Cerita Legenda Danau Teluk Gelam sebagai Sastra dan Kebudayaan

Sebuah kebudayaan antara satu daerah dengan daerah lain mungkin hampir sama, tetapi tidak akan pernah sama. Masyarakat Kabupaten Ogan Komering Ilir memiliki banyak kemiripan dalam hal kebudayaan dengan daerah lain yang juga memiliki persamaan georgrafis. Dalam hal kehidupan sungai, masyarakat Kabupaten Ogan Komering Ilir mempunyai kesamaan dengan kehidupan masyarakat Kabupaten Ogan Komering Ulu Timur, Ogan Ilir, Mesuji, dan daerah lain di sekitarnya. Fungsi utama karya sastra adalah untuk melukiskan, mencerminkan kehidupan manusia, sedangkan kehidupan manusia itu sendiri selalu mengalami perkembangan Ratna, 2011: 75. Karya sastra tidak dapat mengikuti perkembangan manusianya, karya itu tetaplah pada posisi semula sebagai gambaran. Kehidupan manusia yang tergambar dalam karya itu meskipun sudah jauh berbeda dengan penggambarannya, tapi dengan karya sastra bisa ditarik kesimpulan bagaimana awal kehidupan manusia dalam karya itu sehingga menjadi seperti yang sekarang. Penulisan legenda dalam bahasa asli masyarakat tidak selalu berjalan mulus, banyak kendala yang mungkin terjadi, salah satunya adalah bahasa nasional sebagai pengantar dalam pendidikan. Oleh karena itu, legenda ditulis dalam Bahasa Indonesia agar dapat dipakai dalam pendidikan dan diketahui oleh masyarakat luas. Meskipun bahasa adalah alat komunikasi sekaligus menjadi penentu berkembangnya cerita, namun legenda sebagai karya sastra pada gilirannya memiliki kemampuan untuk melukiskan pemakaian bahasa secara alamiah sebab dilakukan melalui interaksi tokoh-tokohnya Ratna 2010:390. Bahasa menjadi penentu sebuah karya sastra sekaligus tidak memiliki peran terhadap karya itu sendiri dalam segi isi. Sebagai bagian dari kebudayaan perkembangan karya sastra sangat berpengaruh. Terbukti dengan semakin banyaknya karya yang dihasilkan masyarakat pendukung kebudayaan, semakin banyak pula kabudayaan yang diungkap sehingga potensi yang dimiliki suatu kolektif dikenal luas. Karya yang dihasilkan tidak hanya dijadikan monumen, akan tetapi perkembangan karya sastra telah memicu kreatifitas setiap individu dalam masyarakat tersebut untuk lebih kreatif guna menunjukkan keahliannya sebagai bagian masyarakat dan kebudayaannya. Kaplan 2002: 107-108 manyatakan bahwa pengamatan mengenai cara suatu budaya mengkategorisasi dan mengonseptualisasikan lingkungannya akan membuat kita mangetahui sesuatu tentang klasifikasi taksonomi budaya tersebut mengenai alam. Bahkan dari sana dapat kita ketahui pula sesuatu mengenai tujuan yang hendak dicapai oleh warga budaya yang bersangkutan dalam kaitannya dengan lingkungan mereka. Lingkungan yang dimaksud adalah lingkungan operasional yaitu lingkungan budaya karena: pertama, lingkungan ini semakin merupakan produk campur-tangan dan pembenahan kultural; kedua, karena suatu faset penting dalam adaptasi segala masyarakat manusia ialah adaptasinya terhadap sistem-sistem budaya lain yang dengan suatu cara mempengaruhi masyarakat tersebut. Masyarakat yang terpengaruh budaya lain akan berusaha meniru atau bahkan menciptakan hal baru agar tidak dianggap ketinggalan zaman. Begitu pula dengan cerita legenda yang kemudian diperbaharui dan disesuaikan dengan keadaan saat ini. Selain bentuknya, legenda Danau Teluk Gelam seperti karya seni lainnya yang dimiliki masyarakat membutuhkan penafsiran dari pembaca khususnya masyarakat pemiliki karya itu. Ratna 2010: 545, secara mental, dengan adanya proses penafsiran sebagai mata rantai, karya seni justru mempersatukan umat manusia, dengan membentuk kolektifitas. Memelihara sastra berarti memelihara kebudayaan, sebab di satu pihak sastra merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan kebudayaan Ratna, 2010: 553. Kaplan 2002: 108 menambahkan, setiap sistem budaya memiliki hitungan keseimbangan antara adaptasi yang d ilakukan terhadap lingkungan “fisik”-nya di satu pihak dan terhadap lingkungan “sosio-kultural”-nya di pihak lain. Kunci untuk memahami kaidah keorganisasian tertentu dalam suatu budaya atau arah perubahan budaya, harus ditemukan dengan memperhatikan hubungan-hubungan eksternalnya; maksudnya; interaksi budaya itu dengan budaya-budaya lain. Legenda Teluk Gelam dalam konteks sastra memegang peranan penting terhadap kebudayaan yang ada di Kabupaten Ogan Komering Ilir. Legenda Danau Teluk Gelam menggambarkan kehidupan, cara pandangan dan sistem kebudayaan yang dianut masyarakatnya. Dalam Legenda tersebut, melalui Pangeran Tapah dan Raja Awang diungkapkan tentang kepatuhan dan tanggung jawab yang dipikul oleh anak pertama laki-laki yang kelak akan menjadi pemimpin. Pangeran Tapah menerima tanggung jawab sebagai penerus kekayaan sekaligus bertanggung jawab pada keluarganya. Dari tanggung jawab inilah diketahui bahwa anak laki-laki pertama adalah harapan dan panutan bagi keluarganya. Cara pandang inilah yang masih dipertahankan oleh masyarakat adat sebagai pernghargaan akan nilai leluhur. Sistem kebudayaan yang didasarkan pada cara pandang tersebut meningkatkan penghargaan terhadap keluarga tertua sekaligus tanggung jawab yang ditanggungnya. Legenda sebagai karya sastra yang hidup di masyarakat mengajarkan banyak pengetahuan tentang nilai dan moral kehidupan. Pencerita atau narator legenda dahulu merupakan orang yang dianggap memiliki kelebihan, sehingga legenda sebagai ajaran yang mempengaruhi perkembangan kebudayaan dianggap sebagai hal yang benar. Kebenaran dalam sastra tentunya bukanlah kebenaran secara fakta. Namun, kebenaran inilah yang mengisi kehidupan masyarakat karena pada dasarnya karya sastra akan bernilai apabila berhubungan langsung dengan manusianya. Horace berpendapat bahwa fungsi sastra adalah dulce et utile dapat diterjemahkan sebagai “hiburan” dan “ajaran”, atau “main” dan “kerja”, atau “nilai terminal” dan “nilai instrumental”, atau “seni” dan “propaganda” – atau seni untuk seni, dan seni sebagai ritual masyarakat dan penyatu budaya Wellek dan Waren 1995:316. Artinya, legenda Danau Teluk Gelam sebagai karya sastra adalah sebuah hiburan sekaligus mengandung seni atau ritual yang terjadi di masyarakat serta menyatukan kebudayaan yang ada di masyarakat Kabupaten Ogan Komering Ilir.

BAB III LEGENDA DANAU TELUK GELAM DALAM PERSPEKTIF

KAJIAN A.J. GREIMAS Legenda Danau Teluk Gelam akan dibahas dengan pendekatan struktural A.J. Greimas dalam Bab III ini. Sebagaimana telah diuraikan dalam Bab I, A.J. Greimas memfokuskan kajiannya pada unsur penceritaan, yaitu aktansial dan struktur fungsional. Unsur penceritaan ini dikaji berdasarkan aktansial yang terdiri atas enam aktan yakni: pengirim, objek, subjek, penolong, penghalang, dan penerima. Struktur fungsional juga terbagi atas; 1 situasi awal, 2 transformasi yang terdiri dari tahap kecakapan, tahap utama dan tahap kegemilangan, dan 3 situasi akhir. Berikut ini akan disajikan kajian Legenda Danau Teluk Gelam dengan kedua pendekatan tersebut dan akan diakhiri dengan rangkuman dan tinjauan kritis dari kedua perspektif itu.

A. Legenda Danau Teluk Gelam dalam Dua Varian

Sebelum masuk dalam kajian, perlu diketahui bahwa Algirdas Julius Greimas 1917-1992 adalah seorang ahli semiotik yang berasal dari Lithuania dan banyak meneliti mitologi Lithuania. A.J. Greimas dikenal sebagai pelopor ‘semiotic square’ semiotika segi empat dalam teori signifikasi dan penemu skema naratif aktansial Taum, 2011: 140. Legenda Danau Teluk Gelam yang digunakan dalam perbandingan ini terdiri atas dua varian cerita. Varian adalah cerita yang memiliki perbedaan dalam penyampaian tetapi tetap meliliki alur yang sama. Dua varian legenda Danau Teluk Gelam yang akan disajikan, paragraf dibuat dalam bentuk angka untuk mempermudah pembacaan dan penyajian. Kedua varian tersebut adalah a Varian A: Putri Gelam yang terdiri atas empat puluh satu adegan, dan b Varian B: Asal-muasal Terjadinya Danau Teluk Gelam yang terdiri atas sembilan belas adegan. Pembagian adegan ini didasarkan pada latar untuk memudahkan penulis mengamati pembagiannya.

1. Varian A: Putri Gelam

1 Hujan seakan tak pernah reda. Alam yang gersang tampak berganti segar, bagaikan orang yang baru saja makan dengan lahapnya setelah seharian manahan haus, dahaga, dan lapar. Di langit sang pelangi mulai menghiasi senja, seiring burung-burung putih beterbangan mengepakkan sayapnya yang putih kemilau. 2 Sebuah istana kerajaan kecil yang disebut oleh penduduknya sebagai kerajaan Awang-awang tampak sunyi dan lengang senja itu. Tampak di luar istana, orang-orang sibuk di ladang tempat mereka bercocok tanam sebagai pekerja rutin dalam keseharian. 3 Di beranda istana seorang laki-laki berperawakan kekar dengan kharisma nan agung penuh wibawa, tampak hilir-mudik ke sana-kemari. Dialah penguasa daerah yang subur itu, yang kini sedang di landa kegelisahan. Pikiran sang raja dihinggapi kekhawatiran akan penyakit yang menimpa permaisurinya. Orang-orang kepercayaan istana tampak keluar-masuk dengan beragam tingkahnya yang semua menampakkan kegelisahan yang tak berbeda. 4 Seorang anak lelaki berusia lebih kurang tujuh tahun tampak bermanja-manja merapatkan tubuhnya di pelukan sang raja. Dia adalah pangeran muda, putra mahkota satu-satunya. Memperhatikan tingkah lugu pengeran muda, di lubuk hati yang terdalam sang raja menyimpan kesedihan yang amat dalam terhadap putra tunggal semata wayangnya itu. Entah mengapa, di benak sang raja seakan ada malapetaka yang akan menimpa istana yaitu mangkatnya sang permaisuri ke pangkuan Yang Kuasa. 5 Sang raja dengan penuh kasih sayang berulang kali mengelus kepala pangeran muda. Saat dia berpaling dari pandangan putranya, sang raja sesekali mengusap mukanya yang lembab oleh air mata yang tak terasa mengalir membasahi pipinya. 6 Seorang wanita paruh baya datang menghampiri pengeran muda, lalu mengusungnya ke dalam. Tak lama kemudian keluar pula seorang lelaki paruh baya mendekati sang raja seraya berkata. “Paduka yang mulia... hari sudah mulai malam, sebaiknya baginda istirahat ke dalam, karena udara di luar terasa dingin di badan. Oh ya, Paduka... utusan sudah berangkat untuk menjemput tabib dari Desa Selapan. Mungkin tengah malam nanti beliau datang.” Tetapi sang raja seakan tak menghiraukannya, dia membisu seribu bahasa tak satu pun kalimat terlontar sari mulutnya. 7 Di sebuah ruang kamar, terbujur di atas pembaringan sesosok wanita muda yang didampingi beberapa perempuan paruh baya. Mereka adalah Mak Bedah, Mak Ana, dan Mak Ipah, pengasuh pangeran muda. Raut wajah mereka bagaikan bulan tanpa cahaya, tak satu pun dari mereka terlihat ceria, hari mereka gundah-gulana. 8 Sementara itu pangeran muda duduk bersimpuh di samping ibundanya yang sedang terbujur menahan rasa sakit yang dideritanya. Diusap kening bundanya yang berkeringat dan tampak semakin pucat. “Bunda... jangan tidur terus bunda. Orang-orang yang ada di ruangan itu tak satu pun yang mampu menahan haru mendengar apa yang diutarakan pangeran muda. Di wajah sang permaisuri masih terpencar kharisma anggun nan bijaksana. Dia masih tegar meskipun sekelilingnya mengkhawatirkan dirinya yang sedang jatuh sakit. 9 “Anakku Tapah Lanang... belahan jiwaku seorang... bila Bunda tidur lama nanti, kamu janganlah sedih dan menangis, kamu harus sabar menerimanya. Kelak dewasa nanti kamu akan menjadi mengganti Ayahanda untuk meneruskan tahta kerajaan ini. Tidurlah sayang...,” sang permaisuri menatap raut wajah putranya dengan senyum tegar dan penuh bangga. 10 Mak Bedah pengasuh pangeran muda tak sanggup menahan isak tangisnya. Pangeran muda direngkuh dan didekapnya erat-erat. Tak mampu dia berkata, yang ada hanya luapan tangis yang kian membuat membuat suasana di dalam kamar itu semakin mengharukan. Sementara dari balik pintu, sang raja hanya bisa menahan kepiluan karena sedih yang sangat dalam. 11 Di luar rumah sayup-sayup suara burung hantu, yang semakin membuat hati sang raja kian gelisah. Karena suara burung hantu semacam itu konon kata leluhurnya suatu pertanda adanya malapetaka yang akan mengancam bagi keluarga di istana kerajaan. 12 Belum habis berpikir dalam kegelisahannya, di luar suara terompet bergema pertanda ada tamu agung yang menghadap raja. Tabib yang dipesan dari daerah Selapan rupanya sudah datang untuk mengobati penyakit sang permaisuri. Upaya pengobatan berlangsung tidak begitu lama. Tabib Selapan tampak memberi isyarat pada penasehat kerajaan agar bisa berbicara empat mata dengan sang raja. 13 Suasana di dalam kamar itu semakin dicekam kegelisahan, para pengasuh satu-persatu memeluk pangeran muda secara bergantian. Sementara pangeran muda seakan mengerti bahwa akan terjadi sesuatu terhadap ibundanya yang sangat disayangi. 14 Dalam kemelut yang mencekam itu, permaisuri tampak perlahan membuka matanya sambil berkata lirih memanggil putranya. “Tapah... mana Tapah anakku?” 15 Gemuruh detak jantung orang di sekitar kamar itu terdengar kencang, Mak Ipah sang pengasuh pangeran sedari kecil langsung menyodorkan tangannya. Permausuri tak lagi mampu berkata apa-apa. Raja Awang pun hatinya gundah-gulana. Tiba-tiba mendadak jeritan dari mulut mungil pangeran muda memanggil bundanya. Sang permaisuri telah tiada. 16 Hari itu keluarga istana berkabung. Semua masyarakat dalam istana maupun di luar istana merasa kehilangan sosok pemimpin yang sangat mereka sayangi dan mereka kagumi. Permaisuri adalah sosok ibu pemerintah yang selalu bijaksana dan sangat dikenal pandai menghargai berbagai karya orang-orang sekitar istana. 17 Setelah satu bulan lebih permaisuri dikebumikan, sang raja mendapat undangan dari kerajaan lain untuk menghadiri suatu pertemuan raja-raja dari berbagai penjuru wilayah daratan setempat. Kehadiran sang raja memang sesuatu yang dinanti oleh beberapa rakyat lain karena mereka tahu betul kharisma Raja Awang yang terkenal ramah, arif, dan penuh kasih antarsesama. Penasehat kerajaan memberi pendapat kepada raja agar kehadirannya sudah didampingi permaisuri kedua. Mendengar itu Raja Awang sempat terperangah, dia merasa sangat terpukul dengan kepergian istrinya. Karena berbagai pertimbangan, akhirnya semua orang kerajaan memutuskan agar raja segera beristri lagi. 18 Akhirnya keputusan yang berat diambil Raja Awang untuk segera mengawini seorang perempuan yang berasal dari luar istana. Perempuan itu sudah mempunyai seorang putra yang usianya sebaya dengan Tapah Lanang. 19 Beberapa tahun keadaan di dalam istana tampak damai seperti biasa. Pangeran pun merasa seolah tidak pernah kehilangan ibu kandungnya. Hal ini dikarenakan ibu tirinya sangat menyayanginya seperti halnya dia menyayangi putra kandungnya sendiri. 20 Di usia pangeran yang kedua puluh satu, begitu juga saudara tirinya, keakraban mereka sangat membuat orang iri hati. Mereka bagaikan pinang dibelah dua. Meskipun berstatus ibu tiri, istri keduanya itu mampu berperilaku sebijak sang raja. 21 Suatu hari di dalam istana diadakan hajatan dengan mengundang tokoh-tokoh pimpinan kerajaan kecil di sekitar daratan itu. Disuguhkan tari-menari untuk menghibur para undangan. Pangeran Tapah Lanang selaku putra mahkota yang berhak mewarisi tahta kerajaan pada hari itu mengenakan pakaian kebesaran, sementara saudara tirinya hanya mengenakan pakaian sebagaimana penghuni istana lainnya. Hal ini tentu membuat hati kecilnya menaruh rasa iri menyaksikan pangeran yang begitu gagah dan diagung- agungkan. 22 Sejak peristiwa itu, saudara tiri pangeran selalu keluar istana dengan sembunyi-sembunyi. Dia menghabiskan waktunya untuk berfoya-foya dengan orang-orang di luar istana. Pikirannya mulai dirasuki niat jahat untuk menyingkirkan sang pangeran dari istana. 23 Dia berkenalan dengan seorang laki-laki penghasut yang pandai membuat fitnah. Suatu hari, sang pengeran difitnah oleh saudara tirinya. Sekali dua kali Raja Awang tidak mempedulikan fitnah tersebut, karena dia sangat bijaksana untuk menentukan keputusan. 24 Matahari sangatlah terik memancarkan sinarnya ke bumi. Raja Awang dengan didampingi beberapa pensehat beserta hulubalang baru saja menapakkan kakinya di depan istana, karena seharian bertatap muka dengan penduduk di luar istana. Tiba-tiba anak tirinya dengan berani menerobos begitu saja membisikkan sesuatu di telinga Raja Awang. Sekilas terlihat raut wajah sang raja berubah merah merona. 25 Setibanya raja dan rombongan di dalam istana, ia langsung memanggil putranya. Entah setan apa yang telah merasuki alam pikiran sang raja, ia terlihat begitu sangat murka. Pangeran dituduh telah menghamili perempuan di luar istana. Hal ini sangat tabu bagi kerajaan, sama dengan mencoreng muka sendiri, aib pada segenap penghuni istana. Rupanya Raja Awang telah termakan oleh fitnah putra tirinya. Pangeran Tapah Lanang diperlakukan seperti hewan dan diusir dari istana. Melihat kejadian itu seluruh orang di sekitar istana merasa terpukul dan sangat tidak percaya kalau pangeran telah bertindak sehina itu. Mereka meyakini semua itu fitnah belaka. 26 Pangeran tidak pernah membangkang akan nasehat penasehat kerajaan. Dengan membawa beribu kedukaan dan kehancuran, Pangeran Tapah Lanang berkelana meninggalkan istana. Sebelum itu dia sempat ziarah ke makam ibundanya seraya berpamitan untuk pergi selama-lamanya dari istana. Isak tangis dan jeritan suara hatinya sangat memilukan. 27 Hari demi hari pangeran pergi mengembara dari satu daerah ke daerah lain. Akhirnya pangeran terdampar pada sebuah talang, dan menetap sambil bercocok tanam. Panghuni daerah talang itu hanya dia sendiri. Andai pun ada hanya orang-orang yang keluar-masuk hutan untuk berburu dan mengambil kayu bakar. Berbulan bahkan hampir dua purnama tak pernah ada kabar berita tentang pangeran bagi orang istana. Untuk sekian lama ia hidup mengembara seorang diri, hanya bayangan dirinya sendiri yang setia menemaninya ke sana ke mari. Pangeran akhirnya meninggalkan talang itu