a. Memeriksa kelengkapan administrasi permohonan IUPHHK-HTR berupa:
1 Salinan KTP bagi peroranganakte pendirian koperasi yang masih berlaku bagi koperasi.
2 Surat keterangan kepala desa bahwa pemohon berdomisili di desa dimaksud bagi pemohon perorangan Surat keterangan kepala desa
bahwa koperasi dibentuk oleh masyarakat sekitar bagi pemohon koperasi. Apabila anggota Koperasi berasal dari lebih dari 1 satu
desa maka surat keterangan kepala desa berasal dari tiap desa yang menjadi lingkup kerjanya
3 Sketsapeta areal yang dimohon yang memuat informasi mengenai wilayah administrasi pemerintahan, koordinat dan batas-batas yang
jelas dan dapat diketahui luas arealnya serta diketahui oleh penyuluh kehutanan setempatpenyuluh pertanian setempatpejabat yang
ditunjuk oleh BupatiWalikota. b.
Membuat surat rekomendasi yang menyatakan keabsahan persyaratan permohonan telah dipenuhi yang ditujukan kepada BupatiWalikota
dengan tembusan kepada Kepala BPPHPKepala BPKH dan Camat setempat.
2. Berdasarkan tembusan rekomendasi dari Kepala Desa, Kepala
BPPHP: a. Memeriksa kelengkapan dokumen administrasi permohonan.
b. Memeriksa status dan fungsi areal yang dimohon serta menyiapkan sketsapeta skala 1 : 50 000 berkoordinasi dengan BPKH setempat.
c. Menelaah kondisi dan potensi areal yang dimohon untuk dapat dipilah menjadi areal yang dipertahankan alami sebagai fungsi
lindung dan areal yang akan dikerjakan. Dalam hal areal yang dicadangkan masih merupakan Hutan Produksi yang produktif dan
dapat dikerjakan, maka pengelolaannya wajib menerapkan sistem silvikultur sesuai tapaknya.
d. Menyampaikan pertimbangan teknis dengan dilampiri sketsapeta 1 : 50 000 disampaikan kepada BupatiWalikota.
Pada saat sudah mendapatkan IUPHHK-HTR maka pemohon memiliki hak dan kewajiban. Meskipun demikian, berdasarkan Peraturan Menteri
Kehutanan No. P.23Menhut-II2007 yang dirubah dengan
Permenhut No.P.5Menhut-II2008 Tentang Tata Cara Permohonan IUPHHK-HTR dalam
Hutan Tanaman terdapat pembatasan terhadap hak pemilikan yang dipunyai oleh masyarakat pemegang IUPHHK-HTR. Mereka dapat mengelola HTR maksimal
seluas 15 hektarKK Pasal 8 dan jangka waktu pengelolaan selama 60 tahun dan dapat diperpanjang satu kali untuk jangka waktu 35 tahun Pasal 14. Mereka
tidak dapat memperjualbelikan, memindahtangankan dan mewariskan IUPHHK- HTR yang dimilikinya Pasal 15. Sementara itu pada pasal 23 dinyatakan
IUPHHK-HTR hapus karena: berakhirnya masa berlaku izin huruf c dan meninggalnya pemegang izin HTR perorangan huruf d.
5.4.4 Jenis Tanaman
Peraturan Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan No. P.06VI-BPHT2007 Tentang Pedoman Penyelenggaraan Pembangunan Hutan Tanaman Rakyat Lampiran 1 –
Bab VI menjelaskan bahwa jenis tanaman pokok yang dapat dikembangkan untuk pembangunan hutan tanaman rakyat terdiri dari tanaman sejenis tanaman hutan berkayu
yang hanya terdiri dari satu species beserta varietasnya dan tanaman berbagai jenis tanaman hutan berkayu yang dikombinasikan dengan tanaman budidaya tahunan yang
berkayu.Tanaman hutan berkayu, seperti: meranti, kruing, jati, sengon dan akasia. Tanaman budidaya tahunan yang berkayu seperti: karet, durian, nangka, durian,
rambutan, kemiri, duku, dan pala. Tanaman pokok berbagai jenis dimaksudkan sebagai upaya untuk mendapatkan
penghasilan tambahan dari tanaman budidaya tahunan selama masa menunggu waktu penebangan kayu, disamping hasil tambahan lain dari kegiatan tumpang sari tanaman
hortikulturapalawija. Prosentase komposisi jenis tanaman untuk pembangunan HTR yang menggunakan tanaman pokok berbagai jenis ditetapkan sebagai berikut:
a. Tanaman Hutan Berkayu ± 70 . b. Tanaman Budidaya Tahunan Berkayu ± 30
Pemegang izin dapat melakukan kegiatan Tumpang sari tanaman Budidaya musimanPalawija diantara tanaman pokok sampai dengan 2-3 tahun
Pengaturan letak komposisi jenis tanaman pokok disesuaikan dengan jarak tanam, kesesuaian persyaratan tempat tumbuh dan kondisi fisiografi lapangan.
Disamping tanaman pokok, pada batas areal kerja atau batas antar blokpetak tanman pokok dapat dikembangkan jenis-jenis tanaman lain yang dapat berfungsi
sebagai tanaman tepi yaitu berupa tanaman pagar, tanaman sekat bakar, tanaman pelindung dan tanaman kehidupan.
Selanjutnya Peraturan Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan No. P.06VI-BPHT2007 dirubah dengan No. P.06VI-BPHT2008 tentang Petunjuk
Teknis Pembangunan Hutan Tanaman Rakyat. Perubahan peraturan Dirjen ini dilakukan dengan pertimbangan dari adanya perubahan Peraturan Menteri
Kehutanan No. P.23Menhut-II2007 menjadi No. P.5Menhut-II2008. Pada petunjuk teknis ini dalam Lampiran 1 – Bab VI dijelaskan bahwa jenis tanaman
yang dapat dikembangkan untuk pembangunan hutan tanaman rakyat terdiri dari tanaman pokok dan tanaman tumpang sari.
Tanaman pokok adalah tanaman berkayu pohon yang dapat ditanam sejenis atau berbagai jenis, antara lain : a kelompok jenis meranti; b kelompok
jenis kruing; c kelompok Non Dipterocarpaceae jati, sengon, dll; d kelompok kayu serat, eucaliptus, akasia, dll; e kelompok multi purpose tree species
MPTS, antara lain: karet, durian, nangka, mangga, rambutan, kemiri, duku, pala, dll.
Tanaman tumpang sari adalah tanaman pangan setahunsemusim yang ditanam untuk memperoleh hasil tambahan selama masa menunggu waktu
penebangan tanaman pokok antara lain jagung, padi, palawija dan lain-lain. Pengaturan penanaman disesuaikan dengan jarak tanam, kesesuaian persyaratan
tempat tumbuh dan kondisi fisiografi lapangan berdasarkan pertimbangan penyuluh kehutananpertanian setempat. Pada batas areal kerja atau batas antar
blokpetak tanaman pokok dapat dikembangkan jenis-jenis tanaman lain yang berfungsi sebagai tanaman tepi, tanaman sekat bakar, dan tanaman pelindung.
Perubahan terhadap peraturan ini terlihat bahwa kebijakan untuk pembangunan HTR masih cenderung pada usaha budidaya untuk tanaman
berkayu. Sedangkan hasil hutan bukan hanya tanaman berkayu, tetapi juga hasil hutan bukan kayu. Sehingga pengaturan ini masih memperlihatkan bahwa
pemerintah belum menjadikan sumber daya lokal sebagai dasar untuk kebijakannya. Tetapi sudah terdapat perbaikan dengan tidak lagi mengatur
prosentase komposisi jenis tanaman untuk dikembangkan.
5.5 Interaksi Antar Kelompok Masyarakat dan Dengan Sumber Daya Hutan Lamban Sigatal
5.5.1 Interaksi Antar Kelompok Masyarakat Desa Lamban Sigatal
Kondisi perekonomian masyarakat Desa Lamban Sigatal tidak terlepas dari keberadaan kelembagaan lokal. Kelembagaan di Desa Lamban Sigatal dapat
dibagi atas aspek pemerintahan atau aspek non-pemerintahan. Kelembagaan yang ada terkait dengan pemerintahan terdiri atas lembaga formal yang terdiri atas
pemerintah desa yang dipimpin oleh kepala desa dan dibantu oleh perangkat desa yang terdiri dari Sekretaris Desa, Kaur Pemerintahan, Kaur Pembangunan dan
Kaur Umum. Selain itu jalannya pemerintahan desa juga dibantu oleh 2 orang Kadus dengan pembagian wilayah kerja RT 1 dan 2 dipimpin oleh Kadus II dan
RT 3 – 4 dipimpin oleh Kadus I. Lembaga formal lainnya yang terkait dengan pemerintahan desa adalah
Badan Perwakilan Desa BPD dengan anggota sebanyak 6 enam orang. Lembaga ini memiliki fungsi sebagai wadah penampung aspirasi masyarakat dan
menyelesaikan konflik internal maupun konflik individu antar lembaga yang ada di desa. Lembaga formal pemerintahan desa lainnya, yaitu Lembaga
Pemberdayaan Masyarakat LPM. Kedua lembaga tidak berfungsi karena kesibukan masing-masing anggota pengurusnya. Tidak ada aktivitas atas usulan
anggota masyarakat yang dilaksanakan maupun disampaikan pada lembaga- lembaga pemerintahan serupa di tingkat kecamatan dan kabupaten.
Lembaga informal, baik terkait dengan kehidupan sosial dan ekonomi, yang ada di Desa Lamban Sigatal terdiri atas lembaga adat, kelompok pengajian
dan kelompok pemuda. Lembaga adat yang ada di Desa Lamban Sigatal sudah ada sejak lama dan masyarakat setempat pada dasarnya sangat mematuhi dan
menghormati keberadaan tokoh-tokoh adat dalam lembaga adat ini. Namun tidak berfungsinya tugas dan kewenangan masing-masing tokoh dan adanya koflik
kepentingan pribadi antar tokoh memberikan dampak kurang baik.