Inisiasi Agroforestri Karet-Jernang Respon Pemerintah Daerah dan Masyarakat Terhadap Kebijakan

Tabel 20 Kebutuhan hidup layak KHL masyarakat disekitar hutan 1 Jenis Pengeluaran Kg Beras Harga Beras Rp kg -1 2 Pengeluaran Rp orang -1 th -1 Jumlah Keluarga 3 Kebutuhan Rp KK -1 th -1 KHM 100 320 8 000 2 560 000 5 12 800 000 Pendidikan 50 160 8 000 1 280 000 5 6 400 000 Kesehatan 50 160 8 000 1 280 000 5 6 400 000 SosialTabungan 50 160 8 000 1 280 000 5 6 400 000 KHL 6 400 000 32 000 000 Sumber : Hasil Survey,diolah 2010 1 dimodifikasi dari Monde 2008 2 rata-rata harga beras di Kabupaten Sarolangun pada saat penelitian 3 diasumsikan jumlah anggota keluarga 5 orang 4 KHM Kebutuhan Hidup Minimum 5 KLH Kebutuhan Hidup Layak Ini berarti bahwa untuk mendapatkan kehidupan yang layak maka masyarakat haruslah memiliki pendapatan sebesar Rp.32 000 000 dan minimal sebesar Rp.12 800 000 setiap tahunnya. Apabila pendapatan masyarakat kurang dari nilai KHM maka dapat dikatakan bahwa masyarakat tersebut tergolong kepada masyarakat yang miskin. Secara rinci sistem insentif diketahui dari perhitungan arus kas budidaya jernang yang dikombinasikan dengan karet sebagai tanaman rambat atau pola agroforestri karet jernang AK-J. Usaha ini memberikan pendapatan bersih rata- rata per hektar per tahun pola AK-J adalah Rp 31 237 635, sedangkan KHL per KK per tahun adalah sebesar Rp 32 000 000. Hal ini berdasarkan perhitungan berarti dengan mengusahakan AK-J 1.03 ha telah dapat memenuhi kebutuhan hidup layak petani. Mengacu kepada pendapat Soekartawi 1995 dan Sinukaban 2007 maka usaha budidaya Agroforestry Karet-Jernang AK-J layak untuk diusahakan dan dapat memenuhi kebutuhan ekonomi masyarakat. Pengusulan kawasan kelola untuk budidaya jernang dan diusahakannya pola agroforestri karet jernang diharapkan dapat dijadikan sebagai kawasan konservasi. Menurut Maydell 1986 salah satu tujuan agroforestri yaitu untuk memelihara dan bila mungkin memperbaiki kemampuan dan jasa lingkungan setempat dengan bentuk mencegah terjadinya erosi tanah, degradasi lingkungan, perlindungan keanekaragaman hayati, sebagai pohon pelindung dan pengelolaan sumber air secara baik. Mengacu pada Rianse 2010, pengkombinasian dua komponen atau lebih tanaman yang dalam hal ini tanaman karet dan jernang menghasilkan diversitas yang tinggi baik menyangkut produk maupun jasa. Dengan demikian dari sisi ekonomi dapat mengurangi risiko kerugian akibat fluktuasi harga pasar, dari sisi ekologi dapat menghindarkan kegagalan fatal permanen sebagaimana dapat terjadi pada budidaya monokultur. Selain itu, dari aspek sosial dengan pengembangan pola agroforestri akan membuka lapangan pekerjaan bagi masyarakat dengan memanfaatkan secara maksimal usaha budi daya. Pengembangan tanaman pola agroforestri dapat dijadikan sebagai suatu pola dalam pembangunan HTR, karena pola agroforestri merupakan salah satu kebijakan dari kementerian kehutanan yang dimasukkan dalam program perhutanan sosial social forestry. Perhutanan sosial adalah upayakebijakan kehutanan yang ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, khususnya yang tinggal disekitar hutan. Selain itu didalam Peraturan Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan no. P.06VI-BPHT2007 tentang petunjuk teknis pembangunan hutan tanaman rakyat pada bab VI dimungkinkan untuk dapat mengembangkan pola agroforestri atau tanaman tumpang sari.

5.7 Stakeholder

Berdasarkan situasi aksi yang dihadapi maka stakeholder yang terlibat dalam pemanfaatan dan pengelolaan kawasan hutan Desa Lamban Sigatal adalah sebagai berikut: a. Masyarakat Desa Lamban Sigatal b. Kelompok masyarakat pengumpul jernang Desa Lamban Sigatal c. Kelompok masyarakat toke jernang d. Kelompok masyarakat diluar kawasan e. Lembaga permodalan keuangan formal f. Kepala Desa Lamban Sigatal g. Camat Pauh h. Balai Penyuluhan Pertanian, Perkebunan dan Kehutanan Kecamatan Pauh i. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Sarolangun j. Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Sarolangun k. Dinas Pertanian Kabupaten Sarolangun l. Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Koperasi Kabupaten Sarolangun m. Badan Pelaksana Penyuluhan Kabupaten Sarolangun n. Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa Kabupaten Sarolangun o. Bupati Sarolangun p. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Sarolangun q. Yayasan Gita Buana r. BPKH Wil.II s. BP2HP Wil.IV Kepentingan, sikapperilaku serta pengaruh dari masing-masing stakeholder tersebut ditabulasi dalam sebuah matrik sebagaimana disajikan pada lampiran 6. Hasil analisis menunjukan stakeholder berdasarkan kepentingannya dapat dibagi kedalam tiga kelompok, yaitu: i stakeholder pengguna users, yaitu stakeholder yang mendapat atau akan mendapatkan manfaat secara langsung dari terwujudnya pengelolaan HTR jernang secara berkelanjutan; ii stakeholder penyedia jasa service providers, yaitu stakeholder yang berdasarkan tanggung jawabnya seyogyanya terlibat dan berpengaruh langsung didalam terwujudnya pengelolaan HTR jernang secara berkelanjutan; dan ii stakeholder pendukung enabling agency, yaitu stakeholder yang berdasarkan tanggung jawabnya seyogyanya terlibat dan berpengaruh tidak langsung terhadap agenda pengembangan HTR jernang. Dengan kata lain, kepentingan stakeholder ditentukan berdasarkan aturan main sehari-hari atau aturan informal yang berlaku di masyarakat dalam pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya HTR jernang stakeholder pemanfaat hingga kepentingan stakeholder yang muncul berdasarkan tugas pokok dan fungsi atau tanggung jawab secara langsung stakeholder penyedia jasa ataupun tidak langsung stakeholder pendukung karena diberlakukannya aturan main formal yang disediakan oleh peraturan-perundangan yang terkait. Adapun pembagian stakeholders berdasarkan kategori kepentingan tersebut pada saat ini adalah: 1. Stakeholders pengguna : masyarakat Desa Lamban Sigatal, pokmas pengolah jernang Desa Lamban Sigatal, pokmas tauke jernang, pokmas pendatang