tetap dipelihara sebagai satu-satunya cara untuk mempertahankan peran, fungsi serta
keseimbangan ekosistem kehidupan di sekitar kawasan pesisir.
2.5.2. Faktor-faktor Penyebab Kerusakan Ekosistem Mangrove
Ekosistem mangrove memiliki berbagai potensi manfaat baik langsung maupun tidak langsung. Hutan mangrove juga merupakan sumber bahan baku
berbagai jenis industri dan habitat berbagai jenis fauna Zaitunah, 2005. Namun kenyataan di lapangan menunjukkan adanya kerusakan hutan mangrove yang cukup
memprihatinkan. Kerusakan tersebut terutama disebabkan oleh adanya kegiatan di lingkungan mangrove, seperti perubahan hutan mangrove menjadi penggunaan lain
tambak, pemukiman, dan lain-lain, pencemaran lingkungan minyak, sampah, dan lain-lain, atau kegiatan lain tanpa memperhatikan kelestariannya. Savitri dan Khazali
1999 menjelaskan, penebangan hutan mangrove secara besar-besaran untuk dikonversikan menjadi usaha pertambakan dapat menyebabkan terputusnya siklus
hidup sumberdaya ikan dan udang di sekitarnya. Berkurangnya ikan dan udang di daerah ini berarti mengurangi pendapatan nelayan-nelayan kecil yang biasanya
beroperasi di sekitar pantai, penyudu udang, pencari kepiting dan penjala ikan. Secara khusus Pasaribu 2004 menyatakan bahwa kerusakan ekosistem mangrove di
Provinsi Sumatera Utara dilatarbelakangi oleh faktor-faktor tingkat pendapatan masyarakat yang relatif rendah, penebangan liar illegal logging, pembukaan tambak
udang secara liar, persepsi yang keliru tentang mangrove dan lemahnya penegakan hukum.
Salah satu bentuk kerusakan ekosistem mangrove menurut DKP Sumut 2004, dapat dilihat dalam bentuk abrasi pantai. Porses tergerusnya garis pantai
erosiabrasi dan bertambah dangkalnya perairan pantai sedimentasipengendapan
Universitas Sumatera Utara
ini pada dasarnya merupakan proses yang terjadi secara alami, tetapi kejadian tersebut diperparah dengan ulah manusia yang telah membabat tanaman pelindung pantai
mangrove, baik untuk tujuan pemanfaatan nilai ekonomis kayu bakau maupun untuk konversi lahan menjadi tambak atau lokasi bangunan liar. Selanjutnya DKP Sumut
menjelaskan bahwa yang menjadi sumber masalah di pesisir di antaranya adalah; 1 rendahnya kualitas sumberdaya manusia dan kurangnya berfungsinya kelembagaan
dalam pengelolaan wilayah pesisir. Oleh karena itu, peningkatan frekuensi penyuluhan dalam kaitannya dengan kelembagaan pengeolaan ini dianggap sebagai
salah satu upaya solusi yang strategis. Pentingnya intensitas sosialisasi dan peningkatan pemahaman masyarakat juga
ditekankan oleh Kurnia, dkk 2004. Seperti telah disebutkan, kerusakan di wilayah pesisir dapat diakibatkan oleh alam seperti tsunami, gempa, erosi, banjir, dan lain-
lain, atau dampak aktivitas manusia. Kerusakan tersebut tentu saja akan menimbulkan kerugian yang tidak sedikit seperti investasi yang telah ditanam,
kegagalan budidaya, menurunnya produksi, perbaikan sarana-prasarana produksi, dan pemulihan kerusakan sumberdaya pesisir. Hal-hal ini semestinya dapat dihindarkan
atau diminimalisasikan seandainya semua pihak mempunyai pemahaman dan informasi yang jelas tentang mitigasi kerusakan lingkungan di wilayah pesisir.
Demikian juga dengan pendapat Pasaribu 2004 yang menekankan bahwa upaya pengelolaan hutan mangrove di kawasan pesisir Sumatera Utara harus didukung oleh
pengetahuan yang cukup mengenai ekologi hutan mangrove. Pemahaman akan ekologi mangrove sangat penting agar kebijakan yang akan diambil terhadap hutan
mangrove menjadi berarti dan berjalan dengan baik. Sehingga, upaya pelestarian dan rehabilitasi hutan mangrove memiliki arah yang jelas dan terencana dengan baik.
Universitas Sumatera Utara
Terkait dengan faktor-faktor penyebab kerusakan ekosistem mangrove, Kusmana 2003 menambahkan ada tiga faktor utama penyebab kerusakan mangrove,
yaitu 1 pencemaran, 2 konversi hutan mangrove yang kurang memperhatikan faktor lingkungan dan 3 penebangan yang berlebihan. Pencemaran seperti
pencemaran minyak, logam berat. Konversi lahan untuk budidaya perikanan tambak, pertanian sawah, perkebunan, jalan raya, industri, produksi garam dan
pemukiman, pertambangan dan penggalian pasir. Lebih jauh Bengen 2001 menjelaskan bahwa kerusakan di atas dikarenakan adanya fakta bahwa sebagian
manusia dalam memenuhi keperluan hidupnya dengan mengintervensi ekosistem mangrove. Hal ini dapat dilihat dari adanya alih fungsi lahan mangrove menjadi
tambak, pemukiman, industri, dan sebagainya maupun penebangan oleh masyarakat untuk berbagai keperluan. Hal itu dikarenakan memang pada dasarnya hutan
mangrove memiliki fungsi ekonomi antara lain sebagai penghasil keperluan rumah tangga, penghasil keperluan industri, dan penghasil bibit.
Dampak ekologis akibat berkurang dan rusaknya ekosistem mangrove adalah hilangnya berbagai spesies flora dan fauna yang berasosiasi dengan ekosistem
mangrove, yang dalam jangka panjang akan mengganggu keseimbangan ekosistem mangrove khususnya dan ekosistem pesisir umumnya. Oleh karena itu, Bengen
2001 menyarankan agar isu sosial ekonomi mencakup aspek kebiasaan manusia terutama masyarakat sekitar hutan mangrove dalam memanfaatkan sumberdaya
mangrove. Begitu pula kegiatan industri, tambak, perikanan tangkap, pembuangan limbah, dan sebagainya di sekitar hutan mangrove harus diidentifikasi dengan baik.
Selain oleh faktor-faktor fisik lingkungan, kerusakan hutan mangrove juga bisa disebabkan faktor sosial ekonomi masyarakat setempat. Menurut Dephut 2002,
parameter sosial ekonomi yang sering digunakan untuk mengkaji kerusakan ekosistem
Universitas Sumatera Utara
mangrove adalah jumlahkepadatan penduduk, tingkat pendidikan, jenis pekerjaan, dan persepsi masyarakat terhadap hutan mangrove. Oleh karena itu, pendekatan
kelembagaan masyarakat juga perlu diperhatikan dalam penanggulangan kerusakan ekositem mangrove. Dahuri 2001 menjelaskan ahwa keberadaan kelompok
swadaya masyarakat dan lembaga swadayaprofesi masyarakat sangat diperlukan dalam pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu. Demikian juga dengan Wantasen
2002, menyatakan bahwa adanya kelembagaan pengelolaan yang melibatkan semua elemen stake holder bisa mencegah terjadinya kerusakan mangrove. Studi kasus pada
pengelolaan Cagar Alam Mutiara Hijau di Teluk Bintuni juga menyimpulkan bahwa peranan Lembaga Swadaya Masyarakat merupakan salah satu stake holder penting
dalam pengelolaan kawasan hutan Sihite, 2005.
2.5.3. Dampak Kerusakan Ekosistem Mangrove