budidaya sesuai dengan daya dukung dan daya tampung mengendalikan pengembangan kawasan pusat kota.
3. Kebijakan dan Strategi pengembangan Kawasan Heritage sebagai bagian
dari Kawasan Strategis Sosial Budaya dimana strategi pengembangannya dapat berupa menata kawasan dalam rangka perlindungan terhadap
kelestarian lingkungan dan menata kawasan dalam rangka perlindungan peninggalan budaya.
Kota Bogor seperti kotakabupaten lainnya di luar hasil realisasinya di lapangan, telah mengakomodir kebutuhan ruang dalam RTRW yang telah ditetapkan
menjadi Peraturan Daerah. Dalam Rencana Kawasan Lindung RTRW Kota Bogor 2011-2031, dinyatakan bahwa yang masuk ke dalam Kawasan Cagar Budaya
meliputi:
1. Istana Bogor di Jl.Ir.H.Juanda;
2. Istana Batu Tulis di Jl.BatuTulis;
3. Gedung Karasidenan Bogor Bakorwil di Jl. Ir. H. Juanda Nomor 4;
4. Balai Kota Bogor di Jl. Ir. H. Juanda Nomor 10;
5. Markas KODIM 0606 Bogor di Jl. Jenderal Sudirman Nomor 33;
6. Markas KOREM 061Surya Kencana di Jl. Merdeka Nomor 6;
7. Gedung BlenongBadan PertanahanNasionalBogordiJl.JalakHarupat;
8. Gedung RRIRegional II Bogor di Jl. Pangrango Nomor 34;
9. Balai Penelitian Bio Teknologi Perkebunan Republik Indonesia di Jl.
Taman Kencana; 10.
Kantor Pos Bogor di Jl. Ir. H. Juanda Nomor 5; 11.
Museum Zoologi Bogor di Jl. Ir. H. Juanda Nomor 9; 12.
Monumen dan Museum Peta di Jl. Jenderal Sudirman Nomor 35; 13.
Makam Raden Saleh di Jl. Pahlawan gg. Raden Saleh; 14.
Gereja Kathedral di Jl. KaptenMuslihat Nomor 22; 15.
Gereja Zebaothdi Jl. Ir. H. Juanda Nomor 3; 16.
Kapel Regina Pacis, Kompleks diJl. Ir. H. Juanda; 17.
Gedung SMA YZA 2 Bogor di Jl. Semeru Nomor 41; 18.
Gedung SMP Negeri 2 Bogor di Jl. Gedong Sawah IV Nomor 9; 19.
Gedung SMA-SMP Negeri 1 Bogor di Jl. Ir. H. Juanda Nomor 16; 20.
Stasiun Kereta Api Bogor di Jl. Nyi Raja Permas Nomor 1; 21.
Rumah Sakit Salak di Jl. Jenderal Sudirman Nomor8; 22.
Rumah Panti Asuhan “Bina Harapan” di Jl, Jenderal Sudirman No 7; 23.
Hotel Salak di Jl. Ir. H. Juanda; 24.
Mesjid Empang di Jl. Empang; 25.
Klenteng Dhanagun Hok Tek Bio di Jl. Suryakencana Nomor 1;dan 26.
Prasasti Batu Tulis di Jl. Batu Tulis. Kawasan Cagar Budaya tersebut direncanakan untuk mempertahankan
karakteristik bangunan dan lingkungan sekitarnya serta merevitalisasi kawasan cagar budaya. Selain itu terdapat juga Kawasan Strategis Kota dimana salah satu nya
terdapat Kawasan Strategis Sosial Budaya yang meliputi:
1. Kawasan perdagangan lama di Pasar Bogor, Pecinan di Jalan
Suryakencana dan Kampung Arab di Empang; 2.
Kawasan Istana Batutulis dan sekitarnya;dan 3.
Kawasan perumahan berarsitektur khas di Taman Kencana. Upaya penataan yang dilakukan terhadap kawasan perdagangan lama yaitu:
1. Menata bangunan dan lingkungan;
2. Meningkatkan kualitas lingkungan;
3. Mempertahankan nilai sejarah kawasan; dan
4. Mempertahankan fungsi kawasan sebagai pusat perekonomian dan
kawasan wisata. Untuk penataan Kawasan Istana Batutulis upaya yang dilakukan adalah
perlindungan terhadap kawasan bersejarah dan pengendalian lingkungan sekitar kawasan. Sedangkan untuk penataan kawasan perumahan berarsitektur khas, upaya
yang dilakukan berupa pelestarian bangunan bersejarah dan pengendalian terhadap perubahan arsitektur bangunan.
2.3. Kawasan Cagar Budaya dan Pembangunan Berkelanjutan
Kurangnya pemahaman yang mendetail terkait dengan definisi pembangunan berkelanjutan, memungkinkan terbukanya beragam interpretasi para stakeholder
dalam merasakan kenyamanan sehingga tidak jarang memunculkan perdebatan. Kesulitan dalam menyikapi hal tersebut adalah dalam menentukan aktifitas-aktifitas
yang dibutuhkan untuk menjamin sebuah pembangunan keberlanjutan. Model tiga pilar Keiner, 2005; UNIDO, 2005 bagaimanapun berjalan untuk menjelaskan
masalah dengan mengidentifikasi tiga dimensi yang meliputi lingkungan hidup, ekonomi dan sosial.
Dimensi lingkungan menjadi perhatian yang dominan dalam pembangunan berkelanjutan terutama diarahkan pada penggunaan sumber daya alam dan
lingkungan, dan karena hal tersebut merupakan topik penelitian yang mudah diukur, aspek pengembangannya dilihat sebagai yang paling mudah dikerjakan. Keunggulan
yang senantiasa terjadi pada dimensi ini terjamin karena memenuhi kebutuhan yang mendasar bagi kelangsungan hidup manusia. Sampai saat ini fokus lingkungan pada
kawasan cagar budaya diutamakan dalam membahas masalah-masalah teknis mempertahankan struktur bangunan yang ada, misalnya dalam menangani serangan
dari polutan kimia di lingkungan perkotaan. Walaupun pada umumnya terletak pada satu lokasi yang sama, aktivitas pada kawasan cagar budaya akan berbeda dengan
sebuah kawasan pusat perkotaan. Aktifitas pusat kota yang seringkali menyebabkan menurunnya kualitas lingkungan, daya dukung dan tampung lingkungan tentu akan
berubah ketika upaya pelestarian kawasan budaya dilakukan. Hal ini ditegaskan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2008 tentang Pedoman
Perencanaan Kawasan Perkotaan, yang pada dasarnya tidak memperkenankan hilangnya nilai-nilai sejarah bangunan, arsitektur dan budaya.
Dimensi ekonomi dipandang sebagai syarat paling penting untuk pemenuhan kebutuhan manusia dan perbaikan taraf hidup warga negara. Saat ini diakui juga
bahwa baik pertumbuhan ekonomi secara umum, maupun pertumbuhan pendapatan pada tingkat pribadi telah cukup menjamin kemajuan dari seluruh masyarakat.
Peningkatan pada aspek-aspek kualitatif dilihat sebagai bagian penting adanya perbaikan. Dengan kata lain, hal ini tidak lagi memuaskan jika menghadirkan
pertumbuhan ekonomi yang diisolasi dari semua aspek lain dari pengembangan. Namun pada perkembangannya peran bangunan-bangunan bersejarah dalam
mempromosikan pertumbuhan ekonomi melalui regenerasi perkotaan sekarang diakui, setidaknya di Inggris ODPM, 2004. Kawasan cagar budaya menarik
wisatawan, khususnya untuk kota cagar budaya yang telah mapan, yang mampu meningkatkan ekonomi baik skala nasional maupun lokal. Wisata budaya
berkelanjutan merupakan topik penelitian utama dari proyek PICTURE Pro-active management of the Impact of Cultural Tourism upon Urban Resources and
Economies SSPA-CT-2003-502491 PICTURE, 2005.
Dimensi sosial dari pembangunan berkelanjutan menekankan terpenuhinya kebutuhan untuk meningkatkan kualitas hidup untuk semua warga negara dengan
meningkatkan pendapatan dasar dan meningkatkan keadilan sosial, sehingga semua kelompok memiliki akses yang adil terhadap pendidikan, mata pencaharian dan
sumber daya Tweed dan Sutherland, 2007. Dimensi ini merupakan hal yang paling relevan dengan kebutuhan untuk mempertimbangkan kawasan cagar budaya sebagai
bagian dari pembangunan berkelanjutan. Relevansi khusus untuk diskusi ini adalah gagasan kesetaraan antar generasi, dimana pelestarian cagar budaya kota yang
dilakukan generasi saat ini Bourdieu, 1984 untuk kepentingan generasi yang akan datang UNIDO, 2005.
2.4. Kota dan Perkembangan Pelestarian Kawasan Cagar Budaya
Pusaka menurut Piagam Pelestarian dan Pengelolaan Pusaka Indonesia Tahun 2003 meliputi pusaka alam, pusaka budaya dan pusaka saujana. Pusaka alam adalah
bentukan alam yang istimewa. Pusaka budaya adalah hasil cipta, rasa, karsa, dan karya yang istimewa dari lebih 500 lima ratus suku bangsa di tanah air Indonesia,
secara sendiri-sendiri, sebagai kesatuan bangsa Indonesia dan dalam interaksinya dengan budaya lain sepanjang sejarah keberadaannya. Pusaka budaya mencakup
pusaka berwujud tangible dan pusaka tidak berwujud intangible. Pusaka saujana adalah gabungan pusaka alam dan pusaka budaya dalam kesatuan ruang dan waktu.
Kota Pusaka adalah kota yang memiliki kekentalan sejarah yang bernilai dan memiliki pusaka alam, pusaka budaya berwujud dan pusaka budaya tidak berwujud,
serta rajutan berbagai pusaka tersebut secara utuh sebagai aset pusaka dalam wilayahkota atau bagian dari wilayahkota yang hidup, berkembang, dan dikelola
secara efektif.
Selanjutnya Kota pusaka di Indonesia adalah kotakabupaten yang dinilai memiliki beragam situs maupun peninggalan yang penting bagi kehidupan komunitas
dan masyarakat luas pada umumnya. Terdapat peninggalan yang diklasifikasikan sebagai pusaka yang formal, namun terdapat pula pusaka yang belum terklasifikasi
secara formal karena belum adanya penetapan dari pemerintah.
Beberapa upaya yang telah dilakukan dalam rangka perwujudan kota pusaka ini adalah inisiasi kerjasama dengan Jaringan Kota Pusaka Indonesia JKPI. Berbagai
kegiatan yang dilakukan dalam kerjasama tersebut antara lain adalah mendorong semangat pelestarian dan percaya diri, membantu capacity building dan penataan
ruang, serta membantu komunikasi dengan berbagai lembaga. Hal ini diharapkan dapat menunjang realisasi kota pusaka mengingat JKPI memiliki keanggotaan hingga
47 pemerintah kabupatenkota anggota di seluruh Indonesia.
Gambar 2. Pelestarian Pusaka Urban. Kota Pusaka diharapkan dapat diakui UNESCO menjadi World Heritage City.
Dari 962 World Heritage Sites yang diakui oleh UNESCO, delapan di antaranya berasal dari Indonesia. Namun, di antara delapan situs tersebut, tidak ada yang
termasuk dalam kategori World Heritage City. Untuk itu, sebagai upaya untuk mendorong diakuinya Kota Pusaka Indonesia sebagai Kota Pusaka Dunia oleh
UNESCO, Kementerian PU menginisiasi pelaksanaan Program Penataan dan Pelestarian Kota Pusaka P3KP, sekaligus sebagai bentuk implementasi RTRW
konsisten pada tema-tema budayapusaka berbasis penataan ruang.
Dari 26 kotakabupaten yang telah menunjukkan keseriusan dan menyatakan komitmennya untuk berpartisipasi di dalam P3KP, tim evaluator proposal
mengelompokkan hasil ke dalam 3 tiga kelompok besar yang pada intinya disesuaikan dengan tingkat pemahaman pusaka, kelengkapan dan kedalaman
substansi proposal, kesiapan dan keseriusan daerah di dalam melaksanakan program P3KP yang telah dan akan dilaksanakan, dan kompetensi SDM daerah terkait.
Setiap kelompok akan mendapatkan treatment atau tindak lanjut yang berbeda-beda sesuai pengkategoriannya. Kelompok tersebut yaitu: 1 kota dan
kabupaten kelompok A yang telah memiliki kesiapan dan pengalaman dalam pengelolaan kawasan pusaka dan kepadanya akan diberikan fasilitasi penyusunan
Rencana Manajemen Kota Pusaka Heritage City Management Plan, fasilitasi awal dukungan pemangku kepentingan, dan fasilitasi kampanye publik; 2 kota dan
kabupaten kelompok B yang sudah memiliki identifikasi kawasan pusaka namun pengelolaannya masih terbatas dan kepadanya akan diberikan pendampingan
capacity building tingkat lanjut agar pada tahun berikutnya siap menerima fasilitasi penyusunan Rencana Manajemen Kota Pusaka Heritage City Management Plan;
serta 3 kota dan kabupaten kelompok C yang masih pada tahap persiapan dan kepadanya akan diberikan pendampingan capacity building tingkat dasar dan
kemudian dipersiapkan untuk memperoleh fasilitasi capacity building tingkat lanjutan.