkaitan dengan kondisi kehidupan mereka yang masih sangat bergantung pada
sumberdaya mangrove. Strategi Pengelola-
an Hutan Mangrove Berbasis
Masyarakat
− Masalah kerusakan hutan mangrove tersebut dapat ditangani dengan mengatasi akar
permasalahan klasik yang melingkupinya, yaitu menangani ketersediaan pangan,
kebutuhan papan, pendidikan, kesehatan, kesempatan bekerja bagi masyarakat sekitar
kawasan hutan mangrove.
− Strategi pelibatan masyarakat dalam pelestarian hutan mangrove dengan
menerapkan sistem insentif yang diharapkan dapat merangsang dan memacu usaha-usaha
kegiatan pengelolaan ekosistem hutan mangrove yaitu melalui peningkatan kualitas
sumberdaya manusia dan peningkatan peran serta masyarakat.
15 Setyawan Winarno,
2006 Permasalahan
Konservasi Ekosis- tem Mangrove di
Pesisir Kabupaten Rembang, Jawa
Tengah Conserva- tion problems of
mangrove ecosys- tem in coastal area
of Rembang Regen- cy, Central Java
− Di pesisir Kabupaten Rembang, ditemukan 27 spesies tumbuhan mangrove.
− Penyumbang terbesar kerusakan ekosistem mangrove di pesisir Kabupaten Rembang,
antara lain pertambakan, penebangan pepohonan, reklamasi dan sedimentasi, serta
pencemaran lingkungan. Restorasi mangrove di pesisir Pasar Bangi, Rembang cukup
berhasil, salah satu penyebabnya adalah keikutsertaan masyarakat dalam manajemen
pengelolaannya.
16 Anwar Peranan Ekologis
− Luas mangrove di wilayah Provinsi Sumatera
Universitas Sumatera Utara
Gunawan, 2006
dan Sosial Ekono- mis Hutan Mang-
rov dalam Mendu- kung Pembangunan
Wilayah Pesisir Barat sekitar 95 18.404,92 ha kondisinya
rusak dan hanya sekitar 5 909,82 ha dalam kondisi baik.
− Mangrove mempunyai peranan ekologis, ekonomis, dan sosial yang sangat penting
dalam mendukung pembangunan wilayah pesisir, oleh karena itu, kegiatan rehabilitasi
menjadi sangat prioritas sebelum dampak negatif dari hilangnya mangrove ini meluas
dan tidak dapat diatasi tsunami, abrasi, intrusi, pencemaran, dan penyebaran
penyakit.
17 Setyawan Wunarno,
2006 Pemanfaatan Lang-
sung Ekosistem Mangrove di Jawa
Tengah dan Penggunaan Lahan
di Sekitarnya: Kerusakan dan
Upaya Restorasinya − Pemanfaatan langsung ekosistem mangrove di
Jawa Tengah meliputi perikanan, kayu, bahan pangan, bahan obat, pakan ternak, bahan baku
industri, pariwisata dan pendidikan. − Penggunaan lahan di sekitar ekosistem
mangrove mencakup perikanantambak, pertanian, kawasan pengembangan dan
bangunan. − Kegiatan antropogenik tersebut telah
menurunkan peranan ekologi, ekonomi serta sosial budaya ekosistem mangrove.
− Kegiatan restorasi yang berhasil terjadi di Pasar Banggi, dikarenakan pelibatan
masyarakat dalam manajemennya. − Kegiatan restorasi yang gagal terjadi di
Cakrayasan dan Lukulo, dikarenakan adanya kesalahan pemilihan bibit dan tidak adanya
pemeliharaan.
18 Purwoko, 2005.
Dampak Kerusakan Ekosistem Hutan
Bakau Mangrove terhadap Pendapa-
tan Masyarakat Pantai di Kecama-
tan Secanggang, Kabupaten Langkat
− Terdapat perbedaan yang signifikan dalam pendapatan rumah tangga, keragaman jenis
biota tangkapan nelayan, kemudahan bekerja dan berusaha, ketersediaan bahan baku dan
komoditas perdagangan antara sebelum kerusakan dan sesudah terjadinya kerusakan
ekosistem mangrove.
− Terjadi penurunan volume dan keragaman jenis tangkapan dimana 56.32 jenis yang
biasa ditangkap menjadi langka sulit didapat dan 35.36 jenis tidak pernah lagi tertangkap.
− Terjadi penurunan pendapatan riil nelayan sebesar 33.89 dari sebelum terjadinya
kerusakan ekosistem mangrove. 19 Rumapea,
2005. Pengaruh
Keberadaan Hutan Bakau Mangrove
terhadap Usaha Produksi Arang dan
− Total pendapatan rumah tangga, umur, tingkat pendidikan, jumlah anggota rumah tangga dan
pengetahuan lingkungan berpengaruh signifikan terhadap volume pengambilan
penebangan mangrove.
Universitas Sumatera Utara
Perekonomian Daerah di Kecama-
tan Secanggang Kabupaten Langkat
20 Khomsin, 2005
Studi Perencanaan Konservasi
Kawasan Mangrove di Pesisir Selatan
Kabupaten Sam- pang dengan Tek-
nologi Pengindera- an Jauh dan Sistem
Informasi Geografis − Terdapat perubahan luas hutan mangrove
antara tahun 1990 dan 2005 sebesar 62.5 ha. − Tingkat kesesuaian areal untuk konservasi 3-4
sesuai sampai sangat sesuai, dengan kawasan yang direkomendasikan untuk
kawasan konservasi seluas 689 ha.
21 Nursal dkk, 2005
Struktur dan Komposisi Vegetasi
Mangrove Tanjung Sekodi Kabupaten
Bengkalis Riau − Komunitas mangrove Desa Tanjung Sekodi
Bengkalis terdiri dari jenis Rhizophora apiculata, Rhizophora mucronata, Sonneratia
alba, Avicennia alba dan Hibiscus tilliaceus. − Vegetasi mangrove didominasi oleh jenis
Rhizophora apiculata, Rhizophora muronata dan Sonneratia alba, baik pada strata pohon,
sapling maupun seedling. − Jenis Rhizophora apiculata dan Rhizophora
mucronata mempunyai kemampuan
regenerasi yang lebih baik dibandingkan dengan jenis lainnya.
22 Ola, 2004 Model Pengelolaan
Pulau-pulau Kecil dalam Rangka
Pengembangan Wilayah Kepulauan
Wakatobi. − Setiap pengembangan kawasan pemukiman
seluas 1 ha menyebabkan penurunan biomasa kepiting pada lahan mangrove sebesar 23.75
kgth, penurunan biomasa ikan belanak pada lingkungan padang lamun sebesar 87.50 kgth
dan penurunan biomasa ikan kerapu pada lingkungan terumbu karang sebesar 62.45
kgth.
− Permanfaatan terumbu karang untuk pondasi rumah menyebabkan degradasi terumbu
karang rata-rata 355.33 m
3
− Untuk mencapai tingkat pendapatan masyarakat dan penyerapan tenaga kerja yang
tinggi serta kelestarian sumber daya alam lautan dan daratan yang tinggi adalah dengan
menggunakan model pengelolaan dengan mengembangkan sektor industri lainnya dan
didukung oleh sektor perdagangan, sektor angkutan dan komunikasi, sektor perikanan,
sektor pertambangan dan penggalian, sektor peternakan, sektor bahan makanan lainnya,
sektor makanan dan minuman, sektor lembaga tahun dan
penurunan biomasa ikan kerapu pada lingkungan terumbu karang rata-rata sebesar
19 tonth.
Universitas Sumatera Utara
keuangan yang tangguh serta sektor lainnya. 23 Setyawan
dkk, 2004 Ekosistem Mang-
rove di Jawa: 2. Restorasi
− Mengkaji implementasi kosep-konsep ekologi, struktur dan fungsi ekosistem mangrove dalam
implementasinya di Pulau Jawa 24 Djamali,
2004 Persepsi Masyara-
kat Desa Pantai Terhadap Kelestari-
an Hutan Mangrove Studi Kasus di
Kabupaten Probo- linggo
− Persepsi masayarakat tentang pemanfaatan hutan mangrove yakni sebagian besar konversi
hutan mangrove telah dikonversi menjadi areal pertambakan.
− Persepsi masyarakat tentang manfaat ekosistem mangrove yakni dari segi ekonomi
tidak mempunyai nilai manfaat, dari aspek teknis adanya tanah oloran dapat memberikan
peluang bagi petambak untuk membuka atau memperluas areal pertambakannya, dari aspek
sosial banyak yang tidak mengetahui manfaat hutan mangrove dan menyatakan tidak ada
manfaatnya, dari aspek ekologis menyatakan keberadaan hutan mangrove akan menjaga
biota, dari aspek pembinaan responden menyatakan tidak pernah menerima
penyuluhan, pelaku pengrusakan hutan mangrove terbesar disebabkan oleh oknum
pengusaha, kondisi hutan sudah sangat tidak baik sehingga seharusnya pemerintah segara
melakukan tindakan penyelamatanpelestarian, sistem pengelolaan hutan mangrove yang ada
sangat tidak baik, tingkat kepedulian masyarakat terhadap pelestarian hutan
mangrove relative kurang sekali.
− Pengelolaan ekosistem hutan mangrove yang diinginkan adalah pengelolaan berbasis
masyarakat Community Based Management yang mengandung arti keterlibatan langsung
masyarakat dalam mengelola sumberdaya alam di suatu kawasan.
25 Pasaribu, 2004
Krisis Hutan Mangrove di
Sumatera Utara dan Alternatif Solusinya
− Hutan mangrove di Provinsi Sumatera Utara mengalami krisis akibat tingkat pendapatan
masyarakat yang masih rendah, penebangan dan pembukaan tambak secara liar, persepsi
sebagian masyarakat yang keliru tentang mangrove dan lemahnya penegakan hukum
terhadap pelanggaran-pelanggaran yang terjadi.
− Penanggulangan kerusakan dapat dilakukan dengan melakukan penanaman kembali,
menghentikan penebangan, mengizinkan masyarakat mengembangkan budidaya ikan
melalui pola empang paluhempang parit dan pengembangan partisipasi masyarakat.
Universitas Sumatera Utara
26 Setyawan dkk, 2004
Tumbuhan Mang- rove di Pesisir Jawa
Tengah: 2. Kompo- sisi dan Struktur
Vegetasi − Strata pohon maupun semak pada tingkap
dewasa, anak dan bibit tetap, sehingga kelestarian tumbuhan mangrove di Jawa
Tengah diperkirakan akan terjamin, meskipun ada disturbansi, selama tidak ada perubahan
lingkungan secara besar-besaran dalam skala luas.
− Pengaruh antropogenik tinggi, yang menyebabkan disturbansi ekosistem, sehingga
tegakan tidak mencapai klimaks dengan nilai penting tumbuhan muda relatif tinggi.
27 Gunarto, 2004
Konservasi Mangrove sebagai
Pendukung Sumber Hayati Perikanan
Pantai − Mangrove dapat berfungsi sebagai biofilter
serta agen pengikat dan perangkap polusi. Mangrove juga merupakan tempat hidup
berbagai jenis gastropoda, ikan, kepiting pemakan detritus dan bivalvia juga ikan
pemakan plankton sehingga mangrove berfungsi sebagai biofilter alami.
− Berbagai jenis ikan, baik yang bersifat herbivora, omnivora, maupun karnivora hidup
mencari makan di sekitar mangrove terutama pada waktu air pasang. Di mangrove Tongke-
Tongke, Sulawesi Selatan, diidentifikasi terdapat 27 spesies ikan dan 4 spesies udang
bernilai ekonomis yang mencari makan di sekitar mangrove Tongke Tongke pada waktu
air pasang. Selain itu, sedikitnya 8 spesies gastropoda dan 8 spesies bivalvia menetap di
mangrove tersebut.
28 Sukojo, 2003
Penggunaan Metode Analisa
Ekologi dan Penginderaan
Jauh untuk Pemba- ngunan Sistem
Informasi Geografis Ekosistem Pantai
− Diperolehnya data dan informasi ekosistem pantai yang dapat diupdate dan dianalisis lebih
luas sesuai dengan kombinasi bidang ilmu yang membutuhkan.
29 Purwoko Onrizal,
2002. Identifikasi Potensi
Sosial Ekonomi Hutan Mangrove di
Suaka Margasatwa Karang Gading dan
Langkat Timur Laut SM KGLTL.
− Data potensi sosial-ekonomi dan kerusakan Hutan Mangrove di SM KGLTL.
30 Wantasen, 2002.
Kajian Potensi Sumberdaya Hutan
Mangrove di Desa Talise, Kabupaten
Minahasa, Sulawesi Utara
− Data potensi bifisik dan sosial ekonomi hutan mangrove.
− Diperoleh rumusan strategi pengelolaan dengan prioritas : 1 membuat suatu
peraturan perundangan dalam pengelolaan
Universitas Sumatera Utara
hutan mangrove, 2. mendirikan suatu lembaga pengelola, 3 memberikan
pemahaman mengenai pendidikan lingkungan hidup, 4
mensosialisasikan peraturan perundangan dalam mengelola hutan
mangrove, 5 pengembangan usaha pembibitan rakyat. 6 pengembangan usaha
ekowisata, 7 pengeloalan hutan rakyat secara berkelanjutan
31 Mulyanto, 2002
Kebijakan Pemerin- tah Kabupaten
Langkat dalam Merubah Perilaku
Masyarakat Desa Pantai terhadap
Perlinfungan Hutan Mangrove di Keca-
matan Secanggang. − Kebijakan Pemkab. Langkat yang meliputi
peraturan perundangan, sosialisasi, peningkatan kemampuan dan peran serta,
upaya rehabilitasi dan peningkatan mutu hidup memiliki korelasi kuat terhadap pelestarian
hutan mangrove di Kecamatan Secanggang.
32 Sudarma- dji, 2001
Rehabilitasi Hutan Mangrove dengan
Pendekatan Pem- berdayaan Masya-
rakat Pesisir Mangrove Forest
Rehabilitation with Coastal Society
Empowering Approach
− Kegiatan rehabilitasi atau reboisasi hutan mangrove di era otonomi daerah dewasa ini,
hendaknya pemerintah lebih banyak melibatkan unsur masyarakat. Pendekatan
botom-up perlu untuk digalakkan dan bukan sebaliknya mengingat dewasa ini masyarakat
adalah sebagai ujung tombak dalam suatu kegiatan pembangunan di desa. Masyarakat
harus ditempatkan sebagai subyek pembangunan
33 Supriyadi, 2000
Perencanaan Penge- lolaan Sumberdaya
Mangrove di Wilayah Pesisir
Kecamatan Seram Barat, Kabupaten
Maluku Tengah. − Pemanfaatan kayu bakau dan kepiting bakau
di wilayah I masih berada di bawah ambang batas optimal.
− Pemanfaatan kayu bakau di wilayah II sudah melewati ambang batas optimal, namun
pemanfaatan kepiting bakau di lokasi ini masih berada jauh di bawah ambang batas
optimal.
− Pemanfaatan kayu bakau dan kepiting bakau di wilayah III sudah melewati ambang batas
optimal. 34 Sediadi
dkk, 2000 Kualitas dan Sum-
berdaya Perikanan Delta Digul Irian
Jaya − Kualitas perairan ini fisika, kimia, biologi
masih baik sesuai kriteria NAB, kecuali kecerahan, dan sumberdaya perikanan di
perairan ini relatif besar. − Penyebab hal di atas terkait dengan adanya
ekosistem mangrove yang luas, subur dan berfungsi sebagai penyuplai makanan.
35 Kusmana, 1996
Nilai Ekologis Ekosistem Hutan
Mangrove − Ekosistem mangrove memiliki beragam nilai
ekonomi yang tinggi dalam ekosistem pesisir, yakni nilai ekonomi dalam hal keragaman
Universitas Sumatera Utara
sumber daya hayati, proteksi pantai, pemeliharaan kualitas air, dan prosuksi primer
maupun sekunder atas hutan mangrove tersebut.
36 Sediadi Wenno,
1994 Tingkat Kesuburan
dan Kondisi Hidrologi Perairan
Mangrove Teluk Bintuni, Irian Jaya.
− Tingkat kesuburan tinggi dibandingkan teluk lainnya, disebabkan oleh 1 Suplai nutrisi dari
ekosistem mangrove, 2 sumbangan dari luar melalui arus yang permanen menyusuri Teluk
Bintuni.
Kontribusi penelitian
Selain dari penelitian-penelitian dengan tema sejenis sebagaimana yang telah disajikan sebelumnya, penelitian ini diharapkan akan menghasilkan sesuatu yang baru
sebagai sumbangan dalam kajian pengembangan wilayah pesisir berbasis pengelolaan ekosistem mangrove. Penelitian terdahulu umumnya lebih menekankan pada
besarnya potensi ekonomi ekosistem hutan mangrove dan dampaknya akibat kerusakan dan konversi perubahan peruntukan yang terjadi.
Dalam kajian ini kerusakan dan perubahan peruntukkan dianalisis pengaruhnya terhadap beberapa indikator pengembangan wilayah kawasan pesisir.
Dalam hal ini, diperoleh model hubungan yang lebih fokus yang mengkaitkan antara sumber daya alam mangrove sebagai salah satu pilar utama pengembangan wilayah di
kawasan pesisir dengan pengembangan wilayah pesisir.
2.7. Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu Integrated Coastal Zone