Usahatani Tebu TINJAUAN PUSTAKA

11

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Usahatani Tebu

Tebu Saccharum officinarum L merupakan tanaman yang memiliki kandungan sukrosa paling tinggi dan kandungan seratnya paling rendah. Tanaman tebu mempunyai sosok tinggi kurus, tidak bercabang, tumbuh tegak, dengan tinggi batang mencapai 3-5 meter lebih. Tanaman tebu terdiri dari akar, batang, daun, dan bunga. Akar pada tanaman ini berupa akar serabut yang memiliki panjang mencapai 2 m jika ditanam pada lingkungan yang optimum. Batang tebu merupakan bagian yang penting, karena bagian inilah yang akan dipanen hasilnya. Pada bagian ini banyak terdapat nira yang mengandung gula dengan kadar mencapai 20 persen. Bagian ujung atau pucuknya memiliki kandungan gula yang lebih tinggi daripada bagian pangkal batang. Gula pada tebu berupa sukrosa yang akan mencapai kadar maksimum jika tebu berumur 12-14 bulan atau lebih atau telah mencapai masa fisiologis Naruputro, 2010. Tanaman tebu dapat menghasilkan berbagai macam produk yang bermanfaat bagi manusia. Selama ini produk utama yang dihasilkan dari tebu adalah gula sementara hasil samping yang tidak terlalu diperhatikan kecuali tetes tebu yang sudah lama dimanfaatkan untuk pembuatan monosodium glutamate MSG. Selain tetes, ampas tebu juga dimanfaatkan untuk makanan ternak, bahan baku pembuatan pupuk, pulp, particle board, dan untuk bahan bakar boiler di pabrik gula, namun penggunaannya terbatas dan nilai ekonominya belum tinggi. Aneka limbah lain dalam proses produksi gula, seperti blotong dan abu terbuang percuma bahkan untuk buangan limbahnya pun menimbulkan pencemaran lingkungan sehingga menambah pengeluaran pabrik gula. Di luar limbah pabrik itu, tanaman tebu menghasilkan limbah pula sejak masa tanam hingga penebangan atau pemanenan berupa daun tebu kering yang disebut klethekan atau daduk, pucuk tebu, hingga sogolan pangkal tebu padahal semua itu dapat dimanfaatkan dan mempunyai nilai ekonomis Misran, 2005. Gambar pohon industri tebu disajikan pada Lampiran 1. Nuryanti 2007 membandingkan usahatani tebu pada lahan sawah dan tegalan. Penelitiannya mengkaji aspek finansial, yaitu biaya dan pendapatan 12 usahatani tebu antara sawah dan tegalan, luas garapan kurang dari satu dan lebih dari satu hektar, serta pola tanam awal dan keprasan. Dari penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa usahatani tebu di lahan sawah lebih menguntungkan diusahakan pada luasan lebih dari satu hektar dengan pola tanam awal. Berdasarkan pola tanam, tanaman keprasan lebih menguntungkan diusahakan baik di lahan sawah maupun tegalan dengan skala usaha kurang dari satu hektar. Dilihat dari usahataninya, secara umum peningkatan skala usaha pada lahan sawah lebih menguntungkan dibandingkan tegalan dan dapat meningkatkan kelayakan finansial lebih dari 50 persen. Implikasi dari hasil penelitian Nuryanti dikaitkan dengan program akselerasi pergulaan adalah usahatani tebu harus diusahakan secara luas atau ekstensif pada lahan sawah dengan pola tanam awal yang berarti target akselerasi dapat dicapai dengan tingkat produktivitas tanaman yang baik dan ketersediaan sarana irigasi yang memenuhi. Dukungan program dana talangan harus terus dipertahankan untuk memberi insentif bagi petani yang menyediakan bahan baku industri gula Indonesia. Pendapatan usahatani merupakan selisih antara penerimaan dan biaya produksi. Zuraidah 2005, meneliti pendapatan usahatani tebu dan faktor-faktor yang memengaruhi keputusan pengolahan gula merah di tingkat petani. Pada penelitiannya, Zuraidah menganalisis perbandingan pendapatan yang diterima petani yang mengolah tebunya menjadi gula merah dibandingkan petani yang memilih tidak mengolah tebunya. Faktor-faktor yang diduga mempengaruhi keputusan petani untuk mengolah tebunya menjadi gula merah adalah jumlah tanggungan keluarga, pendapatan rumah tangga nontebu, luas lahan, status lahan, dan pengalaman berusaha tani tebu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa berdasarkan bentuk produksi, pendapatan yang diterima petani tebu yang mengolah tebunya menjadi gula merah lebih besar daripada pendapatan yang diterima petani tebu yang menjual tebu batangan. Pendapatan dari gula merah mencapai Rp 10.841.351,00 per ha berasal dari pengurangan penerimaan sebesar Rp 24.139.898,00 per ha dengan biaya produksi mencapai Rp 13.298.547,00 per ha. Biaya produksi tersebut terdiri dari biaya produksi tebu batangan dan biaya pengolahan gula merah. Di lain pihak, petani yang memutuskan untuk menjual tebu batangan memperoleh pendapatan sebesar Rp 7.806.869,00, berasal dari 13 pengurangan penerimaan yang besarnya mencapai Rp 13.058.783,00 dengan biaya produksi tebu batangan, yang nilainya mencapai Rp 5.251.914,00. Walaupun pendapatan pengolahan lebih besar tetapi efisiensi keputusan mengolah tebu lebih rendah daripada keputusan menjual tebu batangan. Nilai RC untuk gula merah mencapai 1,82 lebih kecil daripada RC tebu batangan yang sebesar 2,49. Berdasarkan nilai RC tersebut, berarti keputusan untuk menjual tebu batangan lebih efisien daripada keputusan untuk mengolah tebu menjadi gula merah dan ini terlihat dari masih banyaknya petani yang menjual tebu batangan. Petani lebih memilih untuk tidak mengolah tebunya karena tambahan keuntungan yang diperoleh dengan mengolah tebu menjadi gula merah tidak berbeda jauh dengan pendapatan yang diterima dari tebu batangan. Menurut Maria 2009, luas area merupakan faktor yang signifikan mempengaruhi produksi. Pada tingkat rata-rata 1970-2005 kenaikan 1 persen luas area tebu menyebabkan kenaikan produksi hablur gula sebesar 57,8 persen. Bertambahnya luas area merupakan faktor utama terjadinya peningkatan produksi gula. Namun demikian, peningkatan luas harus disertai dengan peningkatan produktivitasnya intensifikasi mengingat semakin terbatasnya lahan untuk pertanian terutama di Jawa serta kemampuan untuk bersaing dengan komoditas lain. Pengembangan luas areal tebu penting dalam peningkatan produksi gula. Petani perlu motivasi agar terus berusaha meningkatkan produktivitas tanaman tebu. Upaya yang dilakukan tidak hanya dari segi teknis, namun juga kebijakan menyangkut kelembagaan petani karena kelembagaan yang memerlukan tindakan bersama mempunyai kekuatan lebih besar daripada dorongan perorangan. Penelitian yang dilakukan Kartikaningsih 2009 menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi motivasi petani dalam berusahatani tebu di Pati. Faktor-faktor yang memengaruhi motivasi petani berusahatani tebu yaitu lembaga pelayanan, lembaga penunjang, lembaga penyuluhan, lembaga pengolahan dan bagi hasil, dan lembaga penelitian dan pengembangan. Saat ini, peran kelembagaan dirasa cukup memuaskan bagi petani tebu. Berdasarkan hasil analisis jalur dapat disimpulkan bahwa variabel yang berpengaruh paling besar terhadap motivasi berusahatani tebu adalah lembaga pengolahan dan bagi hasil. 14 Naruputro 2010 melakukan penelitian tentang pengelolaan tebu di pabrik gula. Penelitian dilaksanakan di PG Krebet Baru, Malang. Kebun tebu giling KTG di PG Krebet Baru secara keseluruhan merupakan tebu rakyat sehingga seluruh budidaya tebu di KTG ditangani oleh petani. Dalam hal ini PG Krebet Baru hanya bertugas mengawasi dan memberikan penyuluhan mengenai budidaya tebu yang baik. Pengeprasan tebu yang berulang-ulang menjadi salah satu masalah penyebab rendahnya produktivitas tebu di PG Krebet Baru. Untuk mengatasi rendahnya produktivitas tebu di PG Krebet Baru perlu dilakukan bongkar ratoon atau replanting. Pembongkaran ratoon atau replanting dilakukan pada kategori tanaman yang sudah tidak layak dari segi produktivitas dan secara ekonomis merugikan. Perbedaan karakteristik lahan berpengaruh terhadap produktivitas tanaman keprasan. Lahan kering memiliki produktivitas yang lebih rendah jika dibandingkan lahan sawah irigasi. Faktor yang menyebabkan perbedaan produktivitas tersebut antara lain ketersediaan air dan kebiasaan teknik budidaya yang dilakukan petani pada kedua karakteristik lahan tersebut. Teknik budidaya yang berpengaruh nyata yaitu pemupukan, baik dari segi dosis maupun waktu aplikasinya.

2.2 Industri Pengolahan Tebu Menjadi Gula