Periode sebelum tahun 1970 Aturan yang digunakan dalam Pemanfaatan Sumber Daya Hutan

dengan aturan adat. Mereka tidak boleh menebang di sembarang tempat, khususnya pada “Guguk Larangan” yang dalam bahasa Indonesia dapat diartikan sebagai kelompok kawasan larangan. Kawasan larangan yang dimaksud adalah suatu wilayah yang dipertahankan keberadaannya karena alasan-alasan tertentu, seperti 1 Tambak Merbau karena pada wilayah ini terdapat kuburan nenek moyang yaitu Keramat Muning Janggut 2 Dusun rajo, dimana merupakan wilayah tempat keramat, 3 Rimbo bulian yang merupakan daerah penghasil kayu bulian sebagai bahan untuk membangun rumah. Pengendalian terhadap pentaatan aturan main, misalnya melarang pengambilan kayu di wilayah-wilayah tersebut, dilakukan melalui aturan yang dikenal dengan istilah “Sekiding padi”. Aturan lokal ini mewajibkan para pelanggar untuk membayar denda berupa padi sebanyak ± 100 kg ke desa untuk digunakan pada saat acara adat masyarakat desa. Pengetahuan tentang jernang oleh masyarakat desa tidak diketahui secara pasti kapan dimulainya. Namun, informasi yang diperoleh menyatakan bahwa manfaat jernang diperoleh pertama kali dari masyarakat suku anak dalam. Kelompok masyarakat ini menggunakannya sebagai bahan obat. Adapun keterlibatan masyarakat diluar suku asli tersebut dimulai sejak masa penjajahan Belanda, yaitu oleh anggota masyarakat yang pernah berniaga di Singapura. Individu-individu tersebut sekembalinya dari Singapura mulai mencari getah jernang untuk dijual ke Singapura. Pada saat itu, tauke dari luar seperti Cina, India dan bahkan Belanda turut juga mencari resin jernang. Berdasarkan kepemilikannya, secara de-jure sumber daya hutan di sekitar Desa Lamban Sigatal adalah milik negara state property tetapi secara de-facto pengelolaannya dilakukan oleh masyarakat setempat. Masyarakat mengelola kepemilikan atas sumber daya hutan tersebut melalui sebuah institusi adat. Institusi adat yang dipimpin oleh depati kepala marga dalam kesehariannya memberlakukan aturan yang ditujukan mengatur hak dan kewajiban bagi setiap pihak yang berkepentingan stakeholders. Aturan tersebut yaitu : 1 “pek pek wan, siapo yang mendapek dio menjadi tuan”. Artinya siapapun orang yang menemukan lebih dahulu terhadap sumber daya maka dialah yang menjadi pemiliknya. Tetapi apabila terjadi kecurangan terhadap penemu pertama yang sudah memberi tanda milik tanda khusus yang dibuat dari kayu terhadap tanaman jernang yang ditemukan tetapi belum dimanfaatkan maka ada “ico pakai” kebiasaan yang berlaku dimasyarakat terhadap pemberian sangsi terhadap pihak yang mengambil jernang yang sudah mempunyai tanda milik tersebut. Sangsi yang dimaksud berupa kewajiban untuk menyerahkan ¾ bagian kepada pemiliknya. Dalam hal ini, secara bijak adat masih menghargai upaya “pencuri” untuk membawa jernang keluar hutan. 2 “kapak timpang cincang ragas” yaitu pemberian sangsi kepada setiap pihak yang dalam pengambilan buah jernang mengakibatkan jernang atau inang jernang rusak atau mati. Denda berupa 2 ambung buah jernang 1 ambung = ± 10 liter setiap musim jernang selama 2 musim diberlakukan pada setiap pihak yang merusak jernang. Denda 4 ambung setiap musim jernang selama 2 musim diberlakukan pada setiap pihak yang menebang atau sampai mematikan pohon rambatan jernang. Aturan adat ini menunjukan betapa pentingnya keberadaan pohon rambatan dibandingkan jernang itu sendiri. Munculnya aturan ini merupakan bentuk hukuman yang diberikan kepada pelanggar yang dahulu pernah dilakukan oleh masyarakat. Penerapan sangsi terhadap pelanggaran aturan dilakukan dengan rapat adat yang dipimpin oleh ketua lembaga adat bersama aparatur pemerintahan desa. Pengaturan operasional dalam pecarian jernang dilakukan dalam kelompok pencarai jernang. Pembagian kerja dalam kelompok diatur dengan kesepakatan kelompok. Setelah kelompok sampai di daerah pencarian Jernang, hal pertama yang dilakukan adalah membuat camp untuk tempat berkumpul. Kemudian menetapkan petugas masak dan pencari kayu bakar, ini dilakukan bergilir. Pembagian daerah pencarian Jernang dilakukan dengan menetapkan arah pencarian dimulai misalnya dari wilayah timur, kemudian dihari berikutnya di wilayah barat seterusnya sampai semua wilayah sudah di kelilingi. Kemudian akan berpindah ke lokasi lain dan membangun camp yang baru. Daerah jelajah untuk mencari jernang biasanya ditentukan antara 3-4 jam perjalanan pergi, sepanjang jalur yang ditempuh anggota kelompok memencarkan diri mencari rimbunan jernang. Bagi anggota yang belum menguasai wilayah biasanya akan “magang” kepada pejernang yang sudah berpengalaman.

5.3.2 Periode tahun 1970 – 2007

Berdasarkan hasil wawancara dengan informan yang sama lampiran 3 dan salah seorang staf Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Sarolangun serta penelusuran dokumen dapat diketahui bahwa pemanfaatan sumber daya hutan Lamban Sigatal melalui pola HPH dimulai pada tahun 1970, sedangkan kebijakan pembangunan pola HTR dimulai akhir tahun 2007, oleh karenanya analisis pengelolaan sumber daya hutan Lamban Sigatal dilihat berdasarkan periode tersebut tahun 1970 – 2007. Hasil analisis periode tahun 1970 - 2007 secara umum adalah sebagaimana disajikan pada Tabel 15. Pola pengelolaan sumber daya hutan Desa Lamban Sigatal berubah pada dekade 1970an. Pada awal tahun 1970an, dimulainya sistem konsesi Hak Pengusahaan Hutan HPH untuk pengelolaan sumber daya hutan telah berimplikasi pada diberikannya izin pemanfaatan hutan kepada perusahaan. Perusahaan HPH pertama di kawasan Desa Lamban Sigatal yaitu PT. Pitco yang dalam operasinya membangun jalan yang mengelilingi Desa Sepintun, Desa Lamban Sigatal dan Desa Lubuk Napal melalui Desa Semaran. Hal ini berlangsung pada tahun 1976. Perusahaan ini diberi hak kelola hutan seluas lebih kurang 76 000 hektar dengan masa konsesi tahun 1970-1990. Tabel 15 Pengelolaan sumber daya hutan desa Lamban Sigatal tahun 1970 - 2007. Periode Institusi Pengelolaan Lembaga Pengatur Pola dan tujuan pemanfaatan Bentuk Aturan Tipe Hak Pemilikan Kinerja 1970 sampai 2007 Pengelolaan sumber daya hutan diatur oleh Negara Departemen yang membidangi Kehutanan 1. Pemanfaatan hasil hutan kayu oleh perusahaan pemegang konsesi HPH oleh PT. Pitco,dan PT. Inhutani V, untuk tujuan produksi kayu hutan alam 2. Pemanfaatan kawasan hutan dengan pola HTI dan perkebunan sawit untuk tujuan produksi kayu dan produksi minyak sawit Pemberian konsesi HPH, HTI dan Perkebunan serta pemberlakuan pemerintah desa 1Perusahaan:Hak akses, pemanfaatan dan pengelolaan hasil hutan kayu 2 Masyarakat: hak akses dan pemanfaatan hasil hutan non kayu jernang, madu Menurunnya hasil hutan kayu sebagai indikasi hutan terdegradasi, semakin berkurangnya kawasan hutan larangan, menurunnya hasil hutan non kayu dan wilayah Pencarian jernang jauh dari desa Setelah itu izin konsesi pemanfaatan hutan diberikan pada PT. Inhutani V pada tahun 1992 seluas 29 300 hektar dengan masa hak konsesi tahun 1992 hingga tahun 2012. Dalam pelaksanaannya, PT. Inhutani V selanjutnya bekerja sama dengan PT. Tunas Guna Lestari tahun 1992, PT. Alam Karya Lestari tahun 2000 dan yang terakhir adalah dengan PT. Wira Karya Abadi tahun 2001 sebagai perusahaan yang mengoperasionalkan hak konsesi PT. Inhutani tersebut. Setelah era HPH, pemerintah memberikan hak pengusahaan Hutan Tanaman Industri HTI kepada pihak-pihak tertentu. Pemberian hak tersebut berupa izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu pada lahan HTI diberikan pada PT. Sam Hutani seluas 26 500 hektar yang dimulai pada tahun 2002. Pada tahun 2004, pemerintah juga memberikan hak pengelolaan dalam bentuk perkebunan pada PT. Agrindo Panca Tunggal Perkasa seluas 1 900 hektar. Pada tahun 2008 diberikan pula izin perkebunan sawit kepada PT. Agro Lestari Nusantara seluas 10 785 hektar. Seluruh izin perkebunan sawit tersebut diberikan pada kawasan eks. konsesi HPH PT. Pitco lampiran 3. Dinamika pengelolaan sumber daya hutan pada periode ini dapat ditabulasikan dan disajikan pada Tabel 16. Tabel 16 Daftar perusahaan HPH dan HTI di wilayah sekitar Lamban Sigatal No Nama Perusahaan SK nomor Luas ha Berakhir Izin Keterangan 1 PT. Pitco Indonesia 301kptsUm51970 22-05-1970 76 000 22-05-1990 HPH Dicabut dengan SK. Menhut No. 587Kpts- II91 27-08-1992 2 PT. Inhutani V eks PT. Pitco Indonesia 1079Kpts-II92 21-11-1992 29 300 21-11-2012 HPH 3 PT. Wanakasita Nusantara 672Kpts-II1995 18-12-1995 9 030 43 tahun mulai 21-02-1992 berakhir 21-02-2035 HTI-Trans 4 PT. Samhutani 300Kpts-II96 16-06-1996 625Menhut-IV97 04-06-1997 86Kpts-II1999 25-02-1999 13 125 26 500 35 955 43 tahun Mulai 18-06-1996 berakhir 18-06-2039 HTI-Pertukangan Sumber : Statistik Kehutanan Provinsi Jambi 2002, Dinas Kehutanan Provinsi Jambi 2002 Data Pokok Kehutanan Sampai Dengan Juni 2010, Dinas Kehutanan Prov. Jambi 2010 Pengaturan pemanfaatan sumber daya dikuasai oleh perusahaan, tetapi dalam kesehariannya masyarakat masih dapat memanfaatkan sumber daya hutan khususnya yang bukan kayu. Aturan-aturan pemanfaatan sumber daya khususnya jernang masih mengacu pada aturan lama yang dikembangkan di masyarakat. Pada periode ini, terjadi penurunan kualitas sumber daya hutan. Kinerja institusi yang rendah pada periode ini dapat diketahui melalui beberapa hal sebagai berikut: a Akses pemanfaatan sumber daya oleh masyarakat terhadap kawasan hutan sudah tidak lagi berdasarkan pengelolaan yang dilakukan oleh adat. Pada prinsipnya hak masyarakat untuk mengelola hutan sudah dibatasi oleh adanya perusahaan yang mendapatkan izin pemanfaatan oleh negara. Masyarakat tidak lagi dengan leluasa dapat memanfaatkan sumber daya hutan kayu, tetapi masih dapat memanfaatkan sumber daya hasil hutan lain seperti jernang, madu dan tanaman obat serta hewan buruan yang terdapat di hutan. b Wilayah “Guguk Larangan” tinggal 2 hektar. Akibatnya, terjadinya kelangkaan kayu bulian yang ditunjukan oleh semakin tingginya harga jual kayu tersebut hingga mencapai sekitar Rp 5 juta per meter kubik. Kelangkaan disamping banyak dicari orang juga karena proses permudaan alami di hutan bekas tebangan umumnya kurang berjalan dengan baik. Perkecambahan biji kayu bulian membutuhkan waktu cukup lama sekitar 6-12 bulan dengan persentase keberhasilan relatif rendah, produksi buah tiap pohon umumnya juga sedikit. c Menurunnya produktivitas hutan ditinjau dari hasil kayu. Hal ini diketahui dari sudah tidak banyaknya tegakan kayu yang besar setelah tidak lagi beroperasinya perusahaan-perusahaan yang sebelumnya memegang izin konsesi hutan. Pada akhirnya kawasan hutan tersebut beralih fungsi menjadi areal perkebunan. d Menurunnya produktivitas hutan ditinjau dari hasil hutan bukan kayu. Hal ini diketahui dari langkanya pohon sialang dan ruang jelajah masyarakat untuk mencari jernang yang semakin jauh dari pemukiman. Hasil survey menunjukkan areal pencarian jernang tersebut sudah mencapai kawasan hutan PT REKI, yang bergerak pada upaya restorasi hutan, dengan jarak tempuh 12 jam berjalan kaki dan pada wilayah eks. HPH PT. Asialog Gambar 9.