Stakeholder HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Stakeholders pengguna : masyarakat Desa Lamban Sigatal, pokmas pengolah jernang Desa Lamban Sigatal, pokmas tauke jernang, pokmas pendatang diluar kawasan. 2. Stakeholders penyedia jasa: Kepala Desa Lamban Sigatal, Bupati Sarolangun, Dinas Perkebunan dan Kehutanan, Badan Perencanaan Pembangunan, BP2HP Wil.IV, BPKH Wil.II, Balai Penyuluhan Pertanian dan Kehutanan BP3K, 3. Stakeholders pendukung : Camat Pauh, Lembaga Permodalan Formal, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Koperasi, Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa, LSM Yayasan Gita Buana. Berdasarkan analisis stakeholder terhadap kepentingan dan pengaruh pada institusi pengelolaan HTR, maka stakeholder daerah yang memiliki pengaruh yang kuat terhadap pengambilan keputusan dalam pembangunan HTR adalah sebagai berikut: a. Bupati Sarolangun b. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Sarolangun c. Kepala Desa Lamban Sigatal d. Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Sarolangun e. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Sarolangun f. Yayasan Gita Buana g. Badan Pemantapan Kawasan Hutan BPKH Wilayah II h. Balai Pemantauan Pemanfaatan Hutan Produksi BP2HP Wilayah IV Bupati Sarolangun sebagai pemimpin penyelenggaraan pemerintah daerah Kabupaten Sarolangun memiliki pengaruh yang kuat untuk dapat mensukseskan keberhasilan pembangunan HTR. Kemauan politik bupati untuk dapat mengarahkan kebijakan terhadap pembangunan HTR sangatlah penting, karena pimpinan daerah dapat berperan strategis dalam mengarahkan program dan kegiatan satuan kerja perangkat daerah pada penguatan masyarakat petani jernang desa Lamban Sigatal. Kemauan politik ini selanjutnya harus didukung oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dengan mengesahkan penganggaran untuk program dan kegiatan yang berkaitan dengan upaya penguatan masyarakat dan pembangunan HTR. Dinas Perkebunan dan Kehutanan sebagai leading sektor pengembangan kehutanan dan dalam hal ini untuk pembangunan HTR, semestinya mengusulkan anggaran kegiatan yang berkaitan dengan hal tersebut. Mulai dari program sosialisasi hingga terlaksananya pembangunan HTR khususnya terkait dengan penerbitan IUPHHK HTR. Hal ini harus diikuti dengan memasukkan kegiatan perencanaan pembangunan HTR oleh Bappeda untuk diusulkan sebagai program dan kegiatan dalam penganggaran pembangunan. Kepala Desa sebagai pihak yang memverifikasi awal persyaratan untuk pengajuan IUPHHK HTR melalui tindakan mempermudah persyaratan permohonan berupa Kartu Tanda Penduduk KTP, surat keterangan domisili dan sketsa areal yang dimohonkan. Kaitan persyaratan untuk mendapatkan izin ini, BP2HP dan BPKH sebagai pihak yang memverifikasi atas persyaratan administrasi lebih dapat lebih memudahkan persyaratan dengan menganggarkan biaya untuk proses verifikasi dan pembuatan sketsapeta tersebut. Berkaitan dengan sumberdaya keuangan dalam pembangunan HTR ini maka stakeholder yang berperan yaitu Dinas Perkebunan dan Kehutanan sebagai instansi teknis haruslah memiliki anggaran untuk dapat memproses terbitnya izin IUPHHK HTR. Didukung oleh Lembaga Permodalan dalam menyiapkan biaya pembangunan seperti dari Badan Layanan Umum BLU dan permodalan formal lainnya. Terhadap kapasitas sumberdaya manusia, stakeholder yang berperan dalam pembangunan HTR ini yaitu Dinas Perkebunan dan Kehutanan, juga Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa, Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Koperasi, dan Badan Pelaksana Penyuluhan Kabupaten Sarolangun untuk dapat mengadakan program kegiatan yang diarahkan untuk peningkatan sumber daya masyarakat. Misalnya asistensi teknis berupa pendidikan dan pelatihan dalam usaha budidaya karet jernang. Peran LSM juga patut dipertimbangkan, karena lembaga dapat berpengaruh dalam keberhasilan program melalui proses pendapingan. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa stakeholders penting bagi keberhasilan kebijakan pembangunan HTR yang ditujukkan bagi peningkatkan kesejahteraan masyarakat adalah Bupati Sarolangun, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Sarolangun, Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Sarolangun, Kepala Desa Lamban Sigatal, Camat Pauh, Badan Pengelolaan Kawasan Hutan Wilayah II dan BP2HP Wil. IV. Selain itu, Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa, Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Koperasi, dan Badan Pelaksana Penyuluhan Kabupaten Sarolangun dan Yayasan Gita Buana LSM, menjadi stakeholder yang dapat mendukung keberhasilan pembangunan HTR.

5.8 Pengelolaan Sumber Daya Hutan di Desa Lamban Sigatal Saat Ini

5.8.1 Kepastian Hak Kepemilikan Terhadap Sumber Daya Hutan

Dinamika pemanfaatan hutan desa Lamban Sigatal terbagi atas tiga periode yaitu periode sebelum tahun 1970, periode 1970-2007, dan periode 2008 hingga sekarang seperti terlihat pada gambar 17 berikut : Gambar 17 Dinamika pemanfaatan hutan desa Lamban Sigatal selama tiga periode. Periode sebelum tahun 1970, aturan-aturan berkenaan dengan Jernang menunjukkan masyarakat desa Lamban Sigatal memiliki kearifan lokal. Mereka memiliki kesadaran bahwa karakter hutan dengan fenomena yang “open access” perlu diatur agar tidak terjadi perebutan pemanfaatan yang berujung pada perusakan sumber daya hutan itu sendiri. Tanpa disadari, masyarakat sudah menerapkan pemahaman karakteristik sumber daya hutan sebagai sumber daya milik bersama common pool resources. Melalui aturan-aturan tersebut, mereka telah menciptakan mekanisme pendistribusian manfaat sesuai dengan upaya setiap Kehutanan Kabupaten Sarolangun, Kepala Desa Lamban Sigatal, Camat Pauh, Badan Pengelolaan Kawasan Hutan Wilayah II dan BP2HP Wil. IV. Selain itu, Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa, Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Koperasi, dan Badan Pelaksana Penyuluhan Kabupaten Sarolangun dan Yayasan Gita Buana LSM, menjadi stakeholder yang dapat mendukung keberhasilan pembangunan HTR.

5.8 Pengelolaan Sumber Daya Hutan di Desa Lamban Sigatal Saat Ini

5.8.1 Kepastian Hak Kepemilikan Terhadap Sumber Daya Hutan

Dinamika pemanfaatan hutan desa Lamban Sigatal terbagi atas tiga periode yaitu periode sebelum tahun 1970, periode 1970-2007, dan periode 2008 hingga sekarang seperti terlihat pada gambar 17 berikut : Gambar 17 Dinamika pemanfaatan hutan desa Lamban Sigatal selama tiga periode. Periode sebelum tahun 1970, aturan-aturan berkenaan dengan Jernang menunjukkan masyarakat desa Lamban Sigatal memiliki kearifan lokal. Mereka memiliki kesadaran bahwa karakter hutan dengan fenomena yang “open access” perlu diatur agar tidak terjadi perebutan pemanfaatan yang berujung pada perusakan sumber daya hutan itu sendiri. Tanpa disadari, masyarakat sudah menerapkan pemahaman karakteristik sumber daya hutan sebagai sumber daya milik bersama common pool resources. Melalui aturan-aturan tersebut, mereka telah menciptakan mekanisme pendistribusian manfaat sesuai dengan upaya setiap Kehutanan Kabupaten Sarolangun, Kepala Desa Lamban Sigatal, Camat Pauh, Badan Pengelolaan Kawasan Hutan Wilayah II dan BP2HP Wil. IV. Selain itu, Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa, Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Koperasi, dan Badan Pelaksana Penyuluhan Kabupaten Sarolangun dan Yayasan Gita Buana LSM, menjadi stakeholder yang dapat mendukung keberhasilan pembangunan HTR.

5.8 Pengelolaan Sumber Daya Hutan di Desa Lamban Sigatal Saat Ini

5.8.1 Kepastian Hak Kepemilikan Terhadap Sumber Daya Hutan

Dinamika pemanfaatan hutan desa Lamban Sigatal terbagi atas tiga periode yaitu periode sebelum tahun 1970, periode 1970-2007, dan periode 2008 hingga sekarang seperti terlihat pada gambar 17 berikut : Gambar 17 Dinamika pemanfaatan hutan desa Lamban Sigatal selama tiga periode. Periode sebelum tahun 1970, aturan-aturan berkenaan dengan Jernang menunjukkan masyarakat desa Lamban Sigatal memiliki kearifan lokal. Mereka memiliki kesadaran bahwa karakter hutan dengan fenomena yang “open access” perlu diatur agar tidak terjadi perebutan pemanfaatan yang berujung pada perusakan sumber daya hutan itu sendiri. Tanpa disadari, masyarakat sudah menerapkan pemahaman karakteristik sumber daya hutan sebagai sumber daya milik bersama common pool resources. Melalui aturan-aturan tersebut, mereka telah menciptakan mekanisme pendistribusian manfaat sesuai dengan upaya setiap pihak yang berkepentingan atau terlibat. Disamping itu, mereka membatasi ruang gerak setiap pihak yang berperilaku tidak mau turut bertanggung jawab terhadap kelestarian sumber daya hutan. Hal ini berarti pula masyarakat lokal desa Lamban Sigatal telah menerapkan hak dan kewajiban pemilikan sumber daya, sesuai dengan teori hak pemilikan yang dikemukakan oleh Hanna et al. 1996, yaitu pemilik sumberdaya bersifat kolektif dengan hak mengeluarkan yang bukan pemilik serta dengan kewajiban melakukan pemeliharaan dan membatasi tingkat penggunaan. Mengacu pada pendapat Schlager dan Ostrom 1992 masyarakat komunitas lokal desa Lamban Sigatal pada periode ini merupakan pemilik owner sumber daya hutan, karena mereka dapat mengakses dan memanfaatkan sumber daya hutan, mengelolanya secara bersama dan mengeluarkan pihak-pihak yang bukan pemilik serta dapat memindahtangankan hak kepemilikannya. Periode ini dapat dikatakan bahwa institusi yang dijalankan oleh masyarakat dengan pengaturan oleh lembaga adat menjadikan kondisi institusi yang baik. Penerapan aturan kepemilikan masyarakat, penerapan pemanfaatan sumber daya hutan, dan penerapan sangsi yang dijalankan menjadikan kondisi sumber daya dapat terjaga dengan baik. Ini dibuktikan dengan adanya masyarakat yang diberikan sangsi oleh adat pada periode tersebut dan masih tersedianya hutan guguk larangan dengan kondisi vegetasi yang masih baik lampiran 3. Periode 1997 sampai 2007, berbagai kebijakan pemerintah pada periode ini cenderung mengubah karakter pemilikan sumber daya hutan Desa Lamban Sigatal. Mengacu pada pendapat Hanna et al. 1996 sumber daya hutan Lamban Sigatal adalah sumber daya yang dikuasai oleh Negara state property yang diserahkan pengelolaannya kepada perusahaan private property. Pada sisi masyarakat, masyarakat secara de jure legal tidak dapat lagi mendapat aliran manfaat yang bersumber dari sumber daya hutan. Tetapi secara de facto masyarakat masih dapat memperoleh aliran manfaat sumber daya hutan tersebut berupa hasil hutan yang bukan kayu. Kondisi ini menyebabkan apabila masyarakat memanfaatkan hasil hutan kayu dan memanfaatkan lahan menjadi sesuatu yang dilarang atau illegal. Hal ini berarti pemerintah, sebagai pihak pengelola hutan, tidak memiliki kemampuan untuk mengeluarkan pihak-pihak diluar perusahaan yang merupakan pihak yang diberikan hak dan tanggungjawab atas pengelolaan sumber daya tersebut. Hal ini menimbulkan situasi open access, yang memicu terjadinya degradasi sumber daya hutan desa Lamban Sigatal. Periode setelah adanya kebijakan pembangunan HTR diharapkan masyarakat dapat memanfaatkan sumber daya melalui izin yang akan diberikan berupa IUPHHK-HTR. Memperhatikan substansi isi kebijakan pembangunan HTR, khususnya yang berkenaan dengan prinsip dan sasaran pembangunan HTR dapat dinyatakan bahwa kebijakan pembangunan HTR merupakan sebuah institusi pengelolaan hutan berbasis masyarakat. Kebijakan ini mengarahkan masyarakat untuk mengorganisasikan dirinya berdasarkan kebutuhannya, melibatkan banyak anggotanya berdasarkan legalitas dari pemerintah. Masyarakat yang dimaksud adalah masyarakat yang berada di dalam dan di sekitar hutan yang merupakan kesatuan komunitas sosial yang didasarkan pada persamaan mata pencaharian yang bergantung pada hutan, sejarah, keterikatan tempat domisili, serta pengaturan tata tertib kehidupan bersama dalam wadah kelembagaan. Kawasan hutan yang dikelola merupakan hutan produksi yang tidak produktif, tidak dibebani izin atau hak lain. Di sisi lain, pemerintah merupakan pihak yang memberikan izin kepada masyarakat untuk membangun HTR, melaksanakan fasilitasi, melakukan pengakuan status legalitas, penguatan kelembagaan institusi, memberikan bimbingan dan penyuluhan teknis, melakukan pendidikan dan latihan, mengupayakan akses ke pembiayaan dan akses terhadap pasar. Mengacu pada penjaminan kepastian hak kepemiikan terhadap sumber daya hutan berupa lahan melalui kontrak antara principals dan agent Richter 2000 dalam Yustika 2008, secara prinsip kebijakan pembangunan HTR yang diberlakukan sudah mendukung terjadinya situasi tersebut bagi masyarakat Desa Lamban Sigatal. Meskipun demikian, kondisi ideal institusi yang dibentuk melalui kebijakan pembangunan HTR tersebut belum terwujud. Dalam hal ini, transfer hak dari pemerintah principal kepada masyarakat agent belum dapat dipenuhi, dibuktikan oleh belum ada satupun masyarakat mampu mendapatkan IUPHHK-HTR. Di sisi lain, dapat dikatakan principals belum mampu memfasilitasi keberhasilan pengurusan perizinan sebagaimana yang didelegasikan kepada pihak agent.