2.2. Ketahanan Pangan Rumahtangga
Untuk mewujudkan ketahanan pangan nasional dan regional, ketahanan pangan rumahtangga adalah pilar yang harus dibangun. Pangan yang tersedia
secara nasional harus mampu diakses oleh rumahtangga, termasuk rumahtangga petani yang mempunyai daya beli rendah terhadap pangan.
Ketahanan pangan adalah fenomena yang kompleks, seperti dijelaskan dalam Undang Undang No : 7 tahun 1996 tentang pangan, pengertian ketahanan
pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari ketersediaan yang cukup, baik dalam jumlah maupun mutunya, aman, merata
dan terjangkau. Dari pengertian tersebut, tersirat bahwa upaya mewujudkan ketahanan pangan nasional harus lebih dipahami sebagai pemenuhan kondisi
kondisi : 1 Terpenuhinya pangan dengan kondisi ketersediaan yang cukup, dengan pengertian ketersediaan pangan dalam arti luas, mencakup pangan yang
berasal dari tanaman, ternak dan ikan dan memenuhi kebutuhan atas karbohidrat, vitamin dan mineral serta turunan, yang bermanfaat bagi pertumbuhan dan
kesehatan manusia. 2 Terpenuhinya pangan dengan kondisi aman, diartikan bebas dari pencemaran biologis, kimia, dan benda lain yang lain dapat
mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia, serta aman untuk kaidah agama. 3 Terpenuhinya pangan dengan kondisi yang merata,
diartikan bahwa distribusi pangan harus mendukung tersedianya pangan pada setiap saat dan merata di seluruh tanah air. 4 Terpenuhinya pangan dengan
kondisi terjangkau, diartikan bahwa pangan mudah diperoleh rumah tangga dengan harga yang terjangkau.
Ketahanan pangan tidak hanya ditentukan oleh ketersediaan pangan dalam suatu wilayah atau rumahtangga. Internasional Confrence in Nutrition,
FAOWHO, 1992 mendefenisikan ketahanan pangan sebagai akses setiap rumah tangga atau individu untuk memperoleh pangan pada setiap waktu untuk
keperluan hidup sehat. Untuk mencapai ketahanan pangan diperlukan kemampuan atau akses terhadap pangan tersebut. Hasil Lokakarya Ketahanan Pangan Nasional
DEPTAN, 1996 mendefenisikan ketahanan pangan adalah kemampuan untuk memenuhi kebutuhan pangan anggota rumah tangga dalam jumlah, mutu dan
ragam sesuai dengan budaya setempat dari waktu kewaktu agar dapat hidup sehat.
Ketahanan pangan pada tataran nasional merupakan kemampuan suatu bangsa untuk menjamin seluruh penduduknya memperoleh pangan dalam jumlah
yang cukup, mutu yang layak, aman, dan juga halal, yang didasarkan pada optimalisasi pemanfaatan dan berbasis pada keragaman sumber daya domestik.
Salah satu indikator untuk mengukur ketahanan pangan adalah ketergantungan ketersediaan pangan nasional terhadap impor Litbang Deptan, 2005.
Ketahanan pangan rumahtangga ditentukan oleh empat element penting, yakni: ketersediaan pangan, aksesibilitas yang menggambarkan kemampuan untuk
menguasai pangan yang cukup, keamanan yang dapat diartikan sebagai stabilitas menunjukkan pada kerentanan internal seperti penurunan produksi dan
keandalan menunjukkan pada kerentanan eksternal seperti flukuasi perdagangan internasional, keberlanjutan merupakan kontinuitas dari akses dan ketersediaan
pangan yang ditunjukkan oleh keberlanjutan usaha tani LIPI, 2005. Ketahanan pangan mempunyai faktor determinan, yaitu ketersediaan dan daya beli
rumahtangga terhadap pangan Hardono, 2002. Menurut kajian ketahanan pangan dan kemiskinan oleh Omotesho 2007, faktor-faktor yang menentukan status
ketahanan pangan rumahtangga adalah akses pada fasilitas kesehatan, ukuran rumahtangga, ukuran usahatani dan pengeluaran pangan rumahtangga.
Pengukuran tingkat ketahanan pangan menjadi penting dilakukan dalam menentukan kebijakan ketahanan pangan. Pengukuran tingkat ketahanan pangan
rumah tangga tidak hanya melalui Angka Kecukupan Energi dan Angka Kecukupan Protein, tetapi juga harus dilihat dari porsi pengeluaran pangan yang
menunjukkan kemampuan dari rumah tangga dalam mencukupi pangan. Menurut Handewi et al., 2001, rumah tangga yang menghabiskan 70 pendapatannya
untuk konsumsi pangan menunjukkan rumah tangga yang rawan pangan. Hal ini didasarkan pada dimensi dan ukuran yang sering digunakan untuk menetapkan
batas garis kemiskinan dengan menggunakan tingkat pendapatan rumah tangga melalui porsi pengeluaran pangan. Rumah tangga miskin biasanya kehilangan
akses untuk mencukupi pangan FAO, 2005. Dengan demikian, kondisi kemiskinan dalam rumah tangga merupakan kondisi yang rawan pangan. Oleh
karena itu, tingkat pendapatan dalam rumah tangga merupakan faktor yang penting dalam upaya pemantapan ketahanan pangan. Penghitungan ketahanan
pangan rumahtangga juga dilakukan Faridi 2010 dimana ketahanan pangan rumahtangga dicerminkan oleh keseimbangan gizi dari pangan yang dikonsumsi
rumahtangga dan perbandingan pengeluaran pangan dengan pendapatan rumahtangga. Berikut ini dirangkum beberapa indikator ketahanan pangan yang
telah dirumuskan.
Tabel 1. Indikator Ketahanan Pangan
Sumber Tahun
Indikator Ketahanan Pangan
Sayogyo dalam Handono 2002
1991 Pendapatan rumah tangga, harga pangan, harga barang
konsumsi lain, sistem irigasi, status gizi, dan pelayanan kesehatan
Maxwell and Frankenberger
1992 Indikator Proses:
· Ketersediaan Pangan Berkaitan dengan Produksi Pertanian sendiri, Iklim, Akses terhadap SDA dan Pasar
· Akses Pangan : Strategi RT Memenuhi Kekurangan Pangan daya beli terhadap pangan
Indikator Dampak: · Langsung : Konsumsi dan Frekuensi Pangan
Tidak Langsung : Penyimpanan Pangan dan Status Gizi DEPTAN RI
2004 Penilaian Keanekaragaman Pangan : Pola Pangan Harapan
PPH yaitu komposisi pangan yang seimbang untuk dikonsumsi guna memenuhi kebutuhan gizi penduduk.
Widya Karya Nasional Pangan
dan Gizi dalam Muhilai et.al 1998
2004 TKE = {Jumlah Konsumsi Energi Kapita Hari
Kecukupan Energi [2000 kkal]} x 100 TKP = {Jumlah Konsumsi Protein Kapita Hari
Kecukupan Protein [52 gram]} x 100 TKE TKP 70 : RT defisit Kalori dan atau Protein
UU Pangan No 7 tahun 1996
2005 · Kecukupan Ketersedian
Pangan :≥ 240 hari : Cukup. · Stabilitas Ketersediaan Pangan : Kebiasaan makan 3 kali
sehari. · Aksesbilitas : Pemilikan Lahan Langsung Tidak;
produksi sendiri beli. · Kualitas Keamanan Pangan : Ada tidak bahan makanan
yang mengandung protein hewani nabati.
Indikator lain yang dapat digunakan untuk mengukur derajat ketahanan pangan rumahtangga adalah menggunakan gabungan dua indikator ketahanan
pangan, yakni pangsa pengeluaran pangan dan kecukupan konsumsi energi Handewi et al., 2001.
Tabel 2. Indikator Ketahanan Pangan : Kecukupan Energi dan Pangsa Pengeluaran Pangan
Konsumsi Energi Per Unit Ekuivalen Orang Dewasa
Pangsa Pengeluaran rendah jika pengeluaran pangan ≤
60 dari pengeluaran total Pangsa Pengeluaran tinggi :
jika pengeluaran pangan 60 dari pengeluaran total
Cukup : ≥ 80 dari syarat kecukupan energi
Tahan Pangan Rentan Pangan
Kurang : 80 dari syarat kecukupan gizi
Kurang Pangan Rawan Pangan
Sumber : Toole 1991 dalam Handewi et.al.2001 Ketahanan pangan rumah tangga dengan keragaman indikator yang telah
dirumuskan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa faktor ketersediaan pangan dan daya beli adalah faktor determinan faktor yang sangat menentukan. Jika
menggunakan definisi ketahanan pangan dalam UU Pangan, maka ketahanan pangan rumah tangga dapat dilihat dari ketersediaan pangan di rumah tangga baik
produksi sendiri maupun beli, keterjangkauan terhadap pangan yang ditentukan oleh pendapatan keluarga, konsumsi pangan yang ditunjukan dengan porsi
pengeluaran pangan dan kualitas gizi. Tingkat pendapatan menentukan jenis dan jumlah pangan yang akan dibeli serta seberapa besar proporsi dari pendapatan
yang akan dikeluarkan untuk membeli pangan. Daya beli atau kemampuan keluarga untuk membeli pangan dipengaruhi oleh pendapatan keluarga dan harga
pangan itu sendiri. Perubahan pendapatan secara langsung dapat mempengaruhi perubahan konsumsi pangan keluarga. Meningkatnya pendapatan berarti
memperbesar peluang untuk membeli pangan dengan kualitas dan kuantitas yang lebih baik. Sebaliknya, penurunan dalam hal kualitas dan kuantitas pangan yang
hendak dibeli. Sementara untuk pengeluaran pangan keluarga Hasil Survei Sosial
Ekonomi Nasional Susenas, 1996-1998 menunjukkan pengeluaran bagi keluarga miskin berkisar 60-80 dari pendapatan dan bagi keluarga mampu berkisar antara
20-59 . Hal ini sesuai dengan hukum Engel, pada saat terjadinya peningkatan
pendapatan, konsumen keluarga akan membelanjakan pendapatannya untuk pangan dengan proporsi yang semakin kecil. Sebaliknya bila pendapatan
menurun, porsi yang dibelanjakan untuk pangan makin meningkat Soekirman, 2000 dalam Ginting, 2012. Sedangkan menurut asumsi Berg, 1986 dalam Ginting
2012 persentasi pengeluaran pangan keluarga dikelompokkan menjadi tiga kategori yaitu : pengeluaran pangan 45 dikatergorikan sebagai keluarga kaya,
pengeluaran pangan 46-79 dikategorikan sebagai keluarga menengah, dan pengeluaran pangan 80 termasuk kategori keluarga miskin. Ketahanan pangan
ditingkat rumah tangga sangat berkaitan dengan faktor kemiskinan. Ketahanan pangan terutama ditentukan oleh nilai ekonomis beras, sebab beras merupakan
komoditas paling penting di Indonesia, terutama bagi kelompok sosial ekonomi rendah.
Menurut Faridi 2005, karakteristik anggota rumahtangga seperti jenis kelamin, usia, dan kegiatan anggota keluarga mennetukan kebutuhan kalori
anggota keluarga yang selanjutnya menentukan tingkat ketahanan pangan rumahtangga. Ketahanan pangan di tingkat rumah tangga juga dipengaruhi oleh
ketahanan pangan di tingkat nasional dan regional, namun tanpa disertai dengan distribusi dan aksesibilitas rumah tangga terhadap pangan, maka tidak akan
tercapai ketahanan pangan di tingkat rumah tangga. Oleh karena itu kompleknya permasalahan dan faktor yang mempengaruhi, maka sampai saat ini belum ada
cara yang paling sempurna untuk menilai dan menerangkan semua aspek yang berkaitan dengan ketahanan pangan. Ketahanan pangan sangat ditentukan oleh
faktor ketersediaan pangan. Ketersediaan pangan ditingkat rumah tangga merupakan faktor langsung yang mempengaruhi ketahanan pangan ditingkat
rumah tangga. Ketersediaan pangan lebih mengacu pada simpanan bahan pangan food storage dan ketersediaan pangan pokok staple food di rumah kemarin
Badan Ketahanan Pangan, 2006. Jika dikaitkan dengan keputusan-keputusan yang dihadapi oleh
rumahtangga pertanian, maka indikator ketahanan pangan rumahtangga pertanian dapat dirumuskan sebagai berikut :
a. Ketersediaan pangan yang diproksi dari jumlah produksi pangan
rumahtangga pertanian yang tidak dijual dan jumlah pangan beras yang
dibeli di pasar serta jumlah raskin yang dikonsumsi. Rumahtangga petani dinyatakan tahan pangan jika ketersediaan pangan mampu memenuhi
kebutuhan konsumsi anggota keluarga b.
Akses rumahtangga petani terhadap pangan yang diproksi dari persentase jumlah pendapatan rumahtangga yang digunakan untuk memenuhi
kebutuhan pangan anggota keluarga atau pengeluaran pangan terhadap pengeluaran total rumahtangga petani. Dalam perilaku ekonomi
rumahtangga, jumlah pendapatan yang digunakan untuk pangan ini terkait dengan kegiatan konsumsi pangan yang mencerminkan jumlah pengeluaran
pangan rumahtangga petani. Dalam struktur pengeluaran rumahtangga pertanian, jumlah pengeluaran non pangan dan tabungan rumahtangga perlu
dipertimbangkan karena hal ini akan mempengaruhi keputusan petani dalam mengalokasikan pengeluaran rumahtangga untuk pangan.
c. Utilisasi atau aspek pemanfaatan dari konsumsi pangan yang diproksi dari
angka kecukupan gizi sebagai indikator hasil ketahanan pangan rumahtangga. Kecukupan gizi merupakan perbandingan antara total
konsumsi energi rumahtangga dengan angka kecukupan energi seluruh anggota keluarga Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi, 2004.
Pemenuhan pangan dengan indikator kecukupan gizi akan berpengaruh pada kualitas sumberdaya manusia dalam rumahtangga pertanian.
2.3. Kebijakan Pemerintah dalam Ketahanan Pangan Rumahtangga Petani