Perkembangan Ekonomi 2008–2013 KINERJA EKONOMI MAKRO

Bab 2 2-3 Kinerja Ekonomi Makro Nota Keuangan dan RAPBN 2014 Sementara itu, negara-negara emerging markets selama periode 2008-2012 juga mengalami tren perkembangan yang sama dengan negara maju. Cina merupakan salah satu dari sedikit negara yang tetap mampu mencapai pertumbuhan ekonomi yang relatif tinggi di saat krisis ekonomi global 2008 dan 2009, yaitu masing-masing mencapai sebesar 9,6 persen dan 9,2 persen. Pada tahun 2010, Cina terus berakselerasi hingga mampu mencapai pertumbuhan ekonomi 10,4 persen. Kekuatan perekonomian Cina pada periode tersebut, selain ditopang oleh tingginya aktivitas ekspor serta investasi, juga didukung oleh kebijakan stimulus yang ditempuh oleh Pemerintah Cina. Meskipun demikian, pada tahun 2011, perekonomian Cina mulai merasakan dampak negatif dari krisis utang di Kawasan Eropa. Pertumbuhan ekonomi Cina pada tahun 2011 mengalami perlambatan menjadi 9,3 persen, dan berlanjut pada tahun 2012, di mana ekonomi China hanya mampu tumbuh sebesar 7,8 persen, yang merupakan pertumbuhan ekonomi terendah dalam 12 tahun terakhir. Tidak jauh berbeda dengan yang terjadi di Chna, perekonomian India mengalami pertumbuhan yang luktuatif dalam lima tahun terakhir. Perekonomian India tumbuh 6,2 persen pada tahun 2008, dan 5,0 persen pada tahun 2009. Bahkan, pada tahun 2010, ekonomi India mencatat pertumbuhan ekonomi dua digit, sebesar 11,2 persen. Namun, pada tahun 2011, pertumbuhan ekonomi India mulai melambat dan hanya tumbuh sebesar 7,7 persen, dan berlanjut melambat menjadi 4,0 persen pada tahun 2012. Melambatnya laju pertumbuhan India tersebut disebabkan oleh melemahnya kinerja sektor manufaktur sebagai imbas krisis yang terjadi di negara-negara maju. Sementara itu, pelemahan ekonomi di negara-negara maju berimplikasi negatif pada kinerja perdagangan dunia. Penurunan permintaan ekspor dari negara-negara maju selanjutnya menyebabkan pola perdagangan dunia ikut mengalami perlambatan. Setelah mengalami proses pemulihan pasca krisis 2009, pertumbuhan volume perdagangan dunia naik ke level tertinggi sebesar 12,9 persen pada tahun 2010. Memasuki tahun 2011, menurunnya permintaan dari negara-negara maju akibat krisis yang terjadi di kawasan Eropa serta perlambatan ekonomi AS mengakibatkan volume perdagangan global mengalami penurunan menjadi 6,0 persen pada tahun 2011. Pada tahun 2012, relatif lemahnya permintaan global telah mengakibatkan perlambatan pertumbuhan volume perdagangan dunia, sehingga turun menjadi 2,5 persen lihat Graik 2.2. Krisis perekonomian global yang terjadi pada tahun 2008–2009 juga telah menyebabkan harga komoditas mengalami penurunan yang cukup signiikan. Pada tahun 2009, harga komoditas minyak mentah internasional turun hingga 36,3 persen, sementara harga komoditas pangan dan industri turun 15,7 persen. Pada tahun 2011, kenaikan harga-harga komoditas di pasar global masih berlanjut akibat melemahnya pasokan serta membaiknya aktivitas perdagangan dunia. Melemahnya pasokan 2,9 -10,5 12,9 6,0 2,5 -15,0 -10,0 -5,0 0,0 5,0 10,0 15,0 2008 2009 2010 2011 2012 , yoy Sumber: World Economic Outlook - IMF, Juli 2013 GRAFIK 2.2 PERTUMBUHAN VOLUME PERDAGANGAN DUNIA, 2008–2012 Bab 2 Kinerja Ekonomi Makro Nota Keuangan dan RAPBN 2014 2-4 komoditas merupakan dampak dari tidak dimanfaatkannya kapasitas produksi yang ada secara penuh akibat ekspektasi pelemahan permintaan global dan ketidakpastian di beberapa negara besar. Pada tahun 2011 harga-harga komoditas pangan dan industri turun sebesar 17,9 persen. Dilain pihak, harga minyak justru meningkat sebesar 31,6 persen. Pada tahun 2012, harga-harga komoditas internasional kembali mengalami penurunan karena permintaan dari negara-negara maju melambat sebagai dampak pelemahan ekonomi. Harga komoditas pangan dan industri turun sebesar 9,8 persen, sedangkan harga minyak internasional masih mencatat kenaikan sebesar 1,0 persen. Sejalan dengan hal tersebut, laju inlasi pada tahun 2012 juga relatif melambat bila dibandingkan dengan inlasi pada tahun 2011, yakni dari 5,1 persen menjadi 4,2 persen. Laju inlasi di negara-negara berkembang masih relatif lebih tinggi daripada inlasi di negara-negara maju. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi di negara- negara berkembang memiliki kontribusi besar pada kenaikan harga komoditas dan inlasi, serta kemungkinan terjadinya instabilitas arus modal seiring kebijakan iskal yang makin ketat dan kenaikan suku bunga. Laju inlasi di negara-negara berkembang pada tahun 2012 adalah sebesar 6,1 persen, sementara di negara-negara maju sebesar 2,0 persen. Perekonomian Nasional Pertumbuhan Ekonomi Dalam lima tahun terakhir 2008-2012, perekonomian nasional mampu tumbuh cukup kuat dengan rata-rata pertumbuhan sebesar 5,9 persen. Tiga tahun terakhir pertumbuhan ekonomi selalu berada di atas 6,0 persen. Pada tahun 2008 ekonomi Indonesia tumbuh 6,0 persen dengan dorongan dari permintaan domestik yang cukup tinggi. Namun pada tahun 2009, perekonomian nasional mengalami perlambatan yang cukup signifikan akibat dampak krisis global yang mempengaruhi sisi eksternal, dengan berkontraksinya ekspor- impor karena menurunnya pertumbuhan ekonomi dan volume perdagangan dunia, sehingga hanya tumbuh 4,6 persen. Pada tahun- tahun selanjutnya, pertumbuhan ekonomi Indonesia mampu tumbuh stabil di tengah kondisi perekonomian global yang belum pulih lihat Graik 2.3. Pada tahun 2012, ekonomi Indonesia mampu tumbuh 6,2 persen, melambat bila dibandingkan dengan tahun 2011 yang sebesar 6,5 persen. Lemahnya kinerja ekonomi global memberikan dampak terhadap sisi eksternal PDB. Pertumbuhan ekspor neto mengalami kontraksi yang cukup dalam, yaitu sebesar minus 4,7 persen, jauh menurun dari tahun sebelumnya yang mampu tumbuh 14,7 persen. Sementara itu, masih kuatnya permintaan domestik utamanya konsumsi rumah tangga dan investasi menjadi sumber pendorong pertumbuhan ekonomi pada tahun 2012. Dari sisi penawaran, tercatat tiga sektor yang mempunyai kontribusi besar terhadap pertumbuhan, yaitu sektor industri pengolahan, sektor perdagangan, hotel, dan restoran, serta sektor pengangkutan dan komunikasi lihat Graik 2.4. 6,0 4,6 6,2 6,5 6,2 0,0 1,0 2,0 3,0 4,0 5,0 6,0 7,0 2008 2009 2010 2011 2012 persen Sumber: Badan Pusat Statistik GRAFIK 2.3 PERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA, 2008–2012 , yoy Bab 2 2-5 Kinerja Ekonomi Makro Nota Keuangan dan RAPBN 2014 Konsumsi rumah tangga merupakan komponen yang cukup penting dalam menopang laju pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Hal tersebut tidak saja disebabkan oleh perannya yang cukup besar dalam PDB, tetapi juga mengingat pertumbuhannya yang cukup stabil. Selama periode 2008 hingga 2012, laju pertumbuhan konsumsi rumah tangga bergerak pada kisaran 4,7 persen hingga 5,3 persen, dengan rata rata mencapai 5,0 persen. Dalam periode tersebut, konsumsi rumah tangga telah menyumbang sekitar 57 persen dari total pembentukan PDB. Besarnya peran konsumsi rumah tangga antara lain didukung oleh struktur perekonomian Indonesia serta besarnya jumlah penduduk disertai peningkatan rasio usia produktif demographic dividen sehingga mampu mendorong permintaan domestik. Tren peningkatan usia produktif tersebut diperkirakan masih akan terus terjadi selama sepuluh hingga lima belas tahun ke depan, sehingga dapat menjadi modal dasar untuk mencapai pertumbuhan yang relatif tinggi dan stabil. Walaupun didukung modal dasar faktor demograi tersebut, konsumsi rumah tangga tidak lepas dari tekanan-tekanan yang terjadi. Selama periode 2008–2012, gejolak dan krisis yang terjadi di perekonomian global juga telah berdampak pada kondisi ekonomi domestik. Pada tahun 2009, konsumsi rumah tangga masih mampu tumbuh sebesar 4,9 persen, lebih rendah bila dibandingkan dengan realisasinya pada tahun 2008 yang mencapai 5,3 persen. Perlambatan tersebut terlihat pada beberapa indikator ekonomi seperti penjualan ritel, penjualan mobil dan motor, dan jumlah uang beredar. Menyikapi hal tersebut, Pemerintah telah mengambil berbagai kebijakan stimulus dan koordinasi kebijakan iskal dan moneter yang mampu meredam tekanan yang terjadi serta tetap menjaga kesehatan fundamental ekonomi. Di samping itu, konsumsi rumah tangga dan perekonomian juga mendapat insentif tambahan dari pelaksanaan pemilu sehingga tidak terjadi perlambatan yang lebih dalam. Pada periode tahun 2010 hingga 2011, konsumsi rumah tangga kembali melambat dan tumbuh sebesar 4,7 persen di kedua tahun tersebut. Perlambatan konsumsi rumah tangga terutama disebabkan oleh tingginya inlasi, akibat kenaikan harga bahan pangan global dan domestik. Selain itu, kecenderungan masyarakat untuk meningkatkan tabungan dan deposito di perbankan juga berpengaruh pada melambatnya konsumsi rumah tangga. Pada tahun 2012, konsumsi rumah tangga tumbuh sebesar 5,3 persen. Perbaikan ini antara lain didorong oleh peningkatan upah minimum propinsi UMP di beberapa daerah, penurunan tingkat pengangguran, laju inlasi yang menurun sehingga mampu mengangkat daya beli riil masyarakat, serta dukungan program-program pemerintah seperti program PNPM, BOS, Jamkesmas, dan program pro poor lainnya. Konsumsi pemerintah merupakan pengeluaran pemerintah yang dipergunakan untuk membiayai jalannya kegiatan pemerintahan. Kontribusi konsumsi pemerintah terhadap pertumbuhan PDB mencapai sebesar 0,81 persen pada tahun 2008 dan, 1,27 persen pada tahun 2009. Dalam periode yang sama, pertumbuhan konsumsi pemerintah mencapai sebesar 10,4 persen pada -20 -15 -10 -5 5 10 15 20 25 2008 2009 2010 2011 2012 persen Sumber: Badan Pusat Statistik GRAFIK 2.4 PERTUMBUHAN EKONOMI MENURUT PENGELUARAN, 2008 – 2012 , yoy Kons. Rumah Tangga Kons. Pemerintah PMTB Ek spor Impor Bab 2 Kinerja Ekonomi Makro Nota Keuangan dan RAPBN 2014 2-6 tahun 2008 dan sebesar 15,7 persen pada tahun 2009. Pertumbuhan konsumsi pemerintah yang cukup tinggi pada tahun 2009 berkaitan dengan meningkatnya belanja barang untuk penyelenggaraan pemungutan suara dalam Pemilu Presiden dan perlambatan faktor pengurang dari PNBP lainnya. Pada tahun 2012, konsumsi pemerintah tumbuh sebesar 1,2 persen atau melambat bila dibandingkan dengan pertumbuhan tahun sebelumnya yang sebesar 3,2 persen. Perlambatan ini disebabkan oleh adanya penghematan belanja barang atau operasional yang cukup siginiikan pada pertengahan tahun 2012. Di sisi lain, kontribusi konsumsi pemerintah hanya mencapai sebesar 0,1 persen terhadap pertumbuhan ekonomi. Sementara itu, pembentukan modal tetap bruto PMTB atau investasi merupakan variabel yang berperan cukup besar dalam mendorong laju pertumbuhan ekonomi karena merupakan gerbang awal aktivitas ekonomi. Walaupun lebih kecil bila dibandingkan dengan kontribusi konsumsi rumah tangga, kontribusi investasi terhadap PDB tetap merupakan pendorong yang cukup berarti bagi pertumbuhan ekonomi. InvestasiPMTB selama periode 2008–2012 secara umum menunjukkan kinerja yang cukup baik. Pada tahun 2008, komponen PMTB masih mencatat laju pertumbuhan yang cukup tinggi. Namun akibat tekanan gejolak pasar keuangan dan krisis ekonomi global pada tahun 2009, laju pertumbuhan PMTB terkoreksi cukup signiikan, yaitu dari 11,9 persen pada tahun 2008 menjadi hanya 3,3 persen pada tahun 2009. Demikian pula, kontribusi PMTB terhadap PDB menurun dari sebesar 2,7 persen di tahun 2008 menjadi hanya 0,8 persen pada tahun 2009. Ketatnya likuiditas global serta melemahnya aktivitas ekonomi dan perdagangan dunia telah berdampak negatif pada kinerja ekonomi dan investasi domestik. Perlambatan kinerja investasi tersebut juga ditandai dengan menurunnya pertumbuhan kredit investasi dan modal kerja ke sektor riil, serta menurunnya impor barang modal. Pertumbuhan kredit investasi turun dari 38,4 persen pada tahun 2008 menjadi hanya 16,1 persen pada tahun 2009. Sementara itu, pertumbuhan kredit modal kerja turun lebih dalam dari 28,7 persen pada tahun 2008 menjadi hanya 3 persen pada tahun 2009. Pertumbuhan impor barang modal juga mengalami penurunan yang sangat dalam dari 69,4 persen pada tahun 2008 menjadi hanya 7,2 persen pada tahun 2009. Kinerja investasi kembali membaik pada tahun-tahun berikutnya. Kondisi fundamental yang cukup kuat, pertumbuhan ekonomi yang relatif lebih baik bila dibandingkan dengan pertumbuhan negara-negara lain, dukungan kebijakan stimulus, serta pengelolaan iskal dan moneter yang efektif mampu meningkatkan kepercayaan investor dunia dan domestik untuk menanamkan modalnya. Laju pertumbuhan PMTB kembali menunjukkan tren meningkat hingga pada tahun 2012 tumbuh sebesar 9,8 persen. Perbaikan kinerja PMTB tersebut juga tercermin pada indikator-indikator investasi seperti kredit investasi dan kredit modal kerja perbankan, penjualan semen yang berkaitan erat dengan kegiatan konstruksi, dan impor barang modal yang dibutuhkan untuk ekspansi kegiatan produksi. Selanjutnya, komponen ekspor dan impor merupakan komponen pendapatan nasional dan pertumbuhan ekonomi yang sangat erat kaitannya dengan kondisi ekonomi global. Khusus untuk komponen ekspor, performanya sangat tergantung dengan tingkat permintaan dan daya beli perekonomian global dan mitra dagang Indonesia. Sementara itu, untuk komponen impor, kinerjanya tidak hanya tergantung pada daya beli domestik, tetapi juga terkait dengan kebutuhan bahan input impor mesin dan bahan baku yang dibutuhkan untuk menghasilkan produk-produk untuk domestik maupun ekspor. Bab 2 2-7 Kinerja Ekonomi Makro Nota Keuangan dan RAPBN 2014 Perkembangan ekspor dan impor selama periode 2008 sampai dengan 2012 berluktuasi mengikuti perkembangan ekonomi global. Kontraksi ekonomi global yang terjadi pada tahun 2009 telah menyebabkan penurunan aktivitas ekspor dan impor di berbagai belahan dunia, termasuk di Indonesia. Pertumbuhan ekspor yang pada tahun 2008 tumbuh sebesar 9,5 persen, kemudian berbalik dan mengalami kontraksi hingga mencapai pertumbuhan minus 9,7 persen pada tahun 2009. Hal yang serupa terjadi pula pada aktivitas impor yang pada tahun 2008 tumbuh 10,0 persen, menurun hingga mencapai pertumbuhan minus 15,0 persen pada tahun 2009. Walaupun terjadi tekanan pada kinerja perdagangan internasional, secara total masih terjadi peningkatan ekspor neto pada tahun 2009. Melemahnya pendapatan dan daya beli mitra dagang utama Indonesia telah menyebabkan penurunan ekspor secara signiikan. Penurunan ekspor tersebut telah membawa dampak yang sama pada kinerja impor, tidak saja melalui dampak pelemahan pada pendapatan dan daya beli masyarakat Indonesia, tetapi juga pada kebutuhan akan bahan baku dan barang modal untuk memproduksi komoditi ekspor. Di samping itu, krisis ekonomi di berbagai negara telah menyebabkan kekhawatiran pada stabilitas keuangan dan ekonomi di negara-negara berkembang, sehingga menimbulkan tekanan likuiditas yang juga berdampak negatif pada dukungan perbankan terhadap kegiatan produksi. Memasuki tahun 2010 hingga tahun 2011, kinerja ekspor dan impor kembali membaik. Mulai membaiknya kondisi ekonomi global, walaupun dalam tingkat yang relatif lemah, telah membawa dampak positif pada kinerja ekspor Indonesia. Pertumbuhan ekspor dan impor kembali mencatat pertumbuhan di atas 10 persen. Namun, tekanan pada kinerja ekspor dan impor kembali terlihat pada tahun 2012. Lambatnya proses pemulihan ekonomi global dan meningkatnya tekanan ekonomi di negara-negara mitra dagang kembali menyebabkan pelemahan kinerja kedua komponen pendapatan nasional tersebut. Pada tahun 2012 terjadi perkembangan yang kurang baik bagi kinerja perdagangan internasional Indonesia. Perlambatan laju pertumbuhan ekspor dan penurunan harga komoditas ekspor utama Indonesia di pasar internasional telah menyebabkan penurunan nilai ekspor Indonesia secara signifikan. Pada saat yang sama, terjadi penurunan impor namun tidak secepat penurunan ekspor. Kondisi tersebut menyebabkan terjadinya deisit neraca perdagangan Indonesia, pertama kali sejak tahun 1961. Bila disimak lebih jauh, salah satu penyebab terjadi deisit neraca perdagangan tersebut adalah tekanan deisit pada neraca perdagangan komoditi migas. Pertumbuhan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan selama ini mendorong kenaikan konsumsi BBM domestik yang berdampak pada kebutuhan impor BBM yang tinggi. Pada saat yang sama, produksi migas Indonesia tengah mengalami penurunan terutama akibat sumur- sumur minyak yang semakin tua dan kurang produktif. Peningkatan konsumsi bahan bakar minyak bersubsidi yang disertai dengan kenaikan harga minyak mentah dan kondisi terus melemahnya nilai tukar Rupiah, antara lain menjadi latar belakang kebijakan penyesuaian harga BBM bersubsidi di dalam negeri. Peningkatan harga BBM bersubsidi yang disertai kebijakan pengelolaan konsumsi BBM diharapkan dapat mendorong penghematan konsumsi BBM dalam negeri dan menghambat pertumbuhan impor migas yang terlalu tinggi. Dari sisi lapangan usaha, hampir semua sektor menunjukkan peningkatan setiap tahun. Bila dicermati lebih lanjut, terlihat bahwa pertumbuhan kelompok sekunder dan tersier selalu lebih tinggi bila dibandingkan dengan pertumbuhan kelompok primer, bahkan cenderung lebih tinggi bila dibanding dengan pertumbuhan ekonomi nasional. Sebaliknya, meskipun kontribusinya terhadap pertumbuhan ekonomi besar, namun pertumbuhan sektor primer selama lima tahun terakhir selalu lebih rendah dari pertumbuhan ekonomi nasional. Bab 2 Kinerja Ekonomi Makro Nota Keuangan dan RAPBN 2014 2-8 Sektor primer sejak 2008 hingga 2012 hanya tumbuh rata-rata 3,1 persen, dalam hal ini, sektor pertanian tumbuh rata-rata 3,8 persen dan sektor pertambangan 2,4 persen. Kelompok sektor sekunder tumbuh rata-rata 6,7 persen, dengan sektor industri pengolahan tumbuh 4,5 persen, sektor listrik, gas, dan air bersih tumbuh 8,4 persen, serta sektor konstruksi tumbuh 7,1 persen. Kelompok tersier tumbuh rata-rata sebesar 8,2 persen, dengan pertumbuhan terendah terjadi di sektor jasa-jasa dengan rata-rata sebesar 6,1 persen, diikuti sektor keuangan sebesar 6,6 persen, sektor perdagangan, hotel, dan restoran sebesar 6,8 persen, serta sektor pengangkutan dan komunikasi sebesar 13,3 persen. Pertumbuhan tertinggi masih tetap ditempati oleh sektor pengangkutan dan komunikasi, meskipun dari tahun ke tahun pertumbuhannya makin melambat lihat Tabel 2.1. Dilihat strukturnya atau sumbangan dari setiap sektor ekonomi, selama lima tahun terakhir sektor industri pengolahan menempati posisi pertama dengan struktur sebesar 25,4 persen, diikuti oleh sektor pertanian 14,8 persen, dan sektor perdagangan, hotel, dan restoran sebesar 13,7 persen. Struktur terendah berasal dari sektor listrik, gas, dan air bersih yang menyumbang sebesar 0,8 persen. Pada tahun 2012, hampir semua sektor mengalami peningkatan pertumbuhan. Peningkatan pertumbuhan terjadi pada sektor pertanian, sektor pertambangan, sektor listrik, gas, dan air bersih, sektor konstruksi, serta sektor keuangan. Sementara itu, sektor yang mengalami perlambatan pertumbuhan adalah sektor industri pengolahan, sektor perdagangan, hotel, dan restoran, sektor pengangkutan dan komunikasi, serta sektor jasa. Inlasi Sejak beberapa tahun terakhir, volatilitas harga komoditas energi di pasar internasional berpengaruh terhadap perkembangan harga komoditas bahan pangan. Kondisi tersebut pada Sektor 2008 2009 2010 2011 2012 1. Pertanian 4,8 4,0 3,0 3,4 4,0 2. Pertambangan 0,7 4,5 3,9 1,4 1,5 3. Industri Pengolahan 3,7 2,2 4,7 6,1 5,7 4. Listrik, Gas, dan Air Bersih 10,9 14,3 5,3 4,8 6,4 5. Konstruksi 7,6 7,1 7,0 6,6 7,5 6. Perdagangan, Hotel, dan Restoran 6,9 1,3 8,7 9,2 8,1 7. Pengangkutan dan Komunikasi 16,6 15,8 13,4 10,7 10,0 8. Keuangan, Real Estat, Jasa Perusahaan 8,2 5,2 5,7 6,8 7,1 9. Jasa 6,2 6,4 6,0 6,7 5,2 Pertumbuhan Ekonomi 6,0 4,6 6,2 6,5 6,2 Su m ber : Ba da n Pu sa t St a t i st i k 2008–2012 persen PERTUMBUHAN EKONOMI MENURUT SEKTOR TABEL 2.1 Bab 2 2-9 Kinerja Ekonomi Makro Nota Keuangan dan RAPBN 2014 gilirannya berpengaruh terhadap perkembangan harga komoditas sejenis, baik komoditas energi maupun bahan pangan, sehingga memberikan pengaruh terhadap perkembangan laju inlasi di Indonesia. Volatilitas harga komoditas energi dan bahan pangan di pasar internasional disebabkan oleh adanya gangguan produksi yang mengakibatkan berkurangnya pasokan, di tengah meningkatnya jumlah permintaan output gap. Beberapa faktor penyebab timbulnya gangguan produksi komoditas tersebut di negara-negara produsen antara lain adalah anomali iklim, bencana alam, dan konlik geopolitik. Tekanan output gap yang meningkat di pasar internasional tersebut pada akhirnya berdampak pada timbulnya gejolak harga komoditas sejenis di pasar dalam negeri. Perkembangan harga komoditas bahan pangan dan energi yang meningkat di pasar internasional pada tahun 2008 telah mendorong peningkatan harga komoditas energi dan bahan pangan di pasar domestik. Dalam rangka mengendalikan subsidi BBM, Pemerintah melakukan kebijakan penyesuaian harga BBM bersubsidi pada Juni 2008. Dampak kenaikan harga BBM bersubsidi mendorong laju inlasi pada tahun 2008 ke level 11,06 persen yoy. Kondisi sebaliknya, pada saat harga komoditas energi di pasar internasional mengalami penurunan pada tahun 2009, Pemerintah menurunkan harga BBM bersubsidi. Kebijakan tersebut mengakibatkan laju inlasi mengalami penurunan tajam ke level 2,78 persen yoy, seiring dengan penurunan harga komoditas energi dan stabilnya harga komoditas bahan pangan di pasar internasional lihat Graik 2.5. Perkembangan harga komoditas bahan pangan dan energi di pasar internasional yang kembali meningkat pada tahun 2010 mendorong peningkatan laju inflasi hingga mencapai level 6,96 persen yoy. Tekanan inflasi dari sumber eksternal tersebut memperberat laju inflasi domestik mengingat pada saat yang bersamaan, p a s a r d a l a m n e g e r i j u g a mengalami gangguan pasokan bahan pangan sebagai dampak dari serangkaian bencana alam yang terjadi di beberapa wilayah sentra produksi. Tekanan tersebut menimbulkan dorongan peningkatan harga komoditas bahan pangan dan energi di pasar dalam negeri sehingga meningkatkan inlasi tahun 2010. Pada tahun 2011, tekanan yang bersumber dari faktor eksternal cenderung menurun, yang disertai dengan produksi dalam negeri yang mengalami peningkatan, arus distribusi yang mengalami perbaikan, serta nilai tukar rupiah yang stabil. Laju inlasi tahun 2011 berada pada level 3,79 persen yoy, yang didorong oleh penurunan laju inlasi pada komoditas bahan pangan. Rendahnya laju inlasi tahun 2011 juga didorong dengan terjadinya delasi terbesar dalam kurun waktu 10 tahun terakhir, yang terjadi pada Maret 2011, yaitu sebesar 0,32 persen mtm. Peningkatan harga komoditas energi di pasar internasional sejak akhir tahun 2011 hingga awal paruh pertama 2012 telah mendorong kekhawatiran terhadap kondisi perekonomian nasional. Memasuki tahun 2012, laju inlasi mulai menunjukkan tren peningkatan yang bersumber dari gejolak harga komoditas energi di pasar internasional akibat tekanan geopolitik yang terjadi. Ketegangan di beberapa negara produsen minyak dunia di kawasan Timur Tengah dan Afrika Utara telah menyebabkan gangguan produksi dan pasokan ke pasar internasional. Pada tahun 2 4 6 8 10 12 14 -0,5 0,0 0,5 1,0 1,5 2,0 2,5 3,0 J F MAMJ JA SONDJ FMAMJ JA SONDJ FMAMJ JA SONDJ FMAMJ JA SONDJ FMAMJ JA SOND 2008 2009 2010 2011 2012 Sumber: Badan Pusat Statistik GRAFIK 2.5 PERKEMBANGAN INFLASI, 2008—2012 mtm yoy RHS Bab 2 Kinerja Ekonomi Makro Nota Keuangan dan RAPBN 2014 2-10 yang sama, walaupun perekonomian global melemah, terjadi peningkatan konsumsi minyak dunia yang melampaui jumlah produksinya. Hal tersebut menyebabkan tekanan harga minyak dunia dan juga penurunan cadangan minyak mentah yang tersedia. Secara historis, gejolak di pasar komoditas energi tersebut berdampak pada peningkatan harga di pasar komoditas bahan pangan internasional, sehingga berpengaruh terhadap perkembangan harga komoditas bahan sejenis di pasar domestik. Harga komoditas bahan pangan di pasar internasional mulai menunjukkan peningkatan pada paruh kedua tahun 2012 seiring dengan kekeringan yang melanda beberapa negara produsen komoditas pangan dunia serta meningkatnya upaya konversi bio-fuel sebagai sumber energi alternatif. Hal ini menimbulkan tekanan terhadap harga komoditas bahan pangan di pasar domestik sehingga mendorong peningkatan kontribusi inlasi kelompok bahan pangan terhadap laju inlasi nasional sepanjang tahun 2012. Namun, gejolak komoditas harga pangan di pasar internasional dapat diredam seiring dengan terjaminnya pasokan dan ketersediaan beberapa komoditas pangan strategis, relatif lancarnya arus distribusi serta terjaganya tingkat konsumsi masyarakat. Produksi beras nasional tahun 2012 meningkat 5,02 persen, bila dibandingkan dengan produksi tahun sebelumnya, sehingga mendorong peningkatan penyerapan dan pengadaan beras dalam negeri oleh Bulog yang mencapai 3,55 juta ton. Produksi komoditas bahan pangan lainnya juga relatif meningkat sehingga tingkat ketersediaan komoditas tersebut relatif terjaga di pasar. Keputusan Pemerintah untuk tidak melaksanakan kebijakan strategis di bidang harga, pergerakan nilai tukar rupiah yang relatif stabil serta terjaganya ekspektasi inlasi masyarakat juga turut mendorong meredanya tekanan inlasi di 2012 sehingga laju inlasi nasional dapat terjaga pada kisaran 4,3 persen yoy. Suku Bunga SPN 3 Bulan Suku bunga SPN 3 bulan mulai dijadikan sebagai salah satu asumsi dasar ekonomi makro dalam penyusunan APBN sejak pengajuan RAPBN Perubahan tahun 2011 menggantikan suku bunga SBI 3 bulan. Pelelangan SBI 3 bulan dihentikan sejak bulan Oktober 2010 oleh Bank Indonesia sebagai langkah untuk mengantisipasi adanya pembalikan arus dana sudden capital reversal yang dikhawatirkan akan menimbulkan luktuasi nilai tukar yang berlebihan. Penghentian lelang SBI 3 bulan diharapkan mampu mengalihkan modal asing masuk ke instrumen investasi dengan tenor yang lebih panjang. Dengan dihentikannya pelelangan SBI 3 bulan oleh Bank Indonesia, sesuai dengan ketentuan dan persyaratan terms and condition Surat Utang Negara SUN dengan tingkat bunga mengambang Variable Rate VR, Pemerintah berkewajiban untuk menerbitkan surat utang lain yang memiliki sistem pelelangan setara dengan SBI 3 bulan. Surat utang dimaksud juga digunakan sebagai dasar perhitungan tingkat bunga surat utang negara dengan tingkat bunga mengambang atau variable rate . Pada bulan Maret 2011, Pemerintah mulai menerbitkan Surat Perbendaharaan Negara SPN dengan tenor 3 bulan sebagai dasar perhitungan tingkat bunga surat utang negara dengan tingkat bunga mengambang atau variable rate . Selanjutnya, suku bunga SPN 3 bulan digunakan sebagai salah satu dasar perhitungan postur APBN. Sepanjang tahun 2011, Pemerintah telah melakukan pelelangan SPN 3 bulan sebanyak 15 kali pelelangan, dengan rata-rata tingkat suku bunga SPN 3 bulan mencapai 4,8 persen. Minat investor cukup besar yang terlihat pada oversubscribed penawaran yang terjadi pada setiap pelelangan. Bab 2 2-11 Kinerja Ekonomi Makro Nota Keuangan dan RAPBN 2014 Meningkatnya posisi Indonesia ke level investment grade sejak bulan Desember 2011 turut mempengaruhi tingkat suku bunga SPN 3 bulan. Selama tahun 2012, Pemerintah telah melakukan pelelangan SPN 3 bulan sebanyak 14 kali dengan rata-rata tingkat suku bunga SPN 3 bulan mencapai 3,2 persen lihat Graik 2.6. Penguatan tingkat suku bunga SPN 3 bulan ini selain dipengaruhi oleh meningkatnya peringkat utang pemerintah juga didukung oleh faktor-faktor baik eksternal maupun internal. Faktor eksternal meliputi aliran modal masuk capital inlows, suku bunga global, serta harga komoditas internasional. Tekanan yang muncul pada tingkat suku bunga terutama didorong oleh adanya sentimen yang muncul akibat krisis Eropa yang tidak kunjung selesai. Sementara itu, faktor internal yang memengaruhi terutama bersumber dari ekspektasi terhadap inlasi. Nilai Tukar Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS bergerak luktuatif dengan kecenderungan melemah sepanjang tahun 2008—2011. Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS hingga akhir triwulan ketiga tahun 2008 bergerak relatif stabil pada rentang Rp9.051 hingga Rp9.500 per dolar AS. Kekhawatiran pelaku pasar terhadap dampak krisis ekonomi di Amerika Serikat serta masih belum adanya kejelasan tentang penanggulangan krisis di negara-negara Eropa mendorong pelemahan nilai tukar rupiah sepanjang triwulan keempat tahun 2008 lihat Graik 2.7. Dalam perkembangannya, nilai tukar rupiah mengalami pelemahan tajam pada rentang Rp9.500 hingga Rp12.400 per dolar AS, bahkan sempat menyentuh level terendah Rp12.650 per dolar AS pada 24-25 November 2008, yang merupakan level rupiah terendah sejak tahun 2005. Pelemahan rupiah secara tajam ini m e n d o r o n g r a t a - r a t a nilai tukar rupiah selama tahun 2008 bergerak pada kisaran Rp9.692 per dolar AS, melemah sebesar 6,05 persen bila dibanding dengan posisi nilai tukar t a h u n s e b e l u m n y a . Pelemahan nilai tukar r u p i a h s e b a g a i i m b a s kekhawatiran terhadap p r o s p e k p e m u l i h a n e k o n o m i d i A m e r i k a Serikat dan Eropa masih berlanjut hingga triwulan 5,19 5,02 5,19 4,88 5,44 4,63 4,18 3,75 5,23 5,46 4,81 4,72 4,47 3,87 1,92 1,69 2,20 3,00 3,08 3,31 3,90 3,99 4,05 4,02 4,02 3,73 1,95 1,00 1,50 2,00 2,50 3,00 3,50 4,00 4,50 5,00 5,50 6,00 2 2 -M a r -1 1 5 -A p r -1 1 19 -A p r -1 1 3 -M e i- 11 2 1- J u n -1 1 5 -J u l- 11 19 -J u l-

11 16

-A g u s t- 11 27 -Se p -1 1 4 -O k t- 11 18 -O k t- 11 1- N o p -1 1 2 2 -N o p -1 1 10 -J a n -1 2 2 6 -J a n -1 2 7- F e b -1 2 2 1- F e b -1 2 6 -M a r -1 2 2 -M a r -1 2 17 -A p r -1 2 19 -J u n -1 2 17 -J u l- 12 9 -A g s -1 2 11 -Se p -1 2 4 -O k t- 12 12 -N o v -1 2 3 -D e s -1 2 Persen GRAFIK 2.6 PERKEMBANGAN SUKU BUNGA SPN 3 BULAN, 2011–2012 Sumber: Kementerian Keuangan Sumber: Kementerian Keuangan 9.692,3 10.408,1 9.086,9 8.776,0 9.384,2 8.000 8.500 9.000 9.500 10.000 10.500 11.000 11.500 12.000 12.500 J MM J S N J MM J S N J MM J S N J MM J S N J MM J S N 2008 2009 2010 2011 2012 RpUS GRAFIK 2.7 PERKEMBANGAN NILAI TUKAR RUPIAH TERHADAP DOLAR AS, 2008—2012 Sumber: Bank Indonesia Bab 2 Kinerja Ekonomi Makro Nota Keuangan dan RAPBN 2014 2-12 kedua tahun 2009. Namun, nilai tukar rupiah kembali menunjukkan tren penguatan sejak triwulan ketiga, meskipun secara tahunan, rata-rata nilai tukar rupiah tahun 2009 berada pada kisaran Rp10.408 per dolar AS, melemah sebesar 7,38 persen bila dibandingkan dengan nilai tukar tahun sebelumnya. Penguatan nilai tukar rupiah yang dimulai sejak semester kedua tahun 2009 terus berlanjut hingga tahun 2011. Pertumbuhan ekonomi yang tetap positif di kawasan Asia, terutama dimotori oleh Cina dan India, serta meningkatnya pertumbuhan ekspor dan investasi Indonesia selama tahun 2010, mendukung peningkatan fundamental ekonomi domestik, yang pada akhirnya mendorong apresiasi nilai tukar rupiah. Selama tahun 2010, nilai tukar rupiah bergerak relatif stabil pada kisaran Rp9.087 per dolar AS, atau mengalami apresiasi sebesar 12,69 persen dari tahun sebelumnya. Sentimen positif penguatan rupiah terus berlanjut hingga tahun 2011 yang ditopang oleh stabilnya perbedaan suku bunga dalam negeri dan suku bunga acuan, serta meningkatnya rating Indonesia pada level investment grade. Kondisi tersebut mendorong meningkatnya arus aliran modal asing yang masuk ke pasar keuangan domestik, serta menjadikan pergerakan rupiah relatif stabil. Meskipun mengalami tekanan pada triwulan keempat, namun secara tahunan, nilai tukar rupiah selama tahun 2011 bergerak relatif stabil pada kisaran Rp8.779 per dolar AS, terapresiasi 3,39 persen dari tahun sebelumnya. Tekanan terhadap nilai tukar rupiah yang dimulai sejak triwulan keempat 2011 terus berlanjut hingga mendorong pelemahan nilai tukar rupiah sepanjang tahun 2012. Belum adanya kejelasan mengenai pemulihan ekonomi di Eropa serta imbas perlambatan ekonomi di Cina, India, dan Jepang, berdampak pada perlambatan pemulihan ekonomi dunia pada tahun 2012. Pelemahan nilai tukar rupiah juga dikhawatirkan akan berlanjut seiring dengan outlook SP yang mempertahankan rating Indonesia pada level BB+ dengan outlook stable, serta adanya kekhawatiran terhadap ketahanan iskal iscal sustainability sebagai akibat penundaan kebijakan di bidang energi. Proyeksi pertumbuhan ekonomi di Amerika Serikat serta pertumbuhan ekonomi yang melambat di negara emerging market dikhawatirkan mendorong terjadinya light to quality yang mendorong penurunan arus modal masuk ke pasar keuangan Indonesia sehingga semakin memberikan tekanan terhadap pergerakan nilai tukar rupiah selama tahun 2012. Sepanjang tahun 2012, rata-rata nilai tukar rupiah berada pada kisaran Rp9.384 per dolar AS, terdepresiasi 6,90 persen dari posisinya pada tahun sebelumnya. Harga Minyak Mentah Indonesia Harga minyak mentah dunia sampai dengan pertengahan tahun 2008 menunjukkan peningkatan yang sangat signiikan. Peningkatan harga ini seiring dengan peningkatan permintaan minyak dunia. Memasuki awal tahun 2008, harga minyak mentah Brent menunjukkan peningkatan yang cukup cepat dan mencapai puncaknya pada bulan Juni 2008, yaitu sebesar US139,3 per barel. Namun memasuki semester kedua, harga minyak mentah Brent menunjukkan tren penurunan hingga US41,8 per barel pada Desember 2008. Rata-rata harga minyak mentah Brent tahun 2008 mencapai sebesar US96,7 per barel atau meningkat 29,5 persen bila dibandingkan dengan realisasi tahun 2007 lihat Graik 2.8. Pergerakan harga minyak mentah Indonesia ICP tidak terlepas dengan tren harga minyak dunia dimana terjadi kenaikan harga yang signiikan sejak awal tahun 2008 hingga mencapai puncaknya pada bulan Juli 2008, yaitu sebesar US135,0 per barel. Setelah mengalami pergerakan harga yang meningkat secara drastis, harga ICP pun mengalami pembalikan harga yang cukup dalam hingga mencapai titik terendah dalam empat tahun terakhir yaitu US38,5 per barel pada Bab 2 2-13 Kinerja Ekonomi Makro Nota Keuangan dan RAPBN 2014 Desember 2008, sehingga harga rata-rata ICP pada tahun 2008 mencapai sebesar US97,0 per barel. Seiring dengan perkembangan harga minyak mentah dunia, harga ICP pada tahun 2009-2012 menunjukkan kecenderungan yang sama. Harga rata-rata ICP pada tahun 2009 mencapai sebesar US61,6 per barel, kemudian terus bergerak naik menjadi US112,7 per barel pada tahun 2012. Pada tahun-tahun berikutnya, harga minyak mentah dunia bergerak secara luktuatif dengan kecenderungan yang meningkat yang disebabkan oleh peningkatan konsumsi minyak mentah. Selama empat tahun terakhir, rata-rata konsumsi minyak dunia mengalami peningkatan, yaitu dari 84,8 juta barel per hari pada tahun 2009 menjadi 89,2 juta barel per hari pada tahun 2012. Peningkatan konsumsi ini terutama terjadi di negara-negara non-OECD. Peningkatan konsumsi tersebut terutama dipicu oleh membaiknya perekonomian negara-negara non-OECD di Asia, Amerika Selatan, dan Rusia. Peningkatan konsumsi ini memicu kenaikan harga minyak mentah dunia hingga akhir 2012. Harga rata-rata minyak mentah Brent yang pada tahun 2009 mencapai US62,5 per barel, terus meningkat hingga mencapai US111,7 per barel pada tahun 2012. Hal ini disebabkan peningkatan konsumsi minyak di Jepang untuk keperluan pembangkit listrik, serta masih tingginya permintaan produk minyak dari Cina dan India. Pergerakan harga minyak dunia selama periode tersebut juga diimbangi oleh peningkatan pasokan minyak dunia terutama yang berasal dari negara-negara non-OPEC sehingga dapat menahan harga minyak tidak lebih tinggi lagi. Rata-rata pasokan minyak mentah dunia pada tahun 2009 sebesar 84,3 juta barel per hari naik menjadi 89,1 juta barel per hari pada tahun 2012. Selain itu, faktor geopolitik di Timur Tengah dan krisis utang Eropa sangat mempengaruhi tingginya volatilitas harga minyak dunia. Lifting Minyak dan Gas Bumi Realisasi lifting minyak Indonesia sepanjang periode tahun 2008–2010 cenderung meningkat, dengan rata-rata sebesar 930,1 ribu barel per hari 2008, naik menjadi 953,9 ribu barel per hari 2010. Peningkatan lifting ini diraih setelah menempuh beberapa kebijakan di bidang perminyakan, di antaranya kebijakan investasi dan pendanaan yang lebih merata, peningkatan sistem dan mekanisme kemitraan di antara pelaku usaha hulu dalam penyediaan barang operasi migas, insentif perpajakan, penangguhan pembayaran pajak pertambahan nilai, dan pembebasan bea masuk peralatan migas. Memasuki tahun 2011, realisasi lifting minyak mulai mengalami penurunan menjadi 898,5 ribu barel per hari lihat Graik 2.9. Kendala yang dihadapi dalam pengendalian untuk menahan laju penurunan produksi alamiah dari lapangan-lapangan yang telah ada, serta permasalahan pada kegiatan peningkatan produksi minyak baru di antaranya adalah permasalahan perijinan, tumpang tindih dan pinjam pakai lahan dengan instansi terkait, permasalahan 78 80 82 84 86 88 90 92 20 40 60 80 100 120 140 160 J u l Ag s Se p O kt N ov De s J a n F e b M ar Ap r M ei J u n J u l Ag s Se p O kt N ov De s J a n F e b M ar Ap r M ei J u n J u l Ag s Se p O kt N ov De s J a n F e b M ar Ap r M ei J u n J u l Ag s Se p O kt N ov De s J a n F e b M ar Ap r M ei J u n J u l Ag s Se p O kt N ov De s 2008 2009 2010 2011 2012 J u ta B a r e l h a r i U S n a rre l Sumber: Bloomberg Kementerian ESDM GRAFIK 2.8 PERKEMBANGAN PRODUKSI, KONSUMSI DAN HARGA MINYAK MENTAH INTERNASIONAL, 2009—2012 Konsumsi RHS Produksi RHS WTI Brent ICP Bab 2 Kinerja Ekonomi Makro Nota Keuangan dan RAPBN 2014 2-14 pengadaan fasilitas terapung, dan meningkatnya kegiatan perbaikan d a n p e m e l i h a r a a n f a s i l i t a s p r o d u k s i. De n g an k e n d a l a - k e n d a l a t e r s e b u t , P r e s i d e n m e n g i n s t r u k s i k a n k e p a d a lembaga pemerintahan pusat dan daerah melalui Inpres Nomor 2 Tahun 2012 untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan s e c a r a t e r k o o r d i n a s i d a n terintegrasi sesuai tugas, fungsi, dan kewenangan masing-masing untuk melakukan koordinasi dan percepatan penyelesaian permasalahan yang menghambat upaya peningkatan, optimalisasi, dan percepatan produksi minyak bumi nasional. Sementara itu, berdasarkan data SKK Migas realisasi lifting gas bumi selama periode 2008- 2011 cenderung meningkat yaitu dari 1.146 ribu barel setara minyak per hari MBOEPD pada tahun 2008 hingga mencapai level tertinggi pada tahun 2011 yaitu sebesar 1.318 MBOEPD. Akan tetapi memasuki tahun 2012, realisasi lifting gas bumi menurun menjadi 1.240 M Barrel Oil Equivalent Per Day MBOEPD. Penurunan ini selain disebabkan oleh faktor-faktor panjangnya proses perijinan, masalah lahan, pengadaan barang operasi, serta penurunan performance reservoir dari lapangan-lapangan produksi, juga terkendala oleh penyerapan penyaluran gas di beberapa konsumen.

2.2.2 Proyeksi Ekonomi 2013

2.2.2.1 Perekonomian Dunia dan Regional

Tahun 2013 merupakan tahun yang penuh tantangan bagi perekonomian dunia setelah terjadinya perlambatan pada tahun 2012. Kondisi ketidakpastian prospek pemulihan ekonomi dari krisis di Eropa serta berbagai langkah kebijakan penyesuaian yang ditempuh beberapa negara industri utama dalam menghadapi tekanan-tekanan yang ada, akan berdampak pada prospek kinerja perekonomian global selanjutnya. Faktor lain yang diperkirakan akan menjadi kendala bagi prospek kinerja perekonomian global adalah terkait dengan perlambatan yang terjadi di beberapa negara berkembang yang selama ini menunjukkan kinerja cukup baik seperti Cina dan India. Prospek melemahnya kinerja perekonomian global tercermin dari revisi ke bawah proyeksi pertumbuhan ekonomi global oleh beberapa lembaga internasional seperti IMF dan Bank Dunia. Dalam update World Economic Outlook Juli 2013, IMF merevisi ke bawah laju pertumbuhan ekonomi dunia tahun 2013 dari semula 3,3 persen menjadi 3,1 persen. Kondisi tersebut sesungguhnya telah didukung oleh kinerja pertumbuhan negara-negara berkembang yang diperkirakan masih menguat dari 4,9 persen pada tahun 2012 menjadi 5,0 persen pada 2013. Sementara itu, pertumbuhan ekonomi negara-negara maju diperkirakan stagnan pada level 1,2 persen. 1.208 1.250 1.391 1.318 1.240 931 944 954 899 861 - 200 400 600 800 1.000 1.200 1.400 1.600 2008 2009 2010 2011 2012 ribu bph GRAFIK 2.9 LIFTING MINYAK DAN GAS BUMI, 2008—2012 Gas Minyak Sumber: Kementerian ESDM dan SKK Migas Bab 2 2-15 Kinerja Ekonomi Makro Nota Keuangan dan RAPBN 2014 Di Amerika Serikat, upaya mendorong kinerja pertumbuhan ekonomi juga masih dibayangi oleh keharusan Pemerintah AS untuk menekan deisit anggarannya. Di kawasan Eropa, tingginya beban utang pemerintah menjadi hambatan bagi upaya-upaya stimulus yang dibutuhkan oleh negara-negara di kawasan tersebut. Di tengah ketidakpastian pemulihan di kawasan Eropa, Uni Eropa mendesak untuk menghentikan dana talangan bagi Yunani apabila pemerintah Yunani tidak mampu meyakinkan terjadinya reformasi. Perekonomian di kawasan Eropa pada tahun 2013 diperkirakan masih akan mengalami kontraksi. Di sisi lain, kinerja perekonomian Jepang diperkirakan akan sedikit memberikan angin segar bagi prospek perekonomian global tahun 2013. Pemerintah Jepang berupaya mendorong perekonomiannya dengan memberikan stimulus iskal untuk penanggulangan bencana dan rekonstruksi serta untuk investasi swasta. Bersamaan dengan hal tersebut, Bank Sentral Jepang juga menetapkan target inlasi sebesar 2 persen pada tahun 2013, lebih tinggi dari target sebelumnya sebesar 1 persen, serta kebijakan iskal yang lebih akomodatif bagi program stimulus iskal dimaksud. Pada tahun 2013 perekonomian Jepang diproyeksikan akan tumbuh sebesar 2,0 persen, lebih tinggi dari pertumbuhan tahun sebelumnya sebesar 1,9 persen. Selanjutnya, prospek kinerja perekonomian Cina masih belum sepenuhnya memberikan harapan yang lebih baik. Beberapa hal yang dapat menjadi hambatan bagi laju pertumbuhan Cina adalah ekspektasi inflasi, kenaikan upah buruh yang menyebabkan perusahaan- perusahaan multinasional dapat memindahkan basis produksinya, serta potensi risiko krisis kredit. Sementara itu, kinerja perekonomian India diperkirakan sedikit mengalami perbaikan pada tahun 2013. Pemerintah India terus berupaya untuk melakukan reformasi ekonomi dan mendorong pertumbuhannya pada tahun 2013. Upaya tersebut dilakukan dengan membuka pasar ritel, penerbangan komersial dan energi untuk perusahaan-perusahaan asing, serta memangkas subsidi energi. Untuk menarik investasi asing, India juga berencana untuk mengamendemen Undang-Undang Akuisisi Lahan era kolonial. Dengan berbagai langkah kebijakan tersebut, perekonomian India diperkirakan tumbuh sebesar 5,6 persen pada tahun 2013, lebih tinggi dibandingkan tahun sebelumnya yang hanya tumbuh sebesar 3,2 persen. Melemahnya kinerja perekonomian global juga akan berimbas pada kinerja negara-negara ASEAN. Pertumbuhan ekonomi di kawasan Asia Tenggara diperkirakan tidak akan setinggi pertumbuhan pada tahun 2012. Kawasan ASEAN-5 diperkirakan tumbuh sebesar 5,6 persen pada tahun 2013, melambat bila dibandingkan dengan pertumbuhan tahun sebelumnya sebesar 6,1 persen. Aktivitas perdagangan internasional yang mengalami perlambatan pada tahun 2012 diperkirakan sedikit mengalami perbaikan pada tahun 2013. Volume perdagangan internasional pada tahun 2013 diperkirakan akan tumbuh sebesar 3,1 persen, lebih tinggi bila dibandingkan dengan pertumbuhan tahun 2012 yang hanya sebesar 2,5 persen. Meskipun terjadi percepatan laju pertumbuhan volume perdagangan, hal ini belum mendorong pemulihan kinerja ekonomi global secara memadai. Selain itu, kinerja perdagangan internasional juga masih dihadapkan pada risiko lambatnya prospek pemulihan krisis di kawasan Eropa. Dari sisi pasar keuangan global, setelah krisis subprime mortgage di AS tahun 2008, beberapa program stimulus diluncurkan oleh Bank Sentral AS dan memberikan dampak signiikan pada pertumbuhan likuiditas negara tersebut, yang tercermin dari pertumbuhan uang kartal dan uang giral serta deposito berjangka. Selain meningkatkan likuiditas di pasar AS sendiri, program Bab 2 Kinerja Ekonomi Makro Nota Keuangan dan RAPBN 2014 2-16 quantitative easing QE juga telah mendorong investor untuk membeli aset-aset berisiko seperti yang dimiliki negara berkembang termasuk Indonesia. Hal ini sejalan dengan fakta bahwa setelah QE 1, QE 2, dan QE 3 diberlakukan, terjadi tren yang sangat bullish pada indeks Dow Jones dan indeks saham negara-negara berkembang termasuk IHSG. Namun sebaliknya apabila QE dikurangi, likuiditas di pasar AS menurun seiring dikuranginya pembelian aset. Hal ini membawa performa indeks saham negara-negara berkembang termasuk Indonesia ke tren bearish seiring keluarnya dana asing dari pasar saham lihat Graik 2.10. Selanjutnya, harga minyak internasional pada tahun 2013 diperkirakan akan mengalami penurunan 4,7 persen. Namun risiko terhadap fluktuasi harga minyak dunia masih perlu diwaspadai. Setidaknya terdapat tiga faktor yang dapat mempengaruhi harga minyak dunia pada tahun 2013, yaitu peningkatan permintaan minyak mentah dan produk minyak pada musim dingin di negara-negara di belahan bumi utara, respon pasar atas sejumlah indikator ekonomi di AS, Cina, dan India, serta kondisi geopolitik di negara- negara produsen minyak. Hingga saat ini harga minyak jenis Brent maupun ICP Minas cenderung turun, namun harga minyak WTI justru meningkat karena terjadi peningkatan permintaan di AS. Di samping itu, harga komoditas nonmigas 2013 diperkirakan juga akan mengalami penurunan sebesar 1,8 persen akibat permintaan dari negara-negara maju yang diperkirakan masih mengalami pelemahan. Seiring dengan hal tersebut, pada tahun 2013, tekanan inlasi dunia diperkirakan akan cenderung menurun. Hal ini seiring dengan berkurangnya tekanan terhadap harga komoditas internasional. Laju inlasi dunia rata-rata diperkirakan mencapai sebesar 3,8 persen, lebih rendah bila dibandingkan dengan inlasi tahun 2012 sebesar 3,9 persen. Di negara-negara maju, laju inlasi diperkirakan mencapai sebesar 1,7 persen melambat jika dibandingkan dengan inlasi tahun 2012 sebesar 2,0 persen. Demikian pula dengan laju inlasi di negara-negara berkembang yang diperkirakan akan menurun menjadi 5,8 persen, lebih rendah jika dibandingkan dengan inlasi tahun sebelumnya sebesar 5,9 persen.

2.2.2.2 Perekonomian Nasional

Pertumbuhan Ekonomi Pada semester I tahun 2013, pertumbuhan ekonomi mencapai 5,9 persen yoy, lebih rendah bila dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi semester I tahun 2012 yang sebesar 6,3 persen. Sumber pertumbuhan masih berasal dari permintaan domestik, yaitu konsumsi rumah tangga dan PMTB. Hingga semester I tahun 2013, konsumsi rumah tangga tumbuh sebesar 5,1 persen, sama dengan pertumbuhan semester I tahun 2012. Pertumbuhan konsumsi rumah tangga didorong oleh tumbuhnya konsumsi makanan sebesar 4,2 persen dan konsumsi nonmakanan sebesar 5,9 persen. 1.000,0 2.000,0 3.000,0 4.000,0 5.000,0 6.000,0 J a n -0 9 A p r -0 9 J u l- 9 O c t- 9 J a n -1 A p r -1 J u l- 1 O c t- 1 J a n -1 1 A p r -1 1 J u l- 1 1 O c t- 1 1 J a n -1 2 A p r -1 2 J u l- 1 2 O c t- 1 2 J a n -1 3 A p r -1 3 J u l- 1 3 Indeks GRAFIK 2.10 PERKEMBANGAN INDEKS DOW JONES DAN IHSG SELAMA QE1,QE2, DAN QE3 Dow Jones IHSG Sumber: Bloomberg QE1 Mulai QE1 Berakhir QE2 Mulai QE2 Berakhir QE3 Mulai Bab 2 2-17 Kinerja Ekonomi Makro Nota Keuangan dan RAPBN 2014 Meskipun masih dihadapkan pada tekanan harga yang cukup tinggi pada awal paruh kedua tahun 2013 akibat kebijakan penyesuaian harga BBM, secara keseluruhan, kinerja konsumsi masyarakat diperkirakan relatif terjaga terkait dengan meningkatnya pengeluaran masyarakat terkait dimulainya aktiitas kampanye Pilkada yang dipercepat, Pemilu legislatif dan Pemilu Presiden, serta langkah-langkah yang diambil Pemerintah dalam rangka menjaga daya beli masyarakat akibat kebijakan penyesuaian harga BBM bersubsidi seperti menyediakan dana tambahan untuk meningkatkan program perlindungan kesejahteraan rakyat miskin, seperti tambahan alokasi beras untuk rakyat miskin raskin, BLSM, dan bantuan siswa miskin. Program kompensasi tersebut tidak saja dimaksudkan untuk melindungi daya beli masyarakat miskin, tetapi juga sebagai langkah awal untuk menerapkan bentuk subsidi lebih tepat sasaran pada kelompok masyarakat yang layak menerimanya. Dorongan positif konsumsi masyarakat pada paruh kedua tahun 2013 diperkirakan berasal dari meningkatnya pengeluaran masyarakat pada bulan Ramadan dan Lebaran. Berbagai kebijakan dan program kerja pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat lainnya juga akan terus digiatkan dan diperbaiki, seperti program Masterplan Percepatan dan Perluasan Pengurangan Kemiskinan Indonesia MP3KI, program bantuan pendidikan dan Sistem Jaminan Sosial Nasional SJSN, serta program kerja stabilisasi harga dan inlasi berkoordinasi dengan Bank Indonesia dan Pemerintah PusatPemerintah Daerah. Faktor tambahan lain yang mampu menunjang pertumbuhan konsumsi rumah tangga adalah dampak percepatan pelaksanaan Pilkada dan persiapan Pemilu yang akan memberikan dorongan bagi aktivitas ekonomi dan pendapatan masyarakat. Sementara itu, pada semester I tahun 2013, pertumbuhan konsumsi pemerintah mengalami perlambatan bila dibandingkan dengan pertumbuhan konsumsi pemerintah semester I tahun 2012, yaitu dari 7,7 persen menjadi 1,4 persen yoy. Perlambatan ini disebabkan oleh menurunnya pertumbuhan realisasi belanja barang terkait dengan kebijakan eisiensi anggaran dan rendahnya realisasi penyerapan belanja bantuan sosial serta belanja lain-lain akibat penundaan pencairan di beberapa KL. Belanja pegawai juga mengalami perlambatan karena penundaan pencairan gaji ke-13 ke bulan Juli 2013. Hingga akhir tahun 2013, pertumbuhan konsumsi pemerintah diperkirakan masih dapat tumbuh lebih tinggi, didorong oleh upaya percepatan penyerapan anggaran yang akan terus dilakukan oleh Tim TEPPA, di tengah-tengah kebijakan penghematan anggaran. Selain itu, pencairan gaji dan tunjangan ke-13 bagi PNS TNI-PolriPensiunan pada bulan Juli 2013, serta kelanjutan program reformasi birokrasi pada kementerianlembaga negara juga akan mendorong tumbuhnya konsumsi pemerintah. Dari sisi pembentukan modal tetap bruto PMTB, hingga semester I tahun 2013 mengalami perlambatan yang cukup signiikan bila dibandingkan dengan pertumbuhan pada periode yang sama tahun sebelumnya, yaitu dari 11,2 persen menjadi 5,2 persen. Perlambatan yang cukup signiikan terjadi pada jenis investasi mesin dan perlengkapan luar negeri, alat angkutan luar negeri, serta lainnya luar negeri, yang ketiganya mengalami kontraksi. Hal ini juga tercermin pada perkembangan impor barang modal yang juga menunjukkan tren menurun sejak semester kedua 2012. Sisi positifnya adalah perkembangan yang cukup menjanjikan pada kinerja penanaman modal langsung, baik dalam bentuk penanaman modal asing PMAFDI maupun PMDN. Hal ini memberikan sinyal yang cukup baik mengenai minat investor di pasar domestik. Dalam kaitan ini, pengelolaan kondisi ekonomi makro dan iskal perlu tetap dijaga dan diperbaiki untuk meningkatkan daya saing iklim investasi dan usaha di dalam negeri guna mendorong investasi. Selain itu, dukungan kegiatan pembangunan infrastruktur oleh Pemerintah diharapkan mampu meningkatkan kinerja PMTB pada tahun 2013. Bab 2 Kinerja Ekonomi Makro Nota Keuangan dan RAPBN 2014 2-18 Selanjutnya, memasuki tahun 2013, kinerja ekspor Indonesia masih menunjukan pertumbuhan yang relatif lemah. Hingga semester I tahun 2013, pertumbuhan ekspor mencapai 4,2 persen, lebih rendah bila dibandingkan dengan pertumbuhan ekspor semester I tahun 2012, yang mencapai 5,3 persen. Masih rendahnya pemulihan ekonomi di negara-negara mitra dagang utama menjadi faktor penyebab lemahnya ekspor Indonesia. Penurunan tersebut terjadi seiring dengan melemahnya impor total di masing-masing negara mitra dagang utama Indonesia. Sementara itu, pertumbuhan impor mengalami penurunan yang cukup jauh pada semester I tahun 2013, yaitu sebesar 0,3 persen dari 10,2 persen yoy pada periode yang sama tahun sebelumnya. Tekanan nilai tukar, pelemahan kebutuhan input impor untuk produksi komoditi ekspor dan domestik, serta kekhawatiran akan tekanan inlasi telah menyebabkan perlambatan pada pertumbuhan impor tersebut. Untuk mendorong kinerja ekspor melalui peningkatan daya saing produk Indonesia di pasar global, Pemerintah telah membentuk Tim Nasional Peningkatan Ekspor dan Peningkatan Investasi Tim PEPI, dengan tujuan merumuskan, mengkaji, dan menetapkan langkah-langkah penyelesaian permasalahan yang bersifat strategis yang timbul dalam peningkatan ekspor. Dalam kaitan ini, peran Tim PEPI pada tahun 2014 akan semakin ditingkatkan untuk merumuskan strategi dan program kerja yang realistis untuk memperluas pasar ekspor, dan mendorong ekspor komoditas yang mempunyai nilai tambah. Strategi untuk memperbaiki posisi neraca perdagangan juga akan ditempuh melalui kebijakan di bidang industri. Arah kebijakan penghiliran industri serta pengembangan dan penguatan industri intermediate ditujukan tidak hanya untuk mendorong peningkatan peran komoditas manufaktur sebagai primadona ekspor, tetapi juga untuk memperkuat industri barang modal dan bahan input dalam negeri sehingga mengurangi ketergantungan pada bahan baku dan barang modal impor. Strategi ini juga akan didukung dengan kebijakan pembiayaan yang murah, baik melalui program kredit usaha dan investasi, maupun kredit serta asuransi untuk kegiatan ekspor dan impor. Pada saat yang sama, perbaikan layanan akan terus dilakukan dan diharapkan akan turut meningkatkan eisiensi dan berdampak positif pada penurunan biaya produksi. Salah satu program kerja yang terus dilakukan adalah perbaikan dan pengembangan Indonesia National Single Window NSW. Upaya lainnya juga dilakukan melalui perbaikan waktu pemrosesan pengeluaran barang dari pelabuhan dwelling time untuk meningkatkan daya saing usaha dan daya tarik investasi di dalam negeri. Kebijakan tersebut juga merupakan bagian dari strategi sistem logistik nasional yang dapat memperkuat ketahanan ekonomi domestik. Dengan mempertimbangkan perkembangan pertumbuhan ekonomi hingga semester I tahun 2013, maka secara keseluruhan pada tahun 2013 pertumbuhan ekonomi diperkirakan mencapai sebesar 6,3 persen. Pemerintah menyadari bahwa pencapaian tingkat pertumbuhan tersebut masih cukup berat, mengingat hingga saat ini gejolak dan ketidakpastian ekonomi dunia masih relatif tinggi dan membawa implikasi tekanan pada ekonomi domestik. Namun, dukungan kebijakan-kebijakan Pemerintah akan terus ditingkatkan dan diefektifkan untuk mencapai target pertumbuhan tersebut. Sumber-sumber pertumbuhan ekonomi berasal dari konsumsi rumah tangga sebesar 5,0 persen, konsumsi pemerintah 6,7 persen, PMTB sebesar 6,9 persen, dan ekspor-impor sebesar 6,6 persen dan 6,1 persen lihat Tabel 2.2. Dari sisi lapangan usaha, pada semester I tahun 2013 terjadi peningkatan pada 4 empat sektor ekonomi, yaitu sektor industri pengolahan, sektor listrik, gas, dan air bersih, sektor Bab 2 2-19 Kinerja Ekonomi Makro Nota Keuangan dan RAPBN 2014 pengangkutan dan komunikasi, serta sektor keuangan. Pertumbuhan tertinggi terjadi pada sektor pengangkutan dan komunikasi yang mencapai sebesar 10,7 persen. Hingga semester I tahun 2013, sektor pertanian tumbuh sebesar 3,4 persen yoy, melambat bila dibandingkan dengan pertumbuhan semester I tahun sebelumnya yang mencapai 4,1 persen yoy. Subsektor perikanan dan subsektor perkebunan tumbuh cukup tinggi masing-masing sebesar 7,1 persen dan 6,7 persen. Sementara itu, subsektor tanaman bahan makanan tumbuh relatif moderat sebesar 1,4 persen karena faktor cuaca yang tidak menentu sehingga mengganggu masa tanam dan panen. Sektor pertanian memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap pertumbuhan PDB yakni sebesar 0,4 persen. Pada periode yang sama, sektor industri pengolahan tumbuh sebesar 5,9 persen yoy, lebih tinggi bila dibandingkan dengan pertumbuhan semester I tahun 2012 yang sebesar 5,4 persen yoy. Pertumbuhan sektor industri pengolahan lebih didominasi oleh industri nonmigas yang tumbuh cukup tinggi yaitu sebesar 6,6 persen yoy. Sementara itu, industri migas tumbuh minus 3,6 persen. Pendorong utama pertumbuhan industri nonmigas yaitu industri logam Pertumbuhan Ekonomi 6,2 6,3 Penggunaan 1. Konsumsi masyarakat 5,3 5,0 2. Konsumsi pemerintah 1,2 6,7 3. Investasi 9,8 6,9 4. Ekspor 2,0 6,6 5. Impor 6,6 6,1 Lapangan Usaha 1. Pertanian, peternakan, kehutanan, dan perikanan 4,0 3,7 2. Pertambangan dan penggalian 1,5 2,0 3. Industri pengolahan 5,7 6,1 4. Listrik, gas, dan air bersih 6,4 6,4 5. Konstruksi 7,5 7,3 6. Perdagangan, hotel, dan restoran 8,1 8,3 7. Pengangkutan dan komunikasi 10,0 11,1 8. Keuangan, real estat, dan jasa perusahaan 7,1 6,0 9. Jasa-jasa 5,2 5,2 Perkiraan Sumber: BPS dan Kementerian Keuangan TABEL 2.2 PERTUMBUHAN EKONOMI MENURUT PENGGUNAAN DAN LAPANGAN USAHA, 2012 ―2013 , yoy Uraian 2012 2013 Bab 2 Kinerja Ekonomi Makro Nota Keuangan dan RAPBN 2014 2-20 dasar besi dan baja yang tumbuh 13,0 persen, industri alat angkut mesin dan peralatannya yang tumbuh 9,4 persen, serta industri kayu dan produk lainnya yang tumbuh 8,4 persen. Industri makanan, minuman, dan tembakau yang menguasai share industri nonmigas hanya tumbuh 3,4 persen. Sektor industri pengolahan masih menjadi kontributor utama pertumbuhan dengan sumbangan 1,5 persen. Sektor perdagangan, hotel, dan restoran meskipun melambat dari periode sebelumnya namun masih tumbuh cukup kuat sebesar 6,5 persen pada semester I tahun 2013. Pertumbuhan sektor ini didorong oleh pertumbuhan subsektor perdagangan besar dan eceran sebesar 6,5 persen, serta pertumbuhan dua subsektor lainnya yaitu subsektor hotel dan subsektor restoran yang masing-masing tumbuh 7,9 persen dan 5,8 persen. Sektor perdagangan, hotel, dan restoran menjadi penyumbang utama pertumbuhan yang kedua setelah industri pengolahan, dengan kontribusi sebesar 1,2 persen. Sektor dengan pertumbuhan tertinggi adalah sektor pengangkutan dan komunikasi, yang tumbuh 10,7 persen. Faktor pendorong pertumbuhan sektor ini adalah pertumbuhan pada subsektor komunikasi hingga 12,9 persen, terkait dengan tingginya kebutuhan akan komunikasi, baik via ponsel maupun internet, di samping juga semakin beragamnya produk-produk telekomunikasi guna memenuhi selera konsumen. Subsektor pengangkutan juga tumbuh cukup baik sebesar 7,1 persen, yang utamanya didorong oleh angkutan udara dan angkutan jalan raya yang tumbuh masing-masing 8,7 persen dan 8,1 persen. Sementara itu, angkutan rel justru tumbuh minus 2,9 persen terkait dengan pembatasan jumlah penumpang dengan meniadakan penumpang tanpa tiket tempat duduk. Sektor pengangkutan dan komunikasi memberikan peran sebesar 1,1 persen terhadap total pertumbuhan. Berdasarkan perkembangan kinerja sektor ekonomi pada semester I tahun 2013 dan prospeknya ke depan, pertumbuhan PDB menurut lapangan usaha pada tahun 2013 diperkirakan didukung oleh sektor industri pengolahan, sektor perdagangan, hotel, dan restoran, sektor pertanian serta sektor pengangkutan dan komunikasi. Sektor pertanian diperkirakan tumbuh sebesar 3,7 persen atau sedikit mengalami perlambatan bila dibandingkan dengan realisasi tahun 2012 sebesar 4,0 persen. Perlambatan ini juga sejalan dengan melambatnya produksi tanaman bahan pangan seperti padi, dan masih lemahnya harga komoditas internasional. Berdasarkan angka ramalan ARAM I BPS, produksi padi diperkirakan tumbuh hanya 0,31 persen pada tahun 2013, lebih rendah bila dibandingkan dengan produksi tahun 2012 sebesar 5,02 persen. Perlambatan ini terjadi didorong oleh menurunnya luas panen dan produktivitas. Selain padi, perlambatan juga dialami jagung dan kedelai. Sementara itu, lemahnya harga komoditas internasional diperkirakan akan berpengaruh pada subsektor perkebunan seperti kelapa sawit, karet, dan kopi. Sektor industri pengolahan diperkirakan mampu tumbuh sekitar 6,1 persen. Perkiraan ini didasarkan pada kemungkinan membaiknya permintaan domestik setelah triwulan II tahun 2013. Kebijakan kenaikan harga BBM telah mendorong penurunan daya beli, tetapi permintaan domestik atas produk-produk manufaktur akan tetap kuat sejalan dengan konsumsi yang tetap terjaga antara lain akibat penyaluran BLSM dan aktivitas terkait dengan persiapan Pemilu tahun 2014. Industri nonmigas juga diperkirakan semakin membaik seiring dengan pemulihan ekspor. Selain industri nonmigas, industri migas diharapkan dapat tumbuh positif sehingga mampu memberikan dorongan yang maksimal terhadap pertumbuhan industri pengolahan. Sektor perdagangan, hotel, dan restoran pada tahun 2013 diharapkan mampu tumbuh sebesar 8,3 persen atau lebih baik bila dibandingkan dengan pertumbuhan tahun 2012 yang sebesar Bab 2 2-21 Kinerja Ekonomi Makro Nota Keuangan dan RAPBN 2014 8,1 persen. Peningkatan pertumbuhan tersebut dipengaruhi oleh berbagai aktivitas terkait persiapan pemilu seperti kampanye pemenangan calon anggota legislatif, rapat partai politik dan sejenisnya yang diperkirakan akan mendorong peningkatan frekuensi penggunaan ruang konvensipertemuan yang disediakan oleh industri perhotelan dan restoran. Sektor pengangkutan dan komunikasi diperkirakan masih menjadi sektor dengan pertumbuhan tertinggi dimana hingga akhir tahun 2013 diperkirakan mampu tumbuh 11,1 persen. Subsektor komunikasi masih menjadi pendorong utama pertumbuhan mengingat kebutuhan komunikasi data dan internet yang tetap tinggi. Sementara itu, pertumbuhan subsektor pengangkutan diperkirakan melambat akibat pengaruh kenaikan harga BBM bersubsidi yang mendorong kenaikan tarif jasa angkutan, terutama angkutan jalan raya yang sampai saat ini masih dominan di subsektor pengangkutan. Kemiskinan Membaiknya perekonomian domestik telah berdampak pada penurunan tingkat kemiskinan di tanah air. Pada tahun 2008 jumlah penduduk miskin di Indonesia sebanyak 34,96 juta orang atau 15,42 persen dari populasi penduduk. Jumlah dan persentase tersebut terus menurun hingga tahun 2012. Berdasarkan survei bulan September tahun 2012, jumlah penduduk miskin di perkotaan dan perdesaan mencapai 28,59 juta orang atau dengan kata lain angka kemiskinan berhasil diturunkan ke tingkat 11,66 persen. Bila dibandingkan dengan tren penurunan angka kemiskinan antara perkotaan dan perdesaan selama periode tersebut, penurunan angka kemiskinan di perdesaan lebih besar daripada penurunan kemiskinan di daerah perkotaan. Angka kemiskinan di daerah perdesaan turun dari 18,93 persen pada tahun 2008 menjadi 14,70 persen pada tahun 2012 atau turun 4,23 persen. Sementara itu, angka kemiskinan di perkotaan turun dari 11,65 persen pada tahun 2008 menjadi 8,60 persen pada tahun 2012 lihat Graik 2.11. Perbaikan kesejahteraan penduduk miskin tidak hanya tercermin pada penurunan angka kemiskinan saja, tetapi juga terjadi perbaikan kualitas hidup penduduk miskin di Indonesia. Indikator kedalaman kemiskinan P1 yang mengukur rata-rata konsumsi penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan terus menurun. Hal ini menunjukkan walaupun masih tetap berada di bawah garis kemiskinan, terjadi peningkatan tingkat pendapatan dan kesejahteraan masyarakat golongan kurang mampu. Hal yang sama juga ditunjukkan oleh indikator keparahan kemiskinan P2 yang juga menurun. Dalam hal ini jenjang perbedaan pendapatan antara penduduk termiskin dan penduduk miskin juga menurun. Kedua indikator tersebut menegaskan bahwa masyarakat golongan miskin juga mengalami perbaikan kesejahteraan secara lebih merata. 16,0 17,8 16,6 15,4 14,2 13,3 12,4 11,7 10,5 11,7 9,5 5,0 10,0 15,0 20,0 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 persen GRAFIK 2.11 PERKEMBANGAN TINGKAT KEMISKINAN INDONESIA, 2005—2013 Sumber: Badan Pusat Statistik Bab 2 Kinerja Ekonomi Makro Nota Keuangan dan RAPBN 2014 2-22 Hasil survei pada bulan Maret 2013, angka kemiskinan nasional telah mencapai 11,37 persen, kembali menurun bila dibandingkan dengan angka kemiskinan pada bulan September 2012, yang mencapai 11,66 persen. Sejalan dengan perkiraan kinerja pertumbuhan ekonomi pada semester II tahun 2013, dan dampak penurunan tingkat pengangguran, maka angka kemiskinan akhir tahun 2013 diperkirakan turun dan dapat mencapai kisaran 9,5 persen hingga 10,5 persen. Penurunan tingkat kemiskinan tersebut disumbangkan oleh menurunnya jumlah penduduk miskin baik di perkotaan maupun di perdesaan. Pada Maret 2013, jumlah penduduk miskin di daerah perkotaan berkurang sekitar 0,18 juta orang jika dibandingkan dengan angka pada bulan September tahun 2012, yaitu dari 10,51 juta orang menjadi 10,33 juta orang pada Maret 2013. Seiring dengan penurunan kemiskinan di daerah perkotaan, pada periode yang sama jumlah penduduk miskin di daerah perdesaan berkurang sekitar 0,35 juta orang, yaitu dari 18,08 juta orang menjadi 17,74 juta orang. Demikian juga secara persentase, penduduk miskin di daerah perkotaan pada Maret 2013 mengalami penurunan dari 8,60 persen menjadi 8,39 persen, dan persentase penduduk miskin di daerah perdesaan pada periode yang sama turun dari 14,70 persen menjadi 14,32 persen. Keberhasilan penanggulangan kemiskinan, selain merupakan hasil dari pertumbuhan ekonomi yang relatif tinggi juga sebagai dampak berbagai program pemberdayaan masyarakat yang pro poor serta upaya pemenuhan hak dasar rakyat. Imbas dari masalah eksternal maupun internal memang menjadi kendala bagi efektivitas implementasi kebijakan dalam menanggulangi kemiskinan. Untuk itu, Pemerintah akan terus berupaya menyempurnakan berbagai program pengentasan kemiskinan yang dilaksanakan dalam kerangka program MP3KI dan program perluasan dan percepatan perlindungan sosial P4S. Upaya-upaya penanggulangan masalah kemiskinan tersebut akan difokuskan pada beberapa aspek. Salah satu hal terpenting adalah jaminan pemenuhan kebutuhan pangan masyarakat miskin. Dalam hal ini, Pemerintah akan terus berupaya menjamin terpenuhinya kebutuhan pangan, khususnya bagi masyarakat kurang mampu melalui kebijakan stabilisasi harga pangan dan juga penyediaan kebutuhan beras bagi rakyat miskin. Upaya tersebut akan disertai dengan pemutakhiran data serta perbaikan sistem distribusi sehingga kebijakan tersebut dapat mencapai sasaran secara tepat. Kebijakan PNPM akan terus diperbaiki untuk lebih berdampak bagi masyarakat yang membutuhkan dan mampu mengembangkan kemampuan dan kesejahteraan secara mandiri. Dalam hal ini, kegiatan akan diarahkan untuk mendorong masyarakat miskin untuk meningkatkan kapasitas, memperluas kesempatan kerja, dan akses layanan dasar, serta akses berusaha secara berkelanjutan. Untuk mendukung upaya perluasan kesempatan kerja dan berusaha, program penyediaan dana penjaminan kreditpembiayaan bagi usaha mikro, kecil, dan menengah UMKM dan program kredit usaha rakyat KUR akan terus dilaksanakan. Di samping itu, Pemerintah juga akan melaksanakan program-program penyediaan hunian murah bagi rakyat miskin beserta fasilitas sarana dan prasarana pendukungnya. Nilai Tukar Petani Indikator lain yang perlu mendapat perhatian yaitu nilai tukar petani NTP, sebagai salah satu indikator untuk melihat tingkat kemampuan atau daya beli petani di perdesaan. Selama periode 2008 sampai 2012, indeks NTP terus mengalami kenaikan, dari 99 pada tahun 2008, menjadi 105,9 pada tahun 2012. Sampai dengan Juni 2013, indeks NTP nasional meningkat menjadi sebesar 105,28 atau naik sebesar 0,32 persen bila dibandingkan dengan indeks NTP bulan sebelumnya sebesar 104,95. Kenaikan ini disebabkan adanya kenaikan indeks harga Bab 2 2-23 Kinerja Ekonomi Makro Nota Keuangan dan RAPBN 2014 hasil produksi pertanian yang relatif lebih tinggi bila dibandingkan dengan kenaikan indeks harga barang dan jasa, yang dikonsumsi oleh rumah tangga maupun untuk keperluan produksi pertanian. Naiknya NTP subsektor tanaman pangan sebesar 0,53 persen, NTP hortikultura sebesar 0,28 persen, NTP subsektor peternakan sebesar 0,30 persen, dan NTP perikanan sebesar 0,04 persen telah mempengaruhi kenaikan NTP nasional lihat Graik 2.12. NTP juga menunjukkan daya tukar term of trade dari produk pertanian dibandingkan dengan barang dan jasa yang dikonsumsi petani dan dengan biaya produksi produk pertanian. Angka penghitungan diperoleh dengan membandingkan indeks harga yang diterima petani It yang merupakan cerminan luktuasi harga barang-barang yang dihasilkan petani, dengan indeks harga yang dibayar petani Ib, sebagai cerminan luktuasi harga barang-barang yang dikonsumsi oleh petani. Indeks ini digunakan juga sebagai data penunjang dalam penghitungan pendapatan sektor pertanian. Dengan angka NTP dapat diukur kemampuan tukar produk yang dijual petani dengan produk yang dibutuhkan petani dalam produksi dan konsumsi rumah tangga. Ketimpangan Gini Ratio Distribusi pendapatan merupakan salah satu aspek penting sebagai ukuran pemerataan pendapatan masyarakat di suatu negara. Sebagai ukuran pemerataan yang juga mereleksikan ukuran ketimpangan distribusi pendapatan masyarakat, biasanya digunakan koeisien Gini Gini Ratio. Nilai koeisien Gini berkisar antara 0 sangat merata sampai dengan 1 sangat timpang. Ketimpangan pendapatan masyarakat dikatakan rendah apabila koeisien Gini di bawah 0,3. Ketimpangan pendapatan masyarakat berada pada tahap sedang apabila koeisien Gini berada pada rentang 0,3 sampai dengan 0,5. Ketimpangan pendapatan masyarakat berada pada tahap tinggi atau sangat timpang, apabila koeisien Gini di atas 0,5. Selama 10 tahun terakhir, koeisien Gini Indonesia berkisar antara 0,32 sampai dengan 0,41. Walaupun nilai koeisien Gini menunjukkan peningkatan, namun ketimpangan pendapatan masyarakat Indonesia masih berada pada tahap sedang. Nilai rata-rata koeisien Gini Indonesia selama 5 tahun terakhir masih lebih rendah bila dibandingkan dengan koeisien Gini negara tetangga ASEAN seperti Thailand 0,40, Filipina 0,43, serta Malaysia 0,46. Cina sebagai negara yang sedang tumbuh pesat, mempunyai koeisien Gini sebesar 0,42, bahkan koeisien Gini Brasil mencapai 0,55 lihat Graik 2.13 dan Graik 2.14. Meningkatnya ketimpangan di Indonesia pada beberapa tahun terakhir bukan disebabkan oleh “orang kaya semakin kaya dan orang miskin semakin miskin”, melainkan karena kemiskinan di Indonesia selama beberapa tahun terakhir terus mengalami penurunan. Dengan penurunan angka kemiskinan, penduduk di golongan pendapatan bawah juga mengalami kenaikan kesejahteraan. 90 92 94 96 98 100 102 104 106 108 90 100 110 120 130 140 150 160 2008 2009 2010 2011 2012 2013 GRAFIK 2.12 PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI, 2008 ―2013 indeks, 2007=100 IB IT NTP Sumber: Badan Pusat Statistik Bab 2 Kinerja Ekonomi Makro Nota Keuangan dan RAPBN 2014 2-24 Tingginya nilai koeisen Gini juga bukan hanya bersumber dari sisi internal, tetapi juga dipengaruhi oleh faktor eksternal yang berada di luar kendali Pemerintah. Kenaikan harga komoditas global pada sektor pertambangan dan perkebunan besar yang lebih banyak dinikmati oleh golongan menengah, turut memberi andil terhadap ketimpangan pendapatan masyarakat. Problema ketimpangan pendapatan masyarakat merupakan suatu permasalahan jangka panjang, sehingga untuk memperbaiki distribusi pendapatan masyarakat diperlukan langkah kebijakan yang komprehensif dan jangka panjang. Berbagai program pengentasan kemiskinan telah diluncurkan Pemerintah untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia SDM. Dengan meningkatnya kualitas SDM, kesempatan untuk memasuki pasar kerja semakin meningkat sehingga mampu memiliki penghasilan lebih layak. Pemerintah melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 162PMK.0112012, telah melakukan penyesuaian besaran penghasilan tidak kena pajak PTKP, yang berlaku mulai 1 Januari 2013. Penghasilan tidak kena pajak yang sebelumnya sebesar Rp15,8 juta per tahun, meningkat menjadi Rp24,3 juta per tahun. Berdasarkan aturan tersebut, seorang karyawan dengan gaji Rp2 juta per bulan ke bawah tidak lagi dikenakan pajak. Dalam aturan sebelumnya, karyawan tersebut akan dikenakan pajak sebesar Rp34 ribu per bulan. Naiknya PTKP secara tidak langsung akan menambah penghasilan karyawan sebesar Rp34 ribu per bulan, sehingga dalam jangka panjang diharapkan mampu menekan angka ketimpangan. Indeks Pembangunan Manusia IPMHuman Development Index HDI Tahun 2013, HDI Indonesia mengalami peningkatan dari tahun sebelumnya, yaitu dari peringkat 124 2012 menjadi 121. HDI ini merupakan cerminan bagaimana posisi sebuah negara dengan negara lain dalam tingkat kesejahteraan sebagai hasil pembangunan. Berdasarkan United Nations Development Programs UNDP, Indonesia memperoleh skor 0,629, meningkat sebesar 0,009 dari skor sebelumnya. Peningkatan peringkat Indonesia ini disebabkan oleh terjadinya perbaikan pembangunan manusia di beberapa aspek, seperti aspek perbaikan ketenagakerjaan, aspek kesehatan, dan aspek pendidikan. Ada beberapa aspek yang masih perlu ditingkatkan guna mendukung perbaikan taraf hidup dan program pembangunan yang berkelanjutan, sebagaimana implementasi program Millenium Development Goals MDGs yang akan berakhir pada tahun 2015. Dari 8 indikator, ada 4 target 0,33 0,32 0,32 0,36 0,33 0,36 0,35 0,37 0,38 0,39 0,41 0,1 0,2 0,2 0,3 0,3 0,4 0,4 0,5 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 indeks GRAFIK 2.13 PERKEMBANGAN KOEFISIEN GINI INDONESIA, 2002—2012 Sumber : Badan Pusat Statistik 0,42 0,55 0,34 0,46 0,43 0,4 0,38 0,1 0,2 0,3 0,4 0,5 0,6 Cina Brazil India Malaysia Filipina Thailand Indonesia indeks GRAFIK 2.14 RATA-RATA KOEFISIEN GINI BEBERAPA NEGARA, 2008—2012 Sumber : BPS, WorldBank Bab 2 2-25 Kinerja Ekonomi Makro Nota Keuangan dan RAPBN 2014 MDGs 2015 yang telah tercapai yaitu peningkatan pendidikan dasar, kesetaraan jender dan pemberdayaan perempuan, penurunan angka kematian anak, serta membangun kemitraan global untuk pembangunan. Adapun 4 target MDGs lainnya yang masih perlu dilakukan peningkatan adalah penurunan tingkat kemiskinan, penurunan angka kematian ibu melahirkan, penurunan penyebaran HIV AIDS, serta masalah perbaikan lingkungan terutama penyediaan air bersih. Saat ini masih terus dilakukan berbagai upaya dan terobosan Pemerintah untuk mencapai target-target tersebut. Khusus penurunan angka kemiskinan, diupayakan target sebesar 7,55 persen akan dapat dicapai pada tahun 2015.

2.2.2.3 Inlasi

Relatif tingginya harga komoditas energi dan bahan pangan khususnya beras, jagung, dan kedelai di pasar internasional sejak pertengahan tahun 2012 berlanjut hingga pertengahan tahun 2013. Hal ini mendorong peningkatan tekanan inlasi terutama pada kelompok pengeluaran untuk bahan pangan sebagai dampak belum dimulainya musim panen, serta tingginya curah hujan yang menimbulkan gangguan terhadap proses produksi, pasca panen, dan distribusi. Selain itu, tingginya laju inlasi pada awal tahun 2013 juga didorong oleh dampak beberapa kebijakan di bidang harga, antara lain mencakup peningkatan upah minimum UMP rata-rata nasional sebesar 18,32 persen, kebijakan kenaikan tarif tenaga listrik TTL rata-rata sebesar 4,3 persen per triwulan, serta implementasi kebijakan pengaturan komoditas hortikultura. Berdasarkan kelompok pengeluarannya, kelompok bahan makanan, transportasi dan makanan jadi masih menjadi penyumbang kenaikan laju inlasi tertinggi hingga Juli 2013, sedangkan kelompok sandang masih menunjukkan penurunan. Kebijakan pengaturan importasi komoditas hortikultura mendorong peningkatan harga aneka komoditas bumbu, sayuran, dan buah- buahan. Selain itu, turunnya pasokan komoditas pangan sejenis dari sumber dalam negeri karena gangguan curah hujan, telah mendorong tingginya laju inlasi hingga Maret tahun 2013. Delasi yang terjadi pada April sebesar 0,10 persen didorong oleh telah masuknya masa panen raya tahun 2013, serta relatif stabilnya harga komoditas beras sejak akhir tahun 2012 yang telah membantu menurunkan tekanan inlasi dari sisi harga komoditas bahan pangan, khususnya dari harga beras. Selain itu, penurunan harga komoditas emas di pasar internasional juga turut mendorong penurunan harga komoditas sejenis di pasar dalam negeri, sehingga turut mendorong terjadinya delasi pada April 2013. Pelaksanaan kebijakan kenaikan harga jual BBM bersubsidi yang dilaksanakan Pemerintah mulai 22 Juni 2013 serta gangguan pasokan beberapa komoditas bahan pangan telah mendorong peningkatan laju inlasi sepanjang Juni dan Juli 2013. Pelaksanaan kebijakan kenaikan harga jual BBM bersubsidi telah mendorong peningkatan seluruh komponen inlasi pada Juli 2013. Komponen harga bergejolak volatile food tercatat sebesar 16,12 persen yoy, mengalami peningkatan tajam bila dibandingkan dengan posisi bulan sebelumnya sebesar 11,46 persen yoy. Peningkatan laju komponen inlasi tersebut sebagai dampak kebijakan di bidang energi serta meningkatnya permintaan komoditas bahan pangan seiring pelaksanaan Puasa dan menjelang Lebaran. Pada saat yang bersamaan, peningkatan jumlah permintaan tersebut kurang dapat diimbangi oleh ketersediaan dan kecukupan pasokan sebagai dampak gangguan cuaca yang terjadi. Di beberapa wilayah sentra produksi bahan pangan, gangguan cuaca menyebabkan kegagalan panen serta mengganggu kelancaran arus distribusi, terutama untuk komoditas bahan pangan yang bersifat mudah rusak perishable seperti produk bumbu-bumbuan dan sayuran. Kondisi tersebut mendorong Pemerintah mengeluarkan kebijakan untuk meningkatkan Bab 2 Kinerja Ekonomi Makro Nota Keuangan dan RAPBN 2014 2-26 pasokan bahan pangan dari sumber non-dalam negeri guna mengatasi kekurangan pasokan. Kenaikan harga komoditas bahan pangan juga didorong oleh kenaikan tarif angkutan sebagai implikasi kenaikan harga jual BBM bersubsidi. Faktor-faktor tersebut mendorong meningkatnya kekhawatiran masyarakat akan ketersediaan dan pasokan komoditas bahan pangan sehingga mendorong peningkatan ekspektasi inlasi. Dari komponen harga yang diatur pemerintah administered price , laju inlasi tercatat sebesar 15,10 persen yoy, meningkat tajam bila dibandingkan dengan posisi bulan sebelumnya sebesar 6,70 persen yoy. Peningkatan laju inlasi komponen ini merupakan dampak pelaksanaan kebijakan kenaikan harga BBM bersubsidi yang berlaku sejak 22 Juni 2013 yang mendorong kenaikan tarif angkutan dan sarana transportasi lainnya di seluruh wilayah Indonesia. Komponen ini juga diperkirakan akan mengalami tekanan meningkat seiring dengan dampak lanjutan kebijakan kenaikan TTL sebesar 4,3 persen per triwulan. Ke depan, laju inlasi komponen harga yang diatur pemerintah berpotensi mengalami peningkatan up side risk seiring dengan rencana kenaikan harga jual elpiji non-subsidi tabung 12 kg serta penyesuaian reguler tarif jalan tol. Laju inlasi komponen inlasi inti core inlation mengalami peningkatan menjadi sebesar 4,44 persen yoy, meningkat bila dibandingkan dengan posisi bulan sebelumnya sebesar 3,98 persen yoy. Ke depan, komponen inlasi inti dikhawatirkan mengalami peningkatan seiring dampak pelaksanaan kebijakan BBM bersubsidi serta dampak lanjutan pada kelompok sandang, perumahan, pendidikan, dan kesehatan. Selain itu, tren harga komoditas energi dan bahan pangan di pasar internasional yang meningkat serta gejolak di pasar uang yang mendorong depresiasi rupiah juga menimbulkan tekanan ganda terhadap komponen inlasi inti. Untuk itu, Pemerintah bersama Bank Indonesia berupaya keras untuk menurunkan ekspektasi inlasi serta menjaga agar pergerakan nilai tukar rupiah pada level fundamentalnya sehingga diharapkan mampu meredam tekanan pada komponen inlasi inti. Potensi tekanan inlasi terbesar pada tahun 2013 diperkirakan masih bersumber pada kenaikan harga bahan pangan dan energi yang terjadi baik di pasar internasional maupun domestik. Berdasarkan pengalaman historis pelaksanaan kebijakan di bidang energi pada tahun 2005 dan 2008, serta adanya gangguan pasokan beberapa komoditas bahan pangan di pasar dalam negeri, laju inlasi sepanjang tahun 2013 berpotensi mengalami peningkatan up side risk yang cukup tinggi. Guna menghadapi tekanan inlasi yang meningkat sepanjang tahun 2013, Pemerintah dan Bank Indonesia terus berupaya untuk memperkuat sinergi serta menerapkan bauran kebijakan di bidang iskal, moneter, dan sektor riil guna mengendalikan inlasi, agar laju inlasi tahun 2013 dapat dijaga pada kisaran 7,2 persen yoy. Untuk mengendalikan inlasi pada level tersebut, Pemerintah terus melakukan langkah kebijakan dan extra effort guna menjaga agar dampak kebijakan tidak menimbulkan efek negatif ganda terhadap perekonomian dan tingkat kesejahteraan masyarakat, khususnya masyarakat miskin. Kebijakan di bidang pangan tersebut bertujuan untuk menciptakan stabilisasi harga pangan dalam negeri antara lain melalui penyediaan pasokan bahan pangan yang memadai serta akses pangan bagi masyarakat.

2.2.2.4 Suku Bunga SPN 3 Bulan

Hingga bulan Juli 2013, Pemerintah telah melakukan pelelangan SPN 3 bulan sebanyak 8 kali dengan rata-rata tingkat suku bunga SPN 3 bulan mencapai 4,20 persen. Tingkat suku bunga SPN 3 bulan dipengaruhi oleh faktor eksternal maupun internal. Faktor eksternal meliputi aliran modal masuk capital inlows dan suku bunga global. Sementara itu dari sisi internal, masa jatuh tempo instrumen SPN 3 bulan yang cukup pendek masih menjadi faktor penarik minat Bab 2 2-27 Kinerja Ekonomi Makro Nota Keuangan dan RAPBN 2014 investor pada instrumen tersebut. Di tengah ketidakpastian ekonomi global serta dinamika ekonomi yang cepat, investor membutuhkan keleluasaan untuk mengalihkan dananya dalam waktu singkat pada berbagai instrumen investasi lain. Dengan mempertimbangkan faktor-faktor tersebut suku bunga SPN 3 bulan diperkirakan tidak melampaui 5,0 persen sebagaimana diasumsikan di dalam APBNP 2013 lihat Graik 2.15.

2.2.2.5 Nilai Tukar

Pelemahan nilai tukar rupiah terus berlanjut hingga pertengahan tahun 2013. Tekanan pada nilai tukar rupiah terhadap dolar AS masih bersumber dari meningkatnya ketidakpastian pemulihan ekonomi di Eropa, meningkatnya arus investasi ke instrumen obligasi jangka panjang Pemerintah AS, goncangan pasar keuangan global yang disebabkan adanya rencana Bank Sentral Amerika Serikat untuk mengurangi kebijakan quantitative easing QE, serta belum adanya sentimen positif atas perkembangan ekonomi di kawasan Eropa serta Asia, khususnya Cina dan India. Perkembangan ekonomi global yang diproyeksikan akan terkoreksi ke bawah tersebut menyebabkan belum pulihnya kinerja ekspor Indonesia yang selama ini menjadi salah satu sumber pasokan dan cadangan valuta asing di Indonesia, sedangkan pada saat yang sama kebutuhan untuk pembiayaan impor masih tetap tinggi. Sampai dengan akhir Juli 2013, nilai tukar rupiah mengalami depresiasi dengan rata-rata sebesar Rp9.790 per dolar AS, melemah sebesar 4,31 persen bila dibandingkan dengan rata-rata nilai tukar rupiah pada tahun sebelumnya. Potensi tekanan nilai tukar rupiah sepanjang tahun 2013 diperkirakan masih akan terus meningkat up side risk di tengah ketatnya likuiditas serta belum adanya sentimen positif terkait upaya pemulihan perekonomian global. Kebijakan Pemerintah untuk melakukan penyesuaian harga jual BBM bersubsidi di dalam negeri diharapkan dapat menjadi salah satu faktor yang mampu meredam tekanan terhadap nilai tukar rupiah di pasar dalam negeri, mengingat salah satu sumber tekanan berasal dari pertumbuhan impor BBM yang tinggi. Pemerintah dan Bank Indonesia terus berupaya menjaga volatilitas nilai tukar rupiah pada level fundamentalnya melalui penguatan sinergi kebijakan iskal, moneter, dan sektor riil, penerapan kebijakan moneter yang berhati-hati, serta pengawasan lalu lintas devisa. Kebijakan ini diharapkan mampu menjaga stabilitas nilai tukar dan mencegah volatilitas yang berlebihan serta menjaga kecukupan cadangan devisa untuk memenuhi kebutuhan fundamental perekonomian. Di samping itu, peningkatan koordinasi kebijakan serta peningkatan efektivitas peraturan dan monitoring lalu lintas devisa terus dilakukan untuk menopang kebijakan moneter tersebut. Di tingkat internasional dan regional, komitmen untuk mempercepat pemulihan ekonomi disertai dengan perjanjian kerja sama bidang keuangan diharapkan semakin memperkuat proses pemulihan ekonomi global dan regional. Agar dapat mencapai level Rp9.600 per dolar AS sesuai dengan asumsi yang tercantum dalam APBNP 2013, diperlukan kerja keras dari semua pihak baik otoritas moneter, iskal, maupun sektor riil. 4,00 3,08 3,59 3,99 3,77 4,10 5,16 5,88 2,50 3,00 3,50 4,00 4,50 5,00 5,50 6,00 15-Jan-13 14-Feb-13 13-Mar-13 09-Apr-13 06-Mei-13 03-Jun-13 02-Jul-13 30-Jul-13 Persen GRAFIK 2.15 PERKEMBANGAN SUKU BUNGA SPN 3 BULAN, 2013 Sumber: Kementerian Keuangan Bab 2 Kinerja Ekonomi Makro Nota Keuangan dan RAPBN 2014 2-28

2.2.2.6 Harga Minyak Mentah Indonesia

Pergerakan harga minyak internasional yang saat ini sedang dalam tren menurun antara lain merupakan refleksi dari lemahnya kondisi ekonomi global. Badan Energi Amerika Serikat EIA memproyeksikan harga minyak mentah dalam beberapa bulan ke depan masih stabil namun relatif akan lebih rendah dari harga minyak mentah dunia pada awal tahun 2013. Beberapa hal yang mendorong penurunan harga minyak dunia yaitu masih lemahnya permintaan minyak mentah dunia sejalan dengan masih terbatasnya pemulihan ekonomi dunia. Sementara itu, di sisi lain, pasokan minyak terutama dari negara-negara OPEC masih cukup memadai. Pada perkembangan terakhir, dengan adanya masalah politik di Mesir dan beberapa negara Timur Tengah, harga minyak mentah dunia pada semester II tahun 2013 diperkirakan cenderung naik. Sejalan dengan perkembangan harga minyak dunia, harga minyak mentah Indonesia pada tahun 2013 diperkirakan masih berada di atas US100 per barel. Sampai dengan enam bulan pertama tahun 2013, rata-rata harga minyak mentah Indonesia ICP sebesar US105,4 per barel. Dengan perkembangan tersebut, rata-rata harga minyak mentah Indonesia tahun 2013 diperkirakan mencapai US108 per barel lihat Graik 2.16.

2.2.2.7 Lifting Minyak dan Gas Bumi

Rata-rata lifting minyak bumi pada tahun 2013 diperkirakan mencapai 840 ribu barel per hari. Sementara itu, rata-rata lifting gas bumi dalam tahun 2013 diperkirakan mencapai 1.240 ribu barel setara minyak per hari. Selama periode Desember 2012 sampai dengan Juni 2013, realisasi lifting minyak dan gas bumi mencapai 2,041 juta barel per hari yang terdiri dari lifting minyak sebesar 837 ribu barel per hari dan lifting gas bumi sebesar 1,204 juta barel setara minyak per hari MBOEPD lihat Graik 2.17. Lifting migas tersebut cenderung mengalami penurunan jika dibandingkan dengan realisasi pada tahun sebelumnya. Beberapa faktor yang menyebabkan rendahnya perkiraan realisasi lifting tersebut antara lain adalah penurunan kapasitas produksi sumur-sumur migas, dan beberapa permasalahan teknis meliputi cuaca buruk, kurangnya ketersediaan kapal pengangkut, adanya pemunduran jadwal produksi dari rencana semula oleh beberapa 87,5 88,0 88,5 89,0 89,5 90,0 90,5 91,0 20 40 60 80 100 120 140 Jan Feb Mar Apr Mei Jun J u ta b a r e l h a r i U S b a r e l Sumber: Bloomberg Kemen ESDM GRAFIK 2. 16 PRODUKSI, KONSUMSI, DAN HARGA MINYAK MENTAH DUNIA 2013 Produksi RHS Konsumsi RHS WTI Brent ICP 500 1.000 1.500 2.000 2.500 Jan Feb Mar Apr Mei Jun 711 821 820 822 840 837 1.185 1.213 1.227 1.217 1.193 1.204 Ribu barelhari GRAFIK 2.17 PERKEMBANGAN LIFTING MIGAS BUMI, 2013 Gas Minyak Sumber: Kementerian ESDM Bab 2 2-29 Kinerja Ekonomi Makro Nota Keuangan dan RAPBN 2014 kontraktor, serta permasalahan perijinan lahan. Untuk tahun 2013, lifting gas bumi akan didukung oleh dua proyek andalan hulu migas yaitu lapangan gas Sumpal 74 MMSCFD dan Sebuku 100 MMSCFD.

2.3 Tantangan dan Sasaran Kebijakan Ekonomi Makro 2014

2.3.1 Tantangan Kebijakan Ekonomi Makro

Risiko Ketidakpastian Pemulihan Ekonomi Global Memasuki tahun keempat paska krisis global tahun 2009, proses pemulihan ekonomi dunia masih berlangsung lambat. Meskipun demikian, pertumbuhan ekonomi global tahun 2014 diperkirakan lebih baik dari pertumbuhan 2013 lihat Tabel 2.3 . Namun, pertumbuhan ekonomi global masih diliputi sejumlah faktor risiko. Sejumlah faktor risiko yang berpotensi masih membayangi proses pemulihan ekonomi global yaitu masih berkaitan dengan permasalahan ekonomi di Amerika Serikat, kawasan Eropa, dan Cina. Kebijakan konsolidasi iskal di Amerika Serikat dikhawatirkan akan menghambat fase ekspansi ekonomi di negara tersebut. Di sisi lain, faktor risiko tersebut juga dapat berpotensi mengganggu prospek dan sustainabilitas iskal negara tersebut dalam jangka menengah. Di kawasan Eropa, risiko berasal dari potensi resesi yang lebih dalam dari yang diperkirakan. Hal ini dapat terjadi manakala krisis kepercayaan masih berlanjut, buruknya kondisi keuangan, permintaan yang masih rendah, serta kebijakan iskal yang ketat. Sementara di Cina, risiko tekanan pada pertumbuhan berasal dari tingginya ekspektasi inlasi, kenaikan upah yang dapat berdampak negatif pada kegiatan investasi, serta potensi tekanan kredit. 2013 2014 Ekonomi Dunia , yoy 3,1 3,8 Negara maju 1,2 2,1 1. Amerika Serikat 1,7 2,7 2. Kawasan Eropa -0,6 0,9 - Jerman 0,3 1,3 - Perancis -0,2 0,8 - Italia -1,8 0,7 - Spanyol -1,6 0,0 - Inggris 0,9 1,5 3. Jepang 2,0 1,2 Negara berkembang , yoy 5,0 5,4 1. Cina 7,8 7,7 2. India 5,6 6,3 3. ASEAN-5 5,6 5,7 Sumber: World Economic Outlook , Juli 2013 TABEL 2.3 PROYEKSI PERTUMBUHAN EKONOMI DUNIA, 2013 ―2014 URAIAN Bab 2 Kinerja Ekonomi Makro Nota Keuangan dan RAPBN 2014 2-30 Faktor risiko lainnya yang berpotensi muncul adalah perlambatan pertumbuhan ekonomi negara-negara berkembang dan emerging market sebagai dampak kebijakan moneter Amerika Serikat berupa pengetatan likuiditas di pasar inansial global, risiko terjadinya pembalikan aliran modal capital reversal, serta melambatnya pertumbuhan kredit di negara berkembang. Tekanan pada kinerja pertumbuhan ekonomi global tersebut dapat mengancam kinerja ekonomi domestik melalui perlambatan ekspor. Likuiditas Global Krisis dan tekanan iskal yang dihadapi beberapa negara Eropa dan negara maju akhir-akhir ini telah mendorong pemerintah di masing-masing negara untuk mengambil kebijakan stimulus guna mendorong aktivitas dan pertumbuhan ekonomi di negara-negara tersebut. Salah satu kebijakan stimulus yang dipilih adalah pelonggaran likuiditas, melalui antara lain pengucuran dana tambahan, penurunan suku bunga, dan pembelian obligasi. Kebijakan-kebijakan tersebut telah menyebabkan melimpahnya likuiditas di pasar global secara keseluruhan. Banyak negara di dunia, terutama negara-negara di kawasan Asia termasuk Indonesia, telah mendapat manfaat dari melimpahnya likuiditas tersebut. Kinerja dan stabilitas ekonomi negara-negara di kawasan Asia yang masih jauh lebih baik daripada negara-negara di kawasan Eropa, telah meningkatkan kepercayaan investor terhadap potensi dan peluang negara-negara berkembang Asia sehingga mendorong terjadinya aliran modal masuk ke negara-negara tersebut. Bagi Indonesia, pengaruh aliran modal masuk tersebut antara lain ditandai dengan peran modal asing yang relatif tinggi di pasar keuangan dan modal Indonesia. Peranan modal asing yang tinggi tersebut selain membawa manfaat juga memiliki risiko tersendiri. Aliran modal masuk yang besar, terutama yang bersifat jangka panjang investasi langsung dapat memperkuat posisi cadangan devisa nasional, yang pada gilirannya dapat menguatkan nilai tukar rupiah serta membantu aktivitas dan pertumbuhan ekonomi. Namun, potensi risiko juga tidak bisa dihindari, terutama apabila terjadi capital reversal. Dengan karakteristik pasar modal yang relatif tanpa hambatan dengan arus modal yang relatif mudah berpindah, perubahan kebijakan di negara lain dapat menyebabkan arus modal asing keluar, baik ke negara asal ataupun ke negara lain yang memberikan imbal hasil relatif lebih tinggi. Tekanan arus modal yang besar dapat mengganggu stabilitas nilai tukar, yang bila tidak dikelola dan ditanggapi secara tepat dapat mengganggu laju pertumbuhan ekonomi dan aktivitas sektor riil, dan pada akhirnya juga berdampak negatif pada tingkat pengangguran dan angka kemiskinan di Indonesia. Ketahanan Pangan Masalah ketahanan pangan merupakan tantangan lainnya yang menjadi perhatian Pemerintah sejak beberapa tahun terakhir. Isu ketahanan pangan terus semakin terasa antara lain tercermin pada meningkatnya gejolak harga pangan dan semakin meningkatnya kebutuhan impor untuk mendukung ketersediaan pangan di dalam negeri. Dalam beberapa tahun terakhir terdapat kecenderungan ketersediaan pasokan bahan pangan yang kurang mampu mengimbangi kebutuhan masyarakat yang semakin meningkat. Ketidakmampuan sisi produksi tersebut antara lain dipengaruhi oleh karakteristik produk pangan yang sangat dipengaruhi kondisi iklim yang penuh ketidakpastian. Kesenjangan yang terjadi antara permintaan dan pasokan tentu akan menyebabkan gejolak dan tekanan inlasi pada komoditas tersebut volatile food inlation. Dalam jangka pendek, kebijakan impor