Perkembangan Pelaksanaan Desentralisasi Fiskal Tahun 2008-2013

Bab 5 5-3 Kebijakan Desentralisasi Fiskal Nota Keuangan dan RAPBN 2014 untuk provinsi dan kabupatenkota dalam APBN, yakni sekurang-kurangnya 26 persen dari Pendapatan Dalam Negeri PDN neto. Proporsi DAU untuk provinsi dan kabupaten kota dihitung berdasarkan perbandingan antara bobot urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan provinsi dan kabupatenkota. Sesuai UU Nomor 33 Tahun 2004, proporsi DAU untuk provinsi dan kabupatenkota ditetapkan dengan imbangan 10 persen untuk provinsi dan 90 persen untuk kabupatenkota. Selanjutnya, DAK dialokasikan untuk membantu daerah dalam mendanai program kegiatan yang menjadi kewenangan daerah dan menjadi prioritas nasional. Tujuannya agar daerah dapat menyediakan infrastruktur sarana dan prasarana pelayanan publik secara memadai dalam rangka mendorong pencapaian Standar Pelayanan Minimum masing-masing bidang. Alokasi DAK ke daerah penerima dilakukan berdasarkan tiga kriteria, yakni: 1 Kriteria Umum, yang dirumuskan berdasarkan kemampuan keuangan daerah yang dicerminkan dari penerimaan umum APBD setelah dikurangi belanja Pegawai Negeri Sipil Daerah; 2 Kriteria Khusus, yang dirumuskan berdasarkan peraturan perundang-undangan dan karakteristik daerah; dan 3 Kriteria Teknis, yang disusun berdasarkan indikator-indikator kegiatan khusus yang akan didanai dari DAK, yang dirumuskan melalui indeks teknis oleh menteri teknis terkait. Kriteria- kriteria tersebut tidak membatasi adanya cakupan bidang yang akan didanai dari DAK, sehingga dalam perkembangannya bidang-bidang yang didanai DAK cenderung bertambahberubah dari tahun ke tahun, yakni dari 11 bidang dalam tahun 2008 menjadi 19 bidang dalam tahun 2013. Untuk mempercepat pembangunan daerah tertinggal dalam rangka peningkatan kesejahteraan rakyat di daerah-daerah tersebut, dalam tahun 2013 telah dilaksanakan kebijakan afirmative untuk daerah tertinggal melalui pemberian DAK Tambahan, sehingga rata-rata alokasi DAK untuk daerah tertinggal mencapai Rp81,6 triliun, atau lebih besar apabila dibandingkan dengan rata-rata alokasi DAK untuk daerah-daerah yang tidak tertinggal Rp48,5 triliun. Selain ketiga jenis dana tersebut, dalam rangka mendukung pelaksanaan otonomi khusus di Provinsi Aceh, Papua, dan Papua Barat, dalam APBN juga dialokasikan anggaran Dana Otsus. Alokasi Dana Otsus bagi Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat besarnya adalah setara dengan 2 persen dari pagu DAU Nasional, dengan pembagian 70 persen untuk Provinsi Papua dan 30 persen untuk Provinsi Papua Barat. Selain Dana Otsus, Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat juga mendapatkan alokasi Dana Tambahan Otsus Infrastruktur yang besarnya disesuaikan dengan kemampuan keuangan negara dan tambahan porsi DBH SDA Minyak Bumi dan DBH SDA Gas Bumi masing-masing sebesar 55 persen dan 40 persen dari PNBP SDA Minyak Bumi dan Gas Bumi yang berasal dari wilayah provinsi yang bersangkutan. Dana Otsus Provinsi Aceh berlaku untuk jangka waktu 20 tahun sejak 2008, dan alokasinya dibedakan menjadi dua, yakni: i untuk tahun pertama sampai dengan tahun ke lima belas, besarnya setara dengan 2 persen pagu DAU Nasional, dan ii untuk tahun keenam belas sampai dengan tahun kedua puluh, besarnya setara dengan 1 persen pagu DAU Nasional. Disamping itu, juga diberikan tambahan porsi DBH SDA Migas dalam rangka Otsus yang besarnya sama dengan untuk Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat, yakni masing-masing sebesar 55 persen dan 40 persen dari PNBP SDA Minyak Bumi dan Gas Bumi yang berasal dari wilayah provinsi yang bersangkutan. Sementara itu, cakupan Dana Penyesuaian telah mengalami perubahan dari tahun ke tahun. Dalam tahun 2013, Dana Penyesuaian terdiri dari Bantuan Operasional Sekolah BOS, Tunjangan Profesi Guru PNSD, Dana Tambahan Penghasilan Guru PNSD, Dana Insentif Daerah DID, dan Dana Proyek Pemerintah Daerah dan Desentralisasi P2D2. Bab 5 Kebijakan Desentralisasi Fiskal Nota Keuangan dan RAPBN 2014 5-4 Dengan adanya pos Dana Penyesuaian dalam APBN maka cakupan dana yang dialokasikan kepada daerah makin bertambah banyak, sehingga melampaui ketentuan yang diatur dalam UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah. Guna menghadapi dinamika tersebut maka perlu dilakukan revisi Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004, antara lain dengan menambahkan ketentuan yang terkait dengan reformulasi cakupan Dana Perimbangan, penyempurnaan DBH berdasarkan prinsip by origin, dan penguatan peran gubernur dalam pembagian DBH kepada kabupaten kota di wilayahnya.

5.2.2 Pelaksanaan Anggaran Transfer ke Daerah

Dalam tahun 2008, alokasi anggaran Transfer ke Daerah mencapai Rp292,4 triliun 5,9 persen dari PDB dan dalam tahun 2013 jumlahnya menjadi Rp529,4 triliun 5,7 persen dari PDB. Alokasi anggaran Transfer ke Daerah dalam tahun 2013 tersebut 10,2 persen lebih tinggi dibandingkan dengan alokasi pada tahun 2012 sebesar Rp480,6 triliun. Dalam priode tersebut proporsi Belanja Negara untuk Transfer ke Daerah meningkat dari 29,7 persen dalam tahun 2008 menjadi 30,7 persen dalam tahun 2013. Perkembangan Transfer ke Daerah tahun 2008-2013 disajikan pada Tabel 5.1 dan Graik 5.1. URAIAN 2008 thd BN 2009 thd BN 2010 thd BN 2011 thd BN 2012 thd BN APBNP 2013 thd BN

I. Dana Perimbangan 278,7

28,3 287,3 30,6 316,7 30,4 347,2 26,8 411,3 27,6 445,5 25,8 a. Dana Bagi Hasil 78,4 8,0 76,1 8,1 92,2 8,8 96,9 7,5 111,5 7,5 102,7 5,9 b. Dana Alokasi Umum 179,5 18,2 186,4 19,9 203,6 19,5 225,5 17,4 273,8 18,4 311,1 18,0 c. Dana Alokasi Khusus 20,8 2,1 24,7 2,6 21,0 2,0 24,8 1,9 25,9 1,7 31,7 1,8

II. Dana Otsus dan Penyesuaian 13,7

1,4 21,3 2,3 28,0 2,7 64,1 4,9 69,4 4,7 83,8 4,9 a. Dana Otonomi Khusus 7,5 0,8 9,5 1,0 9,1 0,9 10,4 0,8 12,0 0,8 13,4 0,8 b. Dana Penyesuaian 6,2 0,6 11,8 1,3 18,9 1,8 53,7 4,1 57,4 3,8 70,4 4,1 Jumlah 292,4 29,7 308,6 32,9 344,7 33,1 411,3 31,8 480,6 32,2 529,4 30,7 Sumber: Kementerian Keuangan TABEL 5.1 PERKEMBANGAN TRANSFER KE DAERAH, TAHUN 2008-2013 triliun rupiah 13,7 21,3 28,0 64,1 69,4 83,8 278,7 287,3 316,7 347,2 411,3 445,5 50 100 150 200 250 300 350 400 450 500 2008 2009 2010 2011 2012 APBNP 2013 tr il iu n r u p ia h GRAFIK 5.1 PERKEMBANGAN TRANSFER KE DAERAH, TAHUN 2008-2013 Dana Otsus dan Penyesuaian Dana Perimbangan Sumber: Kementerian Keuangan Bab 5 5-5 Kebijakan Desentralisasi Fiskal Nota Keuangan dan RAPBN 2014 Transfer ke daerah yang bersifat block grant, yang mengalami peningkatan yang cukup besar adalah DAU, yakni meningkat dari Rp179,5 triliun 3,6 persen dari PDB dalam tahun 2008 menjadi Rp311,1 triliun 3,4 persen dari PDB tahun 2013. Peningkatan DAU tersebut dipengaruhi oleh meningkatnya Penerimaan Dalam Negeri PDN dan meningkatnya rasio alokasi DAU terhadap PDN menjadi 26 persen. Sejalan dengan meningkatnya pagu alokasi DAU nasional, pembagian DAU per daerah sebagian besar juga menunjukkan peningkatan, meskipun angka peningkatannya relatif berbeda antardaerah. Dalam tahun 2012 dan 2013, 5 daerah yang mendapatkan alokasi DAU terbesar secara berurut adalah daerah-daerah se-Provinsi Jawa Timur, Provinsi Jawa Tengah, Provinsi Jawa Barat, Provinsi Sumatera Utara, dan Provinsi Papua. Sementara 5 daerah yang mendapat alokasi DAU terkecil secara berurut adalah daerah-daerah se-Provinsi DKI Jakarta, Provinsi Kepulauan Riau, Provinsi Gorontalo, Provinsi Sulawesi Barat, dan Provinsi Bangka Belitung. Perkembangan Dana Alokasi Umum se-Provinsi di Indonesia tahun 2012-2013 disajikan pada Graik 5.2. Selain DAU, Transfer ke Daerah lainnya yang bersifat block grant yang juga terus meningkat alokasinya adalah DBH. Secara nominal, DBH meningkat dari Rp78,4 triliun 1,6 persen dari PDB dalam tahun 2008 menjadi Rp102,7 triliun 1,1 persen dari PDB dalam tahun 2013. Peningkatan tersebut terkait dengan meningkatnya realisasi penerimaan negara yang dibagihasilkan, baik dari sektor perpajakan maupun dari sumber daya alam. Dalam tahun anggaran 2013, realisasi penyaluran DBH sampai dengan akhir semester I mencapai Rp37,6 triliun atau 36,6 persen dari pagu yang ditetapkan dalam APBNP yaitu sebesar Rp102,7 triliun. Realisasi DBH tersebut terdiri dari DBH Pajak Rp19,2 triliun 38,6 persen dari pagu alokasi dan DBH SDA sebesar Rp18,4 triliun 34,7 persen dari pagu alokasi. Sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam UU Nomor 33 Tahun 2004, penerimaan negara dari perpajakan dan sumber daya alam dibagihasilkan ke daerah berdasarkan prinsip daerah penghasil by origin dan sebagian untuk pemeratan, serta besarnya disesuaikan dengan realisasi penerimaan negara by revenue. Pada tahun 2012 dan 2013, DBH pajak terbesar dialokasikan 5.000 10.000 15.000 20.000 25.000 30.000 35.000 m il ia r r u p ia h Akumulasi Jumlah Dana yang dialokasikan untuk pemerintah Provinsi dan Pemerintah KabupatenKota di Provinsi Bersangkutan Sumber : Kementerian Keuangan GRAFIK 5.2 DANA ALOKASI UMUM SE-PROVINSI DI INDONESIA TAHUN 2012-2013 2012 2013 Bab 5 Kebijakan Desentralisasi Fiskal Nota Keuangan dan RAPBN 2014 5-6 untuk Provinsi DKI Jakarta, yakni masing-masing mencapai 22,2 persen dan 21,3 persen dari jumlah DBH pajak secara nasional, sedangkan daerah yang menerima alokasi terbesar lainnya adalah daerah-daerah di Provinsi Jawa Timur, Provinsi Jawa Barat, Provinsi Kalimantan Timur, dan Provinsi Sumatera Selatan. S e m e n t a r a i t u , 5 daerah yang menerima alokasi DBH pajak yang terendah secara berurut adalah daerah-daerah di Provinsi Gorontalo, Provinsi Sulawesi Barat, Provinsi Bengkulu, P r o v i n s i B a n g k a Belitung, dan Provinsi Sulawesi Tenggara. Penyebaran alokasi DBH pajak disajikan pada Graik 5.3. Dalam tahun 2012 dan 2013, 5 daerah yang menerima DBH SDA terbesar secara berurut adalah daerah-daerah di Provinsi Kalimantan Timur, Provinsi Riau, Provinsi Sumatera Selatan, Provinsi Kepulauan Riau, dan Provinsi Kalimantan Selatan. Dalam dua tahun tersebut, daerah-daerah di Provinsi Kalimantan Timur mendapatkan alokasi DBH SDA masing-masing sebesar 33,4 persen dan 36,4 persen dari total DBH SDA secara nasional. Sedangkan daerah-daerah di Provinsi Riau pada periode dua tahun tersebut masing- m a s i n g m e n e r i m a a l o k a s i D B H S D A sebesar 22,9 persen dan 22,5 persen dari total DBH SDA secara nasional. Sementara itu, secara berurut 5 Daerah penerima DBH SDA terkecil adalah daerah- daerah di Provinsi D . I . Y o g y a k a r t a , Provinsi Bali, Provinsi Gorontalo, Provinsi Sulawesi Barat, dan Provinsi Nusa Tenggara Timur. Penyebaran alokasi DBH SDA disajikan pada Graik 5.4. Selain dana yang bersifat block grant, alokasi dana yang bersifat speciic grant dalam bentuk DAK, juga terus meningkat walaupun sempat turun pada tahun 2010. Alokasi DAK secara nasional tahun 2008 sebesar Rp20,8 triliun 0,4 persen terhadap PDB, meningkat menjadi Rp24,7 triliun 0,4 persen terhadap PDB dalam tahun 2009, dan menurun menjadi 2.000 4.000 6.000 8.000 10.000 12.000 m il ia r r u p ia h GRAFIK 5.3 DANA BAGI HASIL PAJAK PER PROVINSI DI INDONESIA TAHUN 2012-2013 2012 2013 Akumulasi Jumlah Dana yang dialokasikan untuk Pemerintah Provinsi dan Pemerintah KabupatenKota di Provinsi bersangkutan Sumber: Kementerian Keuangan 2.000 4.000 6.000 8.000 10.000 12.000 14.000 16.000 18.000 20.000 m il ia r r u p ia h GRAFIK 5. 4 DANA BAGI HASIL SUMBER DAYA ALAM DAERAH PER PROVINSI DI INDONESIA TAHUN 2012-2013 2012 2013 Akumulasi Jumlah Dana yang dialokasikan untuk Pemerintah Provinsi dan Pemerintah KabupatenKota di Provinsi bersangkutan Sumber: Kementerian Keuangan Bab 5 5-7 Kebijakan Desentralisasi Fiskal Nota Keuangan dan RAPBN 2014 Rp21,0 triliun 0,3 persen terhadap PDB dalam tahun 2010. Alokasi DAK kembali meningkat menjadi Rp25,9 triliun 0,3 persen terhadap PDB dalam tahun 2012 dan Rp 31,7 triliun 0,3 persen terhadap PDB dalam tahun 2013. Peningkatan DAK tersebut antara lain berkaitan dengan 1 bertambahnya bidang yang didanai DAK, 2 bertambahnya daerah otonom baru, 3 adanya pengalihan sebagian anggaran kementerian negaralembaga yang sebelumnya digunakan untuk mendanai urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah menjadi DAK, dan 4 adanya DAK tambahan untuk 183 daerah yang termasuk kategori daerah tertinggal. Terkait dengan bidang yang didanai DAK, jumlahnya telah bertambah dari 11 bidang pada tahun 2008, menjadi 13 bidang pada tahun 2009, 14 bidang pada tahun 2010, dan menjadi 19 bidang mulai tahun 2011. Bidang yang didanai DAK dalam tahun 2013 adalah pendidikan, kesehatan, infrastruktur jalan, infrastruktur irigasi, infrastruktur prasarana pemerintah daerah, kelautan dan perikanan, pertanian, lingkungan hidup, keluarga berencana, kehutanan, perdagangan, prasarana perdesaan, air minum, sanitasi, energi pedesaan, perumahan dan permukiman, keselamatan transportasi darat, transportasi pedesaan, dan sarana dan prasarana kawasan perbatasan. Sejalan dengan pertambahan bidang DAK, jumlah daerah penerima DAK juga bertambah signiikan dari tahun ke tahun, yakni dari 476 daerah tahun 2008 menjadi 518 daerah pada tahun 2013. Dalam tahun 2012 dan 2013, 5 daerah yang mendapatkan alokasi DAK terbesar secara berurutan adalah daerah- daerah se- Provinsi Papua, Provinsi Jawa Timur, Provinsi Jawa Tengah, Provinsi Jawa Barat, dan Provinsi Sumatera Utara. Sementara itu, 5 daerah yang mendapatkan alokasi terkecil secara berurutan adalah daerah-daerah di Provinsi DKI Jakarta, Provinsi DI Yogyakarta, Provinsi Kepulauan Riau, Provinsi Riau, dan Provinsi Gorontalo. Alokasi DAK tahun 2012 dan 2013 untuk daerah per wilayah provinsi disajikan Graik 5.5. Sejalan dengan peningkatan pagu alokasi DAU nasional dan perubahan komponen dalam Dana Penyesuaian, secara nominal jumlah alokasi Dana Otsus dan Penyesuaian dalam periode tahun 2008-2013 juga mengalami perubahan yang signiikan. Dalam tahun 2008, jumlah Dana Otsus dan Penyesuaian mencapai Rp13,7 triliun 0,3 persen dari PDB dan dalam tahun 2013 jumlahnya menjadi Rp83,8 triliun 0,9 persen dari PDB. Perkembangan alokasi Dana Otsus dan Penyesuaian disajikan pada Graik 5.6. 500 1.000 1.500 2.000 2.500 3.000 3.500 D K I J k t D IY K ep ri R ia u B ab el G or on ta lo B al i Su lb ar K al ti m Ja m b i K a ls e l B an te n B en gk ul u K al te ng M al u t M al u ku NT B Su lt en g Su lu t P ap u a B ar at Su lt ra Su m se l L am p un g Su m b ar A ce h K a lb ar Su ls el NT T Su m u t Ja b ar Ja te n g Ja ti m P ap u a m il ia r r u p ia h GRAFIK 5.5 DANA ALOKASI KHUSUS SE-PROVINSI DI INDONESIA, TAHUN 2012-2013 2012 2013 Akumulasi Jumlah Dana yang dialokasikan untuk Pemerintah Provinsi dan Pemerintah KabupatenKota di Provinsi bersangkutan Sumber: Kementerian Keuangan Bab 5 Kebijakan Desentralisasi Fiskal Nota Keuangan dan RAPBN 2014 5-8

5.2.3 Pelaksanaan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah

Pemberian kewenangan kepada Pemerintah Daerah untuk memungut pajak taxing power merupakan instrumen penting dalam pelaksanaan desentralisasi. Kewenangan pemungutan pajak tersebut terakhir diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah UU Nomor 28 Tahun 2009. Dalam undang-undang tersebut, diatur 16 enam belas jenis pajak daerah dan 32 tiga puluh dua retribusi daerah dan Pemerintah dapat menambah jenis retribusi daerah selain yang ditetapkan dalam undang- undang dimaksud. Daerah yang memungut di luar ketentuan perundang-undangan akan dikenakan sanksi. Pengawasan terhadap pelaksanaan pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah dilakukan oleh Pemerintah Pusat.

5.2.3.1 Pengawasan

Pemerintah melakukan pengawasan terhadap Perda tentang PDRD yang diterbitkan oleh Pemerintah Daerah. Pengawasan dimaksud dilakukan secara preventif dan korektif. Pengawasan secara preventif dilakukan dengan mengevaluasi Raperda PDRD yang telah disetujui bersama antara kepala daerah dengan DPRD sebelum ditetapkan menjadi Perda. Sementara itu, pengawasan korektif dilakukan terhadap Perda tentang PDRD yang telah ditetapkan oleh Pemerintah Daerah.

5.2.3.2 Pengalihan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan menjadi Pajak Daerah

Salah satu wujud nyata komitmen Pemerintah untuk memperkuat taxing power adalah dengan mengalihkan BPHTB dan PBB P2 menjadi pajak daerah. Pengalihan BPHTP telah dilaksanakan sejak tahun 2011 dan pengalihan PBBP2 sepenuhnya akan dilaksanakan pada tahun 2014. Pengalihan PBB didesain tidak dilakukan serentak pada seluruh Pemerintah Daerah. Hal ini dilakukan supaya proses pengalihan tersebut benar-benar dipersiapkan oleh Pemerintah 7,5 9,5 9,1 10,4 12,0 13,4 6,2 11,8 18,9 53,7 57,4 70,4 10 20 30 40 50 60 70 80 2008 2009 2010 2011 2012 APBNP 2013 tri li u n ru p ia h GRAFIK 5.6 PERKEMBANGAN DANA OTSUS DAN PENYESUAIAN TAHUN 2008-2013 Dana Otsus Dana Penyesuaian Sumber : Kementerian Keuangan Bab 5 5-9 Kebijakan Desentralisasi Fiskal Nota Keuangan dan RAPBN 2014 Daerah, baik dari sisi peraturan pelaksanaan yang menjadi payung hukum, perangkat lunak dan keras, dan sumber daya manusia yang akan mengelolanya, sehingga pengalihan PBB P2 tidak menimbulkan permasalahan baru yang membebani Wajib Pajak dan Pemerintah Daerah. Tahapan persiapan pengalihan PBB P2 diatur dengan Peraturan Bersama Menteri Keuangan dan Menteri Dalam Negeri Nomor 213 PMK.072010 dan Nomor 58 Tahun 2010 tentang Tahapan Persiapan Pengalihan PBB P2 sebagai Pajak Daerah. Dalam Peraturan Bersama Menteri tersebut diatur tugas dan tanggung jawab, baik dari Kementerian Keuangan dan Kementerian Dalam Negeri maupun Pemerintah Daerah. Dalam UU Nomor 28 Tahun 2009 dan Peraturan Bersama Menteri Keuangan dan Menteri Dalam Negeri Nomor 213PMK.072010 dan Nomor 58 Tahun 2010 memberikan peluang bagi daerah untuk dapat melaksanakan pemungutan PBB P2 sebelum tahun 2014. Apabila Pemerintah Daerah telah siap melaksanakan pemungutan sebelum tahun 2014, Pemerintah Daerah harus memberitahukan kepada Menteri Keuangan dan Menteri Dalam Negeri dalam jangka waktu paling lambat tanggal 30 Juni sebelum tahun pengalihan dan dilampiri dengan Perda tentang PBB P2. Sampai dengan bulan Juli 2013, terdapat 346 daerah atau 70,3 persen dari jumlah daerah yang dapat menetapkan Perda PBB P2. Kelompok daerah ini memiliki potensi penerimaaan PBB P2 sekitar 95,6 persen dari total penerimaan PBB P2 tahun 2011. Sementara itu, terdapat 123 atau 25 persen dari jumlah daerah yang masih dalam proses penetapan Perda PBB P2. Kelompok daerah ini memiliki potensi penerimaan PBB P2 sekitar 4,25 persen dari total penerimaan PBB P2 tahun 2011. Sedangkan daerah yang belum menyusun Raperda PBB P2 sebanyak 23 daerah atau 4,7 persen dari jumlah daerah yang dapat menetapkan Perda PBB P2. Kelompok ini memiliki potensi penerimaan PBB P2 sekitar 0,15 persen dari total penerimaan tahun 2011. Dari 346 daerah yang telah menetapkan Perda PBB P2, terdapat 1 daerah, yaitu Kota Surabaya yang telah memungut PBB P2 pada tahun 2011, sebanyak 17 daerah mulai memungut PBB P2 pada tahun 2012 dan sebanyak 105 daerah memungut PBB P2 pada tahun 2013. Sementara itu sebanyak 217 daerah akan memungut pada tahun 2014. Dilihat dari sisi penerimaan pada tahun 2012, pengalihan PBB P2 memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap penerimaan daerah. Dari 18 daerah yang telah memungut PBB P2 pada tahun 2012, total penerimaan PBB P2 yang diperoleh lebih kurang Rp1,8 triliun atau meningkat sebesar 16,7 persen dibandingkan dengan penerimaan pada tahun sebelumnya. Dari 23 daerah yang belum menyusun Raperda tersebut, terdapat 1 daerah dengan potensi di atas Rp2 miliar, 5 daerah dengan potensi Rp1 miliar sampai dengan Rp2 miliar, 3 daerah dengan potensi Rp500 juta sampai dengan Rp1 miliar, 4 daerah dengan potensi Rp100 juta sampai dengan Rp500 juta, dan 10 daerah dengan potensi PBB P2 relatif kecil yaitu di bawah Rp100 juta. Dalam rangka mempercepat pengalihan PBB P2, pada tahun 2011 dan tahun 2012 Pemerintah bersama dengan Komisi XI DPR-RI telah melakukan kegiatan sosialisasi di 320 Kabupaten Kota, termasuk Provinsi DKI Jakarta. Kegiatan sosialisasi ini akan terus dilakukan kepada seluruh KabupatenKota sampai dengan tahun 2013 dengan melibatkan unsur DPRD setempat, SKPD terkait, Camat, Kepala DesaLurah, Sekretaris DesaLurah, Kantor Pertanahan BPN, KPP Pratama, NotarisPPAT, akademisi, dan tokoh masyarakat. Sampai dengan bulan Juli 2013, sosialisasi telah dilaksanakan di 445 KabupatenKota. Sosialisasi tersebut dimaksudkan untuk menumbuhkan awareness dan memotivasi daerah agar segera menyiapkan Perda serta Bab 5 Kebijakan Desentralisasi Fiskal Nota Keuangan dan RAPBN 2014 5-10 fasilitas dan infrastruktur yang diperlukan untuk menerima pengalihan pemungutan PBB P2, dan sekaligus sebagai public announcement, khususnya kepada masyarakat dan aparat yang akan menangani pemungutan PBB P2. Selanjutnya, sebagai upaya Pemerintah mendukung suksesnya pengalihan PBB P2, khususnya terkait dengan penyiapan sumber daya manusia, Sekolah Tinggi Akuntansi Negara, bekerjasama dengan Direktorat Jenderal Pajak dan Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan, telah membuka program D1 Keuangan Spesialisasi Pajak Konsentrasi Penilai PBB P2 dan D1 Keuangan Spesialisasi Pajak Konsentrasi operator console OC. Pemerintah Daerah dapat mengirimkan beberapa pegawai yang akan menangani pemungutan PBB P2 untuk dididik dan dipersiapkan agar pada saatnya nanti bisa mengelola PBB P2 dengan baik.

5.2.3.3 Kebijakan Pajak Rokok

Selain mengalihkan BPHTB dan PBB P2 menjadi pajak daerah, dalam UU Nomor 28 Tahun 2009 juga diatur kebijakan penambahan jenis pajak daerah baru yaitu Pajak Rokok. Secara efektif, pemungutan Pajak Rokok mulai dilaksanakan pada tanggal 1 Januari 2014. Mengingat tax base Pajak Rokok adalah cukai yang ditetapkan oleh Pemerintah terhadap rokok, maka pelaksanaan pemungutan Pajak Rokok dilakukan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai bukan oleh Pemerintah Daerah sebagaimana pajak daerah lainnya. Hasil penerimaan Pajak Rokok yang dipungut tersebut selanjutnya disetorkan ke Rekening Kas Umum Provinsi secara proporsional berdasarkan jumlah penduduk. Untuk bisa mendapatkan pajak rokok, pemerintah provinsi, harus menyusun dan menetapkan peraturan daerah mengenai pajak rokok. Berdasarkan target penerimaan cukai hasil tembakau, yang merupakan dasar pengenaan Pajak Rokok, penerimaan Pajak Rokok tahun 2014 diperkirakan sekitar Rp9,0 triliun. Penerimaan Pajak Rokok, baik bagian provinsi maupun bagian kabupatenkota, dialokasikan paling sedikit 50 persen yang dipergunakan untuk: a. Mendanai pelayanan kesehatan masyarakat. Pelayanan kesehatan masyarakat, antara lain: pembangunanpengadaan dan pemeliharaan sarana dan prasarana unit pelayanan kesehatan, penyediaan sarana umum yang memadai bagi perokok smoking area, kegiatan memasyarakatkan tentang bahaya merokok, dan iklan layanan masyarakat mengenai bahaya merokok. b. Penegakkan hukum oleh aparat yang berwenang. Penegakan hukum sesuai dengan kewenangan Pemerintah Daerah yang dapat dikerjasamakan dengan pihakinstansi lain, antara lain: pemberantasan peredaran rokok ilegal dan penegakan aturan mengenai larangan merokok sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Dalam UU Nomor 28 Tahun 2009, juga diatur bahwa hasil penerimaan Pajak Rokok diserahkan kepada kabupatenkota sebesar 70 persen. Bagian kabupatenkota tersebut ditetapkan dan dialokasikan provinsi dengan memperhatikan aspek pemerataan danatau potensi antarkabupatenkota. Ketentuan lebih lanjut mengenai bagi hasil penerimaan Pajak Rokok ditetapkan dengan Peraturan Daerah Provinsi. Bab 5 5-11 Kebijakan Desentralisasi Fiskal Nota Keuangan dan RAPBN 2014

5.2.4 Pelaksanaan Kebijakan Pinjaman Daerah, Hibah ke Daerah, dan Investasi Daerah

5.2.4.1 Kebijakan Pinjaman Daerah

Secara nasional, sebagian besar daerah masih menghadapi kondisi ketergantungan sumber keuangan terhadap dana perimbangan, karena sumber PAD masih terbatas. Sebagian besar pendapatan daerah tersebut digunakan untuk mendanai belanja pegawai serta belanja barang dan jasa. Kondisi seperti ini menyebabkan terbatasnya sumber pendanaan untuk pembangunan infrastruktur daerah. Pemerintah terus mendorong daerah untuk memanfaatkan alternatif sumber pembiayaan lain yang dapat digunakan untuk mendanai pembangunan infrastruktur di daerah. Salah satu alternatif sumber pembiayaan tersebut adalah melalui pinjaman daerah. Pemerintah daerah dapat melakukan pinjaman daerah yang bersumber dari Pemerintah, pemerintah daerah lain, lembaga keuangan bank, lembaga keuangan bukan bank, dan masyarakat melalui penerbitan Obligasi Daerah. Pemerintah akan memfasilitasi dan mendampingi daerah-daerah yang memiliki kapasitas iskal dan kinerja pengelolaan keuangan yang baik untuk menerbitkan obligasi daerah. Kegiatan fasilitasi dan pendampingan ini terutama ditujukan untuk peningkatan kapasitas sumber daya manusia di daerah sebagai salah faktor kunci keberhasilan penerbitan obligasi daerah. Dari segi regulasi telah diterbitkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 111 PMK.072012 tentang Tata Cara Penerbitan dan Pertanggungjawaban Obligasi Daerah. Untuk menjamin kepentingan Pemerintah Daerah selaku obligor, maupun masyarakat selaku investor, penerbitan obligasi daerah harus mengacu pada beberapa persyaratan antara lain: 1 Mendapatkan persetujuan DPRD dan ditetapkan dengan Perda tentang Obligasi Daerah, guna menjamin adanya komitmen Pemerintah Daerah dan DPRD dalam memenuhi kewajiban pembayaran obligasi; 2 Membentuk dana cadangan bagi pelunasan obligasi daerah untuk mengurangi resiko terjadinya gagal bayar default; dan 3 Mendapat opini Wajar Tanpa Pengecualian WTP atau Wajar Dengan Pengecualian WDP atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah LKPD.

5.2.4.2 Kebijakan Hibah ke Daerah

S ejak efektif dilaksanakan dalam tahun 2009, hibah ke daerah telah menjadi alternatif pendanaan pembangunan infrastruktur bagi pemerintah daerah. Perkembangan kebijakan hibah ke daerah ini sejalan dengan amanat Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 dan Undang- Undang Nomor 33 Tahun 2004, selain berkewajiban mengalokasikan dana perimbangan, Pemerintah dapat memberikan pinjaman danatau hibah kepada Pemerintah Daerah sebagai salah satu sumber pendanaan pembangunan di daerah. Hibah ke Daerah adalah pemberian dengan pengalihan hak atas sesuatu dari Pemerintah atau pihak lain kepada Pemerintah Daerah atau sebaliknya yang secara spesiik telah ditetapkan peruntukannya dan dilakukan melalui perjanjian. Pemberian hibah kepada pemerintah daerah baik yang bersumber dari penerimaan dalam negeri, penerusan pinjaman luar negeri, dan hibah luar negeri dilakukan untuk untuk mendanai penyelenggaraan urusan yang menjadi kewenangan pemerintah daerah serta diprioritaskan untuk penyelenggaraan pelayanan publik. Kerangka hubungan fungsi pelaksanaan hibah ke daerah dapat dilihat pada Gambar 5.1. Bab 5 Kebijakan Desentralisasi Fiskal Nota Keuangan dan RAPBN 2014 5-12 Penyaluran hibah kepada pemerintah daerah diberikan berdasarkan capaian kinerja performance-based, yakni dana hibah akan disalurkan kepada pemerintah daerah dengan mempertimbangkan faktor kualitas output yang dihasilkan berdasarkan veriikasi yang dilakukan kementerian teknis terkait. Alokasi hibah ke daerah sampai saat ini masih bersumber dari penerusan pinjaman luar negeri dan hibah luar negeri. Dalam periode 2010-2013, hibah ke daerah digunakan untuk mendanai kegiatan yang bersifat multi-year pada beberapa sektor pelayanan publik yang strategis, yaitu air minum, transportasi, irigasi, pertanian, sanitasi, dan pendidikan dasar. Pada tahun anggaran 2011, realisasi penyaluran hibah ke daerah mencapai Rp280,1 miliar. Kegiatan hibah ke daerah pada tahun 2011 merupakan lanjutan dari kegiatan yang telah dilaksanakan di tahun anggaran sebelumnya, yaitu kegiatan Local Basic Education Capacity L-BEC, Mass Rapid Transit MRT Jakarta, Hibah Air Minum, Hibah Air Limbah dan WASAP-D. Selain itu, terdapat penambahan kegiatan yaitu Infrastructure Enhancement Grants IEG yang bersumber dari Pemerintah Australia dan diarahkan untuk sektor sanitasi. Dana sebesar Rp280,1 miliar di atas telah menghasilkan 426 kegiatan peningkatan kapasitas di bidang pendidikan dasar L-BEC, sarana persampahan dan air limbah di 21 kabupaten kota IEG Sanitasi, Tender Assistance Services – 1 MRT, dan kegiatan pembangunan isik sanitasi berbasis masyarakat dan berbasis institusi WASAP-D. Sedangkan untuk Hibah Air Minum dan Hibah Air Limbah berakhir di tahun 2011 dengan realisasi output berupa 77.000 Sambungan Rumah SR Air Minum dan 4.826 SR Air Limbah. Alokasi hibah ke daerah pada tahun 2012 memperoleh tambahan 2 dua kegiatan baru yaitu IEG Transportasi dan Water Resources and Irrigation Sector Management Project II WISMP-2. Sampai dengan tahun 2012, kegiatan-kegiatan yang masih berlanjut adalah L-BEC, MRT Jakarta, dan WASAP-D. Kelima kegiatan tersebut memperoleh alokasi sebesar Rp1.790,9 miliar dengan total realisasi sebesar Rp75,85 miliar. Realisasi yang rendah ini disebabkan penyerapan yang rendah untuk kegiatan MRT Jakarta dan WISMP-2. Realisasi tersebut telah menghasilkan sarana dan prasarana pengelolaan limbah dan sanitasi berbasis masyarakat dan berbasis institusi dari 6 daerah WASAP-D, 53 halte pendukung sarana angkutan umum masal Bab 5 5-13 Kebijakan Desentralisasi Fiskal Nota Keuangan dan RAPBN 2014 di 2 kota IEG-Transportasi, penyusunan desain irigasi, isik irigasi dan pelatihan kelompok tani WISMP-2, Consulting Management Services dan Tender Assistance Services-2 MRT serta terselenggaranya kegiatan peningkatan kapasitas di bidang pendidikan di 50 kabupaten kota L-BEC. Untuk tahun anggaran 2013, alokasi hibah ke daerah mencapai Rp2,35 triliun yang dipergunakan untuk enam kegiatan yaitu MRT Jakarta, WISMP-2 yang merupakan kegiatan lanjutan dari tahun 2012, sedangkan kegiatan baru adalah Development of SeulawahAgam Geothermal, Hibah Air Minum Phase 2, Hibah Air Limbah Phase 2, dan Australia-Indonesia Infrastructure Grants for Sanitation SAIIG. Kegiatan Development of Seulawah Agam Geothermal merupakan kegiatan eksplorasi panas bumi yang bersumber dari hibah Pemerintah Jerman melalui KfW, sedangkan hibah Air Minum dan Air Limbah Phase 2 serta SAIIG merupakan bantuan hibah dari Pemerintah Australia. Alokasi hibah ke daerah tahun 2011-2013 dapat dilihat pada Tabel 5.2.

5.2.4.3 Kebijakan Investasi Daerah

Investasi daerah adalah penempatan sejumlah dana danatau barang dalam jangka panjang 12 bulan atau lebih oleh Pemda untuk memperoleh manfaat ekonomi, manfaat sosial, dan atau manfaat lainnya PP Nomor 1 Tahun 2008 tentang Investasi Pemerintah sehingga dapat meningkatkan kemampuan Pemda dalam rangka memberikan pelayanan kepada masyarakat. Penempatan dana danatau barang tersebut dalam bentuk penyertaan modal Pemda dan pemberian pinjaman daerah pada sisi pengeluaran pembiayaan dalam APBD below the line. Penyertaan modal Pemda dimaksud dapat dilaksanakan apabila jumlah yang akan disertakan dalam tahun anggaran yang bersangkutan telah ditetapkan dalam Perda tentang penyertaan modal tersebut. Penyertaan modal dan pemberian pinjaman dapat dilakukan Pemda dengan BUMN, BUMD, danatau badan usaha swasta dalam bentuk Kerja sama Pemerintah dan Swasta KPS atau non-KPS. Khusus untuk KPS, dananya dapat digunakan untuk pengelolaan aset daerah dan penyediaan infrastruktur di daerah. Gambaran umum investasi daerah dan realisasi penyertaan modal Pemda dan pemberian pinjaman daerah tahun 2008 – 2013 diilustrasikan pada Graik 5.7. 1 L-BEC 45,9 42,0 - 2 HibahAir Limbah 16,0 - 15,2 3 HibahAir Minum 161,7 - 303,7 4 Wasap-D 6,3 9,6 - 5 IEG Sanitasi 43,4 - - 6 MRT 6,8 3,5 1.820,5 7 IEG Transportasi - 5,4 - 8 WISMP-2 - 14,6 166,9 9 Development of Seulawah Agam Geothermal - - 17 ,7 10 SAIIG - - 22,5 280,1 7 5,1 2.346,5 Sumber: Kementerian Keuangan T otal TABEL 5.2 HIBAH KE DAERAH, TAHUN 2011-2013 miliar rupiah 2011 2012 APBNP 2013 No Kegiatan 3.664,3 4.066,4 3.266,8 3.300,6 6.383,8 8.001,6 323,2 820,7 666,0 640,5 460,8 259,0 - 1.000,0 2.000,0 3.000,0 4.000,0 5.000,0 6.000,0 7.000,0 8.000,0 9.000,0 R-2008 R-2009 R-2010 R-2011 A-2012 A-2013 m il ia r ru p ia h GRAFIK 5. 7 GAMBARAN UMUM INVESTASI DAERAH TAHUN2008-2013 miliar rupiah Penyertaan Modal Pemerintah Daerah PMPD Pemberian Pinjaman Sumber:SIKD, Kementerian Keuangan, data diolah Bab 5 Kebijakan Desentralisasi Fiskal Nota Keuangan dan RAPBN 2014 5-14

5.3 Permasalahan dan Tantangan Pelaksanaan Desentralisasi Fiskal

5.3.1 Pelaksanaan APBD

APBD mempunyai peranan yang sangat penting bagi pembangunan daerah, karena APBD merupakan implementasi dari kebijakan iskal dan sekaligus operasionalisasi pelaksanaan program-program pemerintah daerah. Dari sisi kebijakan iskal, APBD berperan sebagai salah satu instrumen untuk memfasilitasi pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Dari sisi operasionalisasi pelaksanaan program-program pemerintah, alokasi belanja APBD dapat diarahkan untuk penyediaan sarana dan prasarana pelayanan publik, penyediaan barang dan jasa, dan penyediaan lapangan kerja bagi masyarakat. Mengingat pentingnya peranan APBD tersebut, maka potensi yang menjadi sumber-sumber pendapatan daerah harus dapat dikelola secara optimal oleh daerah, sedangkan bidangfungsi yang menjadi prioritas pendanaan dari belanja daerah harus didasarkan pada kebutuhan riil yang menjadi kewenangan Pemda. Salah satu sumber pendapatan daerah adalah pajak daerah dan retribusi daerah. Pendapatan jenis pajak tersebut sangat dipengaruhi oleh tingkat perkembangan ekonomi daerah. Fenomena empiris menunjukkan bahwa makin berkembang perekonomian daerah, maka makin besar potensi pajak yang dapat digali dari masyarakat. Dengan demikian, untuk mengukur tingkat efektivitas penerimaan pajak terhadap potensi pajak yang ada dapat digunakan rasio total penerimaan pajak terhadap PDRB tax ratio dan rasio total penerimaan pajak terhadap jumlah penduduk tax per capita. Pada tahun 2013, tax ratio pajak daerah diperkirakan mencapai 1,2 persen, atau meningkat dibandingkan tahun 2012 sebesar 1,1 persen, sedangkan tax per kapita mencapai Rp410.475kapita, atau naik dibandingkan tahun 2012 sebesar Rp333.407kapita. Walaupun angkanya cenderung meningkat, tetapi tax ratio dan tax percapita tersebut masih relatif rendah jika dibandingkan dengan skala perekonomian daerah PDRB dan jumlah penduduk. Hal ini mengindikasi bahwa daerah masih mempunyai potensi yang cukup besar untuk menggali pajak daerah sebagai sumber pendapatan daerah. Guna memberikan keleluasan untuk mengoptimalkan potensi sumber-sumber penerimaan dari pajak daerah, berdasarkan UU Nomor 28 Tahun 2009, daerah telah diberikan diskresi yang lebih luas untuk memungut dan mengelola pajak daerah dan retribusi daerah. Dalam periode 6 tahun terakhir, rasio PAD terhadap total pendapatan cenderung meningkat, sedangkan rasio dana Transfer ke Daerah terhadap total pendapatan cenderung menurun. Tahun 2008, rasio PAD terhadap total pendapatan adalah 17,7 persen naik menjadi 20,6 persen tahun 2013. Sebaliknya, dalam periode yang sama, rasio dana Transfer ke Daerah terhadap total pendapatan turun dari 79,7 persen tahun 2008 menjadi 73,8 persen tahun 2013 meskipun pada tahun 2011 sempat meningkat menjadi 79,0 persen. Perkembangan rasio PAD terhadap total pendapatan dan rasio dana Transfer ke Daerah terhadap total pendapatan dapat dilihat pada Graik 5.8. Selain diberikan kewenangan untuk mengelola sumber-sumber pendapatan Pemerintah Daerah, juga diberikan kewenangan untuk menggunakan sumber-sumber pendapatan tersebut guna mendanai pelaksanaan urusan pemerintahan sesuai dengan kebutuhan, prioritas, dan karateristik daerah. Pendanaan terhadap urusan pemerintahan tersebut terutama dituangkan dalam bentuk belanja barangjasa, belanja belanja modal, dan belanja pegawai. Alokasi belanja modal terkait dengan kebutuhan penyediaan pelayanan publik, alokasi belanja pegawai terkait dengan kebutuhan untuk pelaksanaan roda pemerintahan, sedangkan alokasi belanja barang dan jasa terkait dengan kebutuhan penyediaan pelayanan publik dan roda pemerintahan. Bab 5 5-15 Kebijakan Desentralisasi Fiskal Nota Keuangan dan RAPBN 2014 Berdasarkan data APBD tahun 2008 sampai dengan 2013, komposisi belanja pegawai, belanja barang dan jasa, serta belanja modal cenderung mengalami perubahan. Secara nominal alokasi belanja barang dan jasa dalam APBD provinsi rata-rata meningkat 21,9 persen per tahun, atau lebih tinggi dibandingkan dengan kenaikan belanja modal dan belanja pegawai yang masing- masing meningkat 18,6 persen dan 11,7 persen per tahun. Sedangkan alokasi belanja lainnya, yang terdiri atas belanja bunga, subsidi, hibah, bantuan sosial, bagi hasil, bantuan keuangan, dan belanja tak terduga, juga meningkat relatif tinggi yakni 23,9 persen per tahun. Perkembangan alokasi belanja APBD provinsi disajikan pada Tabel 5.3. Untuk kabupatenkota, alokasi belanja pegawai dalam APBD tahun 2008 s.d. 2013 meningkat paling tinggi yakni rata-rata 15,8 persen per tahun, sedangkan belanja barang dan jasa meningkat rata-rata 15,8 persen per tahun. Sementara itu, alokasi belanja modal dan belanja lainnya masing-masing naik rata-rata 12,1 persen 8,0 persen per tahun. Perkembangan alokasi per jenis belanja APBD KabupatenKota dapat dilihat pada Tabel 5.4. 17,7 17,8 18,9 19,6 19,5 20,6 79,7 79,6 78,5 79,1 74,8 73,8 0,0 10,0 20,0 30,0 40,0 50,0 60,0 70,0 80,0 90,0 2008 2009 2010 2011 2012 2013 p e r s e n GRAFIK 5.8 RASIO KETERGANTUNGAN FISKAL NASIONAL TAHUN 2008 – 2013 PADPendptn TransferPendptn Linear PADPendptn Linear TransferPendptn Keterangan : Tahun 2008 – 2011 angka realisasi dan tahun 2012-2013 angka anggaran Sumber : Kementerian Keuangan data diolah Jen i s Bel a n ja 2008 2009 2010 2011 2012 2013 Per t u m bu h a n r a t a -r a t a Peg a w a i 2 2 .4 3 6 ,8 2 4 .5 2 5 ,3 2 7 .06 0,2 3 0.4 1 1 ,3 3 5 .5 2 2 ,4 3 9 .01 9 ,0 1 1 ,7 Ba r a n g da n Ja sa 1 8 .9 4 6 ,5 2 3 .3 8 1 ,3 2 6 .4 9 6 ,7 3 3 .6 03 ,8 4 2 .01 5 ,8 5 0.8 7 6 ,2 2 1 ,9 Moda l 1 8 .8 9 7 ,9 2 4 .1 4 5 ,2 2 4 .9 5 3 ,0 2 6 .2 6 3 ,7 3 1 .8 1 5 ,3 4 3 .1 2 4 ,5 1 8 ,6 La in n y a 2 8 .8 08 ,5 2 9 .6 4 8 ,3 3 2 .3 6 2 ,6 4 2 .01 1 ,3 6 4 .6 6 2 ,9 7 9 .8 9 9 ,2 2 3 ,9 T ot a l 89.089,6 101.700,2 110.872,5 132.290,2 174.016,4 212.918,9 19,3 Sumber : Kementerian Keuangan data diolah TABEL 5.3 APBD PROVINSI PER JENIS BELANJA, TAHUN 2008 – 2013 miliar rupiah Keterangan : Tahun 2008 – 201 1 angka realisasi dan tahun 201 2-201 3 angka anggaran.