Bab 5
5-15 Kebijakan Desentralisasi Fiskal
Nota Keuangan dan RAPBN 2014
Berdasarkan data APBD tahun 2008 sampai dengan 2013, komposisi belanja pegawai, belanja barang dan jasa, serta belanja modal cenderung mengalami perubahan. Secara nominal alokasi
belanja barang dan jasa dalam APBD provinsi rata-rata meningkat 21,9 persen per tahun, atau lebih tinggi dibandingkan dengan kenaikan belanja modal dan belanja pegawai yang masing-
masing meningkat 18,6 persen dan 11,7 persen per tahun. Sedangkan alokasi belanja lainnya, yang terdiri atas belanja bunga, subsidi, hibah, bantuan sosial, bagi hasil, bantuan keuangan, dan
belanja tak terduga, juga meningkat relatif tinggi yakni 23,9 persen per tahun. Perkembangan
alokasi belanja APBD provinsi disajikan pada Tabel 5.3.
Untuk kabupatenkota, alokasi belanja pegawai dalam APBD tahun 2008 s.d. 2013 meningkat paling tinggi yakni rata-rata 15,8 persen per tahun, sedangkan belanja barang dan jasa meningkat
rata-rata 15,8 persen per tahun. Sementara itu, alokasi belanja modal dan belanja lainnya masing-masing naik rata-rata 12,1 persen 8,0 persen per tahun. Perkembangan alokasi per jenis
belanja APBD KabupatenKota dapat dilihat pada Tabel 5.4.
17,7 17,8
18,9 19,6
19,5 20,6
79,7 79,6
78,5 79,1
74,8 73,8
0,0 10,0
20,0 30,0
40,0 50,0
60,0 70,0
80,0 90,0
2008 2009
2010 2011
2012 2013
p e
r s
e n
GRAFIK 5.8 RASIO KETERGANTUNGAN FISKAL NASIONAL
TAHUN 2008 – 2013
PADPendptn TransferPendptn
Linear PADPendptn Linear TransferPendptn
Keterangan : Tahun 2008 – 2011 angka realisasi dan tahun 2012-2013 angka anggaran Sumber : Kementerian Keuangan data diolah
Jen i s Bel a n ja 2008
2009 2010
2011 2012
2013 Per t u m bu h a n
r a t a -r a t a
Peg a w a i 2 2 .4 3 6 ,8
2 4 .5 2 5 ,3 2 7 .06 0,2
3 0.4 1 1 ,3 3 5 .5 2 2 ,4
3 9 .01 9 ,0 1 1 ,7
Ba r a n g da n Ja sa 1 8 .9 4 6 ,5
2 3 .3 8 1 ,3 2 6 .4 9 6 ,7
3 3 .6 03 ,8 4 2 .01 5 ,8
5 0.8 7 6 ,2 2 1 ,9
Moda l 1 8 .8 9 7 ,9
2 4 .1 4 5 ,2 2 4 .9 5 3 ,0
2 6 .2 6 3 ,7 3 1 .8 1 5 ,3
4 3 .1 2 4 ,5 1 8 ,6
La in n y a 2 8 .8 08 ,5
2 9 .6 4 8 ,3 3 2 .3 6 2 ,6
4 2 .01 1 ,3 6 4 .6 6 2 ,9
7 9 .8 9 9 ,2 2 3 ,9
T ot a l 89.089,6
101.700,2 110.872,5
132.290,2 174.016,4
212.918,9 19,3
Sumber : Kementerian Keuangan data diolah
TABEL 5.3 APBD PROVINSI PER JENIS BELANJA, TAHUN 2008 – 2013
miliar rupiah
Keterangan : Tahun 2008 – 201 1 angka realisasi dan tahun 201 2-201 3 angka anggaran.
Bab 5 Kebijakan Desentralisasi Fiskal
Nota Keuangan dan RAPBN 2014 5-16
Dalam APBD provinsi, peningkatan alokasi belanja barang dan jasa dan belanja lainnya yang relatif tinggi tersebut telah mengakibatkan porsi belanja barang dan jasa meningkat dari
21,3 persen tahun 2008 menjadi 23,9 persen tahun 2013. Begitu juga dengan porsi belanja lainnya terhadap total belanja telah mengalami peningkatan dari 32,3 persen tahun 2008
menjadi 37,2 persen pada tahun 2012 dan 37,5 persen pada tahun 2013, meskipun selama tahun 2009 s.d. 2011 angkanya berluktuasi. Sementara porsi belanja modal relatif menurun
kemudian meningkat pada 2013, dan porsi belanja pegawai makin menurun. Perkembangan porsi belanja pegawai, belanja barang dan jasa, belanja modal, dan belanja lainnya APBD
Provinsi dapat dilihat pada Tabel 5.5. Untuk APBD kabupaten
kota, peningkatan alokasi belanja pegawai yang relatif
tinggi telah mengakibatkan porsi belanja pegawai
mencapai lebih dari 50 persen terhadap total
belanja APBD, meskipun selama tahun 2010 s.d. 2013
angkanya makin menurun. Porsi belanja modal pada
tahun 2008 mencapai 28,4 persen, turun menjadi 20,8
persen tahun 2010 dan meningkat menjadi 23,9 persen dan 25,3 persen masing-masing pada tahun 2012 dan 2013.
Porsi belanja barang dan jasa dan porsi belanja lainnya relatif berluktuasi dengan kisaran masing-masing 16 - 18 persen dan 7 - 9 persen. Dengan demikian, dana APBD yang dialokasikan
untuk kegiatan yang terkait dengan penyediaan sarana dan prasarana pelayanan publik relatif lebih kecil jika dibandingkan dengan yang digunakan untuk belanja operasional pemerintahan,
termasuk untuk pembayaran gaji guru dan tenaga medis yang langsung bersinggungan dengan layanan publik. Perkembangan rasio belanja APBD kabupatenkota per jenis belanja dapat
dilihat pada Tabel 5.6.
Jenis Belanja 2008
2009 2010
2011 2012
2013
Pegawai 25,2
24,1 24,4
23,0 20,4
1 8,3 Barang dan Jasa
21 ,3 23,0
23,9 25,4
24,1 23,9
Modal 21 ,2
23,7 22,5
1 9,9 1 8,3
20,3 Lainny a
32,3 29,2
29,2 31 ,8
37 ,2 37 ,5
Tot al 100
100 100
100 100
100
Sumber : Kementerian Keuangan data diolah
TABEL 5.5 RASIO APBD PROVINSI
PER JENIS BELANJA TAHUN 2008 - 2013 persen
Keterangan : Tahun 2008 – 201 1 angka realisasi dan tahun 201 2-201 3 angka anggaran
Jen i s Bel a n ja 2008
2009 2010
2011 2012
2013 Per t u m bu h a n
r a t a -r a t a
Peg a w a i 1 2 6 .07 8 ,4
1 4 3 .6 2 7 ,4 1 7 2 .5 02 ,0
2 00.07 6 ,7 2 2 5 .6 3 0,2
2 5 6 .8 06 ,2 1 5 ,3
Ba r a n g da n Ja sa 4 7 .6 3 8 ,1
5 1 .7 3 0,2 5 2 .8 6 2 ,5
7 2 .3 7 4 ,6 8 0.2 09 ,6
9 6 .7 5 5 ,3 1 5 ,8
Moda l 7 8 .9 6 7 ,6
7 8 .2 8 3 ,8 6 7 .2 2 8 ,6
8 2 .09 5 ,1 1 05 .6 2 2 ,9
1 3 1 .9 02 ,6 1 2 ,1
La in n y a 2 5 .1 7 7 ,4
2 9 .3 3 5 ,3 3 1 .1 05 ,3
3 1 .9 4 6 ,7 3 1 .4 9 2 ,3
3 6 .6 1 8 ,0 8 ,0
T ot a l 277.861,4
302.976,8 323.698,4
386.493,1 442.955,0
522.082,2 13,6
Sumber: Kementerian Keuangan data diolah
TABEL 5.4 APBD KABUPATEN DAN KOTA PER JENIS BELANJA
TAHUN 2008 - 2013 miliar rupiah
Keterangan : Tahun 2008 – 201 1 angka realisasi dan tahun 201 2-201 3 angka anggaran.
Bab 5
5-17 Kebijakan Desentralisasi Fiskal
Nota Keuangan dan RAPBN 2014
Arah dari penggunaan s u m b e r - s u m b e r
pendapatan daerah, juga dapat dilihat dari alokasi
belanja menurut fungsi. Belanja APBD provinsi
y a n g d i a l o k a s i k a n fungsi pendidikan dan
kesehatan pada tahun 2012 meningkat masing-
masing 125,4 persen dan 114,4 persen jika
dibandingkan dengan tahun 2008, sedangkan
alokasi belanja untuk pelayanan umum meningkat 86,3 persen. Tingginya alokasi pada fungsi pelayanan umum disebabkan adanya kenaikan yang sangat besar pada belanja hibah. Khusus
yang dialokasikan untuk fungsi lainnya yang antara lain terdiri atas fungsi ekonomi, lingkungan hidup, ketentraman dan ketertiban, perumahan dan fasilitas umum, pariwisata dan budaya,
serta perlindungan sosial, meningkat sebesar 55,1 persen. Kecenderungan untuk lebih banyak mengalokasikan belanja APBD bagi pelaksanaan fungsi pendidikan juga terjadi di kabupaten
kota. Porsi alokasi belanja untuk fungsi pendidikan yang relatif besar tersebut terkait dengan adanya beban pembayaran gaji guru, termasuk tunjangan profesi dan tunjangan tambahan
penghasilan guru PNSD.
5.3.2 Peningkatan Kualitas Pengelolaan Keuangan Daerah
Kualitas belanja daerah merupakan isu yang selalu mengemuka selama satu dasawarsa terakhir ini. Hal ini didorong oleh kenyataan bahwa masih ada sebagian daerah yang memperoleh opini
yang kurang baik dari BPK atas audit laporan keuangannya, adanya struktur belanja yang kurang sehat karena banyak tersedot untuk belanja aparatur, dan penyerapan anggaran yang kurang
optimal sehingga menimbulkan adanya SiLPA yang berlebihan, tetapi di sisi lain kebutuhan penyediaan sarana dan prasarana pelayanan publik tidak terpenuhi.
Berdasarkan hasil audit BPK atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah LKPD, jumlah LKPD yang mendapatkan opini WTP dan WDP naik dari 336 LKPD pada tahun 2008 menjadi 383 LKPD
di tahun 2011. Sementara LKPD yang mendapatkan opini tidak baik disclaimer dan adverse menurun dari 149 LKPD di tahun 2008 menjadi hanya 43 LKPD di tahun 2011. Meskipun jumlah
daerah yang mendapatkan opini WTP dan WDP meningkat signiikan, tetapi jumlah daerah yang memperoleh opini tidak baik masih mencapai sekitar 10 persen dari jumlah daerah yang
ada. Untuk mendorong peningkatan kualitas pengelolaan keuangan daerah, Pemerintah telah melakukan perbaikan sistem penganggaran, pelaksanaan, dan pertanggungjawaban keuangan
daerah yang didukung dengan perbaikan kapasitas SDM Pemerintah Daerah. Perbaikan sistem tersebut antara lain dilakukan melalui penyempurnaan berbagai peraturan perundangan yang
terkait dengan pengelolaan keuangan, seperti penyempurnaan standar akuntansi pemerintah dan ketentuan mengenai pengadaan barang dan jasa. Sementara itu, untuk meningkatkan kapasitas
SDM di daerah, dikembangkan pola pelatihan bagi pengelola keuangan daerah melalui Kursus Keuangan Daerah KKD dan Kursus Keuangan Daerah Khusus PenatausahaanAkuntansi
Jenis Belanja 2008
2009 2010
2011 2012
2013
Pegawai 45,4
47 ,4 53,3
51 ,8 50,9
49,2 Barang dan Jasa
1 7 ,1 1 7 ,1
1 6,3 1 8,7
1 8,1 1 8,5
Modal 28,4
25,8 20,8
21 ,2 23,9
25,3 Lainny a
9,1 9,7
9,6 8,3
7 ,1 7 ,0
Tot al 100,0
100,0 100,0
100,0 100,0
100,0
Sumber : Kementerian Keuangan data diolah Keterangan : Tahun 2008 – 201 1 angka realisasi dan tahun 201 2-201 3 angka anggaran
TABEL 5.6 RASIO APBD KABUPATEN DAN KOTA
PER JENIS BELANJA TAHUN 2008 - 2013 persen
Bab 5 Kebijakan Desentralisasi Fiskal
Nota Keuangan dan RAPBN 2014 5-18
Keuangan Daerah KKDK. Selain itu, Pemerintah juga sedang menjajaki kemungkinan penerapan sertiikasi bagi jabatan pengelola keuangan daerah.
Sumber dana APBD yang lebih banyak terpakai untuk belanja aparatur pemerintahan merupakan salah satu aspek yang juga terus dibenahi dalam rangka peningkatan kualitas belanja daerah.
Pembenahan tersebut antara lain dilakukan melalui penerapan moratorium penerimaan PNS sehingga dalam masa moratorium Pemda dapat melakukan penataan pegawai sesuai kebutuhan
dan beban kerja setiap instansi. Untuk mengurangi beban belanja pegawai dalam APBD, dalam revisi UU Nomor 33 tahun 2004 diusulkan untuk diatur ketentuan mengenai pembatasan belanja
pegawai dalam APBD agar alokasi belanja dapat dikontrol sesuai dengan kemampuan APBD. Kualitas pengelolaan keuangan daerah juga dapat dilihat dari tingkat penyerapan anggaran
daerah. Selama 4 tahun terakhir, realisasi belanja modal rata-rata mencapai 92,5 persen, atau lebih rendah dibandingkan dengan realisasi belanja pegawai, belanja barang dan jasa, dan belanja
lainnya, yang rata-rata mencapai 97,9 persen, 96,6 persen, dan 104,1 persen. Selanjutnya, apabila dilihat dari pola belanja, lebih dari 60 persen pagu belanja, terutama belanja modal, dilaksanakan
pada triwulan keempat tahun anggaran berjalan. Realisasi belanja modal yang tinggi pada bulan-bulan terakhir menjelang tutup tahun anggaran tersebut dikhawatirkan mempengaruhi
kualitas output yang dihasilkan sehingga tidak sesuai dengan SPM yang ditentukan. Untuk mengatasi hal tersebut, Pemerintah terus mendorong agar APBD diselesaikan secara tepat waktu
sehingga pelaksanaan belanja daerah dapat dilakukan mulai dari awal tahun anggaran, terlebih lagi untuk pelaksanaan belanja yang memerlukan proses pelelangan. Daerah yang terlambat
menyampaikan Perda APBD akan diberikan sanksi berupa penundaan penyaluran DAU dan DAK, sedangkan daerah yang menetapkan dan menyampaikan Perda APBD secara tepat waktu
akan memenuhi salah satu persyaratan untuk dipertimbangkan mendapatkan reward melalui Dana Insentif Daerah.
5.3.3 Implikasi terhadap Perkembangan Ekonomi Daerah
APBD memberikan pengaruh yang besar terhadap perkembangan ekonomi daerah melalui kebijakan di sisi pendapatan dan belanja daerah. Melalui sisi pendapatan, kebijakan yang
terkait dengan pajak daerah dan retribusi daerah akan sangat mempengaruhi iklim investasi dan kegiatan ekonomi di daerah. Melalui sisi pengeluaran, dana APBD yang dialokasikan
untuk belanja barang dan jasa serta belanja modal telah memberikan pengaruh terhadap kegiatan investasi dan perekonomian daerah. Sebagian besar dari pelaksanaan belanja modal
menghasilkan output berupa infrastruktur sarana dan prasarana pelayanan publik yang mempengaruhi minat investor untuk menanamkan modal di daerah. Sebagian dari belanja
barang dan jasa akan menstimulasi kegiatan ekonomi masyarakat daerah. Kegiatan investasi di daerah dalam beberapa tahun terakhir terus menunjukkan peningkatan.
Berdasarkan data Badan Koordinasi Penanaman Modal BKPM, jumlah investasi baik dari penanaman modal asing PMA maupun dari penanaman modal dalam negeri PMDN pada
tahun 2012 meningkat 20,4 persen, yakni dari Rp260,3 triliun pada tahun 2011 menjadi Rp313,3 triliun pada tahun 2012. Apabila dilihat menurut wilayah, sebagian besar dari kegiatan
investasi yang dilakukan oleh PMA maupun PMDN masih terkonsentrasi di pulau Jawa, Sumatera, dan Kalimantan. Sementara itu, kegiatan investasi di wilayah lain, yakni di pulau
Sulawesi, Maluku dan Papua, serta Bali dan Nusa Tenggara, masih relatif kecil. Perkembangan investasi dapat dilihat pada Tabel 5.7.
Bab 5
5-19 Kebijakan Desentralisasi Fiskal
Nota Keuangan dan RAPBN 2014
Untuk meningkatkan minat investasi, diperlukan adanya promosi dan fasilitasi kebijakan dari pemerintah. Pemerintah Pusat melalui Master Plan Percepatan, Perluasan, dan Pembangunan
Ekonomi Indonesia MP3EI yang dicanangkan sejak tahun 2011, telah memberikan panduan yang jelas kepada investor untuk melaksanakan investasi di daerah dalam jangka panjang dan
menengah. Konsep MP3EI mengarahkan bahwa keberhasilan pembangunan ekonomi tidak hanya tergantung pada pemerintah saja melainkan merupakan kolaborasi bersama antara
Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, BUMN, BUMD, dan Swasta. Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah bertanggung jawab untuk memberikan jaminan keamanan, kemudahan
perizinan, dan pemberian insentif iskal dan noniskal, melalui perbaikan sistem regulasi. Sementara itu, BUMN, BUMD, dan pihak swasta berperan untuk melaksanakan investasi,
mengelola kegiatan produksidistribusi, dan menciptakan lapangan kerja. Sejalan dengan meningkatnya kegiatan investasi, pertumbuhan ekonomi Indonesia juga
terus menunjukkan angka yang menggembirakan. Pada tahun 2011, pertumbuhan ekonomi nasional mencapai 6,5 persen sehingga menempatkan Indonesia sebagai negara Asia ketiga
yang mengalami pertumbuhan ekonomi tinggi, yakni setelah China dan India. Pada tahun 2012, pertumbuhan ekonomi nasional menurun menjadi 6,2 persen. Apabila dilihat menurut
wilayah, pada tahun 2012, sebagian besar pertumbuhan ekonomi provinsi menguat. Sembilan belas provinsi mempunyai tingkat pertumbuhan ekonomi di atas pertumbuhan ekonomi
nasional dan satu provinsi mempunyai tingkat pertumbuhan ekonomi yang negatif, yaitu Nusa
Tenggara Barat. Pertumbuhan ekonomi tahun 2011 dan 2012 dapat dilihat pada Graik 5.9 dan
Graik 5.10.
2008 2009
2010 2011
2012 2008
2009 2010
2011 2012
1 Sumatera
9.197 7.297
6.832 18.689
33.564 4.840
7.820 4.224
16.334 14.256
2 Jawa 122.015
88.071 105.157
119.921 122.939
12.230 25.768
35.141 37.176
52.693 3 Bali dan Nusa Tenggara
859 2.197
4.597 8.574
10.139 29
51 2.119
357 3.168
4 Kalimantan 1.038
2.686 18.395
17.269 28.878
1.822 2.934
14.576 13.467
16.740 5
Sulawesi 589
1.331 7.857
6.438 13.563
1.147 1.188
4.338 7.228
4.901 6 Maluku dan Papua
168 81
5.447 13.379
11.999 295
41 229
1.439 424
133.866 101.663
148.285 184.270
221.082 20.363
37.802 60.627
76.001 92.182
Sumber : Badan Koordinasi Penanaman Modal BKPM
Jumlah TABEL 5.7
PERKEMBANGAN REALISASI INVESTASI DI INDONESIA , 2008 - 2012 miliar rupiah
PMA PMDN
No Wilayah
- 7,5
- 5,0
- 2,5
0,0 2,5
5,0 7,5
10,0 12,5
15,0 17,5
20,0 22,5
25,0 27,5
30,0
p e
r s
e n
GRAFIK 5.9 PERTUMBUHAN EKONOMI 2011
Pertumbuhan Ekonomi Nasional : 6,5
Sumber : Badan Pusat Statistik BPS
1
Sumsel 6,50 8 Sulut
7,39
2
Sumut 6,58 9 Sulsel
7,65
3
Kep. Riau 6,67 10 Gorontalo
7,68
4 DKI Jakarta 6,70 11 Sultra
8,68
5
Kalteng 6,74 12 Sulteng
9,16
6 Jambi 6,90 13 Sulbar
10,41
7 Jatim 7,22 14 Papbar
27,22 Di atas Pertumbuhan Ekonomi Nasional
Bab 5 Kebijakan Desentralisasi Fiskal
Nota Keuangan dan RAPBN 2014 5-20
Selain indikator pertumbuhan ekonomi, tingkat keberhasilan pembangunan ekonomi di daerah dapat dilihat dari tingkat kemiskinan, pendapatan daerah per kapita, dan tingkat pengangguran.
Dalam 3 tahun terakhir, daerah-daerah yang sebelumnya mempunyai tingkat kemiskinan yang relatif tinggi, seperti Papua, Papua Barat, Maluku, Gorontalo, mempunyai tingkat kemiskinan
yang menurun dan lebih cepat jika dibandingkan dengan wilayah Jawa-Bali yang tingkat kemiskinannya memang sudah relatif lebih rendah. Hal ini menunjukkan bahwa telah terjadi
proses catching-up peningkatan kesejahteraan masyarakat dari daerah-daerah yang relatif masih tertinggal. Indikator pendapatan daerah per kapita menunjukkan adanya perbedaan yang
cukup signiikan antarprovinsi. Pada tahun 2012, provinsi yang mempunyai pendapatan daerah per kapita paling rendah adalah Jawa Barat, yaitu sekitar Rp1.183.000,00jiwa, sedangkan
provinsi yang mempunyai pendapatan daerah per kapita tertinggi adalah Papua Barat, yaitu sebesar Rp14.280.000jiwa. Selain itu, ada beberapa provinsi lain yang pendapatan daerah per
kapitanya tergolong tinggi yakni Papua, Kalimantan Timur, dan Maluku Utara. Indikator tingkat pengangguran menurun dari 7,1 persen pada tahun 2010, menjadi 6,7 persen tahun 2011, dan
6,14 persen pada tahun 2012. Pada tahun 2012, daerah yang mempunyai tingkat pengangguran yang relatif tinggi adalah Provinsi Banten dan Provinsi DKI Jakarta, yakni masing-masing 10,1
persen dan 9,9 persen. Perkembangan indikator kesejahteraan masyarakat daerah dapat dilihat
pada Tabel 5.8.
Peningkatan kegiatan ekonomi di daerah yang distimulasikan oleh belanja pemerintah dan investasi sektor swasta telah memberikan dampak terhadap jumlah uang beredar dan pergerakan
harga barang dan jasa inlasi di daerah. Pada tahun 2011, data inlasi dari 66 kota sebagaimana
yang terlihat pada Tabel 5.9, menunjukkan adanya penurunan dibandingkan dengan tingkat
inlasi tahun 2010. Untuk menjaga stabilitas harga tersebut, sejak tahun 2011 telah dibentuk Tim Pengendali Inlasi Daerah TPID di beberapa kota dari 66 kota yang selalu dipantau tingkat
inlasinya oleh BPS. Dalam rangka pengendalian inlasi, TPID dan Pemda akan fokus untuk membenahi permasalahan struktural yang berkaitan dengan kelangkaan pasokan barang-barang
pokok akibat terbatasnya produksi pangan, buruknya infrastruktur distribusi, rantai distribusi yang terlampau panjang, penimbunan dan pungli, serta pengaruh musiman.
- 2
2 4
6 8
10 12
14 16
18
p e
r s
e n
GRAFIK 5.10 PERTUMBUHAN EKONOMI 2012
Pertumbuhan Ekonomi Nasional : 6,2
Sumber : Badan Pusat Statistik BPS
1
Jawa Tengah 6,3
11
Gorontalo 7,7
2
Sumatera Barat 6,4
12
Maluku 7,8
3 Lampung
6,5 13
Sulawesi Utara 7,9
4 DKI Jakarta 6,5
14 Kep. Riau 8,2
5
Bengkulu 6,6
15
Sulawesi Selatan 8,4
6 Bali
6,7
16 Sulawesi Barat
9,0
7 Maluku Utara 6,7
17 Sulawesi Tengah 9,3
8
Kalimantan Tengah 6,7
18
Sulawesi Tenggara 10,4
9
Jawa Timur 7,3
19
Papua Barat 15,8
10
Jambi 7,4
Di atas Pertumbuhan Ekonomi Nasional
Bab 5
5-21 Kebijakan Desentralisasi Fiskal
Nota Keuangan dan RAPBN 2014
2010 2011
2012 2010 2011 2012 2010 2011 2012
Aceh 3.492
4.1 09 4.7 1 4
21 ,0 1 9,6
1 8,6 8,4
7 ,4 9,1
Sumatera Utara 1 .521
1 .820 2.280
1 1 ,3 1 1 ,3
1 0,4 7 ,4
6,4 6,2
Sumatera Barat 2.1 44
2.399 2.891
9,5 9,0
8,0 7 ,0
6,5 6,5
Riau 2.81 9
3.290 3.67 2
8,7 8,5
8,1 8,7
5,3 4,3
Jambi 2.241
2.545 2.933
8,3 8,7
8,3 5,4
4,0 3,2
Sumatera Selatan 1 .926
2.248 2.568
1 5,5 1 4,2
1 3,5 6,7
5,8 5,7
Bengkulu 2.920
3.240 3.641
1 8,3 1 7 ,5
1 7 ,5 4,6
2,4 3,6
Lampung 1 .236
1 .555 1 .7 98
1 8,9 1 6,9
1 5,7 5,6
5,8 5,2
DKI Jakarta 2.308
2.7 1 4 3.1 49
3,5 3,8
3,7 1 1 ,1
1 0,8 9,9
Jawa Barat 855
945 1 .1 83
1 1 ,3 1 0,7
9,9 1 0,3
9,8 9,1
Jawa Tengah 1 .01 8
1 .1 45 1 .466
1 6,6 1 5,8
1 5,0 6,2
5,9 5,6
DI Yogy akarta 1 .490
1 .550 1 .990
1 6,8 1 6,1
1 5,9 5,7
4,0 4,0
Jawa Timur 1 .053
1 .237 1 .439
1 5,3 1 4,2
1 3,1 4,3
4,2 4,1
Kalimantan Barat 2.01 4
2.31 8 2.7 7 3
9,0 8,6
8,0 4,6
3,9 3,5
Kalimantan Tengah 3.97 8
4.21 8 4.81 5
6,8 6,6
6,2 4,1
2,6 3,2
Kalimantan Selatan 2.647
2.905 3.241
5,2 5,3
5,0 5,3
5,2 5,3
Kalimantan Timur 6.27 9
6.838 7 .57 7
7 ,7 6,8
6,4 1 0,1
9,8 8,9
Sulawesi Utara 2.900
3.223 3.621
9,1 8,5
7 ,6 9,6
8,6 7 ,8
Sulawesi Tengah 2.41 9
2.664 3.1 7 4
1 8,1 1 5,8
1 4,9 4,6
4,0 3,9
Sulawesi Selatan 1 .828
2.068 2.490
1 1 ,6 1 0,3
9,8 8,4
6,6 5,9
Sulawesi Tenggara 2.91 8
3.1 7 0 3.7 92
1 7 ,1 1 4,6
1 3,1 4,6
3,1 4,0
Bali 1 .97 1
2.200 2.850
4,9 4,2
4,0 3,1
2,3 2,0
Nusa Tenggara Barat 1 .524
1 .802 2.064
21 ,6 1 9,7
1 8,0 5,3
5,3 5,3
Nusa Tenggara Timur 1 .867
2.21 3 2.659
23,0 21 ,2
20,4 3,3
2,7 2,9
Maluku 3.51 3
4.052 4.259
27 ,7 23,0
20,8 1 0,0
7 ,4 7 ,5
Papua 7 .456
8.255 8.982
36,8 32,0
30,7 3,6
3,9 3,6
Maluku Utara 4.01 7
4.484 5.1 84
9,4 9,2
8,1 6,0
5,6 4,8
Banten 859
1 .037 1 .21 5
7 ,2 6,3
5,7 1 3,7
1 3,1 1 0,1
Bangka Belitung 2.892
3.1 08 3.81 9
6,5 5,8
5,4 5,6
3,6 3,5
Gorontalo 2.686
3.051 3.47 8
23,2 1 8,8
1 7 ,2 5,2
4,3 4,4
Kepulauan Riau 3.7 1 6
4.033 4.47 1
8,1 7 ,4
6,8 6,9
7 ,8 5,4
Papua Barat 1 0.903
1 2.7 95 1 4.280 34,9
31 ,9 27 ,0
7 ,7 8,9
5,5 Sulawesi Barat
2.1 87 2.7 1 8
3.099 1 3,6
1 3,9 1 3,0
3,3 2,8
2,1
Su m ber : Kem en ter ia n Keu a n g a n
Provinsi Pend APBD Kapita
ribu rupiah Tingkat
Kemiskinan Tingkat
Pengangguran
TABEL 5.8 PERBANDINGAN PENDAPATAN APBD PER KAPITA DENGAN
INDIKATOR KESEJAHTERAAN MASYARAKAT, TAHUN 2010-2012
Bab 5 Kebijakan Desentralisasi Fiskal
Nota Keuangan dan RAPBN 2014 5-22
5.4 Anggaran Transfer ke Daerah Tahun 2014
5.4.1 Kebijakan Anggaran Transfer ke Daerah RAPBN 2014
Anggaran Transfer ke Daerah merupakan salah satu instrumen kebijakan desentralisasi iskal guna mendanai urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah dalam rangka pelaksanaan
otonomi daerah. Implementasi kebijakan anggaran Transfer ke Daerah selain memperhatikan kebutuhan pendanaan urusan pemerintahan di daerah, juga mempertimbangkan kemampuan
keuangan negara dan tujuan yang hendak dicapai dalam setiap tahun anggaran berdasarkan
No Kot a
2009 2010
2011 2012
No Kot a
2009 2010
2011 2012
1 Lhokseumawe
3,92 7 ,1 9 3,55 0,39 34
Probolinggo 3,50 6,68 3,7 8 5,88
2 Banda Aceh
3,49 4,64 3,32 0,06 35
Madiun 3,37 6,54 3,49 3,51
3 Padang Sidempuan 1 ,86 7 ,42 4,66 3,54
36 Surabay a
3,34 7 ,33 4,7 2 4,39 4
Sibolga 1 ,62 1 1 ,83 3,7 1 3,30
37 Serang
4,49 6,1 8 2,7 8 4,41 5
Pematang Siantar 2,7 2 9,68 4,25 4,7 3
38 Tangerang
2,49 6,08 3,7 8 4,44 6
Medan 2,67 7 ,65 3,54 3,7 9
39 Cilegon
3,08 6,1 2 2,35 3,91 7
Padang 2,06 7 ,84 5,37 4,1 6
40 Denpasar
4,29 8,1 0 3,7 5 4,7 1 8
Pekanbaru 1 ,93 7 ,00 5,09 3,35
41 Mataram
3,1 4 1 1 ,07 6,38 4,1 0 9
Dumai 0,84 9,05 3,09 3,21
42 Bima
4,03 6,35 7 ,1 9 3,61 1 0 Batam
1 ,88 7 ,40 3,7 6 2,02 43
Maumere 5,1 6 8,48 6,59 6,49
1 1 Jambi
2,50 1 0,52 2,7 6 4,22 44
Kupang 6,33 9,97 4,32 5,1 0
1 2 Palembang 1 ,83 6,02 3,7 8 2,7 2
45 Pontianak
4,86 8,52 4,91 6,62 1 3 Bengkulu
2,89 9,08 3,96 4,61 46
Singkawang 1 ,20 7 ,1 0 6,7 2 4,21
1 4 Bandar Lampung 4,1 7 9,95 4,24 4,30
47 Sampit
2,83 9,53 3,60 4,69 1 5
Pangkal Pinang 2,1 7 9,36 5,00 6,57
48 Palangkaray a 1 ,38 9,49 5,28 6,7 3
1 6 Tanjung Pinang 1 ,45 6,1 7 3,32 3,92
49 Banjarmasin 3,80 9,06 3,98 5,96
1 7 DKI Jakarta 2,32 6,21 3,97 4,52
50 Balikpapan
3,54 7 ,38 6,45 6,41 1 8 Bogor
2,1 3 6,57 2,85 4,06 51
Samarinda 3,99 7 ,00 6,23 4,81
1 9 Sukabumi 3,43 5,43 4,26 3,98
52 Tarakan
7 ,01 7 ,92 6,43 5,99 20 Tasikmalay a
4,1 0 5,56 4,1 7 3,87 53
Manado 2,34 6,28 0,67 6,04
21 Bandung 2,09 4,53 2,7 5 4,02
54 Palu
5,60 6,40 4,47 5,87 22 Cirebon
4,06 6,7 0 3,20 3,36 55
Watampone 6,67 6,7 4 3,94 3,65
23 Bekasi 1 ,93 7 ,88 3,45 3,46
56 Makassar
3,21 6,82 2,87 4,57 24 Depok
1 ,30 7 ,97 2,95 4,1 1 57
Parepare 1 ,39 5,7 9 1 ,60 3,49
25 Purwokerto 2,81 6,04 3,40 4,7 3
58 Palopo
4,1 2 3,99 3,35 4,1 1 26 Surakarta
2,58 6,65 1 ,93 2,87 59
Kendari 4,52 3,87 5,09 5,25
27 Semarang 3,1 3 7 ,1 1 2,87 4,85
60 Gorontalo
4,26 7 ,43 4,08 5,31 28 Tegal
5,69 6,7 3 2,58 3,09 61
Mamuju 1 ,7 7 5,1 2 4,91 3,28
29 Yogy akarta 2,89 7 ,38 3,88 4,31
62 Ambon
6,41 8,7 8 2,85 6,7 3 30 Jember
3,7 1 7 ,09 2,43 4,49 63
Ternate 3,83 5,32 4,52 3,29
31 Sumenep 2,7 1 6,7 5 4,1 8 5,05
64 Manokwari
7 ,36 4,68 3,64 4,88 32 Kediri
3,54 6,80 3,62 4,63 65
Sorong 3,28 8,1 3 0,90 5,1 2
33 Malang 3,33 6,7 0 4,05 4,60
66 Jay apura
1 ,95 4,48 3,40 4,52 Sumber: BPS 201 2
TABEL 5.9 LAJU INFLASI TAHUNAN DI 66 KOTA, TAHUN 2009-2012
persen
Bab 5
5-23 Kebijakan Desentralisasi Fiskal
Nota Keuangan dan RAPBN 2014
programkegiatan yang telah ditetapkan sebagai prioritas dalam pembangunan nasional. Kebijakan anggaran Transfer ke Daerah dalam tahun 2014 diarahkan untuk mendukung
kesinambungan pembangunan di daerah dan meningkatkan kualitas pelaksanaan program kegiatan yang menjadi prioritas daerah berdasarkan Standar Pelayanan Minimum SPM yang
telah ditetapkan untuk masing-masing bidang. Secara rinci tujuan dari alokasi anggaran Transfer ke Daerah dalam tahun 2014 adalah untuk:
1. Meningkatkan kapasitas iskal daerah serta mengurangi kesenjangan iskal antara pusat
dan daerah, serta antardaerah; 2.
Meningkatkan transparansi, akuntabilitas, dan ketepatan waktu pengalokasian dan penyaluran anggaran Transfer ke Daerah;
3. Meningkatkan kualitas pelayanan publik di daerah dan mengurangi kesenjangan pelayanan
publik antardaerah; 4.
Mendukung kesinambungan iskal nasional; 5.
Meningkatkan sinkronisasi antara rencana pembangunan nasional dengan pembangunan daerah;
6. Meningkatkan perhatian terhadap pembangunan di daerah tertinggal, terluar, dan
terdepan; dan 7.
Meningkatkan pelaksanaan pemantauan dan evaluasi terhadap jenis dana transfer tertentu guna meningkatkan kualitas belanja daerah.
Guna mendukung pelaksanaan kebijakan tersebut, dalam RAPBN 2014 anggaran Transfer ke Daerah direncanakan sebesar Rp586,4 triliun 5,7 persen dari PDB, yang dirinci 82,2 persen
berupa Dana Perimbangan dan 17,8 persen berupa Dana Otonomi Khusus dan Penyesuaian. Pagu alokasi anggaran Transfer ke Daerah tersebut meningkat 10,8 persen jika dibandingkan
dengan pagu dalam APBNP 2013 sebesar Rp529,4 triliun.
5.4.1.1 Dana Perimbangan
Dalam RAPBN tahun 2014, alokasi Dana Perimbangan direncanakan sebesar Rp481,8 triliun 4,6 persen dari PDB, yang terdiri atas 22,3 persen berupa DBH, 70,9 persen berupa DAU, dan
6,8 persen berupa DAK. Pagu alokasi Dana Perimbangan tersebut meningkat 8,1 persen jika dibandingkan dengan pagu Dana Perimbangan dalam APBNP 2013 sebesar Rp445,5 triliun.
5.4.1.1.1 Dana Bagi Hasil
DBH adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN, yang dialokasikan kepada daerah berdasarkan persentase tertentu untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan
desentralisasi. Kebijakan pelaksanaan alokasi DBH tahun 2014 mengacu pada ketentuan- ketentuan yang diatur dalam UU Nomor 33 Tahun 2004, UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang
Pemerintahan Aceh, UU Nomor 35 Tahun 2008 tentang Penetapan Perpu Nomor 1 Tahun 2008 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi
Provinsi Papua menjadi undang-undang, dan UU Nomor 39 Tahun 2007 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai, serta PP Nomor 55 Tahun 2005 tentang
Dana Perimbangan.