Permasalahan dan Tantangan Pelaksanaan Desentralisasi Fiskal

Bab 5 5-15 Kebijakan Desentralisasi Fiskal Nota Keuangan dan RAPBN 2014 Berdasarkan data APBD tahun 2008 sampai dengan 2013, komposisi belanja pegawai, belanja barang dan jasa, serta belanja modal cenderung mengalami perubahan. Secara nominal alokasi belanja barang dan jasa dalam APBD provinsi rata-rata meningkat 21,9 persen per tahun, atau lebih tinggi dibandingkan dengan kenaikan belanja modal dan belanja pegawai yang masing- masing meningkat 18,6 persen dan 11,7 persen per tahun. Sedangkan alokasi belanja lainnya, yang terdiri atas belanja bunga, subsidi, hibah, bantuan sosial, bagi hasil, bantuan keuangan, dan belanja tak terduga, juga meningkat relatif tinggi yakni 23,9 persen per tahun. Perkembangan alokasi belanja APBD provinsi disajikan pada Tabel 5.3. Untuk kabupatenkota, alokasi belanja pegawai dalam APBD tahun 2008 s.d. 2013 meningkat paling tinggi yakni rata-rata 15,8 persen per tahun, sedangkan belanja barang dan jasa meningkat rata-rata 15,8 persen per tahun. Sementara itu, alokasi belanja modal dan belanja lainnya masing-masing naik rata-rata 12,1 persen 8,0 persen per tahun. Perkembangan alokasi per jenis belanja APBD KabupatenKota dapat dilihat pada Tabel 5.4. 17,7 17,8 18,9 19,6 19,5 20,6 79,7 79,6 78,5 79,1 74,8 73,8 0,0 10,0 20,0 30,0 40,0 50,0 60,0 70,0 80,0 90,0 2008 2009 2010 2011 2012 2013 p e r s e n GRAFIK 5.8 RASIO KETERGANTUNGAN FISKAL NASIONAL TAHUN 2008 – 2013 PADPendptn TransferPendptn Linear PADPendptn Linear TransferPendptn Keterangan : Tahun 2008 – 2011 angka realisasi dan tahun 2012-2013 angka anggaran Sumber : Kementerian Keuangan data diolah Jen i s Bel a n ja 2008 2009 2010 2011 2012 2013 Per t u m bu h a n r a t a -r a t a Peg a w a i 2 2 .4 3 6 ,8 2 4 .5 2 5 ,3 2 7 .06 0,2 3 0.4 1 1 ,3 3 5 .5 2 2 ,4 3 9 .01 9 ,0 1 1 ,7 Ba r a n g da n Ja sa 1 8 .9 4 6 ,5 2 3 .3 8 1 ,3 2 6 .4 9 6 ,7 3 3 .6 03 ,8 4 2 .01 5 ,8 5 0.8 7 6 ,2 2 1 ,9 Moda l 1 8 .8 9 7 ,9 2 4 .1 4 5 ,2 2 4 .9 5 3 ,0 2 6 .2 6 3 ,7 3 1 .8 1 5 ,3 4 3 .1 2 4 ,5 1 8 ,6 La in n y a 2 8 .8 08 ,5 2 9 .6 4 8 ,3 3 2 .3 6 2 ,6 4 2 .01 1 ,3 6 4 .6 6 2 ,9 7 9 .8 9 9 ,2 2 3 ,9 T ot a l 89.089,6 101.700,2 110.872,5 132.290,2 174.016,4 212.918,9 19,3 Sumber : Kementerian Keuangan data diolah TABEL 5.3 APBD PROVINSI PER JENIS BELANJA, TAHUN 2008 – 2013 miliar rupiah Keterangan : Tahun 2008 – 201 1 angka realisasi dan tahun 201 2-201 3 angka anggaran. Bab 5 Kebijakan Desentralisasi Fiskal Nota Keuangan dan RAPBN 2014 5-16 Dalam APBD provinsi, peningkatan alokasi belanja barang dan jasa dan belanja lainnya yang relatif tinggi tersebut telah mengakibatkan porsi belanja barang dan jasa meningkat dari 21,3 persen tahun 2008 menjadi 23,9 persen tahun 2013. Begitu juga dengan porsi belanja lainnya terhadap total belanja telah mengalami peningkatan dari 32,3 persen tahun 2008 menjadi 37,2 persen pada tahun 2012 dan 37,5 persen pada tahun 2013, meskipun selama tahun 2009 s.d. 2011 angkanya berluktuasi. Sementara porsi belanja modal relatif menurun kemudian meningkat pada 2013, dan porsi belanja pegawai makin menurun. Perkembangan porsi belanja pegawai, belanja barang dan jasa, belanja modal, dan belanja lainnya APBD Provinsi dapat dilihat pada Tabel 5.5. Untuk APBD kabupaten kota, peningkatan alokasi belanja pegawai yang relatif tinggi telah mengakibatkan porsi belanja pegawai mencapai lebih dari 50 persen terhadap total belanja APBD, meskipun selama tahun 2010 s.d. 2013 angkanya makin menurun. Porsi belanja modal pada tahun 2008 mencapai 28,4 persen, turun menjadi 20,8 persen tahun 2010 dan meningkat menjadi 23,9 persen dan 25,3 persen masing-masing pada tahun 2012 dan 2013. Porsi belanja barang dan jasa dan porsi belanja lainnya relatif berluktuasi dengan kisaran masing-masing 16 - 18 persen dan 7 - 9 persen. Dengan demikian, dana APBD yang dialokasikan untuk kegiatan yang terkait dengan penyediaan sarana dan prasarana pelayanan publik relatif lebih kecil jika dibandingkan dengan yang digunakan untuk belanja operasional pemerintahan, termasuk untuk pembayaran gaji guru dan tenaga medis yang langsung bersinggungan dengan layanan publik. Perkembangan rasio belanja APBD kabupatenkota per jenis belanja dapat dilihat pada Tabel 5.6. Jenis Belanja 2008 2009 2010 2011 2012 2013 Pegawai 25,2 24,1 24,4 23,0 20,4 1 8,3 Barang dan Jasa 21 ,3 23,0 23,9 25,4 24,1 23,9 Modal 21 ,2 23,7 22,5 1 9,9 1 8,3 20,3 Lainny a 32,3 29,2 29,2 31 ,8 37 ,2 37 ,5 Tot al 100 100 100 100 100 100 Sumber : Kementerian Keuangan data diolah TABEL 5.5 RASIO APBD PROVINSI PER JENIS BELANJA TAHUN 2008 - 2013 persen Keterangan : Tahun 2008 – 201 1 angka realisasi dan tahun 201 2-201 3 angka anggaran Jen i s Bel a n ja 2008 2009 2010 2011 2012 2013 Per t u m bu h a n r a t a -r a t a Peg a w a i 1 2 6 .07 8 ,4 1 4 3 .6 2 7 ,4 1 7 2 .5 02 ,0 2 00.07 6 ,7 2 2 5 .6 3 0,2 2 5 6 .8 06 ,2 1 5 ,3 Ba r a n g da n Ja sa 4 7 .6 3 8 ,1 5 1 .7 3 0,2 5 2 .8 6 2 ,5 7 2 .3 7 4 ,6 8 0.2 09 ,6 9 6 .7 5 5 ,3 1 5 ,8 Moda l 7 8 .9 6 7 ,6 7 8 .2 8 3 ,8 6 7 .2 2 8 ,6 8 2 .09 5 ,1 1 05 .6 2 2 ,9 1 3 1 .9 02 ,6 1 2 ,1 La in n y a 2 5 .1 7 7 ,4 2 9 .3 3 5 ,3 3 1 .1 05 ,3 3 1 .9 4 6 ,7 3 1 .4 9 2 ,3 3 6 .6 1 8 ,0 8 ,0 T ot a l 277.861,4 302.976,8 323.698,4 386.493,1 442.955,0 522.082,2 13,6 Sumber: Kementerian Keuangan data diolah TABEL 5.4 APBD KABUPATEN DAN KOTA PER JENIS BELANJA TAHUN 2008 - 2013 miliar rupiah Keterangan : Tahun 2008 – 201 1 angka realisasi dan tahun 201 2-201 3 angka anggaran. Bab 5 5-17 Kebijakan Desentralisasi Fiskal Nota Keuangan dan RAPBN 2014 Arah dari penggunaan s u m b e r - s u m b e r pendapatan daerah, juga dapat dilihat dari alokasi belanja menurut fungsi. Belanja APBD provinsi y a n g d i a l o k a s i k a n fungsi pendidikan dan kesehatan pada tahun 2012 meningkat masing- masing 125,4 persen dan 114,4 persen jika dibandingkan dengan tahun 2008, sedangkan alokasi belanja untuk pelayanan umum meningkat 86,3 persen. Tingginya alokasi pada fungsi pelayanan umum disebabkan adanya kenaikan yang sangat besar pada belanja hibah. Khusus yang dialokasikan untuk fungsi lainnya yang antara lain terdiri atas fungsi ekonomi, lingkungan hidup, ketentraman dan ketertiban, perumahan dan fasilitas umum, pariwisata dan budaya, serta perlindungan sosial, meningkat sebesar 55,1 persen. Kecenderungan untuk lebih banyak mengalokasikan belanja APBD bagi pelaksanaan fungsi pendidikan juga terjadi di kabupaten kota. Porsi alokasi belanja untuk fungsi pendidikan yang relatif besar tersebut terkait dengan adanya beban pembayaran gaji guru, termasuk tunjangan profesi dan tunjangan tambahan penghasilan guru PNSD.

5.3.2 Peningkatan Kualitas Pengelolaan Keuangan Daerah

Kualitas belanja daerah merupakan isu yang selalu mengemuka selama satu dasawarsa terakhir ini. Hal ini didorong oleh kenyataan bahwa masih ada sebagian daerah yang memperoleh opini yang kurang baik dari BPK atas audit laporan keuangannya, adanya struktur belanja yang kurang sehat karena banyak tersedot untuk belanja aparatur, dan penyerapan anggaran yang kurang optimal sehingga menimbulkan adanya SiLPA yang berlebihan, tetapi di sisi lain kebutuhan penyediaan sarana dan prasarana pelayanan publik tidak terpenuhi. Berdasarkan hasil audit BPK atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah LKPD, jumlah LKPD yang mendapatkan opini WTP dan WDP naik dari 336 LKPD pada tahun 2008 menjadi 383 LKPD di tahun 2011. Sementara LKPD yang mendapatkan opini tidak baik disclaimer dan adverse menurun dari 149 LKPD di tahun 2008 menjadi hanya 43 LKPD di tahun 2011. Meskipun jumlah daerah yang mendapatkan opini WTP dan WDP meningkat signiikan, tetapi jumlah daerah yang memperoleh opini tidak baik masih mencapai sekitar 10 persen dari jumlah daerah yang ada. Untuk mendorong peningkatan kualitas pengelolaan keuangan daerah, Pemerintah telah melakukan perbaikan sistem penganggaran, pelaksanaan, dan pertanggungjawaban keuangan daerah yang didukung dengan perbaikan kapasitas SDM Pemerintah Daerah. Perbaikan sistem tersebut antara lain dilakukan melalui penyempurnaan berbagai peraturan perundangan yang terkait dengan pengelolaan keuangan, seperti penyempurnaan standar akuntansi pemerintah dan ketentuan mengenai pengadaan barang dan jasa. Sementara itu, untuk meningkatkan kapasitas SDM di daerah, dikembangkan pola pelatihan bagi pengelola keuangan daerah melalui Kursus Keuangan Daerah KKD dan Kursus Keuangan Daerah Khusus PenatausahaanAkuntansi Jenis Belanja 2008 2009 2010 2011 2012 2013 Pegawai 45,4 47 ,4 53,3 51 ,8 50,9 49,2 Barang dan Jasa 1 7 ,1 1 7 ,1 1 6,3 1 8,7 1 8,1 1 8,5 Modal 28,4 25,8 20,8 21 ,2 23,9 25,3 Lainny a 9,1 9,7 9,6 8,3 7 ,1 7 ,0 Tot al 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 Sumber : Kementerian Keuangan data diolah Keterangan : Tahun 2008 – 201 1 angka realisasi dan tahun 201 2-201 3 angka anggaran TABEL 5.6 RASIO APBD KABUPATEN DAN KOTA PER JENIS BELANJA TAHUN 2008 - 2013 persen Bab 5 Kebijakan Desentralisasi Fiskal Nota Keuangan dan RAPBN 2014 5-18 Keuangan Daerah KKDK. Selain itu, Pemerintah juga sedang menjajaki kemungkinan penerapan sertiikasi bagi jabatan pengelola keuangan daerah. Sumber dana APBD yang lebih banyak terpakai untuk belanja aparatur pemerintahan merupakan salah satu aspek yang juga terus dibenahi dalam rangka peningkatan kualitas belanja daerah. Pembenahan tersebut antara lain dilakukan melalui penerapan moratorium penerimaan PNS sehingga dalam masa moratorium Pemda dapat melakukan penataan pegawai sesuai kebutuhan dan beban kerja setiap instansi. Untuk mengurangi beban belanja pegawai dalam APBD, dalam revisi UU Nomor 33 tahun 2004 diusulkan untuk diatur ketentuan mengenai pembatasan belanja pegawai dalam APBD agar alokasi belanja dapat dikontrol sesuai dengan kemampuan APBD. Kualitas pengelolaan keuangan daerah juga dapat dilihat dari tingkat penyerapan anggaran daerah. Selama 4 tahun terakhir, realisasi belanja modal rata-rata mencapai 92,5 persen, atau lebih rendah dibandingkan dengan realisasi belanja pegawai, belanja barang dan jasa, dan belanja lainnya, yang rata-rata mencapai 97,9 persen, 96,6 persen, dan 104,1 persen. Selanjutnya, apabila dilihat dari pola belanja, lebih dari 60 persen pagu belanja, terutama belanja modal, dilaksanakan pada triwulan keempat tahun anggaran berjalan. Realisasi belanja modal yang tinggi pada bulan-bulan terakhir menjelang tutup tahun anggaran tersebut dikhawatirkan mempengaruhi kualitas output yang dihasilkan sehingga tidak sesuai dengan SPM yang ditentukan. Untuk mengatasi hal tersebut, Pemerintah terus mendorong agar APBD diselesaikan secara tepat waktu sehingga pelaksanaan belanja daerah dapat dilakukan mulai dari awal tahun anggaran, terlebih lagi untuk pelaksanaan belanja yang memerlukan proses pelelangan. Daerah yang terlambat menyampaikan Perda APBD akan diberikan sanksi berupa penundaan penyaluran DAU dan DAK, sedangkan daerah yang menetapkan dan menyampaikan Perda APBD secara tepat waktu akan memenuhi salah satu persyaratan untuk dipertimbangkan mendapatkan reward melalui Dana Insentif Daerah.

5.3.3 Implikasi terhadap Perkembangan Ekonomi Daerah

APBD memberikan pengaruh yang besar terhadap perkembangan ekonomi daerah melalui kebijakan di sisi pendapatan dan belanja daerah. Melalui sisi pendapatan, kebijakan yang terkait dengan pajak daerah dan retribusi daerah akan sangat mempengaruhi iklim investasi dan kegiatan ekonomi di daerah. Melalui sisi pengeluaran, dana APBD yang dialokasikan untuk belanja barang dan jasa serta belanja modal telah memberikan pengaruh terhadap kegiatan investasi dan perekonomian daerah. Sebagian besar dari pelaksanaan belanja modal menghasilkan output berupa infrastruktur sarana dan prasarana pelayanan publik yang mempengaruhi minat investor untuk menanamkan modal di daerah. Sebagian dari belanja barang dan jasa akan menstimulasi kegiatan ekonomi masyarakat daerah. Kegiatan investasi di daerah dalam beberapa tahun terakhir terus menunjukkan peningkatan. Berdasarkan data Badan Koordinasi Penanaman Modal BKPM, jumlah investasi baik dari penanaman modal asing PMA maupun dari penanaman modal dalam negeri PMDN pada tahun 2012 meningkat 20,4 persen, yakni dari Rp260,3 triliun pada tahun 2011 menjadi Rp313,3 triliun pada tahun 2012. Apabila dilihat menurut wilayah, sebagian besar dari kegiatan investasi yang dilakukan oleh PMA maupun PMDN masih terkonsentrasi di pulau Jawa, Sumatera, dan Kalimantan. Sementara itu, kegiatan investasi di wilayah lain, yakni di pulau Sulawesi, Maluku dan Papua, serta Bali dan Nusa Tenggara, masih relatif kecil. Perkembangan investasi dapat dilihat pada Tabel 5.7. Bab 5 5-19 Kebijakan Desentralisasi Fiskal Nota Keuangan dan RAPBN 2014 Untuk meningkatkan minat investasi, diperlukan adanya promosi dan fasilitasi kebijakan dari pemerintah. Pemerintah Pusat melalui Master Plan Percepatan, Perluasan, dan Pembangunan Ekonomi Indonesia MP3EI yang dicanangkan sejak tahun 2011, telah memberikan panduan yang jelas kepada investor untuk melaksanakan investasi di daerah dalam jangka panjang dan menengah. Konsep MP3EI mengarahkan bahwa keberhasilan pembangunan ekonomi tidak hanya tergantung pada pemerintah saja melainkan merupakan kolaborasi bersama antara Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, BUMN, BUMD, dan Swasta. Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah bertanggung jawab untuk memberikan jaminan keamanan, kemudahan perizinan, dan pemberian insentif iskal dan noniskal, melalui perbaikan sistem regulasi. Sementara itu, BUMN, BUMD, dan pihak swasta berperan untuk melaksanakan investasi, mengelola kegiatan produksidistribusi, dan menciptakan lapangan kerja. Sejalan dengan meningkatnya kegiatan investasi, pertumbuhan ekonomi Indonesia juga terus menunjukkan angka yang menggembirakan. Pada tahun 2011, pertumbuhan ekonomi nasional mencapai 6,5 persen sehingga menempatkan Indonesia sebagai negara Asia ketiga yang mengalami pertumbuhan ekonomi tinggi, yakni setelah China dan India. Pada tahun 2012, pertumbuhan ekonomi nasional menurun menjadi 6,2 persen. Apabila dilihat menurut wilayah, pada tahun 2012, sebagian besar pertumbuhan ekonomi provinsi menguat. Sembilan belas provinsi mempunyai tingkat pertumbuhan ekonomi di atas pertumbuhan ekonomi nasional dan satu provinsi mempunyai tingkat pertumbuhan ekonomi yang negatif, yaitu Nusa Tenggara Barat. Pertumbuhan ekonomi tahun 2011 dan 2012 dapat dilihat pada Graik 5.9 dan Graik 5.10. 2008 2009 2010 2011 2012 2008 2009 2010 2011 2012 1 Sumatera 9.197 7.297 6.832 18.689 33.564 4.840 7.820 4.224 16.334 14.256 2 Jawa 122.015 88.071 105.157 119.921 122.939 12.230 25.768 35.141 37.176 52.693 3 Bali dan Nusa Tenggara 859 2.197 4.597 8.574 10.139 29 51 2.119 357 3.168 4 Kalimantan 1.038 2.686 18.395 17.269 28.878 1.822 2.934 14.576 13.467 16.740 5 Sulawesi 589 1.331 7.857 6.438 13.563 1.147 1.188 4.338 7.228 4.901 6 Maluku dan Papua 168 81 5.447 13.379 11.999 295 41 229 1.439 424 133.866 101.663 148.285 184.270 221.082 20.363 37.802 60.627 76.001 92.182 Sumber : Badan Koordinasi Penanaman Modal BKPM Jumlah TABEL 5.7 PERKEMBANGAN REALISASI INVESTASI DI INDONESIA , 2008 - 2012 miliar rupiah PMA PMDN No Wilayah - 7,5 - 5,0 - 2,5 0,0 2,5 5,0 7,5 10,0 12,5 15,0 17,5 20,0 22,5 25,0 27,5 30,0 p e r s e n GRAFIK 5.9 PERTUMBUHAN EKONOMI 2011 Pertumbuhan Ekonomi Nasional : 6,5 Sumber : Badan Pusat Statistik BPS 1 Sumsel 6,50 8 Sulut 7,39 2 Sumut 6,58 9 Sulsel 7,65 3 Kep. Riau 6,67 10 Gorontalo 7,68 4 DKI Jakarta 6,70 11 Sultra 8,68 5 Kalteng 6,74 12 Sulteng 9,16 6 Jambi 6,90 13 Sulbar 10,41 7 Jatim 7,22 14 Papbar 27,22 Di atas Pertumbuhan Ekonomi Nasional Bab 5 Kebijakan Desentralisasi Fiskal Nota Keuangan dan RAPBN 2014 5-20 Selain indikator pertumbuhan ekonomi, tingkat keberhasilan pembangunan ekonomi di daerah dapat dilihat dari tingkat kemiskinan, pendapatan daerah per kapita, dan tingkat pengangguran. Dalam 3 tahun terakhir, daerah-daerah yang sebelumnya mempunyai tingkat kemiskinan yang relatif tinggi, seperti Papua, Papua Barat, Maluku, Gorontalo, mempunyai tingkat kemiskinan yang menurun dan lebih cepat jika dibandingkan dengan wilayah Jawa-Bali yang tingkat kemiskinannya memang sudah relatif lebih rendah. Hal ini menunjukkan bahwa telah terjadi proses catching-up peningkatan kesejahteraan masyarakat dari daerah-daerah yang relatif masih tertinggal. Indikator pendapatan daerah per kapita menunjukkan adanya perbedaan yang cukup signiikan antarprovinsi. Pada tahun 2012, provinsi yang mempunyai pendapatan daerah per kapita paling rendah adalah Jawa Barat, yaitu sekitar Rp1.183.000,00jiwa, sedangkan provinsi yang mempunyai pendapatan daerah per kapita tertinggi adalah Papua Barat, yaitu sebesar Rp14.280.000jiwa. Selain itu, ada beberapa provinsi lain yang pendapatan daerah per kapitanya tergolong tinggi yakni Papua, Kalimantan Timur, dan Maluku Utara. Indikator tingkat pengangguran menurun dari 7,1 persen pada tahun 2010, menjadi 6,7 persen tahun 2011, dan 6,14 persen pada tahun 2012. Pada tahun 2012, daerah yang mempunyai tingkat pengangguran yang relatif tinggi adalah Provinsi Banten dan Provinsi DKI Jakarta, yakni masing-masing 10,1 persen dan 9,9 persen. Perkembangan indikator kesejahteraan masyarakat daerah dapat dilihat pada Tabel 5.8. Peningkatan kegiatan ekonomi di daerah yang distimulasikan oleh belanja pemerintah dan investasi sektor swasta telah memberikan dampak terhadap jumlah uang beredar dan pergerakan harga barang dan jasa inlasi di daerah. Pada tahun 2011, data inlasi dari 66 kota sebagaimana yang terlihat pada Tabel 5.9, menunjukkan adanya penurunan dibandingkan dengan tingkat inlasi tahun 2010. Untuk menjaga stabilitas harga tersebut, sejak tahun 2011 telah dibentuk Tim Pengendali Inlasi Daerah TPID di beberapa kota dari 66 kota yang selalu dipantau tingkat inlasinya oleh BPS. Dalam rangka pengendalian inlasi, TPID dan Pemda akan fokus untuk membenahi permasalahan struktural yang berkaitan dengan kelangkaan pasokan barang-barang pokok akibat terbatasnya produksi pangan, buruknya infrastruktur distribusi, rantai distribusi yang terlampau panjang, penimbunan dan pungli, serta pengaruh musiman. - 2 2 4 6 8 10 12

14 16

18 p e r s e n GRAFIK 5.10 PERTUMBUHAN EKONOMI 2012 Pertumbuhan Ekonomi Nasional : 6,2 Sumber : Badan Pusat Statistik BPS 1 Jawa Tengah 6,3 11 Gorontalo 7,7 2 Sumatera Barat 6,4 12 Maluku 7,8 3 Lampung 6,5 13 Sulawesi Utara 7,9 4 DKI Jakarta 6,5 14 Kep. Riau 8,2 5 Bengkulu 6,6 15 Sulawesi Selatan 8,4 6 Bali 6,7 16 Sulawesi Barat 9,0 7 Maluku Utara 6,7 17 Sulawesi Tengah 9,3 8 Kalimantan Tengah 6,7 18 Sulawesi Tenggara 10,4 9 Jawa Timur 7,3 19 Papua Barat 15,8 10 Jambi 7,4 Di atas Pertumbuhan Ekonomi Nasional Bab 5 5-21 Kebijakan Desentralisasi Fiskal Nota Keuangan dan RAPBN 2014 2010 2011 2012 2010 2011 2012 2010 2011 2012 Aceh 3.492 4.1 09 4.7 1 4 21 ,0 1 9,6 1 8,6 8,4 7 ,4 9,1 Sumatera Utara 1 .521 1 .820 2.280 1 1 ,3 1 1 ,3 1 0,4 7 ,4 6,4 6,2 Sumatera Barat 2.1 44 2.399 2.891 9,5 9,0 8,0 7 ,0 6,5 6,5 Riau 2.81 9 3.290 3.67 2 8,7 8,5 8,1 8,7 5,3 4,3 Jambi 2.241 2.545 2.933 8,3 8,7 8,3 5,4 4,0 3,2 Sumatera Selatan 1 .926 2.248 2.568 1 5,5 1 4,2 1 3,5 6,7 5,8 5,7 Bengkulu 2.920 3.240 3.641 1 8,3 1 7 ,5 1 7 ,5 4,6 2,4 3,6 Lampung 1 .236 1 .555 1 .7 98 1 8,9 1 6,9 1 5,7 5,6 5,8 5,2 DKI Jakarta 2.308 2.7 1 4 3.1 49 3,5 3,8 3,7 1 1 ,1 1 0,8 9,9 Jawa Barat 855 945 1 .1 83 1 1 ,3 1 0,7 9,9 1 0,3 9,8 9,1 Jawa Tengah 1 .01 8 1 .1 45 1 .466 1 6,6 1 5,8 1 5,0 6,2 5,9 5,6 DI Yogy akarta 1 .490 1 .550 1 .990 1 6,8 1 6,1 1 5,9 5,7 4,0 4,0 Jawa Timur 1 .053 1 .237 1 .439 1 5,3 1 4,2 1 3,1 4,3 4,2 4,1 Kalimantan Barat 2.01 4 2.31 8 2.7 7 3 9,0 8,6 8,0 4,6 3,9 3,5 Kalimantan Tengah 3.97 8 4.21 8 4.81 5 6,8 6,6 6,2 4,1 2,6 3,2 Kalimantan Selatan 2.647 2.905 3.241 5,2 5,3 5,0 5,3 5,2 5,3 Kalimantan Timur 6.27 9 6.838 7 .57 7 7 ,7 6,8 6,4 1 0,1 9,8 8,9 Sulawesi Utara 2.900 3.223 3.621 9,1 8,5 7 ,6 9,6 8,6 7 ,8 Sulawesi Tengah 2.41 9 2.664 3.1 7 4 1 8,1 1 5,8 1 4,9 4,6 4,0 3,9 Sulawesi Selatan 1 .828 2.068 2.490 1 1 ,6 1 0,3 9,8 8,4 6,6 5,9 Sulawesi Tenggara 2.91 8 3.1 7 0 3.7 92 1 7 ,1 1 4,6 1 3,1 4,6 3,1 4,0 Bali 1 .97 1 2.200 2.850 4,9 4,2 4,0 3,1 2,3 2,0 Nusa Tenggara Barat 1 .524 1 .802 2.064 21 ,6 1 9,7 1 8,0 5,3 5,3 5,3 Nusa Tenggara Timur 1 .867 2.21 3 2.659 23,0 21 ,2 20,4 3,3 2,7 2,9 Maluku 3.51 3 4.052 4.259 27 ,7 23,0 20,8 1 0,0 7 ,4 7 ,5 Papua 7 .456 8.255 8.982 36,8 32,0 30,7 3,6 3,9 3,6 Maluku Utara 4.01 7 4.484 5.1 84 9,4 9,2 8,1 6,0 5,6 4,8 Banten 859 1 .037 1 .21 5 7 ,2 6,3 5,7 1 3,7 1 3,1 1 0,1 Bangka Belitung 2.892 3.1 08 3.81 9 6,5 5,8 5,4 5,6 3,6 3,5 Gorontalo 2.686 3.051 3.47 8 23,2 1 8,8 1 7 ,2 5,2 4,3 4,4 Kepulauan Riau 3.7 1 6 4.033 4.47 1 8,1 7 ,4 6,8 6,9 7 ,8 5,4 Papua Barat 1 0.903 1 2.7 95 1 4.280 34,9 31 ,9 27 ,0 7 ,7 8,9 5,5 Sulawesi Barat 2.1 87 2.7 1 8 3.099 1 3,6 1 3,9 1 3,0 3,3 2,8 2,1 Su m ber : Kem en ter ia n Keu a n g a n Provinsi Pend APBD Kapita ribu rupiah Tingkat Kemiskinan Tingkat Pengangguran TABEL 5.8 PERBANDINGAN PENDAPATAN APBD PER KAPITA DENGAN INDIKATOR KESEJAHTERAAN MASYARAKAT, TAHUN 2010-2012 Bab 5 Kebijakan Desentralisasi Fiskal Nota Keuangan dan RAPBN 2014 5-22

5.4 Anggaran Transfer ke Daerah Tahun 2014

5.4.1 Kebijakan Anggaran Transfer ke Daerah RAPBN 2014

Anggaran Transfer ke Daerah merupakan salah satu instrumen kebijakan desentralisasi iskal guna mendanai urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah. Implementasi kebijakan anggaran Transfer ke Daerah selain memperhatikan kebutuhan pendanaan urusan pemerintahan di daerah, juga mempertimbangkan kemampuan keuangan negara dan tujuan yang hendak dicapai dalam setiap tahun anggaran berdasarkan No Kot a 2009 2010 2011 2012 No Kot a 2009 2010 2011 2012 1 Lhokseumawe 3,92 7 ,1 9 3,55 0,39 34 Probolinggo 3,50 6,68 3,7 8 5,88 2 Banda Aceh 3,49 4,64 3,32 0,06 35 Madiun 3,37 6,54 3,49 3,51 3 Padang Sidempuan 1 ,86 7 ,42 4,66 3,54 36 Surabay a 3,34 7 ,33 4,7 2 4,39 4 Sibolga 1 ,62 1 1 ,83 3,7 1 3,30 37 Serang 4,49 6,1 8 2,7 8 4,41 5 Pematang Siantar 2,7 2 9,68 4,25 4,7 3 38 Tangerang 2,49 6,08 3,7 8 4,44 6 Medan 2,67 7 ,65 3,54 3,7 9 39 Cilegon 3,08 6,1 2 2,35 3,91 7 Padang 2,06 7 ,84 5,37 4,1 6 40 Denpasar 4,29 8,1 0 3,7 5 4,7 1 8 Pekanbaru 1 ,93 7 ,00 5,09 3,35 41 Mataram 3,1 4 1 1 ,07 6,38 4,1 0 9 Dumai 0,84 9,05 3,09 3,21 42 Bima 4,03 6,35 7 ,1 9 3,61 1 0 Batam 1 ,88 7 ,40 3,7 6 2,02 43 Maumere 5,1 6 8,48 6,59 6,49 1 1 Jambi 2,50 1 0,52 2,7 6 4,22 44 Kupang 6,33 9,97 4,32 5,1 0 1 2 Palembang 1 ,83 6,02 3,7 8 2,7 2 45 Pontianak 4,86 8,52 4,91 6,62 1 3 Bengkulu 2,89 9,08 3,96 4,61 46 Singkawang 1 ,20 7 ,1 0 6,7 2 4,21 1 4 Bandar Lampung 4,1 7 9,95 4,24 4,30 47 Sampit 2,83 9,53 3,60 4,69 1 5 Pangkal Pinang 2,1 7 9,36 5,00 6,57 48 Palangkaray a 1 ,38 9,49 5,28 6,7 3 1 6 Tanjung Pinang 1 ,45 6,1 7 3,32 3,92 49 Banjarmasin 3,80 9,06 3,98 5,96 1 7 DKI Jakarta 2,32 6,21 3,97 4,52 50 Balikpapan 3,54 7 ,38 6,45 6,41 1 8 Bogor 2,1 3 6,57 2,85 4,06 51 Samarinda 3,99 7 ,00 6,23 4,81 1 9 Sukabumi 3,43 5,43 4,26 3,98 52 Tarakan 7 ,01 7 ,92 6,43 5,99 20 Tasikmalay a 4,1 0 5,56 4,1 7 3,87 53 Manado 2,34 6,28 0,67 6,04 21 Bandung 2,09 4,53 2,7 5 4,02 54 Palu 5,60 6,40 4,47 5,87 22 Cirebon 4,06 6,7 0 3,20 3,36 55 Watampone 6,67 6,7 4 3,94 3,65 23 Bekasi 1 ,93 7 ,88 3,45 3,46 56 Makassar 3,21 6,82 2,87 4,57 24 Depok 1 ,30 7 ,97 2,95 4,1 1 57 Parepare 1 ,39 5,7 9 1 ,60 3,49 25 Purwokerto 2,81 6,04 3,40 4,7 3 58 Palopo 4,1 2 3,99 3,35 4,1 1 26 Surakarta 2,58 6,65 1 ,93 2,87 59 Kendari 4,52 3,87 5,09 5,25 27 Semarang 3,1 3 7 ,1 1 2,87 4,85 60 Gorontalo 4,26 7 ,43 4,08 5,31 28 Tegal 5,69 6,7 3 2,58 3,09 61 Mamuju 1 ,7 7 5,1 2 4,91 3,28 29 Yogy akarta 2,89 7 ,38 3,88 4,31 62 Ambon 6,41 8,7 8 2,85 6,7 3 30 Jember 3,7 1 7 ,09 2,43 4,49 63 Ternate 3,83 5,32 4,52 3,29 31 Sumenep 2,7 1 6,7 5 4,1 8 5,05 64 Manokwari 7 ,36 4,68 3,64 4,88 32 Kediri 3,54 6,80 3,62 4,63 65 Sorong 3,28 8,1 3 0,90 5,1 2 33 Malang 3,33 6,7 0 4,05 4,60 66 Jay apura 1 ,95 4,48 3,40 4,52 Sumber: BPS 201 2 TABEL 5.9 LAJU INFLASI TAHUNAN DI 66 KOTA, TAHUN 2009-2012 persen Bab 5 5-23 Kebijakan Desentralisasi Fiskal Nota Keuangan dan RAPBN 2014 programkegiatan yang telah ditetapkan sebagai prioritas dalam pembangunan nasional. Kebijakan anggaran Transfer ke Daerah dalam tahun 2014 diarahkan untuk mendukung kesinambungan pembangunan di daerah dan meningkatkan kualitas pelaksanaan program kegiatan yang menjadi prioritas daerah berdasarkan Standar Pelayanan Minimum SPM yang telah ditetapkan untuk masing-masing bidang. Secara rinci tujuan dari alokasi anggaran Transfer ke Daerah dalam tahun 2014 adalah untuk: 1. Meningkatkan kapasitas iskal daerah serta mengurangi kesenjangan iskal antara pusat dan daerah, serta antardaerah; 2. Meningkatkan transparansi, akuntabilitas, dan ketepatan waktu pengalokasian dan penyaluran anggaran Transfer ke Daerah; 3. Meningkatkan kualitas pelayanan publik di daerah dan mengurangi kesenjangan pelayanan publik antardaerah; 4. Mendukung kesinambungan iskal nasional; 5. Meningkatkan sinkronisasi antara rencana pembangunan nasional dengan pembangunan daerah; 6. Meningkatkan perhatian terhadap pembangunan di daerah tertinggal, terluar, dan terdepan; dan 7. Meningkatkan pelaksanaan pemantauan dan evaluasi terhadap jenis dana transfer tertentu guna meningkatkan kualitas belanja daerah. Guna mendukung pelaksanaan kebijakan tersebut, dalam RAPBN 2014 anggaran Transfer ke Daerah direncanakan sebesar Rp586,4 triliun 5,7 persen dari PDB, yang dirinci 82,2 persen berupa Dana Perimbangan dan 17,8 persen berupa Dana Otonomi Khusus dan Penyesuaian. Pagu alokasi anggaran Transfer ke Daerah tersebut meningkat 10,8 persen jika dibandingkan dengan pagu dalam APBNP 2013 sebesar Rp529,4 triliun.

5.4.1.1 Dana Perimbangan

Dalam RAPBN tahun 2014, alokasi Dana Perimbangan direncanakan sebesar Rp481,8 triliun 4,6 persen dari PDB, yang terdiri atas 22,3 persen berupa DBH, 70,9 persen berupa DAU, dan 6,8 persen berupa DAK. Pagu alokasi Dana Perimbangan tersebut meningkat 8,1 persen jika dibandingkan dengan pagu Dana Perimbangan dalam APBNP 2013 sebesar Rp445,5 triliun.

5.4.1.1.1 Dana Bagi Hasil

DBH adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN, yang dialokasikan kepada daerah berdasarkan persentase tertentu untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Kebijakan pelaksanaan alokasi DBH tahun 2014 mengacu pada ketentuan- ketentuan yang diatur dalam UU Nomor 33 Tahun 2004, UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, UU Nomor 35 Tahun 2008 tentang Penetapan Perpu Nomor 1 Tahun 2008 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua menjadi undang-undang, dan UU Nomor 39 Tahun 2007 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai, serta PP Nomor 55 Tahun 2005 tentang Dana Perimbangan.