4.1.3. Penutupan Lahan
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Utami 2011, tutupan lahan di hulu DAS Kalibekasi didominasi oleh semak 26,38 diikuti oleh area
terbangun 21,22, kebun campuran 13, 76, bambu 11,39, tanah terbuka 7,70, sawah 6,04, hutan 5,57, badan air 3,87 dan ladang 3,37.
Hasil ini merupakan pengolahan interpretasi citra ALOS AVNIR-2 sehingga 0,70 dari wilayah ini dibaca sebagai tutupan awan.
Titik lokasi penelitian yang berada di hulu DAS Kalibekasi ini tidak didominasi oleh area terbangun yang diwakili oleh warna jingga Gambar 12.
Daerah atas lebih ditutupi oleh hutan dan kebun sedangkan daerah tengah, bawah dan daerah pembanding kota lebih didominasi oleh warna kuning semak. Hal itu
dikarenakan di daerah atas terdapat hutan pinus Taman Wisata Alam Gunung Pancar sedangkan daerah tengah dan bawah merupakan perkampungan yang
banyak memiliki wilayah yang ditutupi semak, seperti di kebun yang tak terurus di pinggiran sungai, sedangkan daerah pembanding kota memiliki wilayah
terbangun 30 Sentul City, 2009.
Gambar 12. Peta sebaran tutupan lahan hulu DAS Kalibekasi
4.1.4. Hidrologi dan Sumber Air Pekarangan
DAS Kalibekasi pada dasarnya merupakan daerah ekologis yang menunjukkan daerah tangkapan air dari beberapa anak sungai yang bersatu pada
sungai utama, yaitu Kalibekasi. Data BPDAS menunjukkan bahwa di hulu DAS Kalibekasi terdapat 41 sungai besar dan kecil yang bermuara di Kalibekasi. Dari
semua sungai di hulu DAS ini, Sungai Cimandala berada di bagian atas, Sungai Cipancar di daerah tengah dan Sungai Citaringgul di daerah bawah. Ketiganya
mengalir menuju sungai Citeureup yang bermuara di sungai Kalibekasi. Selain anak-anak sungai, terdapat juga situ atau danau-danau kecil, embung-embung
serta cadangan air tanah yang berpotensi menjadi sumber air bagi kehidupan manusia di hulu DAS Kalibekasi ini.
Keberadaan sumber air sangat mempengaruhi keberlanjutan pekarangan karena makhluk hidup yang berada di pekarangan membutuhkan air. Dari
observasi yang telah dilakukan, sumber air yang umumnya digunakan oleh rumah tangga dan pekarangan di keempat lokasi pengamatan berbeda-beda. Sumber air
di Cimandala pada umumnya adalah mata air. Selain dari mata air yang tersebar di dekat pemukiman, beberapa rumah menyalurkan air dari mata air di gunung-
gunung sekitar yang mengelilingi kampung ini, antara lain Gunung Pancar, Gunung Paniisan, Gunung Cigangsa, Gunung Cimadari, dan Gunung Astana.
Pengamatan di daerah atas menunjukkan bahwa 100 memanfaatkan mata air dari mata air untuk pekarangannya. Jarak antara pekarangan dengan
sumber air beragam, antara 15 m sampai 500 m. Pengaliran pada umumnya menggunakan selang plastik 83, namun ada juga yang menggunakan pipa
paralon 17. Tabel 7. Sumber air pekarangan di hulu DAS Kalibekasi
Sumber air Mata air
dengan selang Mata air
dengan pipa Sumur
timba Sumur
pompa listrik
PDAM Total Atas
83 17
100 Tengah
50 50
100 Bawah
58 42
100 Pembanding kota
100 100 Berbeda dengan daerah atas, rumah tangga di daerah tengah dan bawah
sebagian besar membuat sumur untuk mendapatkan air. Pada umumnya, sumur
tersebut mereka buat di dalam rumah atau pekarangan. Awalnya, mereka mengambil air dari anak sungai dan situ yang berada di wilayah tersebut. Karena
kualitas air yang semakin lama semakin menurun, mereka lebih memilih untuk menggali sumur. Bentuk sumur yang digunakan adalah sumur pompa dengan
tenaga listrik 50 di daerah tengah dan 58 di daerah bawah dan sumur timba 50 di daerah atas dan 42 di daerah bawah.
Sumber air di daerah perkotaan berbeda dengan ketiga lokasi lainnya di daerah perdesaan. Keseluruahan rumah di daerah ini menggunakan jasa PDAM
Perusahaan Daerah Air Minum. Beberapa keluarga menggunakan air dari tampungan air hujan untuk menyirami pekarangan. Tampungan air hujan tersebut
berupa tong atau ember yang terbuat dari plastik.
4.1.5. Sejarah dan Latar Belakang Budaya
Cimandala, Landeuh dan Leuwijambe sebagai represanti daerah atas, tengah dan bawah memiliki sejarah yang berkaitan satu sama lain. Sejarah ini
dimulai sekitar abad 18 di masa penyebaran agama Islam di Pulau Jawa. Penduduk Babakan Madang pada mulanya berasal dari Banten yang merupakan
keturunan dari anak cucu dan pengikut Maulana Hasanuddin, termasuk Kampung Landeuh dan Leuwijambe. Namun, penduduk Cimandala berbeda, mereka pada
mulanya berasal Cirebon yang merupakan keturunan dari anak cucu dan pengikut Syarif Hidayatullah, yang lebih dikenal sebagai Sunan Gunung Jati. Sebagai
catatan, Maulana Hasanuddin sejatinya merupakan anak dari Syarif Hidayatullah yang menyebarkan Islam di Banten.
Daerah penelitian ini juga diklaim masyarakat berkaitan erat dengan sejarah Prabu Siliwangi dan Kerajaan Pakuan Hindu. Hal ini dibuktikan oleh
adanya makam yang dikeramatkan oleh penduduk sekitar. Di desa Karang Tengah yang merupakan desa administrasi kampung Cimandala dan Landeuh, terdapat 17
makam. Beberapa orang, baik dari dalam atau luar desa sering datang untuk berziarah ke makam-makam tersebut. Info dari penduduk menyebutkan bahwa
mereka percaya bahwa jika mereka berziarah dan berdoa di makam-makam tersebut maka doa mereka akan terkabul.
Beberapa makam letaknya di atas gunung atau lokasi tertentu sehingga lokasi tersebut memiliki juru kunci atau kuncen yang bertugas menjaga dan
mengawasi tempat-tempat tersebut. Aksi komunitas mengeramatkan makam terebut telah membawa dampak cukup baik untuk kelestarian lingkungan karena
di lokasi-lokasi tersebut, pengunjung harus berlaku sopan termasuk kepada lingkungannya. Dari pengamatan kami ke salah satu kelompok makam keramat di
Gunung Pancar, lingkungan di sekitarnya bersih dan biodiversitas terjaga cukup terjaga. Lokasi ini juga memiliki jarak dengan daerah budidaya tanaman kebun-
talun dan wilayah pemukiman. Kampung Cimandala di daerah atas memiliki nilai sejarah lebih sebagai
tempat persembunyian tentara pemberontak Hizbullah Darul Islam sekitar satu dekade pasca kemerdekaan Republik Indonesia. Penduduk menyebut mereka
sebagai “gerombolan”. Berdasarkan keterangan pemuka desa, Karakter
Cimandala yang berada di balik Gunung Pancar cocok dijadikan tempat persembunyian. Selain itu, gerombolan yang berasal dari Garut ini membaur di
masyarakat Cimandala agar tidak ditangkap oleh pemeritah NKRI. Mayoritas penduduk Cimandala, Landeuh dan Leuwijambe merupakan
suku sunda dan beragama Islam. Ritual komunitas dan acara tradisional yang sering ditemukan di daerah sunda lainnya, seperti membakar kemenyan sebelum
panen dan membawa dondang seserahan yang dipikul ketika pihak calon mempelai pria melamar calon mempelai wanita sudah luntur dan hilang. Ritual
komunitas yang tertinggal adalah yang masih berhubungan dengan momen- momen keagamaan, seperti acara memperingati maulid Nabi Muhammad SAW
dan tahun baru Islam masih ada. Acara sukuran untuk makan bersama seperti bancakan secara esensi masih ada namun dengan bentuk yang telah cukup
berubah. Walaupun lauk pauk yang disajikan kurang lebih masih sama namun bukan makan bersama dengan alas makan daun pisang seperti dulu. Penganan
tersebut disajikan dengan piring dan air dalam kemasan gelas plastik.
4.1.6. Sosial dan Kependudukan
Populasi penduduk di Desa Karang Tengah, desa administrasi dari daerah tengah dan bawah, adalah 14.466 jiwa dengan kepadatan 500 jiwakm
2
.