Role of PUAP and raskin in Activity dan Food Security Agriculture Household (Case in Sadang District).

(1)

PERANAN PUAP DAN RASKIN DALAM PERILAKU

EKONOMI DAN KETAHANAN PANGAN

RUMAHTANGGA PETANI (

Kasus di Kecamatan

Sadang, Kabupaten Kebumen)

FANNY SEPTYA

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(2)

SURAT PERNYATAAN

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam tesis saya yang berjudul :

PERANAN PUAP DAN RASKIN DALAM PERILAKU EKONOMI DAN KETAHANAN PANGAN RUMAHTANGGA PETANI (Kasus di Kecamatan

Sadang, Kabupaten Kebumen)

merupakan gagasan atau hasil penelitian tesis saya sendiri dengan bimbingan Komisi Pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan oleh sumbernya. Tesis ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di Perguruan Tinggi lain. Semua data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.

Bogor, Januari 2013

Fanny Septya NRP H353100101


(3)

ABSTRACT

FANNY SEPTYA. Role of PUAP and raskin in Activity dan Food Security

Agriculture Household (Case in Sadang District). Supervisied by RATNA

WINANDI and SUHARNO.

The aim of this research is to descriptive performance of economic household and food security also analyze role of PUAP in paddy production and role of raskin in food consumption so that programs can improve agriculture household food security. This research used survey method to paddy peasant that received PUAP and raskin. To analyze performance of household food security used descriptive analysis by food availability, ratio food expenditure of total household revenue and number of energy sufficiency indicators. And to analyze role of PUAP and raskin in agriculture household food security used agriculture household model that consisted of 14 structural equations and 7 identities. The result indicated that paddy production used to household consumption so that for non food and human resources investment expenditure used income from non agriculture activity. Food security problem of 75% household sampel is food purchasing power that indicated by highly ratio food expenditure of total household revenue so that number of energy sufficiency have not been able to fulfill. PUAP not only has increased production so that increased food availability, but also increased non food expenditure. Raskin has reduced food expenditure but increased number of PUAP and raskin has decreased number of energy sufficiency. According to analysis result, production input subsidy will be effectice and efisien to increased paddy production so will improve household food availability and increase peasant revenue. Number of raskin need to increase adjusted to real rice need of household and also need high protein subsidy to increase number of energy sufficiency.

Keywords : food security, agriculture household, production, food consumption food purchasing power


(4)

RINGKASAN

FANNY SEPTYA. Peranan PUAP dan raskin dalam Perilaku Ekonomi dan

Ketahanan Pangan Rumahtangga Petani (Kasus di Kecamatan Sadang, Kabupaten

Kebumen) . Dibimbing oleh RATNA WINANDI dan SUHARNO

Analisis ekonomi rumahtangga petani memperhitungkan bagaimana pengaruh bantuan modal PUAP dan raskin dalam keputusan produksi dan konsumsi yang saling terkait sehingga mendukung indikator ketahanan pangan rumahtangga petani. PUAP dan raskin telah dilaksanakan di salah satu daerah rawan pangan Kabupaten Kebumen yakni Kecamatan Sadang sehingga pada Tahun 2012, Kecamatan Sadang mengalami perbaikan tingkat ketahanan pangan sehingga termasuk daerah rawan pangan prioritas 5. Untuk mengetahui bagaimana PUAP dan raskin berperan dalam perbaikan kondisi ketahanan pangan Kecamatan Sadang, perlu diidentifikasi bagaimana peran bantuan modal PUAP dan raskin dalam perilaku ekonomi rumahtangga petani sehingga mendukung kinerja

ketahanan pangan rumahtangga petani.

Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis secara deskriptif karakteristik perilaku ekonomi dan tingkat ketahanan pangan rumahtangga petani serta peran PUAP dalam peningkatan produksi padi dan peran raskin dalam pengeluaran pangan sehingga kedua program tersebut mampu mendukung ketahanan pangan rumahtangga petani. Penelitian ini menggunakan metode survey pada petani padi penerima PUAP dan raskin. Untuk menganalisis tingkat ketahanan pangan rumahtangga petani digunakan analisis deskriptif dengan indikator ketersediaan pangan, rasio pengeluaran pangan dengan pendapatan rumahtangga dan angka kecukupan energi. Untuk menganalisis peran PUAP dan raskin dalam ketahanan pangan rumahtangga petani digunakan model ekonomi rumahtangga pertanian yang terdiri dari 14 persamaan struktural dan 7 persamaan identitas yang diestimasi dengan metode 2 SLS. Simulasi kebijakan yang dilakukan adalah peningkatan PUAP 30%, peningkatan raskin 30% dan peningkatan PUAP dan raskin secara bersamaan sebesar 30% dimana dari ketiga alternatif kebijakan tersebut berdampak pada perilaku ekonomi dan ketahanan pangan rumahtangga petani.

Dari hasil analisis penelitian secara deskriptif, keterkaitan keputusan ekonomi rumahtangga petani sampel ditunjukan dengan keputusan penggunaan produksi padi untuk konsumsi pangan rumahtangga, sedangkan kegiatan produktif yang digunakan untuk pengeluaran non pangan, investasi sumberdaya manusia dan tabungan bersumber dari pendapatan non pertanian. Tingkat ketahanan pangan rumahtangga disimpulkan bahwa 75% rumahtangga petani sampel tidak tahan pangan. Indikator ketahanan pangan yang tidak terpenuhi oleh rumahtangga tidak tahan pangan adalah indikator daya beli yang diindikasikan dengan tingginya porsi pengeluaran pangan dalam pendapatan rumahtangga sehingga angka kecukupan energi anggota keluarga tidak dapat terpenuhi.

Hasil analisis model perilaku ekonomi rumahtangga mengindikasikan bahwa PUAP berpengaruh nyata dalam peningkatan luas garapan sehingga meningkatkan produksi padi. Hal ini akan mendukung indikator ketersediaan pangan bagi rumahtangga petani subsisten. Luas garapan juga berpengaruh nyata dan positif pada penggunaan input produksi yakni penggunaan pupuk dan tenaga


(5)

kerja luar keluarga. Oleh karena peningkatan produksi padi digunakan untuk kebutuhan konsumsi pangan rumahtangga, maka petani meningkatakan alokasi waktu berburuh non pertanian untuk meningkatkan pendapatan rumahtangga dari pendapatan berburuh non pertanian guna memenuhi kebutuhan konsumsi investasi sumberdaya manusia.

Peningkatan produksi padi bagi rumahtangga petani subsisten akan mengurangi jumlah beras yang dibeli di pasar sehingga hal ini mengurangi pengeluaran pangan. Di sisi lain, pengeluaran protein berpengaruh nyata dan positif pada pengeluaran pangan rumahtangga. Selain digunakan untuk kegiatan produksi, PUAP juga digunakan untuk konsumsi non pangan sehingga peningkatan PUAP berpengaruh nyata dan positif terhadap pengeluaran non pangan. Angka kecukupan energi sebagai indikator hasil ketahanan pangan dipengaruhi secara nyata oleh pendapatan dan jumlah anggota keluarga dimana peningkatan pendapatan rumahtangga dapat meningkatkan angka kecukupan energi karena hal ini menunjukan perbaikan daya beli rumahtangga terhadap pangan. Sementara peningkatan jumlah anggota keluarga dapat menurunkan angka kecukupan energi karena mengindikasikan peningkatan kebutuhan konsumsi energi yang harus dipenuhi dengan pendapatan yang dimiliki. Peningkatan angka kecukupan energi akan mengurangi pengeluaran kesehatan. Hal ini mengindikasikan bahwa ketahanan pangan menentukan kualitas hidup sehat rumahtangga. Pada perilaku menabung, jumlah asset produktif berpengaruh nyata pada peningkatan jumlah tabungan rumahtangga.

Hasil simulasi peningkatan PUAP mengindikasikan bahwa peningkatan PUAP 30% meningkatkan produksi padi 5,5% yang diikuti dengan peningkatan penggunaan input-input produksi 10-16%. Peningkatan produksi tersebut mendukung indikator ketersediaan pangan bagi rumahtangga petani sehingga mengurangi pengeluaran pangan hanya sebesar 0,7%. Peningkatan ketersediaan pangan (beras) tidak diikuti dengan peningkatan angka kecukupan energi karena terjadi penurunan angka kecukupan energi sebesar 0,18%. Peningkatan raskin 30% berpengaruh sangat kecil pada kegiatan produksi dan mengurangi pengeluaran pangan sebesar 0,26%, namun masih terjadi penurunan pada angka kecukupan energi yakni sebesar 0,03%. Peningkatan PUAP dan raskin 30% secara bersamaan mampu meningkatkan produksi 5,54% dan penurunan pengeluaran pangan sebesar 1,06%, namun terjadi penurunan pendapatan rumahtangga yakni sebesar 1,15%. Sementara itu, terjadi peningkatan konsumsi non pangan sebesar 17,14%. Oleh karena bantuan dari program penanggulangan kemiskinan tersebut tidak digunakan sepenuhnya untuk kegiatan produktif yang dapat meningkatkan daya beli pangan terjadi penurunan angka kecukupan energi sebesar 0,21%.

Berdasarkan hasil analisis, subsidi input produksi (natura) akan lebih efektif dan efisien untuk meningkatkan produksi padi sehingga akan meningkatkan ketersediaan pangan dan pendapatan petani padi. Jumlah pagu raskin perlu disesuaikan dengan kebutuhan beras riil anggota rumahtangga. Diperlukan subsidi protein bernutrisi tinggi untuk meningkatkan angka kecukupan energi.

Kata Kunci: ketahanan pangan, ekonomi rumahtangga petani, produksi, konsumsi pangan, daya beli pangan.


(6)

© Hak cipta milik IPB, tahun 2013 Hak cipta dilindungi Undang-Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB


(7)

PERANAN PUAP DAN RASKIN DALAM PERILAKU

EKONOMI DAN KETAHANAN PANGAN

RUMAHTANGGA PETANI (

Kasus di Kecamatan

Sadang, Kabupaten Kebumen

)

FANNY SEPTYA

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(8)

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr. Ir. M. Parulian Hutagaol, MS

Staf Pengajar Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor

Pimpinan Ujian Tesis/Wakil PS.EPN : Dr. Ir. Sri Hartoyo, MS

Staf Pengajar Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.


(9)

Judul Tesis : Peranan PUAP dan Raskin Dalam Perilaku Ekonomi

dan Ketahanan Pangan Rumahtangga Petani (Kasus

di Kecamatan Sadang, Kabupaten Kebumen)

Nama Mahasiswa : Fanny Septya

Nomor Pokok : H353100101

Program Studi : Ilmu Ekonomi Pertanian

Menyetujui :

1. Komisi Pembimbing

Dr.Ir.Ratna Winandi Asmaratanka, MS Ketua

Dr. Ir. Suharno, M.Adev Anggota

Mengetahui :

2. Koordinator Mayor

Ilmu Ekonomi Pertanian

Dr. Ir. Sri Hartoyo, MS.

3. Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr.


(10)

PRAKATA

Alhamdulillah, puji dan syukur penulis haturkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian yang

berjudul “Peranan PUAP dan Raskin dalam Perilaku Ekonomi dan Ketahanan

Pangan Rumahtangga Petani (Kasus di Kecamatan Sadang, Kabupaten

Kebumen)”. Penelitian ini merupakan salah satu persyaratan dalam menyelesaikan studi di Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya penulis sampaikan kepada Dr. Ir. Ratna Winandi, MS dan Dr. Ir.Suharno, M.Adev yang telah membimbing penulis menyelesaikan penelitian dan karya ilmiah ini. Penulis juga menyampaikan penghargaan kepada Dr.Ir.Sri Hartoyo, MS selaku Koordinator Mayor Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian, Dr.Ir. M.Parulian Hutagaol, MS selaku dosen penguji luar komisi dan Dr.Ir.Gatot Sroe Handono, MSi serta kepada guru-guru penulis lainnya yang telah memberikan masukan, arahan dan motivasi dalam penyeleseian karya ilmiah ini. Terimakasih juga penulis sampaikan kepada Dinas Pertanian Kabupaten Kebumen, Badan Perencanaan Daerah Kabupaten Kebumen, Badan Ketahanan Pangan Kabupaten Kebumen, segenap perangkat desa Sadangkulon, pengurus Gapoktan Satuhu Desa Sadangkulon serta segenap tenaga pengajar dan pegawai Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian Institut Pertanian Bogor serta semua pihak yang telah ikut membantu dan berkontribusi dalam berbagai hal.

Penulis menyampaikan rasa hormat setinggi-tingginya kepada ayahanda, ibunda dan adik-adik serta seluruh keluarga besar atas doa, pengorbanan, pengertian dan dukungan moril yang tidak ternilai selama ini, kepada pihak-pihak lainnya yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.

Akhirnya, semoga karya ilmiah ini dapat memberikan manfaat bagi penulis, civitas akademika, peneliti, pemerintah dan semua pihak yang terkait, sehingga mampu memperkaya hasanah keilmuan bidang ekonomi pertanian di masa mendatang.

Bogor, Januari 2013 Penulis


(11)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Kebumen pada 9 September 1987, sebagai putri pertama dari empat bersaudara dari pasangan dr.H.Adi Zulhardi,MM dan dra.Hj.Yonita Azwina. Pada Tahun 2005 penulis lulus dari SMA N 1 Batusangkar dan pada tahun yang sama diterima di Universitas Andalas melalui jalur SPMB pada Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian Program Studi Agribisnis. Pada tahun 2010 penulis memperoleh gelar Sarjana Pertanian melalui institusi ini. Penulis melanjutkan pendidikan pascasarjana pada tahun 2010 di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor pada Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian.


(12)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... xxii

DAFTAR GAMBAR ... xxv

DAFTAR LAMPIRAN ... xxvii

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 4

1.3. Tujuan Penelitian ... 6

1.4. Manfaat Penelitian ... 6

1.5. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian ... 6

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 8

2.1. Perilaku Ekonomi Rumahtangga Petani ... 8

2.2. Ketahanan Pangan Rumahtangga ... 13

2.3. Kebijakan Pemerintah dalam Ketahanan Pangan Rumahtangga Petani ... 18

2.4. Penelitian Terdahulu ... 23

III. KERANGKA PEMIKIRAN ... 26

3.1. Kerangka Teoritis ... 26

3.2. Kerangka Pemikiran Operasional ... 36

3.3. Hipotesis ... 37

IV METODOLOGI PENELITIAN ... 39

4.1. Metode Penelitian... 39

4.2. Jenis dan Sumber Data ... 39

4.3. Penentuan Lokasi dan Sampel ... 40

4.4. Metode Analisis ... 41

4.4.1. Perumusan Model... 41

4.4.2. Identifikasi dan Pendugaan Model ... 51

4.4.3. Validasi Model ... 52

4.4.4. Simulasi Model ... 52

4.5. Tahapan Analisis ... 52

V. KONDISI WILAYAH PENELITIAN DAN KARAKTERISTIK PERILAKU RUMAHTANGGA PETANI ... 54

5.1. Kondisi Umum Wilayah Penelitian ... 54

5.1.1. Kondisi Geografis Wilayah Penelitian ... 54

5.1.2. Kondisi Ketahanan Pangan Wilayah Penelitian ... 55

5.1.3. Demografi Rumahtangga Petani Sampel ... 56

5.2. Perilaku Ekonomi Rumahtangga Petani Sampel ... 56

5.2.1. Luas Garapan dan Produksi Usahatani Padi ... 56

5.2.2. Alokasi Tenaga Kerja ... 57

5.2.3. Sumber Pendapatan Rumahtangga ... 58


(13)

5.2.5. Kecukupan Energi dan Protein ... 61

5.2.6. Tabungan Rumahtangga ... 62

5.3. Perkembangan PUAP dan Raskin di Wilayah Penelitian ... 62

5.3.1. Perkembangan PUAP di Wilayah Penelitian ... 62

5.3.2. Perkembangan Raskin di Wilayah Penelitian ... 64

5.4. Analisis Tingkat Ketahanan Pangan Rumahtangga Petani ... 65

5.4.1. Analisis Indikator Ketahanan Pangan Rumahtangga petani ... 65

5.4.2. Distribusi Ketahanan Pangan Rumahtangga Petani ... 67

VI. HASIL PENDUGAAN MODEL PERILAKU EKONOMI RUMAHTANGGA PETANI ... 69

6.1. Kinerja Umum Model ... 69

6.2. Blok Produksi dan Input Produksi Usahatani Padi ... 70

6.3. Blok Pendapatan Rumahtangga ... 75

6.4. Blok Pengeluaran Rumahtangga... 76

6.4.1. Nilai Pengeluaran Pangan ... 76

6.4.2. Pengeluaran Pendidikan... 77

6.4.3. Pengeluaran Kesehatan ... 78

6.4.4. Pengeluaran Non Pangan ... 80

6.4.5. Angka Kecukupan Energi ... 81

6.5. Blok Tabungan ... 82

VII. DAMPAK PERUBAHAN KEBIJAKAN PUAP DAN RASKIN TERHADAP KETAHANAN PANGAN RUMAHTANGGA PETANI ... 84

7.1. Hasil Validasi Model Perilaku Ekonomi Rumahtangga Petani ... 84

7.2. Evaluasi Dampak Kebijakan PUAP dan Raskin ... 85

VIII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN ... 89

8.1. Kesimpulan ... 89

8.2. Implikasi Kebijakan ... 89

8.3. Saran Penelitian Lanjutan ... 90

DAFTAR PUSTAKA ... 91

LAMPIRAN ... 94


(14)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Indikator Ketahanan Pangan ... 16

2. Indikator Ketahanan Pangan: Kecukupan Energi dan Pangsa Pengeluaran ... 17

3. Perkembangan Derah Rawan Pangan Berdasarkan Indikator Rawan Pangan Badan Ketahanan Pangan ... 58

4. Karakteristik Demografi Rumahtangga Petani Contoh ... 59

5. Luas Garapan dan Produksi Padi ... 60

6. Luas Garapan Petani yang Melakukan Penjualan Gabah ... 60

7. Alokasi Tenaga Kerja dalam Usahatani dan Non Pertanian ... 61

8. Pendapatan Rumahtangga Menurut Sumber ... 62

9. Struktur Pengeluaran Rumahtangga ... 63

10. Kecukupan Energi dan Protein ... 64

11. Tabungan Rumahtangga ... 65

12. Perkembangan PUAP di Desa Sadang Kulon per Oktober 2011 ... 66

13. Rekapitulasi Perkembangan PUAP oleh Petani Padi dengan Luas Lahan ≤ 0,25 ha per Maret 2012 ... 66

14. Penggunaan Dana PUAP oleh Rumahtangga Petani Sampel ... 67

15. Biaya Usahatani Rata-rata ... 67

16. Perkembangan Raskin di Desa Sadang Kulon per Juni 2012 ... 68

17. Nilai Rata-rata Indikator Ketahanan Pangan Rumahtangga ... 70

18. Nilai Rata-rata Indikator Ketahanan Pangan Pada Distribusi Ketahanan Pangan Rumahtangga Petani ... 70

19. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Luas Garapan ... 74

20. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Produksi Padi ... 75

21. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Jumlah Pupuk Urea... 75

22. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Jumlah Pupuk TSP ... 76

23. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Tenaga Kerja Dalam Keluarga .. 77

24. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Tenaga Kerja Luar Keluarga ... 78

25. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Tenaga Kerja Non Pertanian ... 78

26. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Pendapatan Berburuh Non Pertanian ... 79


(15)

27. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Nilai Pengeluaran Pangan ... 80

28. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Pengeluaran Pendidikan ... 82

29. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Pengeluaran Kesehatan ... 83

30. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Pengeluaran Non Pangan ... 84

31. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Angka Kecukupan Energi ... 85

32. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Tabungan ... 86

33. Hasil Validasi Model Perilaku Ekonomi Rumahtangga Petani ... 90


(16)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1. Kerangka Pendekatan Analisis Ketahanan Pangan Rumahtangga Pertanian... 39 2. Diagram Keterkaitan Perilaku Ekonomi Rumahtangga dan Indikator


(17)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Program Komputer Estimasi Model Ekonomi Rumahtangga Menggunakan SAS/ETS Prosedur SYSLIN Metode ... 102 2. Hasil Estimasi Model Ekonomi Rumahtangga Menggunakan

SAS/ETS Prosedur SYSLIN Metode 2 SLS ... 104 3. Program Komputer Validasi Model Ekonomi Rumahtangga

Menggunakan SAS/ETS Prosedur SIMNLIN Metode Newton ... 118 4. Hasil Validasi Model Ekonomi Rumahtangga Menggunakan

SAS/ETS Prosedur SIMNLIN Metode Newton ... 121 5. Program Komputer Simulasi Peningkatan PUAP dan Raskin

Menggunakan SAS/ETS Prosedur SIMNLIN Metode Newton ... 127 6. Hasil Simulasi Peningkatan PUAP dan Raskin Menggunakan

SAS/ETS Prosedur SIMNLIN Metode Newton ... 130 7. Hasil Analisis Ketahanan Pangan Rumahtangga Petani Sampel ... 136


(18)

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sektor pertanian mempunyai peran strategis bagi negara berkembang karena memberi kontribusi terhadap pertumbuhan dan pembangunan ekonomi baik dari kontribusi produknya, kontribusi terhadap faktor-faktor produksi, kontribusi terhadap pasar dan kontribusinya terhadap devisa (Tambunan, 2003). Demikian halnya dengan Indonesia, kontribusi utama pertanian dari produk yang dihasilkan ditunjukan dengan peran sektor pertanian sebagai satu-satunya kontributor pangan yang merupakan kebutuhan dasar masyarakat di suatu negara. Sedangkan kontribusi terhadap faktor produksi dan pasar, salah satunya ditunjukan dengan eksistensi tenaga kerja pertanian di pasar tenaga kerja, baik sebagai faktor produksi utama dalam kegiatan pertanian maupun keterlibatan rumahtangga pertanian dalam pasar tenaga kerja non pertanian. Peran strategis pertanian sebagai kontributor pangan dan sumber mata pencaharian utama masyarakat menjadi ironis di Indonesia. Dalam kurun waktu 2005-2009, jumlah tenaga kerja pertanian mengalami peningkatan dari 41,3 juta orang menjadi 43,0 juta orang (Deptan, 2009). Namun sejalan dengan kondisi tersebut, jumlah penduduk miskin yang bekerja di sektor pertanian masih tinggi, yakni 64,7 persen dari total penduduk miskin Indonesia (BPS, 2009). Kondisi ini menjadi persoalan

bagi rumahtangga pertanian karena sektor pertanian belum mampu

mensejahterakan tenaga kerja pertanian Indonesia sehingga hal ini berimbas pada pemenuhan kebutuhan rumahtangga petani, termasuk kebutuhan pangan sebagai kebutuhan primer masyarakat.

Rumahtangga pertanian merupakan agen utama penyedia pangan nasional yang berarti pilar bagi ketahanan pangan nasional. Namun ketahanan pangan nasional tidak hanya dapat diartikan sebagai kondisi tersedianya pangan secara nasional, melainkan bagaimana pangan tersebut dapat diakses oleh masyarakat, termasuk rumahtangga pertanian. Ketahanan rumahtangga menjadi penting diperhatikan karena menunjukan upaya rumahtangga mendapatkan pangan yang tersedia secara nasional maupun regional. Bagi rumahtangga petani, akses terhadap pangan terdiri dari akses fisik, yakni berupa kepemilikan lahan pertanian,


(19)

dimana produksi yang dihasilkan dari lahan tersebut dikonsumsi oleh anggota keluarga dan akses ekonomi yakni kepemilikan pendapatan rumahtangga yang digunakan untuk membeli pangan yang tersedia di pasar.

Rumahtangga petani merupakan satu unit keputusan ekonomi dalam menentukan penggunaan sumberdaya yang dimiliki untuk kegiatan produksi dan konsumsi. Rumahtangga petani umumnya melakukan kegiatan produktif baik di sektor pertanian maupun non pertanian. Pada sektor pertanian, rumahtangga pertanian menggunakan tenaga kerja keluarga dan mengoptimalkan penggunaan input produksi selain tenaga kerja untuk memaksimalkan produksi dan pendapatan usahatani. Peningkatan konsumsi rumahtangga mendorong rumahtangga petani melakukan kegiatan produktif di sektor non pertanian untuk meningkatkan pendapatan rumahtangga. Diversifikasi kegiatan produktif pada rumahtangga petani memungkinkan curahan kerja tenaga kerja keluarga untuk usahatani berkurang sehingga rumahtangga petani menyewa tenaga kerja luar keluarga untuk mengelola kegiatan usahatani. Kegiatan produktif dari sektor pertanian maupun non pertanian menghasilkan pendapatan rumahtangga yang digunakan untuk kegiatan konsumsi dan menabung. Bagi rumahtangga petani tanaman pangan, kegiatan produksi memiliki dua peran strategis dalam ketahanan pangan, yakni sebagai element penting dalam ketersediaan pangan nasional dan sumber pemenuhan konsumsi pangan rumahtangga. Bagi rumahtangga petani semi komersil, sebagian hasil produksi pangan yang dihasilkan akan dijual ke pasar untuk menghasilkan pendapatan rumahtangga guna memenuhi kebutuhan konsumsi rumahtangga, baik konsumsi pangan, konsumsi non pangan dan konsumsi investasi sumberdaya manusia. Namun bagi rumahtangga petani dengan luas lahan terbatas, hasil produksi pangan hanya digunakan untuk memenuhi konsumsi pangan anggota keluarga. Berdasarkan data BPS Provinsi Jawa Tengah Tahun 2009, jumlah rumahtangga petani tanaman pangan dengan kepemilikan lahan kurang dari 0,25 ha di Jawa Tengah mencapai 25,14 % dari total petani gurem di Indonesia. Kabupaten Kebumen merupakan kabupaten yang tergolong rawan pangan dengan jumlah petani gurem dengan usahatani tanaman pangan yang tinggi di Provinsi Jawa Tengah. Rumahtangga petani gurem dengan usahatani utama padi memiliki keterbatasan kemampuan dalam menyediakan


(20)

pangan bagi anggota keluarganya. Dalam rangka meningkatkan ketahanan pangan rumahtangga petani, pemerintah telah melaksanakan program PUAP (Pengembangan Usaha Agribisnis Pedesaan) yang bertujuan meningkatkan produksi dan pendapatan petani sehingga mendukung ketersediaan dan daya beli pangan rumahtangga dan raskin yang membantu rumah tangga miskin dalam memenuhi kebutuhan pangan dengan alokasi beras murah .

Menurut Taylor (2002), model ekonomi rumahtangga petani merupakan kajian penting bagi negara berkembang yang berbasis ekonomi pedesaan karena analisis ini mempertimbangkan karakteristik petani (khususnya petani tanaman pangan) sebagai produsen maupun konsumen sehingga mempengaruhi keputusan ekonomi rumahtangga, tidak hanya berdasarkan faktor internal yang dimiliki rumahtangga yakni input produksi dan pendapatan rumahtangga, melainkan juga faktor eksternal rumahtangga yakni kebijakan pemerintah berupa program bantuan yang diterima rumahtangga petani. Analisis ekonomi rumahtangga petani memperhitungkan bagaimana pengaruh bantuan modal PUAP dan raskin dalam keputusan produksi dan konsumsi yang saling terkait sehingga mendukung indikator ketahanan pangan. Bantuan modal PUAP akan berpengaruh pada peningkatan produksi dan pendapatan petani sehingga berpengaruh pada keputusan konsumsi, investasi dan tabungan rumahtangga. Dengan demikian, jika dikaitkan dengan ketahanan pangan rumahtangga, bantuan modal PUAP mendukung indikator ketersediaan dan akses pangan, dimana ketersediaan pangan akan ditentukan dari hasil produksi pangan rumahtangga pertanian, sedangkan akses pangan ditentukan oleh penguasaan terhadap sumberdaya pertanian dan pendapatan rumahtangga pertanian. Program raskin akan berpengaruh pada perilaku konsumsi rumahtangga petani karena beras murah tersebut mengurangi pengeluaran pangan rumahtangga petani. Dengan berkurangnya pengeluaran pangan atau porsi dari pendapatan yang digunakan untuk kebutuhan pangan, maka rumahtangga petani diharapkan memiliki anggaran untuk investasi dan menabung. Dengan demikian, raskin mendukung indikator ketahanan pangan berupa akses ekonomi atau daya beli pangan petani.


(21)

1.2 Perumusan Masalah

Persoalan yang dihadapi petani tanaman pangan dalam memenuhi kebutuhan pangan adalah keterbatasan modal untuk usahatani yang menyebabkan rendahnya produksi dan pendapatan usahatani. Rendahnya pendapatan tersebut akan berimplikasi pada pemenuhan konsumsi rumahtangga baik konsumsi pangan, non pangan dan investasi sumberdaya manusia. Keterbatasan pendapatan memungkinkan rumahtangga petani mengurangi atau menyederhanakan konsumsi pangan sehingga berpengaruh pada ketahanan pangan rumahtangga.

Dalam rangka mengatasi permasalahan modal petani, Pemerintah melibatkan petani dalam program pemberdayaan ekonomi yang ditujukan untuk meningkatkan pendapatan petani seperti PUAP (Pengembangan Usaha Agribisnis Pedesaan). Kabupaten Kebumen adalah salah satu propinsi dari 34 provinsi di Indonesia yang juga melaksanakan kegiatan PUAP. Kabupaten Kebumen pada tahun 2009 mendapat dana PUAP sebesar Rp 3,6 miliar yang tersebar di 36 desa di 10 kecamatan pegunungan. Dana PUAP ditujukan kepada desa miskin dengan kriteria memiliki Gapoktan dan usaha agribisnis untuk dikembangkan, dimana

setiap Gapoktan mendapat bantuan sebesar Rp 100.000.000 untuk

mengembangkan agribisnis pedesaan. PUAP dinilai mampu memudahkan petani padi mendapatkan modal sehingga dapat meningkatkan produksi padi dan pendapatan petani. Dengan demikian, bantuan modal PUAP diharapkan dapat mendukung indikator ketahanan pangan, yakni ketersediaan pangan dan akses pangan. Bagi rumahtangga petani dengan usahatani tanaman pangan, peningkatan produktifitas dapat meningkatkan cadangan pangan sehingga mendukung ketersediaan pangan. Selain itu, peningkatan produktifitas juga meningkatkan pendapatan petani sehingga petani memiliki akses ekonomi (daya beli) terhadap pangan.

Program jaminan sosial yang bertujuan langsung untuk pemenuhan konsumsi pangan adalah distribusi raskin dengan harga Rp 1.000/kg di titik distribusi dengan jumlah 20 kg/kk setiap bulannya diharapkan dapat mengurangi pengeluaran rumah tangga miskin untuk pangan. Raskin hadir sebagai kompensasi logis pemerintah atas kenaikan BBM yang mengakibatkan kenaikan harga pangan khususnya beras. Raskin mendukung indikator ketahanan pangan rumahtangga


(22)

berupa daya beli yang ditunjukan dengan penurunan pengeluaran pangan dalam struktur pendapatan rumahtangga dengan adanya beras murah tersebut.

Menurut peta kerawanan pangan Tahun 2011 yang dikeluarkan oleh Badan Ketahanan Pangan Kabupaten Kebumen, terdapat 5 Kecamatan yang termasuk daerah rawan pangan prioritas 4, yakni Kecamatan Sadang, Kecamatan Karangsambung, Kecamatan Padureso, Kecamatan Pejagoan dan Kecamatan Karanggayam. Kecamatan Sadang merupakan daerah rawan pangan yang mengalami perbaikan kondisi rawan pangan yakni daerah prioritas 4 pada Tahun 2011 menjadi daerah prioritas 5 pada Tahun 2012 (Badan Ketahanan Pangan, 2012). Upaya pemerintah dalam bentuk PUAP dan Raskin dengan salah satu tujuan agar masyarakat khususnya rumahtangga petani mampu memenuhi kebutuhan pangan telah dilaksanakan di Kecamatan Sadang. Untuk mengetahui bagaimana PUAP dan raskin berperan dalam perbaikan kondisi ketahanan pangan Kecamatan Sadang, perlu diidentifikasi bagaimana peran bantuan modal PUAP dan raskin dalam perilaku rumahtangga petani (kegiatan produksi, konsumsi dan tabungan) sehingga berpengaruh pada tingkat ketahanan pangan rumahtangga petani.

Berdasarkan latar belakang dan masalah penelitian, maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut :

1. Bagaimana karakteristik perilaku ekonomi dan ketahanan pangan

rumahtangga petani sampel di lokasi penelitian

2. Bagaimana peran modal PUAP dan raskin dalam perilaku ekonomi

rumahtangga petani sehingga berpengaruh pada ketahanan pangan rumahtangga petani

3. Bagaimana dampak perubahan kebijakan ekonomi berupa peningkatan

jumlah pinjaman PUAP, peningkatan pagu raskin dan kombinasi peningkatan jumlah pinjaman PUAP dan pagu raskin terhadap produksi usahatani, pendapatan rumahtangga pertanian, ketersediaan pangan, pengeluaran pangan, akses ekonomi dan kecukupan energi rumahtangga pertanian.


(23)

1.3 Tujuan Penelitian

1. Menganalisis karakteristik perilaku ekonomi dan ketahanan pangan rumahtangga petani sampel di lokasi penelitian

2. Menganalisis peran PUAP dan raskin dalam perilaku ekonomi rumahtangga petani sehingga berpengaruh pada ketahanan pangan rumahtangga petani. 3. Mengevaluasi dampak kebijakan ekonomi berupa peningkatan jumlah

pinjaman PUAP, peningkatan jumlah pagu raskin dan kombinasi peningkatan jumlah pinjaman PUAP dan pagu raskin terhadap produksi usahatani padi, pendapatan rumahtangga petani, pengeluaran pangan, dan kecukupan energi rumahtangga pertanian

1.4 Manfaat Penelitian

1. Memberi informasi mengenai kondisi ketahanan pangan rumah tangga

pertanian di lokasi penelitian

2. Memberi informasi mengenai peran program penanggulangan kemiskinan

(PUAP dan raskin) terhadap ketahanan pangan rumah tangga petani penerima bantuan tersebut

3. Memberi masukan dan pertimbangan bagi pengambil keputusan dalam

menentukan program penanggulangan kemiskinan

1.5 Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian

Penelitian ini mempelajari keterkaitan instrument kebijakan pemerintah dalam bentuk program PUAP dan raskin dengan perilaku ekonomi dan ketahanan pangan rumahtangga petani. Adapun lingkup penelitian ini adalah :

1. Rumahtangga pertanian yang menjadi sampel adalah rumahtangga yang

menghasilkan produk pertanian utama berupa padi dengan tujuan sebagian atau seluruh hasil dijual, ditukar atau untuk memperoleh pendapatan dan

keuntungan dimana rumahtangga pertanian tersebut merupakan

rumahtangga miskin (berdasarkan pendataan BPS Kabupaten Kebumen) dan rumahtangga tersebut menerima bantuan PUAP dan raskin

2. Indikator ketahanan pangan yang digunakan mengadopsi UU Pangan No 7


(24)

sendiri, membeli di pasar dan alokasi raskin, akses terhadap pangan berkaitan dengan daya beli yang ditentukan oleh porsi dari pendapatan rumahtangga yang digunakan untuk pengeluaran pangan serta kecukupan gizi keluarga yang ditunjukan dengan angka kecukupan energi

3. Peran program PUAP yang dibahas dalam penelitian ini ditinjau dari aspek

bantuan modal yang diberikan pada petani Sedangkan keterbatasan penelitian ini adalah :

1. Penelitian hanya dilakukan pada salah satu daerah rawan pangan di

Kabupaten Kebumen

2. Dalam menganalisis konsumsi energi tidak digunakan pendekatan

individual sehingga tidak membedakan kebutuhan energi masing-masing anggota keluarga


(25)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Perilaku Ekonomi Rumahtangga Pertanian

Badan Pusat Statistik (BPS) mendefinisikan rumahtangga pertanian sebagai rumah tangga yang menghasilkan produk pertanian dengan tujuan sebagian atau seluruh hasilnya dijual, ditukar atau untuk memperoleh pendapatan dan keuntungan atas risiko sendiri (BPS, 1995). Dari batasan tersebut jelas bahwa

produksi usahatani merupakan sumber pendapatan tunai (cash income) dan

sekaligus menjadi sumber ketersediaan pangan natura rurnah tangga pertanian. Lebih lanjut dalam teori ekonomi, rumahtangga petani dianggap sebagai rumahtangga yang bertindak rasional sebagai satu unit keputusan ekonomi dalam mengelola sumberdaya yang dimiliki pada kegiatan produksi maupun konsumsi dengan kendala anggaran untuk memaksimalkan kepuasan (Ellis, 1988).

Karakteristik rumahtangga pertanian menurut Ellis (1988) adalah (1) memiliki akses terhadap lahan baik menggarap lahan pertanian sendiri maupun menggarap lahan pertanian petani lain untuk mendapatkan penerimaan berupa penerimaan tunai maupun penerimaan fisik berupa hasil pertanian yang kemudian digunakan untuk konsumsi anggota rumahtangga, (2) menggunakan tenaga kerja keluarga sebagai faktor produksi usahatani sebagai bentuk manajemen terhadap sumberdaya yang dimiliki, (3) memiliki sejumlah modal yang tidak hanya digunakan untuk kegiatan produksi, melainkan juga untuk kegiatan konsumsi rumahtangga.

Konsep rumahtangga pertanian awal yang berkembang adalah konsep neoklasik yang menempatkan rumahtangga petani hanya sebagi produsen produk pertanian, dimana konsep ini hanya menunjukan keterkaitan keputusan petani dalam mengelola sejumlah input produksi yang dimiliki untuk menghasilkan sejumlah output. Penggunaan input produksi yang optimal akan menghasilkan produksi yang maksimal, dimana penggunaan input dipengaruhi oleh harga input. Jika harga input meningkat maka penggunaan input akan dibatasi. Namun jika dikatkan dengan harga output, peningkatan harga output akan menjadi insentif bagi petani untuk meningkatkan produksinya sehingga membutuhkan tambahan input produksi. Kondisi yang memberi keuntungan bagi petani ditunjukan apabila


(26)

tambahan produk yang dihasilkan akibat penambahan satu satuan input atau

dikenal dengan marginal physical product (MPP) sama dengan rasio harga input

dengan harga output. Konsep neoklasik ini hanya membahas tentang keputusan petani dalam mengelola kegiatan produksi dengan alokasi input untuk menghasilkan output, namun belum mempertimbangkan peran petani yang juga sebagai konsumen hasil usahataninya sekaligus konsumen barang-barang di pasar serta keputusan ekonomi rumahtangga petani lainnya.

Teori model rumahtangga pertanian yang sudah mempertimbangkan rumahtangga petani sebagai produsen dan konsumen dikemukakan Chayanov (1966) dalam Ellis (1988) yang menyatakan bahwa rumah tangga memaksimumkan utilitas dengan mengoptimalkan penggunaan tenaga kerja keluarga dalam kegiatan usaha tani guna memenuhi kebutuhan konsumsi sendiri. Model ini belum mempertimbangkan keberadaan pasar tenaga kerja, namun telah menganggap rumahtangga pertanian menjual sekaligus mengkonsumsi hasil usahtaninya dengan asumsi petani mempunyai lahan untuk usahatani. Model ini berkembang setelah dikemukakan teori ekonomi neoklasik yang menganggap petani hanya sebagi produsen sehingga teori ini hanya mempertimbangkan bagaimana petani mengalokasikan sejumlah input untuk menghasilkan output (Ellis, 1988).

Penyempurnaan teori ekonomi rumahtangga neoklasik menjadi new home

economics menganggap rumahtangga pertanian sebagai produsen hasil usahatani dan konsumen barang di pasar sekaligus konsumen dari hasil usahataninya sendiri. Diawali oleh teori alokasi waktu dari Becker (1965) yang menyatakan utilitas rumah tangga tidak diturunkan langsung dari konsumsi barang pasar tetapi dari alokasi waktu untuk menghasilkan produk akhir yang dikonsumsi rumah tangga. Artinya rumahtangga pertanian memaksimalkan kepuasan dengan mengatur pilihan terhadap konsumsi barang pasar, konsumsi hasil usahatani sendiri dan konsumsi waktu santai dengan kendala anggaran. Konsumsi waktu

santai diperhitungkan karena diduga menyebabkan adanya earning forgone

(pendapatan yang hilang). Teori ini belum memperhitungkan tenaga kerja luar keluarga, perilaku rumahtangga yang memproduksi non market good serta rumahtangga yang menjual sebagian produk usahataninya ke pasar.


(27)

Model ekonomi rumahangga secara simultan dikemukakan oleh Nakajima (1986) yang menyatakan perilaku rumah tangga pertanian sebagai produsen, penyedia dan pengguna tenaga kerja dan konsumen dapat terjadi bersamaan. Dalam hal ini, rumahtangga pertanian mengatur penggunaan tenaga kerja dalam keluarga dan mengkonsumsi hasil usahatani sendiri dengan tujuan mengatur pendapatan rumahtangga yang terbatas dalam kegiatan produksi dan konsumsi (keputusan simultan). Nakajima mengidentifikasi perbedaan rumahtangga

pertanian dengan usahatani komersil, dimana rumahtangga pertanian

memanfaatkan tenaga kerja dalam keluarga, mengkonsumsi hasil usahatani sendiri serta melakukan kegiatan produksi sebagai satu kesatuan unit yang memaksimalkan kepuasaan dengan sumberdaya yang dimiliki, sedangkan

usahtani komersil memaksimalkan penggunaan input produksi untuk

memaksimalkan keuntungan. Teori ini mempertimbangkan kemungkinan rumah tangga menjual sebagian hasil usaha tani (semi komersil) dan eksistensi pasar tenaga kerja.

Barnum dan Square (1979) dalam Ellis (1988) mengembangkan model ekonomi rumahtangga yang mempertimbangkan respon rumahtangga terhadap perubahan faktor internal rumahtangga dan pasar (perubahan harga input dan output) dengan asumsi : rumahtangga dapat menggunakan tenaga kerja dalam keluarga maupun luar keluarga, ketersediaan lahan sebagai faktor produksi adalah tetap, rumahtangga mengkonsumsi hasil produksinya sendiri dan waktu santai untuk memaksimalkan utilitas serta preferensi rumahtangga petani untuk mengkonsumsi hasil produksinya sendiriatau menjual hasil produksinya untuk

kebutuhan konsumsi non usahatani. Pengembangan model new home economics

juga dilakukan Ellis (1988) yang menyatakan adanya keputusan simultan antara produksi dan konsumsi dengan pasar tenaga kerja yang kompetitif.

Model Rumah Tangga Pertanian Singh (1986) menyatakan dalam rumah tangga pertanian, skala produksi usahatani ditentukan oleh tingkat pemanfaatan sumberdaya seperti luas lahan garapan, tenaga kerja, maupun modal. disamping pengaruh faktor eksternal pasar input dan output. Keseimbangan pasar input-output terbuka terhadap pengaruh sumber-surnber perubahan seperti peraturan dan kebijakan pemerintah. Penerimaan usahatani dan usaha produktif lain secara


(28)

bersama-sarna akan menentukan tingkat pendapatan rumah tangga. Penjualan langsung produksi usahatani menghasilkan pendapatan tunai bagi rumah tangga. Namun, produksi itu juga dapat disimpan (walaupun hanya sementara) sebagai cadangan konsumsi atau kemudian dijual seluruhnya untuk meningkatkan daya beli. Pendapatan rumah tangga dialokasikan pada berbagai pengeluaran. Adanya kendala anggaran mempengaruhi keputusan rumah tangga dalam mengurangi pengeluaran pangan dan preferensi untuk menabung. Penggunaan model perilaku ekonomi rumah tangga sebagai pendekatan analisis ketahanan pangan rumah tangga memungkinkan digunakannya indikator proses yang meliputi keputusan-keputusan produksi dan indikator hasil yang mencakup keputusan-keputusan pemanfaatan output produksi dan pendapatan untuk berbagai tujuan pengeluaran rumah tangga secara bersamaan.

Singh (1986) menyatakan rumah tangga diasumsikan hanya memperoleh pendapatan tunai dari surplus penawaran (marketed surplus) sehingga keputusan mengkonsumsi output usaha tani sendiri akan terkait dengan keputusan pengeluaran lain dalam rumah tangga.

Definisi rumahtangga pertanian dalam penelitian Asmarantaka (2007) adalah satu unit kelembagaan keluarga, hidup bersama yang setiap saat memutuskan secara bersama produksi pertanian, konsumsi, reproduksi dan menyatukan anggaran. Sesuai dengan prinsip ekonomi, rumahtangga petani dalam mengalokasikan sumberdaya selalu bertindak rasional, mengkonsumsi barang dan jasa untuk memaksimalkan utilitas, sebagai produsen akan memaksimumkan keuntungan. Perubahan perilaku rumahtangga pertanian dipengaruhi kekuatan

pasar (supply dan demand) dan juga pengaruh faktor eksternal (sosial, lingkungan

dan karakteristik keluarga). Pendapatan total rumahtangga berasal dari pendapatan dari pertanian maupun diluar pertanian yang kemudian digunakan untuk kegiatan produksi, konsumsi, tabungan dan investasi (biaya kesehatan dan pendidikan)

Dalam analisis ekonomi rumahtangga pertanian, rumahtangga pertanian dianggap berada dalam lingkungan pasar persaingan sempurna, pasar persaingan tidak sempurna dan atau dalam lingkungan antara pasar bersaing dengan tidak bersaing. Berdasarkan kondisi tersebut, terdapat tiga model persamaan dalam


(29)

analisis rumahtangga pertanian, yaitu model recursive, model non recursive, dan model persamaan simultan.

Pada pasar persaingan sempurna, model yang digunakan adalah model

recursive, yaitu persamaan simultan satu arah antara keputusan produksi dan konsumsi. Pasar output dan inputnya bersaing sempurna, harga input dan harga output adalah peubah eksogen terhadap rumahtangga pertanian, dimana pada kondisi mengabaikan biaya transaksi dan apakah rumahtangga pertanian mengkonsumsi produk hasilnya sendiri atau menjual atau membeli apa yang dibutuhkan untuk konsumsi. Demikian pula dengan penggunaan tenaga kerja, tidak dipertimbangkan penggunaan tenaga kerja dalam keluarga atau sewa, menyewa tenaga kerja luar keluarga atau menawarkan tenaga kerja dalam keluarga (Barnum and Squire, 1979 dalam Asmaratanka, 2007).

Untuk kondisi pasar bersaing tidak sempurna, digunakan model persamaan

simultan dua arah atau model non recursive, dimana pada kondisi ini rumahtangga

pertanian menunjukan adanya kegagalan pasar, karakteristik produk pertanian yang berat dan mudah rusak serta risiko dari variasi harga dan adanya diskrimnasi dalam pasar tenaga kerja sehingga keputusan produksi mempengaruhi keputusan konsumsi dan sebaliknya. Model ini memasukan harga input ataupun harga output sebagai peubah endogen dan harga yang digunakan adalah harga bayangan (Kusnadi, 2005).

Sedangkan model persamaan simultan digunakan untuk menangkap kompleksitas dan perubahan peubah ekonomi yang mempengaruhi ekonomi rumahtangga, dimana peubah tersebut memungkinkan adanya hubungan simultan dua arah antara keputusan produksi dan konsumsi, keterkaitan penggunaan tenaga kerja dalam kegiatan produksi dan keterkaitan pendapatan baik dari pertanian maupun di luar pertanian dengan persamaan konsumsi baik pangan dan non pangan serta persamaan tabungan dan investasi, dalam bentuk persaman struktural dan persamaan identitas. Bentuk analisis dapat berdasarkan perbedaan geografis atau teknologi, berdasarkan komoditi tertentu yang diusahakan rumahtangga pertanian. Dalam penelitian yang menggunakan persamaan simultan, peubah harga output input dan upah tenga kerja dianggap sebagai peubah eksogen.


(30)

2.2. Ketahanan Pangan Rumahtangga

Untuk mewujudkan ketahanan pangan nasional dan regional, ketahanan pangan rumahtangga adalah pilar yang harus dibangun. Pangan yang tersedia secara nasional harus mampu diakses oleh rumahtangga, termasuk rumahtangga petani yang mempunyai daya beli rendah terhadap pangan.

Ketahanan pangan adalah fenomena yang kompleks, seperti dijelaskan dalam Undang Undang No : 7 tahun 1996 tentang pangan, pengertian ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari ketersediaan yang cukup, baik dalam jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau. Dari pengertian tersebut, tersirat bahwa upaya mewujudkan ketahanan pangan nasional harus lebih dipahami sebagai pemenuhan kondisi kondisi : (1) Terpenuhinya pangan dengan kondisi ketersediaan yang cukup, dengan pengertian ketersediaan pangan dalam arti luas, mencakup pangan yang berasal dari tanaman, ternak dan ikan dan memenuhi kebutuhan atas karbohidrat, vitamin dan mineral serta turunan, yang bermanfaat bagi pertumbuhan dan kesehatan manusia. (2) Terpenuhinya pangan dengan kondisi aman, diartikan bebas dari pencemaran biologis, kimia, dan benda lain yang lain dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia, serta aman untuk kaidah agama. (3) Terpenuhinya pangan dengan kondisi yang merata, diartikan bahwa distribusi pangan harus mendukung tersedianya pangan pada setiap saat dan merata di seluruh tanah air. (4) Terpenuhinya pangan dengan kondisi terjangkau, diartikan bahwa pangan mudah diperoleh rumah tangga dengan harga yang terjangkau.

Ketahanan pangan tidak hanya ditentukan oleh ketersediaan pangan dalam

suatu wilayah atau rumahtangga. Internasional Confrence in Nutrition,

(FAO/WHO, 1992) mendefenisikan ketahanan pangan sebagai akses setiap rumah tangga atau individu untuk memperoleh pangan pada setiap waktu untuk keperluan hidup sehat. Untuk mencapai ketahanan pangan diperlukan kemampuan atau akses terhadap pangan tersebut. Hasil Lokakarya Ketahanan Pangan Nasional (DEPTAN, 1996) mendefenisikan ketahanan pangan adalah kemampuan untuk memenuhi kebutuhan pangan anggota rumah tangga dalam jumlah, mutu dan ragam sesuai dengan budaya setempat dari waktu kewaktu agar dapat hidup sehat.


(31)

Ketahanan pangan pada tataran nasional merupakan kemampuan suatu bangsa untuk menjamin seluruh penduduknya memperoleh pangan dalam jumlah yang cukup, mutu yang layak, aman, dan juga halal, yang didasarkan pada optimalisasi pemanfaatan dan berbasis pada keragaman sumber daya domestik. Salah satu indikator untuk mengukur ketahanan pangan adalah ketergantungan ketersediaan pangan nasional terhadap impor (Litbang Deptan, 2005).

Ketahanan pangan rumahtangga ditentukan oleh empat element penting, yakni: ketersediaan pangan, aksesibilitas yang menggambarkan kemampuan untuk menguasai pangan yang cukup, keamanan yang dapat diartikan sebagai stabilitas (menunjukkan pada kerentanan internal seperti penurunan produksi) dan keandalan (menunjukkan pada kerentanan eksternal seperti flukuasi perdagangan internasional), keberlanjutan merupakan kontinuitas dari akses dan ketersediaan pangan yang ditunjukkan oleh keberlanjutan usaha tani (LIPI, 2005). Ketahanan pangan mempunyai faktor determinan, yaitu ketersediaan dan daya beli rumahtangga terhadap pangan (Hardono, 2002). Menurut kajian ketahanan pangan dan kemiskinan oleh Omotesho (2007), faktor-faktor yang menentukan status ketahanan pangan rumahtangga adalah akses pada fasilitas kesehatan, ukuran rumahtangga, ukuran usahatani dan pengeluaran pangan rumahtangga.

Pengukuran tingkat ketahanan pangan menjadi penting dilakukan dalam menentukan kebijakan ketahanan pangan. Pengukuran tingkat ketahanan pangan rumah tangga tidak hanya melalui Angka Kecukupan Energi dan Angka Kecukupan Protein, tetapi juga harus dilihat dari porsi pengeluaran pangan yang menunjukkan kemampuan dari rumah tangga dalam mencukupi pangan. Menurut

Handewi et al., 2001, rumah tangga yang menghabiskan 70 % pendapatannya

untuk konsumsi pangan menunjukkan rumah tangga yang rawan pangan. Hal ini didasarkan pada dimensi dan ukuran yang sering digunakan untuk menetapkan batas garis kemiskinan dengan menggunakan tingkat pendapatan rumah tangga melalui porsi pengeluaran pangan. Rumah tangga miskin biasanya kehilangan akses untuk mencukupi pangan (FAO, 2005). Dengan demikian, kondisi kemiskinan dalam rumah tangga merupakan kondisi yang rawan pangan. Oleh karena itu, tingkat pendapatan dalam rumah tangga merupakan faktor yang penting dalam upaya pemantapan ketahanan pangan. Penghitungan ketahanan


(32)

pangan rumahtangga juga dilakukan Faridi (2010) dimana ketahanan pangan rumahtangga dicerminkan oleh keseimbangan gizi dari pangan yang dikonsumsi rumahtangga dan perbandingan pengeluaran pangan dengan pendapatan rumahtangga. Berikut ini dirangkum beberapa indikator ketahanan pangan yang telah dirumuskan.

Tabel 1. Indikator Ketahanan Pangan

Sumber Tahun Indikator Ketahanan Pangan

Sayogyo dalam Handono (2002)

1991 Pendapatan rumah tangga, harga pangan, harga barang konsumsi lain, sistem irigasi, status gizi, dan pelayanan kesehatan

Maxwell and Frankenberger

1992 Indikator Proses:

· Ketersediaan Pangan Berkaitan dengan Produksi Pertanian sendiri, Iklim, Akses terhadap SDA dan Pasar · Akses Pangan : Strategi RT Memenuhi Kekurangan Pangan / daya beli terhadap pangan

Indikator Dampak:

· Langsung : Konsumsi dan Frekuensi Pangan

Tidak Langsung : Penyimpanan Pangan dan Status Gizi DEPTAN RI 2004 Penilaian Keanekaragaman Pangan : Pola Pangan Harapan

(PPH) yaitu komposisi pangan yang seimbang untuk dikonsumsi guna memenuhi kebutuhan gizi penduduk. Widya Karya

Nasional Pangan dan Gizi dalam Muhilai et.al (1998)

2004 TKE = {(Jumlah Konsumsi Energi/ Kapita/ Hari) / (Kecukupan Energi [2000 kkal])} x 100 % TKP = {(Jumlah Konsumsi Protein/ Kapita/ Hari)/ (Kecukupan Protein [52 gram])} x 100 %

TKE / TKP < 70 % : RT defisit Kalori dan atau Protein UU Pangan No 7

tahun 1996

2005 · Kecukupan Ketersedian Pangan :≥ 240 hari : Cukup. · Stabilitas Ketersediaan Pangan : Kebiasaan makan 3 kali sehari.

· Aksesbilitas : Pemilikan Lahan (Langsung/ Tidak; produksi sendiri/ beli).

· Kualitas/ Keamanan Pangan : Ada/ tidak bahan makanan yang mengandung protein hewani/ nabati.


(33)

Indikator lain yang dapat digunakan untuk mengukur derajat ketahanan pangan rumahtangga adalah menggunakan gabungan dua indikator ketahanan pangan, yakni pangsa pengeluaran pangan dan kecukupan konsumsi energi (Handewi et al., 2001).

Tabel 2. Indikator Ketahanan Pangan : Kecukupan Energi dan Pangsa Pengeluaran Pangan

Konsumsi Energi Per Unit Ekuivalen Orang Dewasa

Pangsa Pengeluaran rendah

jika pengeluaran pangan ≤

60 % dari pengeluaran total

Pangsa Pengeluaran tinggi : jika pengeluaran pangan > 60 % dari pengeluaran total

Cukup : ≥ 80 % dari syarat

kecukupan energi

Tahan Pangan Rentan Pangan

Kurang : < 80 % dari syarat kecukupan gizi

Kurang Pangan Rawan Pangan

Sumber : Toole (1991) dalam Handewi et.al.2001

Ketahanan pangan rumah tangga dengan keragaman indikator yang telah dirumuskan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa faktor ketersediaan pangan dan daya beli adalah faktor determinan (faktor yang sangat menentukan). Jika menggunakan definisi ketahanan pangan dalam UU Pangan, maka ketahanan pangan rumah tangga dapat dilihat dari ketersediaan pangan di rumah tangga (baik produksi sendiri maupun beli), keterjangkauan terhadap pangan yang ditentukan oleh pendapatan keluarga, konsumsi pangan yang ditunjukan dengan porsi pengeluaran pangan dan kualitas gizi. Tingkat pendapatan menentukan jenis dan jumlah pangan yang akan dibeli serta seberapa besar proporsi dari pendapatan yang akan dikeluarkan untuk membeli pangan. Daya beli atau kemampuan keluarga untuk membeli pangan dipengaruhi oleh pendapatan keluarga dan harga pangan itu sendiri. Perubahan pendapatan secara langsung dapat mempengaruhi perubahan konsumsi pangan keluarga. Meningkatnya pendapatan berarti memperbesar peluang untuk membeli pangan dengan kualitas dan kuantitas yang lebih baik. Sebaliknya, penurunan dalam hal kualitas dan kuantitas pangan yang hendak dibeli.

Sementara untuk pengeluaran pangan keluarga Hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas, 1996-1998) menunjukkan pengeluaran bagi keluarga miskin berkisar 60-80% dari pendapatan dan bagi keluarga mampu berkisar antara 20-59 %. Hal ini sesuai dengan hukum Engel, pada saat terjadinya peningkatan


(34)

pendapatan, konsumen/ keluarga akan membelanjakan pendapatannya untuk pangan dengan proporsi yang semakin kecil. Sebaliknya bila pendapatan menurun, porsi yang dibelanjakan untuk pangan makin meningkat (Soekirman, 2000 dalam Ginting, 2012). Sedangkan menurut asumsi Berg, 1986 dalam Ginting 2012 persentasi pengeluaran pangan keluarga dikelompokkan menjadi tiga kategori yaitu : pengeluaran pangan <45 % dikatergorikan sebagai keluarga kaya, pengeluaran pangan 46-79 % dikategorikan sebagai keluarga menengah, dan pengeluaran pangan >80 % termasuk kategori keluarga miskin. Ketahanan pangan ditingkat rumah tangga sangat berkaitan dengan faktor kemiskinan. Ketahanan pangan terutama ditentukan oleh nilai ekonomis beras, sebab beras merupakan komoditas paling penting di Indonesia, terutama bagi kelompok sosial ekonomi rendah.

Menurut Faridi (2005), karakteristik anggota rumahtangga seperti jenis kelamin, usia, dan kegiatan anggota keluarga mennetukan kebutuhan kalori anggota keluarga yang selanjutnya menentukan tingkat ketahanan pangan rumahtangga. Ketahanan pangan di tingkat rumah tangga juga dipengaruhi oleh ketahanan pangan di tingkat nasional dan regional, namun tanpa disertai dengan distribusi dan aksesibilitas rumah tangga terhadap pangan, maka tidak akan tercapai ketahanan pangan di tingkat rumah tangga. Oleh karena itu kompleknya permasalahan dan faktor yang mempengaruhi, maka sampai saat ini belum ada cara yang paling sempurna untuk menilai dan menerangkan semua aspek yang berkaitan dengan ketahanan pangan. Ketahanan pangan sangat ditentukan oleh faktor ketersediaan pangan. Ketersediaan pangan ditingkat rumah tangga merupakan faktor langsung yang mempengaruhi ketahanan pangan ditingkat rumah tangga. Ketersediaan pangan lebih mengacu pada simpanan bahan pangan (food storage) dan ketersediaan pangan pokok (staple food) di rumah kemarin (Badan Ketahanan Pangan, 2006).

Jika dikaitkan dengan keputusan-keputusan yang dihadapi oleh rumahtangga pertanian, maka indikator ketahanan pangan rumahtangga pertanian dapat dirumuskan sebagai berikut :

a. Ketersediaan pangan yang diproksi dari jumlah produksi pangan


(35)

dibeli di pasar serta jumlah raskin yang dikonsumsi. Rumahtangga petani dinyatakan tahan pangan jika ketersediaan pangan mampu memenuhi kebutuhan konsumsi anggota keluarga

b. Akses rumahtangga petani terhadap pangan yang diproksi dari persentase

jumlah pendapatan rumahtangga yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan pangan anggota keluarga atau pengeluaran pangan terhadap pengeluaran total rumahtangga petani. Dalam perilaku ekonomi rumahtangga, jumlah pendapatan yang digunakan untuk pangan ini terkait dengan kegiatan konsumsi pangan yang mencerminkan jumlah pengeluaran pangan rumahtangga petani. Dalam struktur pengeluaran rumahtangga pertanian, jumlah pengeluaran non pangan dan tabungan rumahtangga perlu dipertimbangkan karena hal ini akan mempengaruhi keputusan petani dalam mengalokasikan pengeluaran rumahtangga untuk pangan.

c. Utilisasi atau aspek pemanfaatan dari konsumsi pangan yang diproksi dari

angka kecukupan gizi sebagai indikator hasil ketahanan pangan rumahtangga. Kecukupan gizi merupakan perbandingan antara total konsumsi energi rumahtangga dengan angka kecukupan energi seluruh anggota keluarga (Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi, 2004). Pemenuhan pangan dengan indikator kecukupan gizi akan berpengaruh pada kualitas sumberdaya manusia dalam rumahtangga pertanian.

2.3. Kebijakan Pemerintah dalam Ketahanan Pangan Rumahtangga Petani

Pengembangan ketahanan pangan mempunyai perspektif pembangunan yang sangat mendasar karena:

1. Akses terhadap pangan dengan gizi seimbang bagi segenap rakyat Indonesia

merupakan hak yang paling azasi bagi manusia.

2. Keberhasilan dalam pengembangan kualitas sumber daya manusia sangat

ditentukan oleh keberhasilan pemenuhan kecukupan dan konsumsi pangan dan gizi.

3. Ketahanan pangan merupakan basis atau pilar utama dalam mewujudkan

ketahanan ekonomi dan ketahanan nasional yang berkelanjutan (Suryana, 2004)


(36)

Ketahanan pangan merupakan suatu sistem yang terintegrasi yang terdiri atas berbagai subsistem. Subsistem utamanya adalah ketersediaan pangan, distribusi pangan dan konsumsi pangan. Terwujudnya ketahanan pangan me-rupakan sinergi dari interaksi ketiga subsistem tersebut.

1. Subsistem ketersediaan pangan mencakup aspek produksi, cadangan serta

keseimbangan antara impor dan ekspor pangan. Ketersediaan pangan harus dikelola sedemikian rupa sehingga walaupun produksi pangan bersifat musiman, terbatas dan tersebar antar wilayah, tetapi volume pangan yang tersedia bagi masyarakat harus cukup jumlah dan jenisnya serta stabil penyediaannya dari waktu ke waktu.

2. Subsistem distribusi pangan mencakup aspek aksesibilitas secara fisik dan ekonomi atas pangan secara merata. Sistem distribusi bukan semata-mata menyangkut aspek fisik dalam arti pangan tersedia di semua lokasi yang membutuhkan, tetapi juga masyarakat. Surplus pangan di tingkat wilayah belum menjamin kecukupan pangan bagi individu masyarakatnya. Sistem distribusi ini perlu dikelola secara optimal dan tidak bertentangan dengan mekanisme pasar terbuka agar tercapai efisiensi dalam proses pemerataan akses pangan bagi seluruh penduduk. Akses ekonomi masyarakat terhadap pangan sangat ditentukan oleh pendapatan masyarakat, sehingga kebijakan ketahanan pangan hendaknya dikaitkan pada upaya peningkatan pendapatan masyarakat dan pengentasan kemiskinan untuk memperbaiki daya beli masyarakat terhadap pangan.

3. Subsistem konsumsi pangan menyangkut upaya peningkatan pengetahuan

dan kemampuan masyarakat agar mempunyai pemahaman atas pangan, gizi dan kesehatan yang baik, sehingga dapat mengelola konsumsinya secara optimal. Konsumsi pangan hendaknya memperhatikan asupan pangan dan gizi yang cukup dan berimbang, sesuai dengan kebutuhan bagi pembentukan manusia yang sehat, kuat, cerdas dan produktif. Dalam subsistem konsumsi terdapat aspek penting lain yaitu aspek diversifikasi.

(Badan Ketahanan Pangan, 2006) Diversifikasi pangan merupakan suatu cara untuk memperoleh keragaman


(37)

pangan pokok tertentu, yaitu beras. Ketergantungan yang tinggi dapat memicu instabilitas apabila pasokan pangan tersebut terganggu.

Pembangunan ketahanan pangan memerlukan keharmonisan dari ketiga subsistem tersebut. Pembangunan subsistem ketersediaan pangan diarahkan untuk mengatur kestabilan dan kesinambungan ketersediaan pangan, yang berasal dari produksi, cadangan dan impor. Pembangunan sub-sistem distribusi pangan ber-tujuan menjamin aksesibilitas pangan dan stabilitas harga pangan. Pembangunan sub-sistem konsumsi bertujuan menjamin setiap rumah tangga mengkonsumsi pangan dalam jumlah yang cukup, bergizi dan aman. Keberhasilan pembangunan masing-masing sub-sistem tersebut perlu didukung oleh faktor ekonomi, teknologi dan sosial budaya.yang pada akhirnya akan berdampak pada status gizi .

Permasalahan ketahanan pangan rumahtangga petani salah satunya disebabkan oleh rendahnya pendapatan rumahtangga sehingga mengakibatkan daya beli terhadap pangan rendah. Dimensi yang fundamental dalam rendahnya

pendapatan yang mencerminkan kemiskinan adalah food security (ketahanan

pangan), karena kemiskinan menyebabkan hilangnya akses untuk mencukupi

pangan (FAO, 2005). Rumah tangga miskin menggunakan tidakkurang dari 80 %

dari seluruh pengeluarannya untuk pengeluaran pangan dan 60 % diantaranya

untuk beras (Siswono, 2001). Jadi ketergantungan rumah tangga miskin pada

pangan sangat besar bahkan merealokasikan dana pendidikan dan kesehatan guna

mengalihkan ke pangan. Jenis pangan inferior menjadi pilihan, walau tidak kaya

dengan kandungan energi dan protein sehingga berdampak pada menurunnya konsumsi energi dan protein. Bagi rumah tangga pertanian berpendapatan rendah, kendala anggaran akan mempengaruhi perubahan porsi pengeluaran, baik pangan maupun non pangan dan preferensi menabung. Pengurangan alokasi sumber daya untuk pengeluaran pangan akan berpengaruh pada ketahanan pangan.

Pemerintah berupaya menjaga ketahanan pangan rumah tangga petani dengan program yang baik langsung maupun tidak langsung mendukung ketahanan pangan rumahtangga. Berdasarkan jenis bantuan yang diberikan, program tersebut terdiri dari program yang berhubungan langsung dengan ketahanan pangan berupa pemberian bantuan natura yang bertujuan untuk pemenuhan konsumsi sesaat dan program pemberdayaan ekonomi berupa bantuan


(38)

modal untuk kegiatan produktif masyarakat. Program raskin (beras untuk keluarga miskin) merupakan program yang berhubungan langsung dengan ketahanan pangan dan mempengaruhi keputusan konsumsi rumah tangga pertanian. Sedangkan salah satu program yang secara tidak langsung bertujuan untuk ketahanan pangan rumah tangga pertanian dan bersifat pemberdayaan ekonomi rumahtangga adalah program PUAP (Pengembangan Usaha Agribisnis Pedesaan) dengan tujuan peningkatan pendapatan dan produksi petani sehingga memperbaiki daya beli terhadap pangan dan ketersediaan/cadangan pangan rumahtangga.

Program Pemberdayaan Usaha Agribisnis Pedesaan (PUAP) adalah program pemberdayaan masyarakat yang bertujuan meningkatkan pendapatan petani sehingga mampu meningkatkan daya beli terhadap pangan dan program beras untuk masyarakat miskin yang bertujuan mengurangi pengeluaran pangan dan meningkatkan ketersediaan pangan rumahtangga petani sehingga mendukung ketahanan pangan rumahtangga. Program Pemberdayaan Usaha Agribisnis Perdesaan (PUAP) dilaksanakan oleh petani (pemilik dan/atau penggarap), buruh tani dan rumah tangga tani miskin di perdesaan melalui koordinasi Gapoktan sebagai lembaga yang dimiliki dan dikelola oleh petani. Kementerian Pertanian mulai tahun 2008 telah melaksanakan program Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan (PUAP) dibawah koordinasi Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri (PNPM-Mandiri) dan berada dalam kelompok program pemberdayaan masyarakat.

Pelaksanaan Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan (PUAP) tahun 2011 mengacu kepada pola dasar yang ditetapkan dalam Peraturan Menteri Pertanian Nomor 09/Permentan/ OT.140/2/2011 tentang Pedoman Umum Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan (PUAP) dan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 11/Permentan/ OT.140/3/201 untuk meningkatkan keberhasilan penyaluran dana BLM-PUAP kepada Gapoktan dalam mengembangkan usaha produktif petani dalam mendukung 4 (empat) sukses Kementerian Pertanian yaitu (1) swasembada dan swasembada berkelanjutan, (2) diversifikasi pangan, (3) nilai tambah, daya saing, dan ekspor, dan (4) peningkatan kesejahteraan petani. Strategi dasar yang dilakukan melalui pemberdayaan masyarakat, optimalisasi potensi


(39)

agribisnis, fasilitasi modal usaha petani kecil, penguatan dan pemberdayaan kelembagaan.

Dana BLM PUAP yang disalurkan Kementrian Pertanian kepada Gapoktan dimanfaatkan sebagai modal usaha yang dikelola secara berkelanjutan oleh pengurus Gapoktan sesuai RUB (Rencana Usaha Bersama). Dana BLM PUAP kemudian disalurkan pada kelompok tani sesuai RUK (Rencana Usaha Kelompok) yang diajukan masing-masing kelompok tani. Dana PUAP di setiap kelompok tani diberikan pada anggota kelompok tani sebagai modal usaha produktif petani sesuai dengan RUA (Rencana Usaha Anggota). Dilakukan pelaporan berkala oleh Gapoktan dan kelompok tani tentang perkembangan usahatani petani penerima BLM-PUAP. PUAP yang berkelanjutan diharapkan berkembang menjadi unit usaha simpan pinjam otonom atau Lembaga Keuangan Mikro Agribisnis (LKMA).

Sementara penyaluran Raskin (Beras untuk Rumah Tangga Miskin) sudah dimulai sejak 1998. Krisis moneter tahun 1998 merupakan awal pelaksanaan Raskin yang bertujuan untuk memperkuat ketahanan pangan rumah tangga terutama rumah tangga miskin. Pada awalnya disebut program Operasi Pasar Khusus (OPK), kemudian diubah menjadi Raskin mulai tahun 2002, Raskin

diperluas fungsinya tidak lagi menjadi program darurat (social safety net)

melainkan sebagai bagian dari program perlindungan sosial masyarakat. Melalui sebuah kajian ilmiah, penamaan Raskin menjadi nama program diharapkan akan menjadi lebih tepat sasaran dan mencapai tujuan Raskin.

Penetapan jumlah beras per bulan per RTM yang pada awalnya 10 kg, selama beberapa tahun berikutnya bervariasi dari 10 kg hingga 20 kg, dan pada 2009 menjadi 15 kg. Frekuensi distribusi yang pada tahun-tahun sebelumnya 12 kali, pada 2006 berkurang menjadi 10 kali, dan pada 2007 sampai sekarang ini kembali menjadi 12 kali per tahun. Sasaran penerima manfaat yang sebelumnya menggunakan data keluarga prasejahtera (KPS) dan keluarga sejahtera 1 (KS-1) alasan ekonomi hasil pendataan BKKBN (Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional), sejak 2006 berubah menggunakan data RTM hasil pendataan BPS (Badan Pusat Statistik).


(40)

Program ini dilaksanakan sebagai konsekuensi logis dari kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) yang subsidinya ditarik oleh pemerintah pusat. Kenaikan harga BBM tersebut jelas berdampak pada naiknya harga bahan pangan (sembilan bahan pokok), salah satunya beras.

Program Raskin ini bertujuan untuk mengurangi beban pengeluaran dari rumah tangga miskin sebagai bentuk dukungan dalam meningkatkan ketahanan pangan dengan memberikan perlindungan sosial beras murah dengan jumlah maksimal 15 Kg/rumah tangga miskin/bulan dengan masing-masing seharga Rp 1600,00/Kg (netto) di titik distribusi. Program ini mencakup di seluruh provinsi, sementara tanggung jawab dari distribusi beras dari gudang sampai ke titik distribusi di pegang oleh Perum Bulog. Sasaran dari Program Raskin ini adalah meningkatkan akses pangan kepada keluarga miskin untuk memenuhi kebutuhan pokok dalam rangka menguatkan ketahanan pangan rumah tangga dan mencegah penurunan konsumsi energi dan protein.

2.4. Penelitian Terdahulu

Studi empiris tentang kemiskinan dan ketahanan pangan dilakukan oleh Saputra (2008) menyatakan adanya hubungan lurus antara pendapatan masyarakat dengan pola konsumsi pangan masyarakat miskin, dimana 80 % dari pendapatan digunakan untuk memenuhi kebutuhan pangan. Dengan demikian keterbatasan pendapatan, berimplikasi pada kerawanan pangan.

Analisis ketahanan pangan rumahtangga pertanian dilakukan oleh Hardono (2002) dengan model persamaan simultan dan metode 2 SLS. Hasil analisis menunjukan faktor-faktor determinan ketahanan pangan rumahtangga pada indikator : produksi usahatani, pendapatan, ketersediaan, pengeluaran pangan dan kecukupan energi adalah luas sawah garapan, alokasi tenaga kerja, harga padi, pendapatan istri, perbedaan lokasi dan agroekosistem, pendapatan disposable, jumlah anggota keluarga, ketersediaan pangan, pengeluaran pangan, non pangan dan pendidikan. Upaya peningkatan akses rumahtangga pertanian terhadap pangan terkendala oleh tidak responsifnya luas garapan terhadap perubahan harga padi, jumlah tenaga kerja dan modal usaha. Ketersediaan pangan responsif terhadap harga padi dan pendapatan, sedangkan kecukupan energi ditentukan oleh


(41)

pengeluaran pangan dan jumlah anggota keluarga. Nilai tabungan berkorelasi positif dengan tingkat pendapatan dan cadangan pangan. Sedangkan faktor eksternal yang berpengaruh pada peningkatan ketahanan pangan rumahtangga adalah kenaikan harga padi, luas garapan, alokasi waktu berburuh dan cadangan pangan. Faktor eksternal yang menurunkan ketahanan pangan rumahtangga adalah kenaikan harga pupuk dan upah buruh tani.

Asmarantaka (2007) menganalisis perilaku ekonomi rumahtangga petani yang dikaitkan dengan tingkat ketahanan pangan, menggunakan model persamaan simultan dan metode 2 SLS. Hasil analisis menunjukkan pengeluaran konsumsi pangan rumahtangga pertanian di desa pangan dan perkebunan termasuk dalam kategori tahan pangan berdasarkan pendekatan setara beras, dimana ketahanan pangan tertinggi terdapat pada desa perkebunan dan terendah di desa pangan. Dengan demikian, konsep ketahanan pangan tidak selalu searah dengan ketersediaan produksi, tetapi ditentukan oleh akses ketersediaan pangan melalui tingkat pendapatan rumahtangga pertanian. Model persamaan simultan menunjukan bahwa produksi responsif terhadap penggunaan tenaga kerja sehingga peningkatan penggunaan tenaga kerja akan berdampak positif terhadap produktifitas usahatani yang pada akhirnya meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan rumahtangga petani sehingga mendukung ketahanan pangan rumahtangga. Pengeluaran konsumsi, investasi pendidikan, kesehatan dan tabungan dipengaruhi dan responsif terhadap pendapatan. Peningkatan harga output komoditas utama maupun kenaiakan harga input mempunyai dampak positif terutama bagi desa pangan, yaitu peningkatan pendapatan usahatani, tabungan dan biaya investasi.

Penelitian lain tentang ekonomi rumahtangga dilakukan Rochaeni (2005) dengan pembahasan tentang waktu kerja, pendapatan dan pengeluaran rumahtangga pertanian menggunakan model persamaan simultan dengan metode 2 SLS. Dalam penelitian ini dinyatakan bahwa alokasi waktu kerja anggota rumahtangga petani lebih banyak pada non usahatani karena pendapatan dari non usahatani lebih besar dari pendapatan usahatani. Pengeluaran total rumahtangga pertanian terbesar dialokasikan untuk konsumsi pangan dan non pangan, yakni sebesar 50,52 % dari pendapatan total rumahtangga, sedangkan untuk investasi


(42)

sebesar 22,77 % dari pendapatan total rumahtangga. Perubahan curahan kerja anggota rumahtangga akan berpengaruh pada tingkat pendapatan rumahtangga. Sementara perubahan harga input dan output padi menurunkan curahan kerja suami pada usahatani padi dan meningkatkan pendapatan dari non usahatani padi.

Hasil penelitian Smith dan Strauss (1986) dalam Singh et.all (1986) menggunakan data Sierra Leone merupakan simulasi data mikro untuk mengetahui konsekuensi intervensi kebijakan terhadap berbagai tipe rumahtangga yang menunjukan bahwa kenaikan harga padi memperbaiki gizi penduduk pedesaan secara keseluruhan . Bagi rumahtangga berpendapatan rendah yang umumnya mempunyai persediaan jumlah padi lebih banyak untuk dijual sebagai tambahan keuntungan, maka kenaikan harga padi memberi dampak positif terhadap status gizi. Tambahan keuntungan ketika harga padi naik dapat digunakan untuk mengimbangi kenaikan harga pangan lain yang dibeli untuk dikonsumsi sehingga status gizi mereka bertambah baik.

Penelitian ini membahas peranan bantuan modal PUAP dalam meningkatkan produktifitas usahatani dan pendapatan petani serta proporsi raskin dalam pengeluaran pangan rumahtangga sehingga diketahui peranan kedua program penanggulangan kemiskinan tersebut terhadap ketahanan pangan rumahtangga petani.


(1)

The SAS System The SIMNLIN Procedure Simultaneous Simulation Descriptive Statistics

Actual Predicted Variable N Obs N Mean Std Dev Mean StdDev GRPN 40 40 0.2096 0.0589 0.2209 0.0303 PRDI 40 40 488.5 361.2 512.0 201.3 JPU 40 40 84.3750 51.7661 92.0230 20.6564 JPT 40 40 35.6285 30.1702 41.0894 13.4989 TKDK 40 40 21.8000 40.0578 21.6527 10.2864 TKLK 40 40 150.8 198.4 168.9 48.7030 TKER 40 40 172.0 195.9 190.5 48.8571 TKNP 40 40 177.9 427.5 179.7 451.8 BUT 40 40 1067399 1207414 1130733 849078 PUTP 40 40 886601 1647701 823267 1564219 PTP 40 40 950751 1643914 887417 1557159 PBNP 40 40 1068000 2317314 1075745 2607442 PTRT 40 40 8496451 6439080 8440862 6255066 PI 40 40 1708075 1240126 1712651 541950 NPPG 40 40 2947850 1119354 2919467 1028013 PNP 40 40 7529475 5611313 8829117 3500178 PPK 40 40 1646550 1227528 1650957 542046 PKS 40 40 61525.0 175530 61694.0 28868.2 TAB 40 40 3909625 5277787 4445046 3468656 AKE 40 40 58.2737 12.0619 58.1784 8.7403 TPRT 40 40 12185400 5874699 13461235 3592576


(2)

Statistics of fit

Mean Mean % Mean Abs Mean Abs RMS RMS %

Variable N Error Error Error % Error Error Error R-Square GRPN 40 0.0112 14.4453 0.0440 27.5314 0.0545 38.8039 0.1230 PRDI 40 23.4868 40.6250 235.8 62.5762 304.4 80.0798 0.2714 JPU 40 7.6480 69.0691 41.0770 90.7665 50.9264 147.8 0.0074 JPT 40 5.4609 29903.0 22.9629 29926.2 28.7430 73788.6 0.0691 TKDK 40 -0.1473 276.3 22.3991 302.7 38.4374 441.6 0.0557 TKLK 40 18.1253 430.1 122.6 449.8 194.5 793.3 0.0143 TKER 40 18.5780 178.8 119.7 196.5 190.1 342.4 0.0334 TKNP 40 1.8059 -226.3 161.4 353.3 362.2 455.6 0.2638 BUT 40 63334.3 91.5245 457951 106.9 797637 186.4 0.5524 PUTP 40 -63334.3 -48.5476 457951 57.2895 797637 80.1160 0.7596 PTP 40 -63334.3 -27.2761 457951 62.4628 797637 111.0 0.7585 PBNP 40 7744.7 -136.0 737290 199.0 1551417 260.4 0.5403 PTRT 40 -55589.7 -14.5975 1026155 39.7259 1706330 119.8 0.9280 PI 40 4576.4 45.3904 868970 70.9478 1090968 87.5746 0.2062 NPPG 40 -28382.6 1.6942 387771 14.1198 462363 16.7351 0.8250 PNP 40 1299642 55.7299 3880414 72.5343 5164481 105.3 0.1312 PPK 40 4407.4 46.4683 843806 71.4397 1059860 87.6770 0.2354 PKS 40 169.0 596.4 72952.2 614.9 166593 969.3 0.0761 The SAS System

The SIMNLIN Procedure Simultaneous Simulation Statistics of fit

Mean Mean % Mean Abs Mean Abs RMS RMS %

Variable N Error Error Error % Error Error Error R-Square TAB 40 535421 453.1 2437161 527.2 4335070 1277.6 0.3080 AKE 40 -0.0953 1.5623 6.3700 11.0097 8.5614 13.7747 0.4833 TPRT 40 1275835 23.5745 4134075 37.4896 5390610 47.7936 0.1364


(3)

Theil Forecast Error Statistics MSE Decomposition Proportions

Corr Bias Reg Dist Var Covar Inequality Coef Variable N MSE (R) (UM) (UR) (UD) (US) (UC) U1 U GRPN 40 0.00297 0.41 0.04 0.01 0.95 0.27 0.69 0.2505 0.1237 PRDI 40 92687.3 0.53 0.01 0.00 0.99 0.27 0.72 0.5033 0.2638 JPU 40 2593.5 0.24 0.02 0.03 0.95 0.36 0.61 0.5162 0.2640 JPT 40 826.2 0.34 0.04 0.01 0.95 0.33 0.64 0.6189 0.3207 TKDK 40 1477.4 0.24 0.00 0.00 1.00 0.58 0.42 0.8511 0.5564 TKLK 40 37814.3 0.17 0.01 0.01 0.99 0.58 0.41 0.7868 0.4600 TKER 40 36153.5 0.21 0.01 0.00 0.99 0.58 0.41 0.7347 0.4176 TKNP 40 131216 0.65 0.00 0.22 0.78 0.00 1.00 0.7907 0.3857 BUT 40 6.362E11 0.75 0.01 0.00 0.99 0.20 0.80 0.4985 0.2652 PUTP 40 6.362E11 0.88 0.01 0.02 0.97 0.01 0.98 0.4305 0.2214 PTP 40 6.362E11 0.87 0.01 0.02 0.97 0.01 0.98 0.4240 0.2181 PBNP 40 2.407E12 0.80 0.00 0.23 0.77 0.03 0.97 0.6144 0.2919 PTRT 40 2.912E12 0.96 0.00 0.00 1.00 0.01 0.99 0.1608 0.0810 PI 40 1.19E12 0.45 0.00 0.00 1.00 0.40 0.60 0.5191 0.2800 NPPG 40 2.138E11 0.91 0.00 0.00 1.00 0.04 0.96 0.1469 0.0741 PNP 40 2.667E13 0.46 0.06 0.03 0.91 0.16 0.77 0.5524 0.2743 PPK 40 1.123E12 0.49 0.00 0.00 1.00 0.41 0.59 0.5184 0.2804 PKS 40 2.775E10 0.31 0.00 0.02 0.98 0.76 0.24 0.9058 0.6614 TAB 40 1.879E13 0.57 0.02 0.01 0.97 0.17 0.81 0.6654 0.3575 AKE 40 73.2977 0.70 0.00 0.00 1.00 0.15 0.85 0.1439 0.0724 TPRT 40 2.906E13 0.46 0.06 0.03 0.92 0.17 0.77 0.3994 0.1966


(4)

Theil Relative Change Forecast Error Statistics Relative Change MSE Decomposition Proportions

Corr Bias Reg Dist Var Covar Inequality Coef Variable N MSE (R) (UM) (UR) (UD) (US) (UC) U1 U GRPN 39 0.0785 0.83 0.03 0.01 0.97 0.05 0.92 0.5580 0.2932 PRDI 39 1.3541 0.74 0.00 0.02 0.97 0.29 0.71 0.6391 0.3821 JPU 39 3.6115 0.91 0.01 0.46 0.54 0.71 0.29 0.5579 0.3613 JPT 39 598993 0.68 0.00 0.00 1.00 0.23 0.77 0.7010 0.4172 TKDK 39 82.0428 0.39 0.00 0.00 1.00 0.37 0.63 0.8737 0.5726 TKLK 39 24.6941 0.90 0.15 0.26 0.59 0.11 0.74 0.5410 0.2408 The SAS System

The SIMNLIN Procedure Simultaneous Simulation

Theil Relative Change Forecast Error Statistics Relative Change MSE Decomposition Proportions

Corr Bias Reg Dist Var Covar Inequality Coef Variable N MSE (R) (UM) (UR) (UD) (US) (UC) U1 U TKER 39 10.2228 0.60 0.05 0.05 0.90 0.06 0.89 0.8102 0.4291 TKNP 39 479.7 0.77 0.02 0.01 0.97 0.19 0.79 0.6175 0.3598 BUT 39 5.2064 0.68 0.04 0.16 0.80 0.00 0.96 0.7765 0.3765 PUTP 39 0.6831 0.99 0.07 0.00 0.92 0.00 0.93 0.1643 0.0826 PTP 39 0.5285 0.99 0.05 0.00 0.95 0.00 0.95 0.1157 0.0579 PBNP 39 104.4 0.80 0.01 0.00 0.99 0.09 0.90 0.5722 0.3146 PTRT 39 15.3685 1.00 0.02 0.97 0.01 0.97 0.01 0.0585 0.0284 PI 39 1.5343 0.65 0.01 0.05 0.94 0.05 0.94 0.7434 0.3957 NPPG 39 0.0414 0.92 0.00 0.09 0.91 0.01 0.99 0.4151 0.2034 PNP 39 1.9847 0.64 0.05 0.06 0.89 0.04 0.91 0.7793 0.4044 PPK 39 1.6350 0.64 0.02 0.05 0.93 0.05 0.93 0.7576 0.4028 PKS 39 118.3 0.36 0.06 0.40 0.53 0.02 0.92 1.1507 0.5041 TAB 39 92.5171 0.93 0.09 0.45 0.46 0.30 0.61 0.4893 0.2126 AKE 39 0.0300 0.79 0.00 0.01 0.99 0.18 0.82 0.6010 0.3441 TPRT 39 0.3532 0.63 0.06 0.15 0.79 0.00 0.94 0.8446 0.4130


(5)

Lampiran 7. Hasil Analisis Ketahanan Pangan Rumahtangga Petani Sampel

No KE JP AKE AKP PTJB JBBB PGRB KSPB KBRB NPPGB PTRTB RPPB JAK

STATUS KETAHANAN

PANGAN

1 1031.25 15.62 51.56 30.04 10.00 15.00 5.00 30.00 40.00 264500.00 132729.20 199.28 4 TTP 2 1316.85 15.62 65.84 30.04 10.00 26.00 4.00 40.00 40.00 497500.00 563868.10 88.23 4 TTP 3 1163.20 18.64 58.16 35.85 10.00 15.00 5.00 30.00 40.00 415500.00 651270.80 63.80 4 TTP 4 1352.10 24.15 67.61 46.44 66.67 15.00 4.70 86.37 30.00 348900.00 454472.20 76.77 3 TTP 5 1475.70 17.85 73.79 34.33 12.50 12.50 5.00 30.00 20.00 278000.00 548638.90 50.67 2 TP 6 1091.50 21.00 54.58 40.39 32.50 2.50 4.00 39.00 40.00 165200.00 664888.90 24.85 4 TTP 7 1326.00 21.00 66.30 40.39 25.00 8.33 4.00 37.33 30.00 206033.30 1492306.00 13.81 3 TP 8 1066.50 21.00 53.33 40.39 40.00 8.33 5.00 53.33 30.00 281033.30 279302.80 100.62 3 TTP 9 1066.50 21.00 53.33 40.39 25.00 10.00 5.00 40.00 40.00 230500.00 182166.70 126.53 4 TTP 10 1008.60 8.40 50.43 16.15 25.00 10.00 5.00 40.00 60.00 170500.00 1142343.00 14.93 6 TTP 11 1190.10 17.85 59.51 34.33 12.50 13.50 4.00 30.00 40.00 290000.00 519083.30 55.87 4 TTP 12 1066.50 21.00 53.33 40.39 29.17 4.17 5.00 38.33 40.00 177666.70 472833.30 37.57 4 TTP 13 888.00 21.00 44.40 40.39 100.00 3.33 5.00 108.33 50.00 231833.30 929500.00 24.94 5 TTP 14 1066.50 21.00 53.33 40.39 33.33 10.00 5.00 48.33 40.00 220000.00 358833.30 61.31 4 TTP 15 1378.40 24.15 68.92 46.44 50.00 5.00 10.00 65.00 30.00 246000.00 545402.80 45.10 3 TP 16 1040.40 21.00 52.02 40.39 17.50 7.50 5.00 30.00 30.00 211000.00 551833.30 38.24 3 TTP 17 1106.00 16.71 55.30 32.14 83.33 0.00 5.00 88.33 70.00 513000.00 -151632.00 -338.32 7 TTP 18 1066.50 21.00 53.33 40.39 25.00 16.67 5.00 46.67 40.00 397166.70 1148333.00 34.59 4 TTP 19 861.90 21.00 43.10 40.39 40.00 8.33 5.00 53.33 50.00 206833.30 399965.30 51.71 5 TTP 20 1352.10 21.00 67.61 40.39 12.50 12.50 5.00 30.00 30.00 233000.00 -63013.90 -369.76 3 TTP 21 1091.50 21.00 54.58 40.39 85.00 0.00 6.00 91.00 40.00 117700.00 764527.80 15.40 4 TTP 22 1326.00 21.00 66.30 40.39 41.67 0.00 6.00 47.67 30.00 118000.00 1209472.00 9.76 3 TP


(6)

23 1326.00 24.15 66.30 46.44 54.17 0.00 4.00 58.17 30.00 278000.00 414333.30 67.10 3 TTP 24 1315.70 13.86 65.79 26.65 50.00 0.00 6.00 56.00 30.00 130000.00 369333.30 35.20 3 TP 25 985.50 17.85 49.28 34.33 40.00 3.33 4.50 47.83 30.00 146833.30 253194.40 57.99 3 TTP 26 933.60 16.73 46.68 32.17 33.33 6.67 5.00 45.00 50.00 257166.70 393979.20 65.27 5 TTP 27 1352.10 21.00 67.61 40.39 158.33 0.00 5.00 163.33 30.00 235000.00 1832500.00 12.82 3 TP 28 1112.10 18.64 55.61 35.85 25.00 0.00 5.00 30.00 40.00 254700.00 1198924.00 21.24 4 TTP 29 770.20 21.00 38.51 40.39 62.50 2.50 4.50 69.50 60.00 297200.00 386236.10 76.95 6 TTP 30 766.62 21.00 38.33 40.39 20.00 5.00 5.50 30.50 40.00 195500.00 -78180.60 -250.06 4 TTP 31 982.50 19.32 49.13 37.15 11.67 10.00 6.00 27.67 40.00 245000.00 -255708.00 -95.81 4 TTP 32 861.90 21.00 43.10 40.39 99.17 0.00 5.00 104.17 70.00 160500.00 971833.30 16.52 7 TTP 33 1326.00 21.00 66.30 40.39 50.00 3.33 4.00 57.33 50.00 257833.30 441069.40 58.46 5 TP 34 1167.00 27.30 58.35 52.50 33.33 10.00 5.00 48.33 40.00 330500.00 1349479.00 24.49 4 TTP 35 1157.80 24.60 57.89 47.31 20.00 10.00 6.00 36.00 40.00 289700.00 617486.10 46.92 4 TTP 36 1401.00 24.60 70.05 47.31 35.00 10.00 4.00 49.00 30.00 262500.00 336805.50 77.94 3 TTP 37 1405.80 12.00 70.29 23.08 35.00 0.00 4.00 39.00 40.00 219700.00 2673910.00 8.22 4 TP 38 1352.10 24.60 67.61 47.31 40.00 0.00 4.00 44.00 30.00 118500.00 337590.30 35.10 3 TP 39 973.50 27.30 48.68 52.50 40.00 0.00 5.00 45.00 60.00 110500.00 555909.80 19.88 6 TTP 40 2097.45 12.00 104.87 23.08 20.00 16.67 4.50 41.17 20.00 217166.70 1073431.00 20.23 2 TP

Keterangan:

KE : Kecukupan Energi (Kkal) AKE : Angka Kecukupan Energi (%)

KSPB : Ketersediaan Pangan Per bulan (Kg/bulan) KBRB : Kebutuhan Beras Riil Per bulan (Kg/bulan) NPPGB : Nilai Pengeluaran Pangan Per bulan (Rp/bln) PTRTB : Pendapatan Rumahtangga Per bulan (Rp/bln)

RPPB : Rasio Pengeluaran Pangan dengan Pendapatan Rumahtangga (%) TP : Tahan Pangan. TTP : Tidak Tahan Pangan