Siraja batak Agama dan Kepercayaan

1. Upacara yang wajib dilaksanakan oleh anggota penganut Parmalim dua kali dalam setahun, yang disebut sipaha sada dan sipaha lima. Upacara sipaha sada berlangsung selama lima hari, sedang upacara sipaha lima berlangsung selama tiga hari. 2. Upacara yang dilaksanakan secara khusus, tanpa berpegang pada bulan-bulan tertentu, yang pelaksanaannya merupakan kehendak dari perseorangan. Upacara seperti ini disebut maradat, misalnya martutu aek yaitu upacara pemandian bagi anak yang baru lahir; manggalang na paet yaitu suatu upacara kurban setelah melaksanakan puasa selama sehari semalam; dan sebagainya. 3. Upacara yang dilaksanakan apabila seseorang ada melakukan kesalahan atau perbuatan asusila sehingga dilaksanakan acara manopoti sala memohon ampun. Kepada orang yang melakukan kesalahan ini akan dikenakan aturan yang “ingkon pajong-jongonna hau sarung marnaik, halangonna gondang bolon” harus mendirikan kayu sarung marnaik dan mengadakan acara gondang.

2.5.4 Siraja batak

Perlawanan secara gerilya yang dilakukan oleh orang-orang Batak Toba berakhir pada tahun 1907, setelah pemimpin kharismatik mereka, Sisingamangaraja XII wafat sehingga terbentuknya Parhudamdam yang diilhami oleh kematian Si Singamangaraja XII kemudian sekitar tahun 1942 terbentuklah Organisasi Si Raja Batak, merupakan suatu kenangan terhadap Si Singamangaraja dengan memproklamasikan pemujaan terhadap Mulajadi Na Bolon, penghormatan Universitas Sumatera Utara leluhur orang Batak, dan pemeliharaan adat. Perbedaan yang nyata antara organisasi Parmalim dan Si Raja Batak adalah dasar pijakannya. Parmalim menekankan pada hal iman sedangkan Si Raja Batak menekankan pada hal adat. Si Raja Batak didirikan oleh Raja Patik Tampubolon yang beranggapan bahwa tugas penganut Si Raja Batak adalah menghidupkan kembali persekutuan- persekutuan bius melalui pengaruh adat yang berdasarkan kekuatan ilham yang supra alamiah. Tampubolon membuat “kitab suci” dari Si Raja Batak yang disebut Pustaha Tumbaga Holing, yang oleh Tampubolon sendiri disebut sebagai pustaha yang berdasar pada mitos pustaha yang diberikan Mulajadi Na Bolon kepada Si Raja Batak nenek moyang suku bangsa Batak, dan mencoba membuktikan melalui pustaha karangannya bahwa seluruh habatahon dasar-dasar kehidupan dan setelah kehidupan masyarakat Batak adalah dasar anutan Si Raja Batak. Tetapi Tampubolon tidak menyebut agama, melainkan “adat” sebagai inti Si Raja Batak. Hampir setiap dari upacara-upacara penting Si Raja Batak mempunyai kaitan dengan pertanian. Hal ini merupakan suatu warisan dari tata aturan parbaringin, yang senantiasa menyertakan siklus aktivitas pertanian dalam ritual bius. Secara umum upacara peribadatan Si Raja Batak dapat dibagi atas tiga kelompok ritual, yaitu: 1. Upacara yang wajib dilaksanakan secara berkala dalam setahun, misalnya: Gondang Patuat Boni Sipaha Ualu, suatu upacara sebelum menanam padi; Gondang Buhuni Taon, suatu upacara menjelang panen; Gondang Matumona Universitas Sumatera Utara Sipaha Dua, upacara panen; Gondang Haroroni Habonaran Sipaha Lima, upacara menyambut kedatangan roh kebenaran; Gondang Sahala ni Raja Si Singamangaraja, upacara memperingati kematian Si Singamangaraja. 2. Upacara yang dilaksanakan oelah penganut Si Raja Batak yang berkenaan dengan adat dan dalihan na tolu, misalnya: Panangkokhon Saring-saring, upacara menggali dan menguburkan kembali tulang-belulang leluhur, dan Gondang Debata Pasahat Tondi ni Naung Mate Matua, upacara kematian. Upacara yang dilaksanakan oleh penganut Si Raja Batak berdasarkan keinginan perseorangan. Hal ini disebut sinta-sinta, misalnya: Sibaran, upacara yang dilakukan atas permintaan seseorang yang telah menderita sakit dan mangompoi gorga, upacara peresmian rumah.

2.6 Kesenian Masyarakat Batak Toba