yang diperoleh pedagang pengumpul di desa dan di kabupaten secara berturut- turut sebesar 14.98 dan 35.95. Sehingga margin yang besar dari tataniaga
jernang justru didapat oleh pedagang perantara, terutama pedagang pengumpul di kabupaten.
Alasan yang menyebabkan tingginya margin pedagang pengumpul kabupaten karena mereka melakukan transaksi pembelian jernang di desa atau
pedagang kabupaten menjemput hasil jernang di desa, sehingga harga jernang yang didapatkan dari pedagang pengumpul didesa sebagai modal pembelian dapat
ditingkatkan penjualannya dari biaya pembelian Rp 500 000,- harga pada agustus 2009 menjadi harga tertinggi pada pedagang besar di provinsi sebesar
Rp 700 000,- dengan alasan besarnya biaya transportasi yang dikeluarkan untuk mengumpulkan jernang.
Hasil analisis saluran pemasaran jernang memperlihatkan margin tata niaga masih belum efisien karena persentase yang besar dari margin ini masih dimiliki
oleh tauke khususnya tauke kabupaten. Hal ini secara implisit menunjukkan bahwa sistem tataniaga jernang di desa Lamban Sigatal masih belum dapat
dikatakan efisien, karena menurut Tomek dan Robinson 1990 apabila semakin besar margin pemasaran akan menyebabkan harga yang diterima petani produsen
menjadi semakin kecil dan semakin mengindikasikan sebagai sistem pemasaran yang tidak efisien. Kondisi tata niaga jernang ini menunjukkan bahwa
berdasarkan institusi informal yang berlaku, hak kepemilikan yang seyogyanya berada di tangan masyarakat pengolah jernang Desa Lamban Sigatal juga belum
pasti.
5.9 Permasalahan dalam Pemanfaatan dan Pengelolaan Sumber Daya
Hutan Desa Lamban Sigatal Permasalahan institusi pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya hutan
Desa Lamban Sigatal dinilai berdasarkan fakta-fakta empiris yang telah dianalis dapat dijelaskan sebagai berikut:
a Sumber daya hutan Lamban Sigatal merupakan sumberdaya milik Negara yang memiliki potensi unit sumber daya berupa “Rotan Jernang” yang telah lama
dimanfaatkan oleh kelompok masyarakat. Namun kebijakan HTR belum memperhatikan potensi dan karakteristik sumber daya lokal tersebut. Padahal
mengacu pada Hess dan Ostrom 2007 karakteristik sumber daya merupakan dasar bagi pengaturan pengelolaan sumberdaya.
b Akses masyarakat yang dibuktikan dengan terbitnya IUPPHK-HTR sebagaimana yang diamanatkan dalam kebijakan HTR belum dapat dipenuhi
syarat-syaratnya oleh masyarakat, hal ini cenderung disebabkan oleh kemampuan masyarakat untuk mengakses masih rendah serta panjangnya
mekanisme pengurusan IUPHHK-HTR. Bahkan hingga kini terbitnya IUPHHK-HTR yang sudah dimiliki masyarakat terwujud berkat adanya
kegiatan proyek. Mengacu pada Hanna et al 1995, belum terbitnya izin mengakibatkan masyarakat belum dapat mengelola sumber daya hutan sesuai
dengan kebijakan yang diharapkan seperti hak untuk mengakses dan memanfaatkan sumber daya, hak untuk mengelola dan hak untuk menentukan
keikutsertaan-mengeluarkan pihak lain. c Mengacu pada Schmid 1987 tingkat kehidupan masyarakat desa Lamban
Sigatal masih rendah miskin yang dibuktikan dengan tingkat pendapatan masyarakat yang rendah. Hal ini merupakan bukti bahwa kapasitas masyarakat
yang masih masih rendah secara ekonomi untuk dapat memenuhi persyaratan yang diharuskan untuk mendapatkan IUPHHK.
d Mengacu pada Hanna et al 1995 distribusi manfaat dari sistem pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya hutan Desa Lamban Sigatal secara sosial masih
belum berkeadilan fairness distribution, dimana penetapan harga produk jernang masih ditentukan oleh tauke. Secara ekonomi belum terwujud efisiensi
dalam tata niaga rotan jernang, hal ini terlihat dari margin tata niaga yang masih besar didapatkan oleh pedagang tauke. Secara ekologi keberlanjutan
produk rotan jernang tidak terjamin karena berkurangnya produksi jernang sebagai akibat rusaknya sumber daya hutan Lamban Sigatal.
e Pembangunan HTR pola agroforestri karet dan jernang oleh masyarakat Desa Lamban Sigatal sebagai solusi alternatif mewujudkan pemanfaatan dan
pengelolaan sumber daya hutan secara berkelanjutan belum juga dapat terealisasi.