dan Tabel 6.21 DEFISIT, PEMBIAYAAN ANGGARAN,

Bab 6 Deisit, Pembiayaan Anggaran, dan Risiko Fiskal Nota Keuangan dan RAPBN 2014 6-40 Sementara itu, Pemda yang akan menerima penerusan pinjaman dalam RAPBN 2014 yaitu Pemprov DKI Jakarta, Pemkot Bogor, dan Pemkab Muara Enim. Alokasi kepada Pemprov DKI Jakarta rencananya akan digunakan untuk membiayai proyek penanggulangan banjir. Sementara alokasi kepada Pemkot Bogor dan Pemkab Muara Enim akan digunakan untuk membiayai pembangunan infrastruktur air bersih. Rincian penerusan pinjaman per pengguna dalam RAPBN 2014 disajikan dalam Tabel 6.21. Untuk mengoptimalkan pengelolaan penerusan pinjaman, kebijakan yang akan ditempuh dalam tahun 2014 meliputi 1 melanjutkan penerusan pinjaman dengan meningkatkan prinsip kehati-hatian dengan mempertimbangkan kemampuan pengembalian; 2 mempertimbangkan ketepatan waktu dan sasaran atas penarikan pinjaman yang telah dialokasikan; 3 komitmen programkegiatan baru yang dapat dibiayai melalui penerusan pinjaman akan mengacu pada kegiatan-kegiatan prioritas yang telah sesuai dengan kebijakan Pemerintah yang diarahkan untuk pembangunan infrastruktur melalui BUMN dan Pemda; serta 4 besaran komitmen akan mengacu pada strategi pengelolaan utang negara tahun 2013-2016 sebagai bagian dari pengelolaan pinjaman luar negeri, karena penerusan pinjaman akan menambah outstanding utang Pemerintah dan berdampak pada pengelolaan risiko dan biaya utang. Selanjutnya untuk mendorong agar realisasi penarikan pinjaman semakin meningkat, diperlukan upaya-upaya antara lain a meningkatkan efektivitas penggunaan readiness criteria melalui kajian dan evaluasi atas penerapannya; b meningkatkan ownership KLPemdaBUMN selaku pelaksana kegiatan, antara lain melalui konsistensi perencanaan dan pelaksanaan kegiatan, pengalokasian dana secara proporsional dan tepat waktu, dan pemenuhan persyaratan kesiapan pelaksanaan kegiatan; c meningkatkan pemahaman seluruh pemangku kepentingan terhadap mekanisme pelaksanaan kegiatan dan struktur transaksi dalam rangka mempercepat implementasi; dan d evaluasi kegiatan slow disbursement, karena kinerja penyerapan yang tidak baik. Dalam rangka memenuhi kewajiban atas penarikan pinjaman luar negeri, Pemerintah mengalokasikan pembayaran cicilan pokok utang luar negeri dalam RAPBN 2014 sebagaimana disajikan dalam Tabel 6.20, alokasi tersebut dihitung berdasarkan proyeksi pembayaran sesuai jadwal pembayaran utang luar negeri selama tahun 2014 dan proyeksi pembayaran cicilan untuk NO. APBNP 2013 RAPBN 2014 1. 5.078,9 3.845,2 2. 936,2 195,0 3. 543,4 1.032,0 4. - 22,4 5. - 155,4 6. 36,9 12,5 7. 61,9 30,0 8. 8,9 - 9. 12,0 - 10. 6,0 - 11. 15,7 - 6.699,8 5.292,6 Sumber : Kementerian Keuangan TABEL 6.21 RINCIAN PENERUSAN PINJAMAN, 2013-2014 miliar rupiah PENGGUNA JUMLAH PT Perusahaan Listrik Negara PT Sarana Multi Infrastruktur PT Penjaminan Infrastruktur Indonesia PT Pertamina Pemerintah Kota Bogor Pemerintah Kabupaten Muara Enim Pemerintah Kabupaten Kapuas Pemerintah Kota Sawahlunto Pemerintah Kota Banda Aceh Pemerintah Kabupaten Morowali Pemerintah Provinsi DKI Jakarta Bab 6 6-41 Deisit, Pembiayaan Anggaran, dan Risiko Fiskal Nota Keuangan dan RAPBN 2014 penarikan pinjaman baru, serta mempertimbangkan perkembangan nilai tukar rupiah terhadap beberapa mata uang asing terutama dolar Amerika Serikat. Pembayaran cicilan pokok utang luar negeri terbesar ditujukan antara lain kepada Jepang, Asian Development Bank ADB, World Bank, dan Jerman. C. Pinjaman Dalam Negeri Neto Disamping pinjaman luar negeri, Pemerintah juga merencanakan untuk menggunakan pinjaman dalam negeri guna memenuhi pembiayaan dengan memanfaatkan sumber dana dari perbankan BUMN. Arah kebijakan pinjaman dalam negeri tetap difokuskan untuk upaya pemberdayaan industri dalam negeri. Dalam RAPBN 2014, pinjaman dalam negeri neto sebagaimana disajikan dalam Tabel 6.20 diprioritaskan untuk membiayai kegiatan Kementerian Pertahanan dan Polri. D. Pembiayaan melalui Pinjaman Siaga Untuk mengantisipasi dampak krisis perekonomian global terhadap kondisi iskal, Pemerintah dengan development partner yang terdiri atas lembaga multilateral World Bank dan ADB dan lembaga bilateral Australia dan Jepang telah menyiapkan fasilitas pinjaman siaga senilai total USD5,0 miliar untuk tahun 2012 hingga 2014. Fasilitas ini bersifat antisipatif dan merupakan fasilitas sebagaimana layaknya asuransi yang dimaksudkan untuk memberikan back-up pembiayaan bagi Pemerintah, khususnya dalam hal Pemerintah mengalami kesulitan mengakses sumber pembiayaan dalam negeri terutama melalui penerbitan SBN. Sampai dengan pertengahan tahun 2013, Pemerintah masih belum menggunakan fasilitas ini mengingat seluruh kebutuhan pembiayaan deisit masih bisa terpenuhi. Dari total komitmen USD5,0 miliar tersebut, USD0,5 miliar dari ADB akan berakhir pada Desember 2013. Komitmen pinjaman siaga yang masih dimungkinkan untuk digunakan pada tahun 2014 disajikan pada Tabel 6.22. 6.4 Risiko Fiskal Risiko iskal dideinisikan sebagai segala sesuatu yang di masa mendatang dapat menimbulkan tekanan iskal terhadap APBN. Pengungkapan risiko iskal sangat perlu untuk empat tujuan strategis, yaitu: 1 meningkatkan kesadaran seluruh pemangku kepentingan stakeholder dalam pengelolaan kebijakan iskal; 2 meningkatkan keterbukaan iskal iscal transparency; 3 meningkatkan tanggung jawab fiskal fiscal accountability; serta 4 menciptakan kesinambungan iskal iscal sustainability. Pengungkapan risiko iskal dalam Nota Keuangan telah dimulai sejak tahun 2008 dan terus berlanjut hingga tahun-tahun berikutnya. Pada tahun 2014, risiko iskal dikelompokkan dalam empat kategori yaitu: 1 risiko asumsi dasar ekonomi makro; 2 risiko utang Pemerintah miliar USD miliar Rp 1. 2,0 19.500,0 2. 1,0 9.750,0 3. 1,5 14.625,0 4,5 43.875,0 Keter a n g a n : A su m si Ku r s Rp9 .7 5 0,0USD. Su m ber : Kem en ter ia n Keu a n g a n World Bank Pemerintah Australia Pemerintah Jepang JBIC JUMLAH TABEL 6.22 KOMITMEN PINJAMAN SIAGA No. Kreditur Komitmen Bab 6 Deisit, Pembiayaan Anggaran, dan Risiko Fiskal Nota Keuangan dan RAPBN 2014 6-42 Pusat; 3 kewajiban kontinjensi Pemerintah Pusat; dan 4 risiko pengeluaran Negara yang dimandatkan atau diwajibkan mandatory spending. 6.4.1 Risiko Asumsi Dasar Ekonomi Makro Dinamika ekonomi baik domestik maupun eksternal berdampak pada APBN melalui indikator- indikator ekonomi makro yang digunakan sebagai asumsi utama di dalam penyusunan APBN. Indikator-indikator ekonomi makro yang digunakan sebagai dasar penyusunan APBN adalah pertumbuhan ekonomi, tingkat inlasi, suku bunga Surat Perbendaharaan Negara SPN 3 bulan, nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat, harga minyak mentah Indonesia Indonesian Crude Oil PriceICP, lifting minyak dan lifting gas. Indikator-indikator tersebut merupakan asumsi dasar yang menjadi acuan penghitungan besaran pendapatan negara, belanja negara, dan pembiayaan anggaran dalam APBN. Apabila realisasi variabel-variabel tersebut berbeda dengan asumsinya, maka besaran pendapatan, belanja, dan pembiayaan dalam APBN juga akan berubah. Pengaruh dinamika ekonomi makro terhadap APBN dapat digambarkan dalam suatu analisis sensitivitas. Dalam analisis ini, perubahan ekonomi makro akan mempengaruhi perubahan APBN secara langsung, yaitu pada pos pendapatan negara, belanja negara, dan pembiayaan anggaran yang pada akhirnya bermuara pada perubahan deisit APBN. 6.4.1.1 Sensitivitas Defisit RAPBN 2014 terhadap Perubahan Asumsi Dasar Ekonomi Makro Apabila realisasi variabel-variabel indikator ekonomi makro sebagaimana yang diuraikan sebelumnya berbeda dengan asumsinya, maka besaran pendapatan negara, belanja negara, dan pembiayaan anggaran dalam APBN juga akan berubah. Oleh karena itu, variasi ketidakpastian dari indikator ekonomi makro merupakan faktor risiko yang akan mempengaruhi APBN. Tabel 6.23 menunjukkan perkembangan selisih antara besaran asumsi dasar ekonomi makro yang digunakan dalam penyusunan APBN dan realisasinya untuk tahun 2008-2013, yang mengakibatkan terjadinya perbedaan antara target deisit dengan realisasinya. Apabila realisasi 2008 2009 2010 2011 2012 2013 Pertumbuhan ekonomi -0,4 0,3 0,4 0,0 -0,3 -0,5 Inflasi 4,6 -1,7 1,7 -1,9 -2,5 2,3 Suku bunga SBI 3 bulan 1,8 0,1 0,1 -0,8 -1,8 0,0 Nilai tukar RpUSD 591,0 -92,0 -113,0 79,0 384,0 300,0 ICP USDbarel 2,00 0,60 -0,60 16,50 7,70 8,00 Lifting minyak juta barel per hari -0,1 0,0 0,0 -0,1 -70,0 -60,0 Lifting gas juta barel per hari - - - - - -120,0 Keterangan: Sejak APBN 2013 lifting gas menjadi salah satu asumsi dasar ekonomi makro Sumber: Kementerian Keuangan. Angka positif menunjukkan realisasi lebih tinggi daripada asumsinya. Untuk nilai tukar, angka positif menunjukkan depresiasi. Merupakan selisih antara APBNP dengan APBN 2013. Sejak APBNP 2011 menggunakan tingkat suku bunga Surat Perbendaharaan Negara SPN T ABEL 6.23 PERKEMBANGAN SELISIH ANT ARA ASUMSI DASAR EKONOMI MAKRO DAN REALISASINY A, 2008-2013 Uraian Bab 6 6-43 Deisit, Pembiayaan Anggaran, dan Risiko Fiskal Nota Keuangan dan RAPBN 2014 deisit melebihi target deisit yang ditetapkan dalam APBN maka hal tersebut merupakan risiko iskal yang harus dicarikan sumber pembiayaannya. Risiko iskal akibat variasi asumsi dasar ekonomi makro dapat digambarkan dalam bentuk analisis sensitivitas parsial dan simultan terhadap angka baseline deisit dalam APBN. Analisis sensitivitas parsial dan simultan digunakan untuk melihat dampak perubahan atas satu variabel asumsi ekonomi makro, dengan mengasumsikan variabel asumsi ekonomi makro yang lain tidak berubah ceteris paribus. Pertumbuhan ekonomi mempengaruhi besaran APBN, baik pada sisi pendapatan negara maupun belanja negara. Pada sisi pendapatan negara, pertumbuhan ekonomi antara lain mempengaruhi penerimaan pajak, terutama PPh dan PPN. Pada sisi belanja negara, pertumbuhan ekonomi antara lain mempengaruhi besaran nilai dana perimbangan dalam anggaran transfer ke daerah sebagai akibat perubahan pada penerimaan pajak. Depresiasi nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat memiliki dampak pada semua sisi APBN, baik pendapatan negara, belanja negara, maupun pembiayaan anggaran. Pada sisi pendapatan negara, depresiasi nilai tukar rupiah antara lain akan mempengaruhi penerimaan minyak dan gas bumi migas, PPh migas, dan PPN. Pada sisi belanja negara, yang akan terpengaruh antara lain 1 belanja dalam mata uang asing; 2 pembayaran bunga utang luar negeri; 3 subsidi BBM dan listrik; dan 4 transfer ke daerah dalam bentuk dana bagi hasil migas. Sedangkan pada sisi pembiayaan, yang akan terkena dampaknya antara lain 1 pinjaman luar negeri baik pinjaman program maupun pinjaman proyek; 2 pembayaran cicilan pokok utang luar negeri; dan 3 privatisasi dan penjualan aset program restrukturisasi perbankan yang dilakukan dalam mata uang asing. Sejak APBNP 2011, tingkat suku bunga yang digunakan sebagai asumsi penyusunan APBN adalah tingkat suku bunga SPN 3 bulan. Perubahan tingkat suku bunga SPN 3 bulan diperkirakan hanya akan berdampak pada sisi belanja negara. Dalam hal ini, peningkatan tingkat suku bunga SPN 3 bulan akan berakibat pada peningkatan pembayaran bunga utang domestik. Harga minyak mentah Indonesia ICP mempengaruhi APBN pada sisi pendapatan negara dan belanja negara. Pada sisi pendapatan negara, kenaikan ICP antara lain akan mengakibatkan kenaikan pendapatan dari kontrak production sharing KPS minyak dan gas dalam bentuk PNBP. Peningkatan harga minyak dunia juga akan meningkatkan pendapatan dari penerimaan PPh migas dan penerimaan migas lainnya. Pada sisi belanja negara, peningkatan ICP antara lain akan meningkatkan belanja subsidi BBM dan dana bagi hasil ke daerah. Lifting minyak juga akan mempengaruhi APBN pada sisi pendapatan negara dan belanja negara. Pada sisi pendapatan, penurunan lifting minyak akan menurunkan PPh migas dan PNBP migas. Sementara pada sisi belanja negara penurunan lifting minyak akan menurunkan dana bagi hasil ke daerah. Lifting gas domestik juga akan mempengaruhi APBN pada sisi pendapatan dan belanja negara. Pada sisi pendapatan, penurunan lifting gas domestik akan menurunkan PPh migas dan PNBP migas. Sementara pada sisi belanja negara penurunan lifting gas domestik akan menurunkan dana bagi hasil ke daerah. Dari analisis sensitivitas di atas, maka besaran risiko iskal berupa tambahan deisit yang berpotensi muncul dari variasi asumsi dasar ekonomi makro yang digunakan untuk menyusun RAPBN 2014 disajikan dalam Tabel 6.24. Bab 6 Deisit, Pembiayaan Anggaran, dan Risiko Fiskal Nota Keuangan dan RAPBN 2014 6-44 Berdasarkan Tabel 6.24, pertumbuhan ekonomi yang digunakan dalam model perhitungan sensitivitas deisit RAPBN 2014 adalah pertumbuhan ekonomi GDP nominal yang tersusun dari peningkatan produksi agregat dan peningkatan harga inlasi. Untuk menghindari perhitungan ganda double counting, maka pengaruh perubahan tingkat inlasi terhadap deisit APBN cukup ditransmisikan melalui pertumbuhan ekonomi. Dengan demikian, dampak dari perubahan tingkat inlasi terhadap pos-pos APBN baik pada sisi pendapatan maupun belanja negara telah tercermin pada pertumbuhan ekonomi. 6.4.1.2 Sensitivitas Risiko Fiskal BUMN terhadap Perubahan Variabel Asumsi Dasar Ekonomi Makro Risiko iskal yang bersumber dari BUMN diukur dari beberapa indikator utama, yaitu: 1 posisi transaksi iskal dengan BUMN; 2 nilai utang bersih BUMN; dan 3 kebutuhan pembiayaan bruto BUMN. Ketiga indikator tersebut ditetapkan berdasarkan hubungan transaksi-transaksi yang dilakukan antara Pemerintah dan seluruh BUMN. Posisi transaksi iskal dengan BUMN, merupakan selisih antara penerimaan negara dari seluruh BUMN seperti pendapatan pajak, dividen, privatisasi, dan bunga yang dibayarkan atas hutang dari pemerintah dibandingkan dengan pengeluaran negara kepada BUMN seperti kompensasi 207,1 142,4 201,3 255,6 202,3 274,7 1,5 1,5 6,0 7,5 8,9 6,4 - - 7,5 - - - 50 100 150 200 250 300 2008 2009 2010 2011 2012 2013 APBNP GRAFIK 6.22 PERKEMBANGAN PSO MELALUI BUMN, 2008-2013 triliun rupiah PSOSubsidi PMN Pinjaman Sumber: Kementerian Negara BUMN data diolah Asumsi Potensi Tambahan Defisit triliun Rp 1 Pertumbuhan ekonomi -1 6,4 2,95 s. d. 4,79 2 Tingkat inflasi 0,1 4,5 Tidak langsung 3 Nilai tukar rupiah RpUSD 100 9.750 0,95 s.d. 1,23 4 Suku bunga SPN 3 bulan 0,25 5,5 0,29 s.d. 0,52 5 Harga minyak USbarel 1 106 0,23 s.d. 0,53 6 Lifting minyak ribu barelhari -10 870 1,68 s.d. 1,94 7 Lifting gas MBOEPD -10 1.240 0,99 s.d. 1,34 Sumber: Kementerian Keuangan. TABEL 6.24 SENSITIVITAS DEFISIT RAPBN 2014 TERHADAP PERUBAHAN ASUMSI DASAR EKONOMI MAKRO No. Uraian Satuan Perubahan Asumsi 2014 96,4 136,3 115,6 114,80 147,9 29,1 26,1 30,1 28,2 30,8 25,5 0,1 - 2,1 0,4 0,1 - 125,6 144,2 128,4 20 40 60 80 100 120 140 160 2008 2009 2010 2011 2012 2013 GRAFIK 6. 21 PERKEMBANGAN PENERIMAAN DARI BUMN, 2008 - 2012 triliun rupiah Pajak Dividen Privatisasi Total penerimaan dari BUMN Sumber: Kementerian Negara BUMN data diolah Sumber: Kementerian Negara BUMN data diolah Sumber: Kementerian Negara BUMN data diolah Sumber: Kementerian Negara BUMN data diolah Sumber: Kementerian Negara BUMN data diolah 212,8 183,4 180,6 162,4 Bab 6 6-45 Deisit, Pembiayaan Anggaran, dan Risiko Fiskal Nota Keuangan dan RAPBN 2014 PSOsubsidi kepada BUMN, penyertaan modal negara, dan pinjaman kepada BUMN. Perkembangan posisi transaksi iskal dengan BUMN selama periode 2008-2013 disajikan dalam Graik 6.21 dan Graik 6.22. Nilai utang bersih BUMN, m e n u n j u k k a n k e m a m p u a n likuiditas BUMN untuk membayar seluruh kewajiban yang jatuh tempo, yang merupakan selisih antara total kewajiban BUMN dengan ketersediaan kas dan aset lancar. Indikator ini tidak berpengaruh langsung ke APBN, tetapi dapat menjadi kewajiban kontinjensi Pemerintah apabila terdapat BUMN yang gagal bayar dalam memenuhi kewajibannya. Realisasi kewajiban kontinjensi dapat berupa penambahan PMN kepada BUMN atau Pemerintah menanggung kewajiban BUMN tersebut jika sebelumnya Pemerintah memberikan penjaminan. Perkembangan nilai utang bersih BUMN tahun 2008-2013 disajikan Graik 6.23. Kebutuhan pembiayaan bruto BUMN, merupakan kebutuhan pendanaan untuk mendanai aset. Apabila sumber-sumber pendanaan internal BUMN tidak mencukupi, maka BUMN dapat melakukan pinjaman, menerbitkan surat utang, atau menerbitkan saham baru. Secara umum hal ini juga tidak berpengaruh langsung kepada APBN, kecuali perusahaan m e m b u t u h k a n d u k u n g a n pemerintah seperti penambahan PMN maupun penjaminan pinjaman PLN untuk proyek 10.000 MW Tahap I. Perkembangan belanja modal capital expenditure dan perubahanutang jangka panjang BUMN tahun 2008- 2013 disajikan Graik 6.24. Macro stress test BUMN Perubahan besaran risiko iskal dari BUMN dipengaruhi oleh pergerakan variabel utama asumsi dasar ekonomi makro seperti pertumbuhan ekonomi, nilai tukar, dan harga minyak. Untuk mengetahui sampai seberapa besar dampak iskal yang muncul akibat dari perubahan variabel tersebut, Pemerintah melakukan pengujian menggunakan model macro stress test 1.029,3 723,3 1.479,4 1.618,5 1.655,6 691,9 1.203,3 1.146,2 1.136,3 1.020,7 1.111,8 1.146,4 - 174,0 - 422,9 343,1 597,8 543,7 -454,5 -500 500 1.000 1.500 2.000 2008 2009 2010 2011 2012 2013 GRAFIK 6.23 PERKEMBANGAN NILAI UTANG BERSIH BUMN, 2008 - 2013 triliun rupiah Kewajiban lancar Aktiva lancar Nilai utang bersih Sumber: Kementerian Keuangan dan Kementerian Negara BUMN data diolah 2013 menggunakan angka RKAP 104,26 107,45 171,24 111,63 217,38 190,68 68,68 294,73 257,66 218,18 331,96 330,96 -300 -200 -100 100 200 300 400 2008 2009 2010 2011 2012 2013 GRAFIK 6.24 PERKEMBANGAN CAPITAL EXPENDITURE DAN SELISIH UTANG JANGKA PANJANG BUMN, 2008-2013 triliun rupiah Capital expenditure Perubahan utang jangka panjang BUMN Sumber: Kementerian Keuangan dan Kementerian Negara BUMN data diolah 2013 menggunakan angka RKAP Bab 6 Deisit, Pembiayaan Anggaran, dan Risiko Fiskal Nota Keuangan dan RAPBN 2014 6-46 terhadap tiga indikator risiko iskal BUMN yaitu 1 posisi transaksi iskal dengan BUMN; 2 nilai utang bersih BUMN; dan 3 kebutuhan pembiayaan bruto BUMN. Pengujian tersebut bertujuan untuk memberikan informasi mengenai besaran magnitude risiko iskal atas transaksi Pemerintah dengan BUMN dan gambaran risiko sektoral sehingga dapat diambil tindakan dini dan antisipasi terhadap gejala tersebut. Saat ini, pengujian macro stress test dilakukan dengan menggunakan sampel 22 BUMN, dengan kriteria: 1 BUMN yang berkontribusi terhadap penerimaan iskal terbesar, 2 BUMN yang berkontribusi terhadap pengeluaran iskal terbesar, dan 3 BUMN yang mewakili sektor dalam perekonomian Indonesia. Perubahan atas 22 BUMN ini diharapkan dapat mencerminkan perubahan total BUMN yang berjumlah 142 BUMN. Dengan demikian hasilnya diharapkan dapat mewakili eksposur risiko iskal yang berasal dari BUMN. Model macro stress test risiko fiskal BUMN menyajikan dua hasil utama yaitu analisis skenario dan stress test. Analisis skenario menggambarkan tingkat ketidakpastian indikator risiko iskal masing-masing BUMN maupun agregasinya pada tiga skenario yakni 1 baseline, menggambarkan kondisi ekonomi makro sesuai dengan asumsi APBN; 2 optimistis, menggambarkan kondisi ekonomi makro diasumsikan berada pada posisi optimal; dan 3 pesimistis, menunjukkan kondisi ekonomi makro berada pada posisi buruk. Analisis skenario risiko iskal BUMN agregasi 2014-2016 disajikan dalam Tabel 6.25. Sementara itu, macro stress test menyajikan perubahan relatif atas indikator risiko iskal BUMN jika terjadi tekanan faktor risiko. Stress test beberapa variabel utama ekonomi makro terhadap risiko fiskal BUMN agregat dilakukan secara parsial, yaitu melihat dampak atas perubahan satu variabel ekonomi makro terhadap indikator risiko fiskal BUMN, dengan mengasumsikan variabel ekonomi makro lainnya tidak berubah ceteris paribus. Dengan cara ini, akan dapat diketahui variabel ekonomi makro yang mempunyai dampak paling besar dan signifikan terhadap risiko fiskal BUMN pada RAPBN 2014. Depresiasi nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat mempunyai dampak sangat signiikan terhadap pengeluaran APBN melalui BUMN khususnya subsidiPSO. Kerentanan 2014 2015 2016 1. Pajak dibayar Tunai 102.998,8 123.409,2 137.222,1 a. PPH Badan 72.600,4 90.168,3 103.331,4 b. PPN Keluaran 61.362,4 65.838,2 65.207,5 c. PPN Masukan 31.746,3 33.302,9 32.089,5 d. Pajak lainnya 782,3 705,6 772,6 2. Subsidi dibayar Tunai 332.625,0 320.978,0 334.324,9 3. Dividen kepada Pemerintah tunai 26.651,1 32.869,6 39.545,0 4. Bunga yang diterima oleh Pemerintah atas Utang kepada BUMN 539,0 406,5 275,7 5. Posisi Pinjaman Pemerintah 7.409,2 5.739,5 3.258,2 6. Lain-lain 4.164,4 3.997,4 3.572,0 205.680,9 166.034,9 156.968,1 Sumber: Kementerian Keuangan TABEL 6.25 ANALISIS SKENARIO RISIKO FISKAL BUMN AGREGASI POSISI TRANSAKSI FISKAL DENGAN BUMN, 2014-2016 miliar rupiah Arus kas bersih kepada APBN Jumlah Bab 6 6-47 Deisit, Pembiayaan Anggaran, dan Risiko Fiskal Nota Keuangan dan RAPBN 2014 tersebut disebabkan formula perhitungan subsidiPSO memakai mata uang asing dan komposisi biaya operasional serta utang dalam mata uang asing yang sangat besar. Sedangkan, kenaikan harga minyak dunia akan mempengaruhi secara signiikan kenaikan biaya produksi, terutama pada BUMN di bidang energi, transportasi, dan pupuk, serta bertambahnya besaran subsidi dari Pemerintah sehingga kontribusi bersih terhadap APBN semakin negatif. Kenaikan subsidi PSO ini terutama disebabkan oleh bertambahnya subsidi bahan bakar minyak dan listrik yang diberikan melalui PT Pertamina dan PT PLN. Kenaikan tingkat bunga SPN 3 bulan berdampak pada bertambahnya biaya yang ditanggung oleh BUMN sehingga akan mengurangi posisi transaksi iskal dengan BUMN. Sementara itu, penurunan pertumbuhan ekonomi juga berdampak pada penurunan jumlah penjualan yang dapat diraih oleh BUMN, yang selanjutnya akan mengurangi posisi transaksi iskal dengan BUMN. Hasil stress test beberapa variabel utama ekonomi makro terhadap risiko iskal BUMN agregat disajikan dalam Tabel 6.26. Beberapa BUMN yang memiliki risiko terbesar akibat perubahan asumsi dasar ekonomi makro dapat dilihat pada Boks 6.1. Stress test depresiasi rupiah terhadap dolar sebesar 5 persen dari Rp9.750 menjadi Rp10.238 2014 2015 2016 1 Posisi transaksi fiskal dengan BUMN 21.611,86 39.127,33 62.678,08 2 Nilai utang BUMN 21.554,14 25.881,73 27.282,21 3 Kebutuhan pembiayaan bruto 660,81 211,56 146,23 Stress test kenaikan harga minyak sebesar 5 persen dari USD106 menjadi 111 2014 2015 2016 1 Posisi transaksi fiskal dengan BUMN 141.644,99 120.791,11 135.566,25 2 Nilai utang BUMN 578.480,53 530.717,97 696.406,17 3 Kebutuhan pembiayaan bruto 100.480,16 116.027,82 116.903,01 Stress test kenaikan tingkat bunga SPN sebesar 5 persen dari 5,5 persen menjadi 5,78 persen 2014 2015 2016 1 Posisi transaksi fiskal dengan BUMN 141.644,99 120.791,11 135.566,25 2 Nilai utang BUMN 578.480,53 530.717,97 696.406,17 3 Kebutuhan pembiayaan bruto 100.480,16 116.027,82 116.903,01 Stress test pertumbuhan ekonomi turun sebesar 5 persen dari 6,40 menjadi 6,08 2014 2015 2016 1 Posisi transaksi fiskal dengan BUMN 141.644,99 120.791,11 135.566,25 2 Nilai utang BUMN 578.480,53 530.717,97 696.406,17 3 Kebutuhan pembiayaan bruto 100.480,16 116.027,82 116.903,01 Sumber: Kementerian Keuangan No Indikator Risiko Fiskal Dampak No Indikator Risiko Fiskal Dampak TABEL 6.26 STRESS TEST PERUBAHAN NILAI TUKAR, HARGA MINYAK, SUKU BUNGA, DAN PERTUMBUHAN EKONOMI TERHADAP RISIKO FISKAL BUMN, 2014-2016 miliar rupiah No Indikator Risiko Fiskal Dampak No Indikator Risiko Fiskal Dampak Bab 6 Deisit, Pembiayaan Anggaran, dan Risiko Fiskal Nota Keuangan dan RAPBN 2014 6-48 BOKS 6.1 Risiko Fiskal Beberapa BUMN Terbesar Pertamina yang mengemban penugasan Pemerintah untuk menyediakan dan mendistribusikan BBM bersubsidi kepada masyarakat memiliki risiko terbesar dan sangat sensitif terhadap perubahan harga minyak dan nilai tukar, terutama terkait dengan pengadaan BBM dan peningkatan volume permintaan BBM dalam negeri. Uji macro stress test beberapa variabel ekonomi makro terhadap subsidi BBM pada PT Pertamina menunjukkan dampak sebagai berikut. PT PLN Persero mengemban penugasan Pemerintah untuk menyediakan tenaga listrik dengan harga yang terjangkau bagi masyarakat umum. Sehubungan dengan PSO tersebut, PLN menerima subsidi dari Pemerintah sebagai pengganti selisih antara harga jual listrik PSO dengan BPP listrik. Kebijakan Pemerintah dalam menguatkan kondisi keuangan PT PLN Persero untuk mendukung pelaksanaan proyek 10.000 MW antara lain dengan penambahan besaran margin dalam komponen perhitungan subsidi sejak tahun 2009, yaitu sebesar 7 tujuh persen pada tahun 2013. Uji macro stress test beberapa variabel ekonomi makro terhadap subsidi listrik pada PT PLN menunjukkan dampak sebagai berikut. Sejalan dengan upaya penerapan service level agreement antara Pemerintah dan PT PLN Persero, salah satu rencana aksi yang harus dilaksanakan oleh Kementerian Keuangan adalah penerapan skema subsidi dengan pendekatan performance based regulatory PBR yang akan menggantikan skema Cost + Margin. Besaran subsidi melalui skema PBR akan dihitung oleh Tim Lintas Kementerian atau Komite Independen yang beranggotakan instansi terkait maupun profesional di sektor ketenagalistrikan, ekonomi, dan keuangan. PBR akan menurunkan probabilitas risiko default PT PLN Persero menjadi sangat kecil. Dengan pendekatan PBR, seluruh kewajiban pokok dan bunga PT PLN Persero akan masuk ke dalam perhitungan allowed revenue PT PLN Persero. Sedangkan risiko fiskal atas melonjaknya nilai subsidi listrik yang bersumber dari volatilitas variabel makro akan ditekan dengan memperjanjikan tingkat eisiensi non fuel opex PT PLN Persero. PT Askrindo dan Perum Jamkrindo merupakan dua perusahaan yang ditunjuk oleh Pemerintah untuk melakukan penjaminan KUR sejak tahun 2007. Kedua Perusahaan Penjamin KUR PPK memperoleh miliar rupiah Variable Shock 2014 2015 2016 Depresiasi rupiah terhadap USD sebesar 5 persen 10.7 85 11.262 11.960 Harga minyak naik 5 persen 8.861 8.834 9.259 Kenaikan suku bunga 5 persen 6.500 8.091 9.649 Pertumbuhan Ekonomi turun 5 persen 4.518 13.405 23.280 Sumber: Kementerian Keuangan miliar rupiah Variable Shock 2014 2015 2016 Depresiasi rupiah terhadap USD sebesar 5 persen 20.296 20.307 21.027 Harga minyak naik sebesar 5 persen 16.67 9 15.960 16.549 Pertumbuhan Ekonomi turun 5 persen 1.131 1.105 1.149 Sumber: Kementerian Keuangan Bab 6 6-49 Deisit, Pembiayaan Anggaran, dan Risiko Fiskal Nota Keuangan dan RAPBN 2014 6.4.2 Risiko Utang Pemerintah Pusat Secara umum, risiko utang Pemerintah dapat dibagi ke dalam 3 tiga jenis yaitu risiko tingkat bunga interest rate risk, risiko nilai tukar exchange rate risk, dan risiko pembiayaan kembali reinancing risk. Ketiga jenis risiko tersebut digunakan sebagai indikator untuk menentukan optimal atau tidaknya pengelolaan portofolio utang Pemerintah, khususnya dari sisi keuangan inansial. Risiko tingkat bunga interest rate risk adalah potensi tambahan beban anggaran akibat perubahan tingkat bunga di pasar yang berpotensi meningkatkan biaya pemenuhan kewajiban utang Pemerintah. Indikator risiko tingkat bunga terdiri dari rasio variable rate VR dan reixing rate terhadap total utang, serta Average Time to Reix ATR. Risiko nilai tukar exchange rate risk adalah potensi peningkatan beban kewajiban Pemerintah dalam memenuhi kewajiban utang akibat peningkatan nilai tukar valuta asing terhadap mata uang Rupiah. Risiko pembiayaan kembali reinancing riskmerupakan potensi naiknya tingkat biaya utang pada saat melakukan pembiayaan kembali reinancing. Risiko ini bahkan berpotensi tidak dapat melakukan reinancing sama sekali yang berdampak pada meningkatnya beban pemerintah atau mengakibatkan tidak terpenuhinya kebutuhan pembiayaan pemerintah. Selain risiko keuangan tersebut, terdapat pula risiko yang ditimbulkan dari lingkungan internal organisasi yaitu risiko operasional yang terjadi dalam kaitannya dengan pelaksanaan kegiatan pengelolaan utang. Perkembangan yang terjadi pada pencapaian indikator risiko portofolio utang disajikan pada Tabel 6.27. Pada akhir Juni 2013, posisi outstanding utang mengalami peningkatan dibandingkan outstanding pada akhir tahun 2012. Peningkatan ini disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya adanya penambahan utang neto sebesar Rp89,0 triliun, pelemahan nilai tukar Rupiah terhadap mata uang USD dari posisi Rp9.670USD pada akhir tahun 2012 melemah menjadi Rp9.929,0USD pada akhir Juni tahun 2013 dan pelemahan nilai tukar JPY terhadap USD dari posisi JPY86,37USD pada akhir tahun 2012 melemah menjadi JPY100,4USD pada akhir Juni tahun 2013. Hal tersebut berdampak pada kondisi risiko portofolio utang yang semakin baik, yaitu risiko tingkat bunga yang akan terus membaik dengan menurunnya Imbal Jasa Penjaminan IJP dan Penyertaan Modal Negara dari Pemerintah. Risiko terbesar dari kedua PPK ini adalah IJP yang diterima oleh perusahaan penjamin tidak dapat menutupi seluruh klaim dari bank pelaksana sehingga akan menggerus PMN. Hal ini dapat menurunkan kapasitas penjaminan KUR dan mengganggu kesinambungan program KUR. Realisasi kinerja penjaminan KUR sampai dengan Maret 2013 adalah sebagai berikut. Uraian PT Askrindo Perum Jam krindo Jum lah Akumulasi penjaminan KUR Rp. Miliar 24.57 0,93 38.334,45 62.905,38 Akumulasi PMN Rp. Miliar 3.800,00 3.950,00 7 .7 50,00 Gearing Ratio kali 6,47 9,7 0 8,12 Akumulasi jumlah UMKM Unit 3.7 16.312,00 3.137 .156,00 6.853.468,00 Jumlah klaim dibayar Rp. miliar 1.159,60 980,42 2.140,02 Non Performing Guarantee 4,7 2 2,56 3,40 Sumber: Kementerian Keuangan Bab 6 Deisit, Pembiayaan Anggaran, dan Risiko Fiskal Nota Keuangan dan RAPBN 2014 6-50 proyeksi rasio utang variable rate dan reixing rate. Perbaikan tingkat risiko utang juga akan terjadi pada risiko nilai tukar dengan menurunnya rasio utang valas baik terhadap PDB maupun terhadap total utang. 6.4.2.1 Risiko Tingkat Bunga Interest Rate Risk. Rasio variable rate dan reixing rate secara tren terus mengalami penurunan akibat adanya kebijakan dalam menetapkan strategi pembiayaan yang mengutamakan penerbitan SBN dan pengadaan pinjaman luar negeri yang memiliki bunga tetap. Sementara itu, ATR utang Pemerintah hingga Juni 2013 telah menunjukkan kondisi peningkatan dibandingkan tahun sebelumnya, yang menggambarkan risiko pembayaran kembali lebih terkendali, karena rata- rata waktu yang dibutuhkan portofolio dalam menetapkan kembali suku bunganya semakin panjang. Hal ini disebabkan karena Pemerintah menerbitkan SBN yang mayoritas memiliki tenor panjang. 6.4.2.2 Risiko Nilai Tukar Exchange Rate Risk Dalam dekade terakhir ini risiko nilai tukar utang Pemerintah cenderung semakin membaik sejalan dengan kecenderungan menguatnya nilai tukar rupiah. Membaiknya risiko nilai tukar utang ditunjukkan oleh penurunan rasio utang dalam denominasi valas utang Uraian 2009 2010 2011 2012 2013 Outstanding triliun rupiah Surat Berharga Negara 979,5 1.064,4 1.187,7 1.361,1 1.457,1 Pinjaman Luar Negeri 610,3 612,3 615,8 614,1 579,0 Total 1.589,8 1.676,7 1.803,5 1.975,2 2.036,1 Interest Rate Risk Rasio Variable Rate 22,1 20,3 17,7 16,2 15,6 Refixing Rate 28,2 26,1 24,8 22,5 22,2 Average Time to Refix tahun 8,1 8,1 8,2 8,7 9,0 Exchange Rate Risk Rasio utang FX - PDB 13,4 12,1 10,9 10,6 9,3 Rasio utang FX - Total Utang 47,4 46,2 45,0 44,4 43,1 Komposisi Currency Utang 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 IDR 52,6 53,8 55,1 55,6 56,9 USD 21,9 21,7 22,1 24,4 25,5 JPY 17,4 17,7 16,7 14,2 12,0 EURO 5,0 3,9 3,1 2,9 2,8 Lainnya 3,1 2,9 3,1 2,9 2,7 Refinancing Risk porsi dalam Porsi Utang Jatuh Tempo 1 tahun 7,6 7,1 8,2 7,2 7,6 Porsi Utang Jatuh Tempo 3 tahun 20,3 20,8 22,7 21,6 21,3 Porsi Utang Jatuh Tempo 5 tahun 33,2 34,2 34,6 32,4 32,6 Average Time to Maturity ATM tahun Surat Berharga Negara 11,0 10,5 10,4 10,8 11,0 Pinjaman Luar negeri 7,6 7,6 7,3 7,2 7,5 Total 9,7 9,5 9,3 9,7 10,0 Keterangan: Realisasi s.d. semester I 2013 Sumber: Kementerian Keuangan. TABEL 6.27 PERKEMBANGAN INDIKATOR RISIKO PORTOFOLIO UTANG, 2009-2013 Bab 6 6-51 Deisit, Pembiayaan Anggaran, dan Risiko Fiskal Nota Keuangan dan RAPBN 2014 FX terhadap besaran PDB. Dengan semakin rendahnya rasio ini menunjukkan semakin berkurangnya risiko nilai tukar secara relatif terhadap perekonomian. Penurunan rasio tersebut disebabkan nilai tukar rupiah hingga Juni 2013 relatif stabil dan mengalami penguatan dibandingkan tahun sebelumnya. Rasio utang FX terhadap total utang terkoreksi hingga 43,1 persen pada Juni tahun 2013. Hal ini mengalami penurunan yang sangat jauh dibandingkan dengan tahun 2008 yang pada saat itu mengalami krisis finansial global. 6.4.2.3 Risiko Pembiayaan Kembali Reinancing Risk Indikator reinancing risk dapat diukur dari average time to maturity ATM yang merupakan rata-rata jatuh tempo seluruh portofolio utang Pemerintah dan proporsi utang yang jatuh tempo pada 1, 3, dan 5 tahun yang akan datang. Pada Juni 2013, ATM portofolio utang berada pada kisaran 10 tahun. Capaian tersebut mengalami peningkatan dibandingkan beberapa tahun sebelumnya, yang menunjukkan bahwa tenor utang pemerintah semakin panjang. Hal ini disebabkan pembiayaan yang dilakukan pada Juni 2013 sebagian besar dari penerbitan SBN yang memiliki rata-rata tenor 10 tahun ke atas. Indikator lainnya adalah proporsi utang yang jatuh tempo pada 1 dan 3 tahun yang mengalami peningkatan pada Juni 2013. Peningkatan tersebut sebagian besar disebabkan oleh penerbitan SPN tenor 1 tahun dan Sukuk Ritel tenor 3 tahun yang telah dilakukan sampai dengan Juni 2013. Sedangkan proporsi utang yang jatuh tempo pada 5 tahun ke depan mengalami penurunan dibandingkan akhir tahun 2012. Namun demikian, kedepannya dapat dilakukan transaksi pembelian kembali buyback dan penukaran switching terhadap utang yang jatuh tempo kurang dari 3–5 tahun, sehingga risiko reinancing risk tetap berada pada tingkat yang aman. 6.4.3 Kewajiban Kontinjensi Pemerintah Pusat Kewajiban kontinjensi merupakan kewajiban potensial bagi Pemerintah yang timbul akibat adanya peristiwa masa lalu dan keberadaannya menjadi pasti dengan terjadinya atau tidak terjadinya suatu peristiwa, yang tidak sepenuhnya berada dalam kendali Pemerintah. Terealisasinya kewajiban kontinjensi merupakan risiko fiskal bagi Pemerintah karena mengakibatkan terjadinya tambahan pengeluaran. Kewajiban kontinjensi bersumber dari pemberian dukungan danatau jaminan pemerintah atas proyek-proyek infrastruktur, program jaminan sosial nasional, kewajiban Pemerintah untuk menambahkan modal pada lembaga keuangan tertentu, tuntutan hukum kepada Pemerintah oleh pihak ketiga, dan bencana alam.

6.4.3.1 Dukungan danatau Jaminan Pemerintah pada Proyek Pembangunan Infrastruktur

Risiko iskal yang terkait dengan proyek pembangunan infrastruktur berasal dari dukungan danatau jaminan yang diberikan oleh Pemerintah terhadap beberapa proyek, yaitu proyek percepatan pembangunan pembangkit tenaga listrik 10.000 MW Tahap I dan Tahap II, proyek pembangunan jalan tol, percepatan penyediaan air minum, dan proyek dengan skema Kerjasama Pemerintah-Swasta KPS. Pemberian jaminan ini membawa konsekuensi iskal bagi Pemerintah, dalam bentuk peningkatan kewajiban kontinjensi Pemerintah yang kemudian dapat menjadi tambahan beban bagi APBN. Untuk meningkatkan daya saing ekonomi, Indonesia perlu meningkatkan pembangunan infrastruktur. Dengan fakta bahwa kemampuan keuangan negara dalam penyediaan infrastruktur Bab 6 Deisit, Pembiayaan Anggaran, dan Risiko Fiskal Nota Keuangan dan RAPBN 2014 6-52 relatif terbatas, maka peran swasta dalam penyediaan infrastruktur di masa depan menjadi semakin penting. Sehubungan dengan hal ini, Pemerintah dapat memberikan penjaminan atas partisipasi pendanaan pihak swasta yang digunakan untuk membangun infrastruktur. Yang dijamin dalam hal ini adalah kemungkinan kerugianreturn yang menurun karena terjadinya risiko yang bersumber dari Pemerintah sovereign risks. Di samping kebijakan penjaminan bagi proyek infrastruktur, Pemerintah juga memberikan dukungan untuk membantu pengadaan tanah yang sering menjadi kendala dalam pembangunan infrastruktur. Untuk proyek jalan tol, kebijakan dukungan pemerintah untuk membantu pengadaan tanah tersebut diwujudkan dalam bentuk land revolving fund LRF dan land acquisition. LRF merupakan dana bergulir untuk pembebasan tanah bagi pembangunan jalan tol. Pemerintah akan membiayai pembebasan tanah terlebih dahulu dan selanjutnya akan dikembalikan oleh Badan Usaha yang ditetapkan sebagai pemegang hak konsesi. Land acquisition adalah dana yang disediakan oleh Pemerintah untuk pembebasan tanah dalam rangka memberikan dukungan untuk meningkatkan kelayakan dari proyek penyediaan infrastruktur yang dilaksanakan dengan skema KPS. Selain itu, dalam rangka mendukung percepatan pembangunan infrastruktur Pemerintah juga dapat memberikan dukungan kelayakan proyek kerja sama, yaitu dukungan Pemerintah dalam bentuk kontribusi iskal yang bersifat inansial atas porsi tertentu dari biaya konstruksi proyek kerja sama. Dukungan ini diperuntukkan bagi proyek-proyek infrastruktur yang layak secara ekonomi namun marginal secara inansial. Sumber dana dukungan ini berasal dari APBN dan akan diberikan kepada badan usaha pemenang lelang proyek. Dalam rangka pengembangan green energy, Pemerintah telah menetapkan dukungan kepada badan usaha terkait untuk pengembangan proyek-proyek pembangkit listrik panas bumi geothermal, salah satu diantaranya adalah dengan membentuk fasilitas dana geothermal FDG. FDG adalah dukungan fasilitas yang diberikan oleh Pemerintah untuk mengurangi risiko usaha panas bumi dalam rangka mendukung usaha pemanfaatan panas bumi bagi pengembangan pembangkit listrik. Dengan FDG tersebut, diharapkan pengembangan pembangkit panas bumi di masa depan dapat lebih menjaga kesinambungan keuangan negara dari pengaruh negatif gejolak harga minyak dan batubara. 6.4.3.1.1 Proyek Percepatan Pembangunan Pembangkit Tenaga Listrik 10.000 MW Tahap I Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2006 dan Peraturan Presiden Nomor 86 Tahun 2006 sebagaimana telah diubah oleh Peraturan Presiden Nomor 91 Tahun 2007, Pemerintah memberikan dukungan dalam bentuk jaminan penuh terhadap pembayaran kewajiban PT PLN Persero kepada kreditur perbankan yang menyediakan pendanaan kredit untuk proyek-proyek pembangunan pembangkit tenaga listrik 10.000 MW Tahap I. Penjaminan ini dimaksudkan untuk meningkatkan kelayakan PT PLN persero dalam memperoleh kredit credit worthiness dan sekaligus menurunkan biaya modal atas pendanaan proyek. Kebijakan ini diharapkan akan mempercepat penyelesaian proyek percepatan pembangunan pembangkit tenaga listrik 10.000 MW tahap I sehingga masalah kekurangan pasokan listrik dapat teratasi. Risiko iskal jaminan Pemerintah full guarantee terjadi ketika PT PLN Persero tidak mampu memenuhi kewajiban kepada kreditur secara tepat waktu, dan oleh karenanya Pemerintah wajib memenuhi kewajiban tersebut. Pemenuhan kewajiban Pemerintah tersebut dilaksanakan melalui mekanisme APBN. Beberapa faktor risiko yang dapat mempengaruhi kemampuan PT Bab 6 6-53 Deisit, Pembiayaan Anggaran, dan Risiko Fiskal Nota Keuangan dan RAPBN 2014 PLN Persero dalam memenuhi kewajiban kepada kreditur secara tepat waktu, antara lain komitmen subsidi dari Pemerintah, kebijakan tarif, luktuasi nilai tukar, kenaikan harga BBM, serta kekurangan pasokan batubara. 6.4.3.1.2 Proyek Percepatan Pembangunan Pembangkit Tenaga Listrik 10.000 MW Tahap II Sebagai pelaksanaan komitmen Pemerintah Indonesia terhadap dunia Internasional atas hasil pertemuan G20 dalam hal pengurangan emisi karbon serta dalam rangka mengurangi dampak gejolak harga minyak bumi terhadap besaran subsidi listrik di masa yang akan datang, Pemerintah menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 4 tahun 2010 tentang Penugasan Kepada PT PLN persero untuk Melakukan Percepatan Pembangunan Pembangkit Listrik yang Menggunakan Energi Terbarukan, Batubara, dan Gas. Peraturan Presiden Nomor 4 Tahun 2010 merupakan landasan dan dasar hukum bagi Pemerintah dalam memberikan dukungan dalam bentuk penjaminan kelayakan usaha PT PLN Persero dalam rangka pelaksanaan pembangunan pembangkit tenaga listrik yang menggunakan energi terbarukan, batubara dan gas. Adapun nama-nama proyek yang berhak mendapat penjaminan tercantum dalam lampiran Peraturan Menteri ESDM Nomor 15 Tahun 2010, sebagaimana telah diubah oleh Peraturan Menteri ESDM Nomor 1 Tahun 2012 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri ESDM Nomor 15 Tahun 2010 Tentang Daftar Proyek-proyek Percepatan Pembangunan Pembangkit Tenaga Listrik yang Menggunakan Energi Terbarukan, Batubara, dan Gas serta Transmisi Terkait. Sampai dengan bulan Juni 2013, Pemerintah telah mengeluarkan sebanyak lima surat jaminan kelayakan usaha terkait proyek PT PLN Persero sebagaimana disajikan dalam Tabel 6.28. 6.4.3.1.3 Percepatan Penyediaan Air Minum Dalam rangka percepatan penyediaan air minum bagi penduduk dan untuk mencapai millenium development goals MDGs, Pemerintah memandang perlu untuk mendorong peningkatan investasi PDAM. Hal tersebut dilakukan dengan cara meningkatkan akses PDAM untuk memperoleh kredit investasi dari perbankan nasional, melalui kebijakan pemberian jaminan dan subsidi bunga oleh Pemerintah Pusat. Kebijakan dimaksud dituangkan dalam Peraturan Presiden Nomor 29 Tahun 2009 tentang Pemberian Jaminan dan Subsidi Bunga oleh Pemerintah Pusat dalam Rangka Percepatan Penyediaan Air Minum, serta aturan pelaksanaannya dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 91PMK.0112011 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 229 No. Nama Proyek Kapasitas MW Lokasi 1 PLTP Muaralaboh 2 x 110 Sumatera Barat 2 PLTP Rajabasa 2 x 110 Lampung 3 PLTA Wampu 3 x 15 Sumatera Utara 4 PLTP Rantau Dedap 2 x 110 Sumatera Selatan 5 PLTP Sarulla 3 x 110 Sumatera Utara TABEL 6.28 DAFTAR PROYEK YANG TELAH MEMPEROLEH JAMINAN PEMERINTAH TERKAIT PROYEK PT PLN Persero Sumber: Kementerian Keuangan Bab 6 Deisit, Pembiayaan Anggaran, dan Risiko Fiskal Nota Keuangan dan RAPBN 2014 6-54 PMK.012009 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pemberian Jaminan dan Subsidi Bunga oleh Pemerintah Pusat dalam Rangka Percepatan Penyediaan Air Minum. Jaminan Pemerintah Pusat diberikan sebesar 70 persen dari jumlah pokok kredit investasi PDAM yang telah jatuh tempo, sedangkan sisanya sebesar 30 persen menjadi risiko bank yang memberikan kredit investasi. Tingkat bunga kredit investasi yang disalurkan bank kepada PDAM ditetapkan sebesar BI rate ditambah paling tinggi sebesar 5 persen. Dari jumlah tersebut, tingkat bunga sebesar BI rate akan menjadi tanggungan PDAM, sedangkan selisih bunga di atas BI rate paling tinggi sebesar 5 persen akan menjadi subsidi yang ditanggung Pemerintah Pusat. Jaminan atas kewajiban PDAM serta subsidi bunga tersebut akan dibayarkan Pemerintah melalui skema APBN. Dalam hal jaminan tersebut dicairkan, maka besaran jaminan tersebut selanjutnya akan menjadi kewajiban PDAM dan Pemerintah Daerah kepada Pemerintah Pusat. Risiko iskal yang mungkin terjadi dari penjaminan ini adalah apabila PDAM gagal memenuhi kewajiban yang jatuh tempo kepada perbankan, Pemerintah akan menjamin 70 persen dari pokok kredit investasi PDAM tersebut. Faktor-faktor yang dapat memicu terjadinya hal itu di antaranya adalah tingkat kehilangan air non revenue waterNRW yang tinggi, manajemen internal PDAM yang kurang handal, serta penetapan tarif air minum oleh Pemerintah Daerah Kepala Daerah yang berada di bawah harga keekonomian. Sampai dengan bulan Juni 2013, Pemerintah telah mengeluarkan sebanyak lima Surat Jaminan Pemerintah Pusat terkait proyek PDAM sebagaimana disajikan dalam Tabel 6.29. 6.4.3.1.4 Proyek Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha melalui Badan Usaha Penjaminan Infrastruktur Pemerintah telah menerima proposal permintaan dukungan Pemerintah yang diajukan oleh PT PLN Persero untuk model Independent Power Producer IPP PLTU Jawa Tengah. Proyek ini merupakan salah satu proyek yang dinyatakan Pemerintah dalam Indonesia Infrastructure Conference and Exhibition IICE 2006 sebagai model proyek yang akan dijalankan dengan skema Kerjasama Pemerintah-Swasta KPSPublic Private Partnership PPP sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 67 Tahun 2005 tentang Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur, dan peraturan perubahannya, yakni Peraturan Presiden Nomor 13 Tahun 2010 dan Peraturan Presiden Nomor 56 Tahun 2011. Proses lelang proyek IPP PLTU Jawa Tengah telah dilakukan dan ditetapkan pemenangnya oleh PT PLN Persero. Pada tanggal 6 Oktober 2011 telah dilakukan penandatangan dokumen pelaksanaan dan penjaminan No. Nama Proyek Kredit Investasi miliar rupiah 1 PDAM Kabupaten Bogor 24,3 2 PDAM Kabupaten Ciamis 14,7 3 PDAM Kabupaten Lombok Timur 11,2 4 PDAM Kota Malang 44,9 5 PDAM Kota Banjarmasin 110 TABEL 6.29 DAFTAR PROYEK YANG TELAH MEMPEROLEH JAMINAN PEMERINTAH TERKAIT PROYEK PDAM Sumber: Kementerian Keuangan Bab 6 6-55 Deisit, Pembiayaan Anggaran, dan Risiko Fiskal Nota Keuangan dan RAPBN 2014 proyek. Proyek tersebut mendapatkan penjaminan dengan skema penjaminan bersama antara Pemerintah dengan PT Penjaminan Infrastruktur Indonesia PT PII berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 78 tahun 2010 tentang Penjaminan Infrastruktur dalam Proyek Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha yang Dilakukan Melalui Badan Usaha Penjaminan Infrastruktur. Proyek ini ditargetkan beroperasi komersial commercial operation dateCOD pada tahun 2017. 6.4.3.1.5 Penyediaan Fasilitas Penjaminan Infrastruktur Melalui PT Penjaminan Infrastruktur Indonesia Persero Dalam rangka memenuhi kebutuhan pembangunan infrastruktur di Indonesia, Pemerintah telah mengupayakan pembangunan infrastruktur melalui skema KPS sebagai salah satu model dalam penyediaan infrastruktur. Kebijakan penyediaan infrastruktur melalui skema KPS diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 67 Tahun 2005 jo. Peraturan Presiden Nomor 13 Tahun 2010 jo. Peraturan Presiden Nomor 56 Tahun 2011. Dalam penyediaan infrastruktur melalui skema KPS dimaksud, Pemerintah perlu memberikan penjaminan infrastruktur guna meningkatkan kelayakan kredit proyek KPS, agar proyek tersebut dapat memperoleh pemenuhan pembiayaan inancial close dan menciptakan biaya infrastruktur yang eisien sekaligus kompetitif. Sebagai upaya mitigasi atas risiko iskal yang timbul dari pelaksanaan penjaminan infratruktur, pemberian penjaminan infrastruktur tersebut dilakukan Pemerintah melalui PT PII. PT PII yang didirikan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2009 bertujuan untuk memberikan ring fencing terhadap APBN dari kewajiban kontinjen yang timbul dari pelaksanaan penjaminan infratruktur. Pelaksanaan penjaminan infrastruktur oleh PT PII diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 78 Tahun 2010 dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 260 PMK.0112010. Penjelasan terkait kerjasama pemerintah dengan badan usaha dalam pengadaan infrastruktur disajikan dalam Boks 6.2. BOKS 6.2 KERJA SAMA PEMERINTAH DENGAN BADAN USAHA DALAM PENGADAAN INFRASTRUKTUR Ketersediaan infrastruktur yang memadai dari sisi kualitas maupun kuantitas merupakan faktor utama untuk mendorong dan mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Kebutuhan akan infrastruktur tersebut memerlukan anggaran yang besar. Di sisi lain, kemampuan keuangan negara dalam memenuhi kebutuhan investasi infrastruktur sangat terbatas. Keterbatasan anggaran tersebut mendorong Pemerintah untuk mencari terobosan dengan skema atau model pengadaan infrastruktur yang berbeda. Salah satu model pengadaan infrastruktur yang sedang dikembangkan oleh Pemerintah adalah dengan peningkatan partisipasi pihak swasta. Upaya ini dilaksanakan melalui skema Kerjasama Pemerintah Swasta KPS atau dikenal juga dengan istilah Public Private Partnership PPP. Untuk mendukung upaya tersebut, Pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 56 Tahun 2011 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Presiden Nomor 67 Tahun 2005 tentang Kerjasama Pemerintah Dengan Badan Usaha Dalam Penyediaan Infrastruktur. Dalam peraturan ini, KPS dideinisikan sebagai Proyek Kerjasama yaitu Penyediaan Infrastruktur yang dilakukan melalui Perjanjian Kerjasama atau pemberian Izin Pengusahaan antara MenteriKepala LembagaKepala Daerah dengan Badan Usaha. Dalam pelaksanaan proyek KPS, Pemerintah melalui Penanggung Jawab Proyek Kerjasama PJPK melakukan kontrak dengan pihak swasta untuk menyediakan infrastruktur dengan spesiikasi yang sudah ditentukan disertai pembagian risiko kepada pihak yang paling mampu menanganinya. Dalam rangka meningkatkan minat swasta, Pemerintah juga dapat memberikan Bab 6 Deisit, Pembiayaan Anggaran, dan Risiko Fiskal Nota Keuangan dan RAPBN 2014 6-56 6.4.3.2 Jaminan Sosial 6.4.3.2.1 Program Jaminan Sosial Nasional Mulai tanggal 1 Januari 2014, Indonesia akan menjalani babak baru penyelenggaraan sistem jaminan sosial nasional SJSN. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional SJSN dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial BPJS mengamanatkan diselenggarakannya lima program jaminan sosial dan dibentuknya dua BPJS. Kelima program jaminan sosial dimaksud adalah program jaminan kesehatan, program jaminan kecelakaan kerja, program jaminan kematian, program jaminan pensiun dan program jaminan hari tua. Sementara itu, dua BPJS dimaksud adalah BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan yang merupakan transformasi dari PT Askes Persero, PT Jamsostek Persero, PT Asabri Persero, dan PT Taspen Persero. Untuk tahun 2014, potensi risiko iskal terbesar atas pelaksanaan SJSN diperkirakan berasal dari program jaminan kesehatan dengan beberapa alasan yang mendasarinya. Pertama, data yang Dukungan Pemerintah dan Jaminan Pemerintah untuk Proyek Kerjasama. Pemerintah melalui Menteri Keuangan dapat menyetujui pemberian Dukungan Pemerintah dalam bentuk insentif perpajakan danatau kontribusi iskal dalam bentuk inansial berdasarkan usulan MenteriKepala LembagaKepala Daerah. Menteri Keuangan juga menyediakan beberapa instrumen untuk mendukung pelaksanaan proyek KPS. Fasilitas tersebut dilaksanakan melalui fasilitasi pelaksanaan proyek KPS terkait pemberian dukungan dan jaminan pemerintah melalui instrumen sebagai berikut: a. Penyediaan dana talangan untuk dukungan Pemerintah dalam proyek KPS melalui Pusat Investasi Pemerintah PIP; b. Penjaminan risiko infrastruktur melalui Badan Usaha Penjaminan Infrastruktur [PT Penjaminan Infrastruktur Indonesia Persero]. c. Penyiapan proyek KPS dalam tahap penyiapan dan pelaksanaan melalui lembaga pembiayaan infrastruktur [PT Sarana Multi Infrastruktur Persero] dengan skema Project Development Services PDS. Penyiapan proyek melalui skema PDS merupakan bantuan yang diberikan Pemerintah terhadap PJPK dalam rangka mempersiapkan proyek KPS agar menarik dan siap ditawarkan kepada investor. Saat ini terdapat dua proyek yang mendapat bantuan dengan skema ini yakni Proyek Kereta Api Bandara Soekarno Hatta- Manggarai dan Proyek Pembangunan Sistem Penyediaan Air Minum SPAM Umbulan di Jawa Timur. Selain fasilitas tersebut, Pemerintah melalui Menteri Keuangan telah menyiapkan mekanisme pemberian dukungan kelayakan proyek kerja sama Viability Gap FundVGF. Dukungan kelayakan proyek kerja sama merupakan dukungan Pemerintah dalam bentuk kontribusi iskal yang bersifat inansial atas porsi tertentu dari biaya konstruksi proyek kerja sama. Disamping itu, dukungan kelayakan bertujuan untuk: 1 meningkatkan kelayakan inansial proyek kerja sama; 2 meningkatkan kepastian pengadaan proyek kerja sama dan pengadaan badan usaha pada proyek kerja sama sesuai dengan kualitas dan waktu yang direncanakan; dan 3 mewujudkan layanan publik yang tersedia melalui infrastruktur dengan tarif yang terjangkau oleh masyarakat. Salah satu model proyek KPS yang saat ini telah memasuki kemajuan yang signifikan adalah pembangunan pembangkit listrik dengan kapasitas 2 x 1000 MW yang berlokasi di Batang, Jawa Tengah IPP PLTU Jawa Tengah atau lebih dikenal dengan proyek Central Java Power Plant CJPP. Proyek CJPP sudah mendapatkan pemenang lelang dan telah dilakukan penandatanganan perjanjian kerjasama. Proyek ini dijadwalkan akan memulai konstruksi pada tahun 2014 dan akan mulai beroperasi pada tahun 2017. Dengan berhasilnya pelaksanaan proyek KPS CJPP ini diharapkan dapat memenuhi kebutuhan listrik dalam waktu dekat dan mendorong pelaksanaan proyek-proyek KPS lain di Indonesia. Bab 6 6-57 Deisit, Pembiayaan Anggaran, dan Risiko Fiskal Nota Keuangan dan RAPBN 2014 diperlukan untuk mendukung perhitungan iuran masih relatif belum memadai. Berbagai model perhitungan yang ada, diyakini banyak pihak masih terdapat kekurangan sehingga besaran iuran yang diperlukan untuk tahun 2014 berpotensi berbeda dengan besaran iuran yang ditetapkan. Kedua, belum adanya tata cara yang efektif terkait kewajiban warga negara untuk ikut ke dalam SJSN. UU SJSN menyatakan bahwa program jaminan kesehatan bersifat wajib bagi seluruh Warga Negara Indonesia. Ikutnya seluruh WNI ke dalam sistem ini universal coverage, ditargetkan oleh Pemerintah tercapai dalam kurun waktu lima tahun. Karena itu, awal pelaksanaan program ini diyakini akan terjadi adverse selection dimana yang sukarela mendaftar terlebih dahulu adalah masyarakat yang rentan terhadap penyakit, khususnya penyakit yang membutuhkan biaya tinggi. Hal lain yang perlu menjadi perhatian terkait pelaksanaan program jaminan kesehatan adalah sistem layanan kesehatan. Sampai dengan saat ini, Pemerintah berupaya keras memperbaiki sistem layanan kesehatan yang ada khususnya penyediaan layanan kesehatan tingkat pertama dan mekanisme rujukan. Kedua hal tersebut memegang peranan penting atas tercapainya tujuan program. Atas potensi risiko iskal tersebut di atas, Pemerintah telah mengupayakan berbagai cara untuk memitigasinya. Iuran kesehatan per orang per bulan POPB untuk orang miskin dan tidak mampu sejauh ini diusulkan meningkat lebih dari dua kali lipat iuran POPB untuk kelompok yang sama pada tahun sebelumnya. Pemerintah juga menambah alokasi anggaran baik untuk iuran PNS dan TNIPolri beserta pensiunannya maupun penyediaan fasilitas kesehatan.

6.4.3.2.2 Program Pensiun dan Tabungan Hari Tua Pegawai Negeri Pemerintah telah menyelenggarakan

program pensiun dan tabungan hari tua bagi PNS dan TNIPolri sebagai bentuk penghargaan atas pengabdian yang diberikan. Risiko iskal penyelengaraan program pensiun pegawai negeri, terutama berasal dari peningkatan jumlah pembayaran manfaat pensiun dari tahun ke tahun. Sejak tahun anggaran 2009, pendanaan pensiun pegawai negeri seluruhnya 100 persen menjadi beban APBN. Beberapa faktor yang mempengaruhi besaran kenaikan pembayaran manfaat pensiun diantaranya, jumlah pegawai negeri yang mencapai batas usia pensiun, meningkatnya gaji pokok pegawai negeri, meningkatnya pensiun pokok pegawai negeri. Perkembangan pembayaran manfaat pensiun pegawai negeri yang meliputi pegawai negeri sipil dan TNI-Polri disajikan dalam Graik 6.25. Sementara itu, risiko iskal dari progam tabungan hari tua PNS berasal dari unfunded past service liability UPSL yang menjadi kewajiban Pemerintah seiring dengan kebijakan meningkatkan kesejahteraan pegawai dengan menaikkan gaji pokok PNS. Dalam upaya untuk memperbaiki penyelenggaraan program tabungan hari tua PNS di masa mendatang, dan menjaga tingkat kesehatan keuangan PT Taspen Persero serta agar Pemerintah 36,8 44,3 51,5 59,0 67,3 76,0 85,7 10 20 30 40 50 60 70 80 90 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 GRAFIK 6.25 PERKEMBANGAN PEMBAYARAN MANFAAT PENSIUN PEGAWAI NEGERI SIPIL triliun rupiah Sumber: Kementerian Keuangan Bab 6 Deisit, Pembiayaan Anggaran, dan Risiko Fiskal Nota Keuangan dan RAPBN 2014 6-58 memiliki ruang untuk pembayaran cicilan UPSL, maka Kementerian Keuangan melakukan evaluasi dan monitoring kewajiban pembayaran THT PNS setiap tahun. 6.4.3.3 Kewajiban menjaga Modal Minimum Lembaga Keuangan Tertentu Kewajiban kontinjensi Pemerintah pada sektor keuangan terutama berasal dari kewajiban Pemerintah untuk menambah modal lembaga keuangan, yaitu Bank Indonesia BI, Lembaga Penjaminan Simpanan LPS, dan Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia LPEI, jika modal lembaga keuangan tersebut di bawah modal sebagaimana diatur di dalam peraturan perundang- undangan. 6.4.3.3.1 Bank Indonesia Sebagaimana diatur dalam pasal 6 ayat 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2009, modal BI ditetapkan berjumlah sekurang-kurangnya Rp2,0 triliun. Dalam hal terjadi risiko atas pelaksanaan tugas dan wewenang BI yang mengakibatkan modalnya berkurang dari Rp2,0 triliun, sebagian atau seluruh surplus tahun berjalan dialokasikan untuk cadangan umum guna menutup risiko dimaksud. Dalam hal setelah dilakukan upaya pengalokasian surplus tahun berjalan untuk cadangan umum jumlah modal BI masih kurang dari Rp2,0 triliun, Pemerintah wajib menutup kekurangan tersebut yang dilaksanakan setelah mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Namun sebaliknya, apabila rasio modal terhadap kewajiban moneter Bank Indonesia mencapai di atas 10 persen, maka BI akan memberikan bagian kepada Pemerintah atas surplus BI sebagaimana diatur dalam ketentuan perundangan tentang BI. Perkembangan modal BI dan rasio modal BI dalam periode 2008–2013 disajikan pada Graik 6.26. Penurunan rasio modal pada tahun 2011 terutama disebabkan oleh deisit yang bersumber dari tingginya biaya kebijakan moneter untuk mencapai kondisi ekonomi makro yang stabil sebagai pelaksanaan tugas utama BI. Walaupun pada tahun 2011 rasio modal BI terhadap kewajiban moneter kurang dari 3 persen dan tahun 2013 rasio modal diproyeksikan turun menjadi sebesar 2,99 persen, Pemerintah tidak perlu melakukan penambahan modal BI. Hal tersebut sejalan dengan hasil rapat Komisi XI DPR RI tanggal 21 November 2011 yang telah menyetujui perubahan Kesepakatan Bersama antara Pemerintah dan BI tersebut diatas yang memuat pokok-pokok penghapusan pengaturan rasio modal BI 3 persen dari kewajiban moneter dan kembali menjadi minimal Rp2,0 triliun. Keputusan tersebut telah ditindaklanjuti oleh BI dan Pemerintah melalui perubahan Kesepakatan Bersama mengenai Penyelesaian Bantuan Likuiditas Bank Indonesia serta Hubungan Keuangan Pemerintah dan Bank Indonesia tanggal 31 75 69 49 33 39 34 10,38 8,88 4,62 2,71 3,14 2,99 2 4 6 8 10 12 10 20 30 40 50 60 70 80 2008 2009 2010 2011 2012 2013 Est T ri li u n ru p ia h GRAFIK 6.26 PERKEMBANGAN MODAL DAN RASIO MODAL BANK INDONESIA Modal Rasio Modal RHS Keterangan: Modal adalah penjumlahan dari modal ditambah dengan cadangan umum dan surplus defisit Batas minimum modal Bank Indonesia Rp2,0 triliun Sumber: Bank Indonesia Persen Bab 6 6-59 Deisit, Pembiayaan Anggaran, dan Risiko Fiskal Nota Keuangan dan RAPBN 2014 Juli 2012. 6.4.3.3.2 Lembaga Penjamin Simpanan LPS Berdasarkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan LPS sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan menjadi Undang-Undang, fungsi LPS adalah menjamin simpanan nasabah di bank dan turut aktif memelihara stabilitas sistem perbankan sesuai kewenangannya. Jumlah nilai simpanan yang dijamin oleh LPS sejak tanggal 13 Oktober 2008 paling banyak Rp2,0 miliar per nasabah per bank sebelumnya Rp100 juta, sedangkan bank yang berada dalam penyehatan oleh LPS sejak tanggal 24 November 2008 adalah PT. Bank Mutiara, Tbk. dahulu PT. Bank Century, Tbk. Perkembangan jumlah dana simpanan yang dijamin, modal LPS, dan cadangan klaim penjaminan dalam periode 2008-2014 disajikan dalam Graik 6.27. Untuk menjalankan fungsinya, LPS pada awal berdirinya tahun 2005 telah diberikan modal awal oleh Pemerintah sebesar modal minimal LPS yaitu Rp4,0 triliun. Sampai dengan akhir tahun 2012, modal ekuitas LPS telah berkembang menjadi sebesar Rp23,49 triliun. LPS setiap tahun juga membentuk cadangan klaim penjaminan untuk estimasi risiko pembayaran klaim tahun berikutnya. Graik 6.27 menggambarkan perkembangan jumlah posisi simpanan masyarakat di perbankan yang dijamin oleh LPS, jumlah modal dan cadangan klaim penjaminan LPS mulai dari tahun 2008-2014. 624 1.163 1.435 1.668 1.929 2.276 2.685 9 10 11 17 23 30 3 5 7 11 11 11 12 1 10 100 1.000 10.000 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 Est. GRAFIK 6. 27 PERKEMBANGAN JUMLAH DANA SIMPANAN YANG DIJAMIN MODAL LPS, DAN CADANGAN KLAIM PENJAMINAN, 2008-2014 triliun rupiah Dana Simpanan yang Dijamin Modal Cadangan Klaim Penjaminan Keterangan: 1. Posisi dana simpanan dijamin LPS tahun 2013 dan 2014 merupakan estimasi 2. Posisi modal ekuitas s.d. tahun 2012 adalah berdasarkan hasil audit dan tahun 2013 berdasarkan estimasi 3. Posisi Modal ekuitas tahun 2014 belum dapat diestimasi 4. Posisi cadangan klaim penjaminan sampai dengan tahun 2013 adalah jumlah berdasarkan audit dan tahun 2014 berdasarkan estimasi Sumber: LPS Bab 6 Deisit, Pembiayaan Anggaran, dan Risiko Fiskal Nota Keuangan dan RAPBN 2014 6-60 Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 85 ayat 1 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang LPS diatur bahwa dalam hal modal LPS menjadi kurang dari modal awal, Pemerintah dengan persetujuan DPR menutup kekurangan tersebut. Dalam Pasal 85 ayat 2 juga diatur bahwa dalam hal LPS mengalami kesulitan likuiditas, LPS dapat memperoleh pinjaman dari Pemerintah. LPS telah mencadangkan jumlah estimasi biaya untuk pembayaran klaim penjaminan atas simpanan nasabah bank di tahun 2014 sebesar Rp12,05 triliun. Dengan demikian, dalam hal jumlah klaim penjaminan tidak mencapai jumlah tersebut maka ekuitas LPS tidak akan berkurang sehingga Pemerintah belum perlu menyediakan dana untuk tambahan modal LPS. Namun demikian, untuk fungsi LPS yang lain yaitu menjaga stabilitas sistem perbankan, LPS tidak dapat menentukan estimasi biaya untuk penyelamatan bank gagal yang akan diselamatkan pada tahun 2014. 6.4.3.3.3 Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia LPEI Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia LPEI didirikan oleh Pemerintah Indonesia berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia yang bertujuan untuk menunjang kebijakan Pemerintah dalam rangka mendorong program ekspor nasional. LPEI menyediakan pembiayaan, penjaminan, asuransi dan jasa konsultasi bagi para eksportir. LPEI sebelumnya bernama PT Bank Ekspor Indonesia Persero, adalah lembaga keuangan khusus yang berfungsi mendukung program ekspor nasional melalui penyediaan pembiayaan, penjaminan, asuransi dan jasa konsultasi bagi para eksportir. LPEI mempunyai ruang gerak pembiayaan yang relatif lebih leksibel dibandingkan dengan bank pada umumnya, sehingga dapat mendukung akselerasi pertumbuhan ekspor nasional dengan menyediakan pembiayaan disisi supply dalam negeri dan di sisi demand luar negeri. Pembiayaan diberikan baik secara konvensional, maupun berdasarkan prinsip syariah kepada korporasi dan UKM. 11,2 13,0 20,6 26,3 33,3 42,0 52,3 9,5 9,3 15,7 20,5 27,1 36,1 45,1 0,3 0,3 0,0 0,3 1,1 1,5 1,9 - - 0,0 0,0 0,1 0,3 0,3 4,3 4,4 6,5 7,0 7,6 8,0 10,7 - 10,0 20,0 30,0 40,0 50,0 60,0 2008 2009 2010 2011 2012 2013 Perkiraan 2014 Perkiraan GRAFIK 6.28 PERKEMBANGAN KEGIATAN PEMBIAYAAN EKSPOR DAN POSISI PERMODALAN LEMBAGA PEMBIAYAAN EKSPOR INDONESIA, 2008-2014 triliun rupiah Total Aktiva Pembiayaan Ekspor Penjaminan Asuransi Ekuitas Sumber: LPEI Bab 6 6-61 Deisit, Pembiayaan Anggaran, dan Risiko Fiskal Nota Keuangan dan RAPBN 2014 Sesuai dengan Undang-Undang nomor 2 tahun 2009 tentang LPEI, modal awal LPEI ditetapkan paling sedikit Rp4,0 triliun. Dalam hal modal LPEI menjadi berkurang dari Rp4,0 triliun, Pemerintah menutup kekurangan tersebut dari dana APBN berdasarkan mekanisme yang berlaku. Pada tahun 2013, ekuitas LPEI diperkirakan akan mencapai Rp8,0 triliun. Ekuitas tersebut diperkirakan cukup untuk mendukung target pembiayaan sebesar Rp36,1 triliun, penjaminan sebesar Rp1,5 triliun dan asuransi sebesar Rp250,0 miliar. Perkembangan kegiatan pembiayaan ekspor dan posisi permodalan LPEI dalam periode 2008 -2013 disajikan dalam Graik 6.28. 6.4.3.4 Tuntutan Hukum kepada Pemerintah Tuntutan hukum yang dapat menimbulkan risiko iskal kepada Pemerintah berupa gugatan perdata dan Tata Usaha Negara TUN ditujukan kepada Pemerintah. Risiko iskal yang kemungkinan akan timbul adalah berupa potensi pengeluaran negara dari APBN, potensi hilangnya kepemilikan aset tanah dan bangunan karena kepemilikannya dipersengketakan, maupun yang berupa hilangnya potensi penerimaan negara. Berdasarkan data yang terkumpul sampai dengan bulan Juli 2013, terdapat 160 perkara gugatan kepada 20 kementerian negaralembaga berupa tuntutan ganti rugi dengan potensi pengeluaran negara sebesar Rp8,2 triliun, USD45,5 juta, €54,9 ribu; Bs11.500,0 yaitu meliputi 19 perkara masih diproses di peradilan tingkat pertama, 26 perkara pada tingkat banding, 17 perkara pada tingkat kasasi dan 15 perkara pada tingkat Peninjauan Kembali PK. Putusan-putusan yang telah inkracht sampai dengan tahun 2013, merupakan beban Pemerintah pada RAPBN tahun 2014. Berdasarkan data yang terkumpul sampai dengan Juli 2013, nilai tuntutan hukum yang sudah inkracht adalah sebesar Rp1,7 triliun, USD172,6 juta, dan MYR1,5 juta. Pelaksanaan putusan pengadilan yang sudah inkracht diupayakan melalui anggaran masing masing satker kementerian negaralembaga. 6.4.3.5 Bencana Alam Indonesia adalah negara yang rawan bencana dilihat dari aspek geograis, klimatologis dan demograis. Letak geograis Indonesia di antara dua benua dan dua samudera menyebabkan Indonesia mempunyai potensi yang cukup bagus dalam perekonomian sekaligus juga rawan dengan bencana. Secara geologis, Indonesia terletak pada 3 tiga lempeng yaitu lempeng Eurasia, lempeng Indo-Australia dan lempeng Pasiik yang membuat Indonesia kaya dengan cadangan mineral sekaligus mempunyai dinamika geologis yang sangat dinamis yang mengakibatkan potensi bencana gempa, tsunami dan gerakan tanahlongsor. Selain itu, Indonesia mempunyai banyak gunung api aktif yang sewaktu-waktu dapat meletus. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana telah meletakkan tanggung jawab pada pundak Pemerintah untuk penyelenggaraan penanggulangan bencana diantaranya perlindungan masyarakat dari dampak bencana, pemulihan kondisi dari dampak bencana, dan pengalokasian anggaran penanggulangan bencana dalam APBN. Anggaran tersebut diperuntukkan untuk kegiatan-kegiatan tahap prabencana pengurangan risiko bencana, saat tanggap darurat bencana, dan pasca bencana rehabilitasi dan rekonstruksi. Biaya rehabilitasi atau pemulihan infrastruktur publik dan rumah tangga, yang sebagian besar tidak memiliki perlindungan keuangan, memberikan beban besar pada pengeluaran publik. Sebagai contoh, bencana tsunami AcehNias tahun 2004 menimbulkan kerusakan Bab 6 Deisit, Pembiayaan Anggaran, dan Risiko Fiskal Nota Keuangan dan RAPBN 2014 6-62 dan kerugian lebih dari Rp40,0 triliun, sedangkan kerugian untuk gempa bumi Yogyakarta tahun 2006 lebih dari Rp29,0 triliun. Pemerintah menghabiskan anggaran rekonstruksi senilai lebih dari Rp37,0 triliun untuk Aceh dan Nias, serta sekitar Rp1,6 triliun untuk Yogyakarta. Perkembangan dana kontinjensi bencana alam dalam periode 2008-2013 disajikan dalam Graik 6.29. Bencana alam berpotensi memberikan tekanan pada kesinambungan APBN pada setiap kejadian. Ke depan perlu dilakukan diversifikasi pembiayaan risiko bencana, baik dari segi sumber maupun pola pengalokasiannya. Dengan mempertimbangkan naiknya probabilitas kejadian bencana, meningkatnya nilai kerusakan dan kerugian akibat bencana dan perubahan iklim serta laju urbanisasi yang cepat, Pemerintah saat ini sedang mengkaji kemungkinan meningkatkan keragaman dalam pilihan-pilihan pembiayaan risiko bencana termasuk untuk asuransi bencana. Pembiayaan risiko bencana yang eisien merupakan kombinasi yang optimal antara risiko yang diretensi ditanggung langsung dan yang ditransfer. Kombinasi pembiayaan tersebut diharapkan dapat memberikan ketahanan yang lebih tinggi bagi kesinambungan APBN. Sehubungan dengan hal tersebut di atas, Pemerintah telah merumuskan Rencana Nasional Penanggulangan Bencana 2010-2014 yang salah satu programnya adalah peningkatan kapasitas dan partisipasi masyarakat dan para pemangku kepentingan lainnya dalam pengelolaan risiko bencana. Kegiatan yang menjadi salah satu fokus dari program tersebut adalah pembentukan mekanisme pendanaan risiko bencana asuransi bencana. 6.4.4 Pengeluaran Negara yang DimandatkanDiwajibkan Mandatory Spending M a n d a t o r y s p e n d i n g a d a l a h pengeluaran negara pada program- program tertentu yang dimandatkan atau diwajibkan oleh ketentuan peraturan perundangan yang berlaku. Beberapa ketentuan peraturan perundangan t e r k a i t m a n d a t o r y s p e n d i n g , diantaranya adalah 1 kewajiban penyediaan anggaran pendidikan sebesar 20 persen dari APBNAPBD sesuai amanat Amendemen ke empat UUD 1945 Pasal 31 Ayat 4 tentang Penyediaan Anggaran Pendidikan dari APBNAPBD; 2 kewajiban penyediaan Dana Alokasi Umum 3,00 3,00 3,00 4,00 4,00 4,00 2,94 2,22 2,68 4,00 0,10 - 0,0 0,5 1,0 1,5 2,0 2,5 3,0 3,5 4,0 4,5 2008 2009 2010 2011 2012 2013 GRAFIK 6.29 PERKEMBANGAN DANA KONTINJENSI BENCANA ALAM TAHUN 2008-2013 triliun rupiah Alokasi Realisasi Sumber: Kementerian Keuangan 2008 2009 2010 2011 2012 2013 Pendidikan 154 208 225 267 311 345 Transfer ke Daerah 292 309 345 411 480 529 Kesehatan 24 28 32 42 46 56 - 100 200 300 400 500 600 700 800 900 1.000 GRAFIK 6.30 PERKEMBANGAN MANDATORY SPENDING, 2008-2013 triliun rupiah Sumber: Kementerian Keuangan Bab 6 6-63 Deisit, Pembiayaan Anggaran, dan Risiko Fiskal Nota Keuangan dan RAPBN 2014 DAU minimal 26 persen dari penerimaan dalam negeri neto, dan Dana Bagi Hasil DBH sesuai ketentuan UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah; 3 penyediaan alokasi anggaran kesehatan sebesar 5 persen dari APBN sesuai dengan UU No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan; 4 penyediaan dana otonomi khusus sesuai dengan Undang-Undang Otonomi Khusus provinsi Aceh dan Papua masing-masing sebesar 2 persen dari DAU Nasional. Perkembangan mandatory spending tahun 2008-2013 disajikan dalam Graik 6.30. Meskipun dalam perkembangannya, untuk penyediaan alokasi anggaran kesehatan sebesar 5 persen dari APBN telah mendapatkan Putusan Mahkamah Konstitusi MK Nomor 58 PUU-X2012 tanggal 13 Desember 2012. Putusan MK tersebut menyatakan bahwa terkait permohonan mengenai pengujian materil UU Nomor 22 Tahun 2011 tentang APBN TA 2012 terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tidak dapat diterima, dengan salah satu pertimbangan yaitu suatu ketentuan Undang-Undang tidak dapat diuji dengan ketentuan Undang-Undang yang lain, dalam hal ini UU 222011 tentang APBN 2012 terhadap UU 362009 tentang Kesehatan. Meningkatnya mandatory spending sebagai konsekuensi dari ketentuan peraturan perundangan yang berlaku telah menimbulkan kekhawatiran akan kapasitas fiskal fiscal space. Fiscal Space adalah ketersediaan sumberdaya keuangan bagi pemerintah untuk membiayai kebijakan yang diinginkan melalui anggaran. Kapasitas fiskal selama ini masih terbatas, disebabkan oleh anggaran belanja negara yang setiap tahunnya lebih besar digunakan untuk membiayai belanja yang bersifat mengikat berupa pos belanja rutin antara lain belanja pegawai, belanja subsidi, dan pembayaran bunga utang. Komposisi belanja negara mengikat dan tidak mengikat tahun 2008-2013 disajikan dalam Graik 6.31. Dengan adanya mandatory spending yang menyebabkan iscal space makin terbatas, khususnya untuk alokasi anggaran ke jenis belanja yang dapat lebih produktif, hal ini berisiko membuat APBN tidak dapat berfungsi secara optimal. Selain itu, fungsi APBN sebagai stabilisator bagi perekonomian yang bersifat countercyclical menjadi kurang leksibel untuk antisipasi perubahan asumsi ekonomi global. Padahal sebagai alat kebijakan iskal, APBN harus dapat bermanuver, yaitu pada saat ekonomi sedang dalam kondisi stabil, pemerintah dapat menjalankan anggaran surplus, dan sebaliknya, pada saat krisis, pemerintah dapat melakukan ekspansi iskal dengan menjalankan anggaran deisit. Dimasa yang akan datang, diharapkan adanya peningkatan efektiitas di sektor belanja, khususnya belanja bersifat mengikat yang menjadi penyebab utama keterbatasan iscal space. Belanja subsidi merupakan faktor pengurang terbesar terhadap iscal space sehingga diupayakan dikurangi secara bertahap agar iscal space bisa tetap terjaga, diantaranya melalui pengendalian penggunaan BBM bersubsidi dan listrik bersubsidi. 2008 2009 2010 2011 2012 APBNP 2013 Tidak Mengikat 17,8 23,0 19,6 20,0 20,3 24,6 Mengikat 82,2 77,0 80,4 80,0 79,7 75,4 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 P er se n GRAFIK 6.31 PERKEMBANGAN KOMPOSISI BELANJA NEGARA MENGIKAT DAN TIDAK MENGIKAT, 2008-2013 Sumber: Kementerian Keuangan Bab 6 Deisit, Pembiayaan Anggaran, dan Risiko Fiskal Nota Keuangan dan RAPBN 2014 6-64 Selain belanja subsidi, faktor pengurang lainnya adalah belanja pegawai, pembayaran bunga utang, dan alokasi transfer ke daerah. Selain itu, perlu pembaharuan kebijakan belanja dengan mempercepat penerapan penganggaran berbasis kinerja PBK yang lebih berorientasi kepada output dan outcome. Ketentuan peraturan perundangan yang akan diterbitkan diupayakan menghindari terciptanya mandatory spending baru, dan lebih berpihak pada ruang gerak pemerintah yang longgar dalam meningkatkan multiplier effect perekonomian, misalnya dalam bidang infrastruktur. Bab 7 Nota Keuangan dan RAPBN 2014 7-1 Proyeksi APBN Jangka Menengah

BAB 7 PROYEKSI APBN JANGKA MENENGAH

7.1 Umum

Kebijakan dan karakteristik postur APBN jangka menengah harus disusun dengan mengacu pada perkembangan dan prospek kinerja perekonomian global dan nasional, khususnya terkait prospek berbagai indikator ekonomi yang digunakan sebagai asumsi dasar ekonomi makro yang menjadi dasar perhitungan APBN. Selain itu, berbagai kebutuhan, tantangan, dan permasalahan pembangunan ekonomi yang sedang dan akan dihadapi oleh Pemerintah dalam periode tersebut juga harus dipertimbangkan dalam menentukan kebijakan dan postur APBN jangka menengah. Kebijakan APBN jangka menengah pada dasarnya mengacu pada pelaksanaan dan rencana pembangunan jangka menengah nasional sesuai visi dan misi pembangunan nasional. Kebijakan dan postur APBN jangka menengah disusun dan disiapkan untuk menunjang pelaksanaan rencana pembangunan nasional jangka menengah tersebut, serta pencapaian target-target pembangunan nasional yang telah ditetapkan. Dalam jangka menengah 2015—2017, Indonesia diperkirakan masih dihadapkan pada sejumlah tantangan terkait upaya penurunan tingkat pengangguran, penurunan angka kemiskinan, dan pengurangan kesenjangan ekonomi, serta peningkatan daya saing ekonomi. Dengan memerhatikan prospek kinerja perekonomian global, prospek kinerja perekonomian domestik, serta tantangan-tantangan yang ada, prospek APBN dalam jangka menengah ke depan diharapkan tetap dapat berperan besar dalam menjaga stabilitas perekonomian nasional sekaligus memberikan stimulus bagi aktivitas perekonomian nasional. Dengan demikian, strategi kebijakan iskal dalam jangka menengah diarahkan untuk tetap menjaga kesinambungan iskal melalui peningkatan pendapatan negara serta eisiensi belanja negara, di samping mengendalikan deisit anggaran agar dapat mendorong turunnya rasio utang pemerintah terhadap PDB. Namun, Pemerintah juga menyadari perlunya kebijakan iskal yang ekspansif dengan pengelolaan secara hati-hati dalam rangka menjaga momentum pertumbuhan ekonomi nasional. Dalam jangka menengah, secara bertahap APBN akan diarahkan menuju anggaran berimbang. Dalam kerangka pemikiran tersebut, kebijakan pendapatan negara dalam jangka menengah 2015—2017 akan diarahkan pada optimalisasi pendapatan negara dengan tetap menjaga iklim investasi dan keberlanjutan dunia usaha. Untuk itu, Pemerintah terus berupaya untuk meningkatkan rasio penerimaan perpajakan terhadap PDB tax ratio, utamanya melalui perluasan basis pajak dan perbaikan administrasi perpajakan secara terus menerus. Sejalan dengan perkiraan penguatan kinerja pertumbuhan ekonomi nasional, dalam jangka menengah, penerimaan perpajakan secara nominal diharapkan dapat tumbuh lebih tinggi daripada tingkat pertumbuhan alaminya. Di sisi lain, PNBP juga diharapkan terus mengalami peningkatan terutama yang berasal dari penerimaan bagian Pemerintah dari laba BUMN, seiring dengan meningkatnya kinerja BUMN, dan dari SDA migas. Di bidang perpajakan, kebijakan yang akan ditempuh oleh Pemerintah adalah 1 melanjutkan reformasi administrasi perpajakan, 2 melakukan reformasi di bidang pengawasan dan penggalian potensi, dan 3 reformasi di bidang peraturan dan perundang-undangan. Bab 7 Proyeksi APBN Jangka Menengah Nota Keuangan dan RAPBN 2014 7-2 Di bidang PNBP, kebijakan yang akan ditempuh adalah 1 meningkatkan produksi migas terutama target lifting minyak dan gas bumi; 2 mengoptimalkan penerimaan SDA nonmigas melalui peningkatan volume produksi dengan tetap memerhatikan kelestarian lingkungan serta mengembangkan potensi usaha pertambangan panas bumi; 3 meningkatkan kinerja BUMN serta menyesuaikan pay out ratio dividen BUMN; dan 4 menyelaraskan kebijakan dan peraturan, serta intensiikasi dan ekstensiikasi sumber PNBP KL, dan pendapatan BLU. Di sisi belanja negara, dalam jangka menengah, peningkatan kualitas belanja negara akan terus diupayakan oleh Pemerintah untuk menciptakan kualitas belanja negara yang lebih produktif, antisipasif, dan responsif. Hal itu ditujukan untuk merespon gejolak perekonomian global maupun domestik sekaligus mendukung optimalisasi pencapaian target-target pembangunan yang ditetapkan Pemerintah. Sejalan dengan tujuan tersebut, kebijakan belanja negara dalam jangka menengah akan diarahkan antara lain untuk 1 menjaga daya beli masyarakat dan meningkatkan kualitas pelayanan publik dalam rangka menciptakan eisiensi birokrasi dan meningkatkan daya saing; dan 2 menjaga stabilitas ekonomi melalui stabilisasi harga- harga komoditas pokok, menjaga stabilitas politik melalui upaya mewujudkan demokrasi yang adil, jujur, dan transparan, serta mendorong stabilitas nasional melalui dukungan di bidang pertahanan dan keamanan. Selain itu, kebijakan belanja negara juga diarahkan untuk; 3 menguatkan daya saing untuk mendorong pertumbuhan yang inklusif dan berkelanjutan, serta menguatkan perekonomian domestik antara lain melalui program MP3EI; dan 4 meningkatkan eisiensi struktur belanja negara dengan mendorong eisiensi belanja yang kurang produktif untuk direalokasi ke kegiatan yang produktif, antara lain melalui pembatasan kegiatan yang kurang produktif dan melakukan desain ulang subsidi agar lebih eisien dan tepat sasaran. Arah lain dari kebijakan belanja negara adalah untuk 5 mengantisipasi ketidakpastian melalui dana cadangan risiko iskal yang memadai; 6 meningkatkan efektivitas dan perluasan program pengentasan kemiskinan antara lain melalui MP3KI; dan 7 mendorong pengurangan kesenjangan ekonomi antara pusat dan daerah dan antardaerah, serta penguatan kemandirian daerah. Kebijakan pembiayaan dalam jangka menengah diarahkan untuk mendukung kebijakan iskal yang ekspansif, dengan fokus antara lain untuk 1 mencari sumber-sumber pembiayaan yang biayanya eisien dan risikonya rendah; 2 mengarahkan pemanfaatan pinjaman untuk kegiatan produktif dan penguatan perekonomian domestik; dan 3 menempuh kebijakan net negative low dalam rangka mendorong kemandirian ekonomi dan meminimalisir risiko. Sejalan dengan hal tersebut, pemanfaatan pinjaman diprioritaskan antara lain untuk 1 menyediakan pelayanan publik; 2 mendorong peningkatan penggunaan barang dan jasa dalam negeri; 3 program yang mempunyai rentang manfaat luas dan bersifat inovatif sehingga dapat menjadi model untuk replikasi dan pengembangan melalui pendanaan rupiah atau pendanaan lainnya; dan 4 mendorong pertumbuhan ekonomi pro growth, penciptaan lapangan pekerjaan pro job, penurunan kemiskinan secara nyata dan terukur pro poor , danatau mendukung kesinambungan pembangunan yang berwawasan lingkungan pro environment.

7.2 Proyeksi APBN Jangka Menengah

Kerangka APBN Jangka Menengah atau medium term budget framework MTBF merupakan kerangka penganggaran jangka menengah yang meliputi kerangka pendapatan negara, belanja negara, dan pembiayaan dalam jangka menengah yang sifatnya terbuka untuk