Karakteristik Kelompok Masyarakat Pemanfaat Rotan Jernang

Gambar 8 Saluran tata niaga jernang secara umum di Provinsi Jambi Sumber; Yayasan Gita Buana 2007 Berdasarkan Gambar 8 di atas dapat dijelaskan bahwa lembaga tata niaga jernang di Provinsi Jambi terdiri atas pengumpul jernang, pedagang pengumpul desa, pedagang pengumpul kecamatan, pedagang pengumpul kabupaten dan pedagang besar di provinsi yang kemudian disalurkan ke pedagang ekspor, sedangkan lembaga tata niaga jernang dari Desa Lamban Sigatal Gambar 7 adalah kelompok masyarakat pengumpul jernang, pedagang pengumpul desa tauke desa, kabupaten tauke kabupaten dan pedagang besar di provinsi. Kelompok masyarakat pengumpul Jernang merupakan produsen, sedangkan pedagang pengumpul tauke desa, kecamatan, kabupaten, provinsi merupakan pedagang agen perantara, karena menurut menurut Hanafiah dan Saefuddin 2006 perkataan distribusi marketing dipakai sebagai tindakan yang bertalian dengan pergerakan barang-barang dan jasa dari produsen ke pihak konsumen. Badan-badan yang berusaha dalam bidang tata niaga, menggerakkan barang dari produsen sampai ke konsumen melalui jual beli, dikenal sebagai perantara intermediary. Badan-badan ini dapat dalam bentuk perseorangan, perserikatan ataupun perseroan. Berkenaan dengan saluran pemasaran Jernang di Lamban Sigatal Kabupaten Sarolangun, mengacu pada hasil wawancara Lampiran 2 dapat dijelaskan hal-hal sebagai berikut: 1 Produsen tidak menanggung biaya penyaluran barang karena produknya langsung diambil di tempat oleh para pembelinya. Tauke lokal di daerah produksi dan sekitarnya menanggung biaya transportasi, dari tempat produsen ke tempat pembelinya atau tauke besar diluar daerah produksi dan pedagang ekspor. Biaya-biaya dalam tata niaga jernang yang meliputi biaya bongkar muat, biaya penyimpanan, biaya retribusi, biaya sortasi, dan sewa gudang sebagian besar ditanggung oleh tauke besar dan pedagang ekspor. 2 Informasi pasar yang dikumpulkan pelaku tata niaga Jernang terbatas pada informasi harga jernang. Kegiatan pengumpulan informasi lain seperti waktu dan jumlah jernang yang diinginkan pembeli relatif tidak dilakukan karena unsur, jenis dan kualitas jernang ini tidak menjadi kendala utama dalam penjualan jernang. Demikian juga dengan informasi waktu dan jumlah jernang yang dibutuhkan oleh konsumen akhir juga tidak perlu dilakukan karena diyakini jernang akan selalu dibeli oleh konsumen akhir. 3 Tauke di daerah produksi dan sekitarnya menjadi salah satu komponen dalam tata niaga yang kehadirannya sangat dibutuhkan. Kehadiran stakeholders ini menjadi strategis dikarenakan sentra-sentra produk kehutanan non kayu ini umumnya terpencar dan dengan produksi yang kecil dan musiman. Melalui perannya dalam fungsi pertukaran, tauke lokal sangat berperan penting sebagai penghubung antara produsen dengan konsumen akhir pedagang ekspor dan sangat dibutuhkan oleh kedua stakeholders tersebut karena meningkatkan efektifitas tata niaga jernang. 4 Para tauke menentukan harga jernang dengan melihat kualitas jernang. Pada tahun 2009, tauke jernang di Desa Lamban Sigatal umumnya menghargai getah jernang dengan kualitas 1 untuk 1 kilogram sebesar Rp 400 000,- sampai Rp 450 000,- atau rata-rata Rp 425 000,- sedangkan jernang berkualitas 2 dihargai oleh tauke Rp 300 000,- sampai Rp 400 000,- atau rata-rata Rp 350 000. Disamping penilaian masing-masing tauke, penentuan harga getah jernang juga dipengaruhi oleh fluktuasi harga yang ditetapkan tauke luar desa yang ada di Kabupaten dan Kota Jambi. Hal ini terjadi karena para tauke lokal, yang ada di desa Lamban Sigatal maupun desa-desa lain, memiliki koneksi dengan tauke yang berada di kabupaten.

5.3 Aturan yang digunakan dalam Pemanfaatan Sumber Daya Hutan

5.3.1 Periode sebelum tahun 1970

Berdasarkan hasil wawancara dengan informan yang merupakan tokoh-tokoh masyarakat yaitu mantan kepala desa, ketua lembaga adat dan tokoh masyarakat lampiran 3 dan penelusuran dokumen, dapat diketahui bahwa pemanfaatan sumberdaya hutan Lamban Sigatal melalui pola HPH dimulai pada tahun 1970, sedangkan sebelumnya pengaturan dilakukan oleh lembaga adat, oleh karenanya penting untuk memahami aturan pengelolaan hutan Lamban Sigatal sebelum tahun 1970. Hasil analisis periode sebelum tahun 1970 adalah sebagaimana disajikan pada Tabel 14 berikut: Tabel 14 Pengelolaan sumber daya hutan desa Lamban Sigatal sebelum tahun 1970. Periode Institusi pengelolaan Lembaga Pengatur Pola dan tujuan Pemanfaatan Bentuk Aturan Tipe Hak Pemilikan Kinerja Sebelum dan hingga 1970 Pengelolaan sumber daya hutan diatur oleh Lembaga Adat 1. Pola pemanfaatan dengan penggunaan hutan untuk tujuan pemukiman dan lahan pertanian 2. Pola pemanfaatan dengan tanpa merubah hutan untuk tujuan pengambilan kayu dan hasil hutan bukan kayu madu, getah jernang 1. Ladang 1 dapat padi, ladang 2 tidak dapat padi , ladang 3 tidak dapat makan dan rembuk bertaun 2. Guguk larangan dan sekiding padi serta aturan untuk jernang sebagai berikut: 1 pek pek wan, siapo yang mendapek dio menjadi tuan; 2 “kapak timpang cincang ragas Hak akses, pemanfaatan, pengelolaan dan eksklusi Hutan terjaga dan lestari, ada kawasan hutan larangan dan wilayah pencarian Jernang disekitar desa Kawasan hutan sudah dimanfaatkan oleh masyarakat Desa Lamban Sigatal sejak nenek moyang mereka. Pola pemanfaatan sumber daya hutan umumnya dalam bentuk tidak merubah maupun merubah tata guna lahan. Pemanfaatan hutan yang merubah tata guna lahan adalah dalam bentuk pembukaan hutan untuk tujuan penyediaan lahan pemukiman dan lahan pertanian ladang. Proses pembukaan hutan untuk ladang dilakukan dengan cara nebang, nebas dan manggang. Proses ini dilaksanakan pada Bulan April hingga Bulan Juni dalam tiap musim penanaman yang ditentukan berdasarkan hasil pertemuan desa. Ladang digunakan untuk menanam padi ladang dengan jenis padi yang bervariasi seperti padi kecimbung padi umbuk, padi tembato, padi teraweh dan jenis padi ketan hitam, putih. Pada periode ini, pemanfaatan hutan untuk lahan pertanian diatur melalui lembaga adat. Sesuai dengan pepatah adat, “ladang 1 dapat padi, ladang 2 tidak dapat padi , ladang 3 tidak dapat makan”. Artinya berladang itu tidak perlu yang luas-luas, yang penting ladang tersebut dikelola dengan baik sesuai dengan kemampuan masyarakat untuk merawat dan mengelola lahan tersebut atau disesuaikan dengan kemampuan dan banyaknya jumlah anggota keluarga masyarakat. Pengaturan ini diikuti oleh anggota masyarakat dengan adanya musyawarah lembaga adat yang dilakukan yaitu dengan musyawarah yang dinamakan “rembuk bertaun”. Dalam rembuk bertaun dilakukan pengaturan terhadap kerjasama untuk melakukan awal mulai melakukan pembukaan atau pembersihan lahan dan juga mulai melakukan penanaman. Pekerjaan ini dilakukan secara bersama-sama oleh masyarakat secara bergiliran di lahan usaha pertaniannya, dan ini dinamakan kegiatan ‘baselang’. Baselang merupakan istilah bagi masyarakat untuk melakukan kegiatan kerja bersama-sama, seperti lazimnya sebuah kegiatan gotong royong akan tetapi kegiatan ini tidak dilakukan untuk kepentingan umum melainkan untuk saling membantu dalam menyelesaikan suatu pekerjaan. Baselang biasa dilakukan untuk kegiatan menugal menanam padi ladang, membangun rumah, mencari dan membelah kayu saat akan dilakukan pesta di rumah warga. Dalam membantu bekerja ini tidak dikenal adanya upah, dan segala macam hal yang berkaitan dengan uang, tuan rumah cukup hanya menyediakan makan dan minum bagi masyarakat yang ikut baselang. Penerapan aturan main ini selalu dilakukan oleh masyarakat, apabila tidak mengikuti aturan yang telah disepakati maka anggota masyarakat yang tidak melaksanakannya dijatuhkan sangsi adat dengan pengucilan terhadap keluarga tersebut. Pengucilan ini dilakukan dengan cara apabila ada keperluan keluarga tersebut misalnya seperti hajatan atau penanaman padi maka masyarakat lain tidak akan membantunya seperti kegiatan baselang. Penerapan sangsi ini sangatlah ketat diterapkan oleh lembaga adat sehingga masyarakat tidak ada yang berani untuk melanggarnya karena sudah pernah terjadi pada anggota masyarakat yang diberikan hukuman terhadap pelanggarannya. Pemanfaatan sumber daya hutan tanpa merubah tata guna lahan adalah melalui pengambilan kayu dan hasil hutan bukan kayu yang ada didalam hutan seperti madu dan getah jernang. Untuk pengambilan kayu, masyarakat terikat dengan aturan adat. Mereka tidak boleh menebang di sembarang tempat, khususnya pada “Guguk Larangan” yang dalam bahasa Indonesia dapat diartikan sebagai kelompok kawasan larangan. Kawasan larangan yang dimaksud adalah suatu wilayah yang dipertahankan keberadaannya karena alasan-alasan tertentu, seperti 1 Tambak Merbau karena pada wilayah ini terdapat kuburan nenek moyang yaitu Keramat Muning Janggut 2 Dusun rajo, dimana merupakan wilayah tempat keramat, 3 Rimbo bulian yang merupakan daerah penghasil kayu bulian sebagai bahan untuk membangun rumah. Pengendalian terhadap pentaatan aturan main, misalnya melarang pengambilan kayu di wilayah-wilayah tersebut, dilakukan melalui aturan yang dikenal dengan istilah “Sekiding padi”. Aturan lokal ini mewajibkan para pelanggar untuk membayar denda berupa padi sebanyak ± 100 kg ke desa untuk digunakan pada saat acara adat masyarakat desa. Pengetahuan tentang jernang oleh masyarakat desa tidak diketahui secara pasti kapan dimulainya. Namun, informasi yang diperoleh menyatakan bahwa manfaat jernang diperoleh pertama kali dari masyarakat suku anak dalam. Kelompok masyarakat ini menggunakannya sebagai bahan obat. Adapun keterlibatan masyarakat diluar suku asli tersebut dimulai sejak masa penjajahan Belanda, yaitu oleh anggota masyarakat yang pernah berniaga di Singapura. Individu-individu tersebut sekembalinya dari Singapura mulai mencari getah jernang untuk dijual ke Singapura. Pada saat itu, tauke dari luar seperti Cina, India dan bahkan Belanda turut juga mencari resin jernang. Berdasarkan kepemilikannya, secara de-jure sumber daya hutan di sekitar Desa Lamban Sigatal adalah milik negara state property tetapi secara de-facto pengelolaannya dilakukan oleh masyarakat setempat. Masyarakat mengelola kepemilikan atas sumber daya hutan tersebut melalui sebuah institusi adat. Institusi adat yang dipimpin oleh depati kepala marga dalam kesehariannya memberlakukan aturan yang ditujukan mengatur hak dan kewajiban bagi setiap pihak yang berkepentingan stakeholders. Aturan tersebut yaitu : 1 “pek pek wan, siapo yang mendapek dio menjadi tuan”. Artinya siapapun orang yang menemukan lebih dahulu terhadap sumber daya maka dialah yang menjadi pemiliknya. Tetapi apabila terjadi kecurangan terhadap penemu pertama yang sudah memberi tanda