Perkembangan Perdagangan Gula Pasir

21

2.3 Perkembangan Perdagangan Gula Pasir

Peningkatan jumlah penduduk mendorong peningkatan permintaan gula. Konsumsi yang terus bertambah ini harus segera direspon pemerintah mengenai bagaimana penyediaannya. Pemerintah telah melakukan upaya untuk mendorong peningkatan produksi dalam negeri melalui beberapa kebijakan seperti TRI, rehabilitasi pabrik-pabrik gula, penetapan harga provenue dan beberapa kebijakan lain yang bertujuan menjaga ketersediaan gula dengan melindungi produsen dalam negeri dengan tidak merugikan konsumen. Menurut Maria 2009, komponen penyusun ketersediaan adalah produksi, net stock, dan impor. Hasil estimasi produksi menunjukkan salah satu variabel yang signifikan memengaruhi produksi produksi gula nasional adalah kebijakan tataniaga pada periode pengendalian impor. Net stock merupakan selisih antara persediaan awal dan persediaan akhir pada tahun tertentu karena adanya konsumsi sedangkan hasil estimasi impor yang signifikan salah satunya adalah kebijakan tataniaga pada periode Bulog. Hal ini menunjukkan secara tidak langsung kebijakan tataniaga memengaruhi ketersediaan gula. Pada hasil penelitian Widjajanti 2006, perdagangan gula pasir di Indonesia terbagi menjadi empat periode, yaitu periode 1971-1975, periode 1975- 1980, periode 1981-1997, dan periode1998-sekarang. Pada tahun 1971-1975, pemerintah menunjuk Bulog untuk melaksanakan pemasaran baik dari pembelian dalam negeri maupun luar negeri importir tunggal, sedangkan kegiatan produksi gula dikelola oleh PNP Perusahaan Negara Perkebunan. Hal ini sesuai dengan Keputusan Presiden Nomor 43 Tahun 1971. Selain itu, Keppres ini juga mengatur tataniaga gula milik bagian pabrik gula PNP yang berasal dari sistem bagi hasil dengan petani tebu milik bagian petani tebu dan pabrik gula non PNP. Oleh karena itu, sistem perdagangannya adalah campuran antara perdagangan bebas dan perdagangan gula pasir yang melalui Bulog. Namun, karena harga gula sulit dikendalikan, maka berdasarkan Surat Sekretaris Negara Nomor 136 atau Mensesneg atau 3 atau 74, Bulog ditugaskan melakukan koordinasi penyaluran produksi gula baik yang berasal dari PNP maupun non PNP atau petani tebu. Periode 1975-1980, sistem Tebu Rakyat Intensifikasi TRI mulai diterapkan berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 1975. Kebijakan ini meningkatkan 22 bagian produksi gula milik petani sehingga Bulog hanya menguasai 60-70 persen gula yang beredar di masyarakat karena sisanya adalah bagian petani. Gula ini dimanfaatkan pedagang untuk spekulasi sehingga terjadi fluktuasi harga yang besar. Pada periode ketiga, antara tahun 1981-1997, Bulog ditunjuk sebagai pembeli tunggal seluruh produksi gula dalam negeri. Kebijakan ini bertujuan untuk mengatasi fluktuasi harga yang terjadi, karena upaya impor gula juga tidak dapat mengurangi harga gula. Akhirnya pada tahun 1981, selain sebagai importir tunggal, Bulog ditunjuk sebagai pembeli tunggal sesuai Surat Keputusan Menteri Perdagangan Nomor 112 atau KP atau III atau 1981. Produksi gula yang tidak dibeli Bulog adalah gula bagian petani yang digunakan untuk kebutuhan petani. Pada periode 1998-sekarang, Bulog hanya mempunyai tugas untuk mengendalikan harga beras dan mengelola persediaan beras. Hal ini dijelaskan pada Keputusan Presiden Nomor 19 Tahun 1998 tanggal 21 Januari 1998. Selain itu, melalui kebijakan ini pemerintah membebaskan impor gula pada importir umum dengan tarif bea masuk sebesar 0 persen, dimana harga gula sebelumnya dikontrol, pada akhirnya dibebaskan menurut harga pasar. Berlakunya penjualan bebas menyebabkan pabrik gula dapat memasarkan seluruh produknya secara langsung kepada konsumen. Akibatnya adalah terjadi excess supply yang berlebihan di pasar domestik dan harga gula menjadi sangat rendah, sehingga merugikan industri gula dalam negeri. Pada tahun 2000-2001, pemerintah melalui keputusan Menteri Keuangan Nomor 568 atau KMK.01 atau 1999 tanggal 31 Desember 1999, menetapkan bea masuk gula impor baik untuk raw sugar maupun white sugar. Walaupun kebijakan ini dapat meningkatkan surplus produsen sebesar Rp 884 milyar dan menambah penerimaan pemerintah Rp 370 milyar, namun harga gula tetap turun karena persediaan gula swasta masih menumpuk. Perdagangan gula dalam negeri masih dilakukan seperti tahun 1998. Pada tahun 2002, pemerintah menetapkan lima importir terdaftar yaitu PTPN IX, PTPN X, PTPN XI, PT RNI, dan Bulog sebagai perusahaan yang boleh mengimpor gula. Kebijakan ini muncul seiring dengan munculnya kebijakan tataniaga gula sesuai Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 643 atau MPR atau Kep atau 9 atau 2002. Selain menjadi importir utama, kelima perusahaan tersebut juga melakukan distribusi dalam negeri. Kebijakan ini masih berjalan sampai 23 tahun 2004, yang membedakan adalah importir terdaftar tidak boleh memindahtangankan hak mengimpor ke perusahaan lain. Hal ini sesuai dengan Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 527 atau MPP atau Kep atau 9 atau 2004 tentang Ketentuan Impor Gula. Keputusan ini timbul akibat penunjukan importir terdaftar sebagai importir sekaligus distributor gula. Selama ini keempat perusahaan yang ditunjuk PTPN IX, PTPN X, PTPN XI, dan PT RNI tidak pernah melakukan distribusi gula sehingga tidak mempunyai jaringan distribusi dan infrastruktur yang luas. Oleh karena itu, mustahil bagi keempat perusahaan untuk melakukan impor sekaligus melakukan distribusi ke berbagai daerah tanpa terjadi kelangkaan. Sebagi produsen, tugas utama perusahaan adalah berkonsentrasi dalam meningkatkan produksi, bukan impor dan distribusi.

2.4 Analisis Kelayakan Usaha