Sistem Kekerabatan Masyarakat Batak Toba

2.3 Sistem Kekerabatan Masyarakat Batak Toba

Dalihan Na Tolu adalah filosofi yang menyangkut masyarakat dan budaya Batak. Dalihan Natolu merupakan suatu kerangka yang meliputi hubungan- hubungan kerabat darah dan juga hubungan perkawinan yang mempertalikan satu kelompok. Orang Batak menempatkan posisi seseorang secara pasti sejak dilahirkan hingga meninggal dalam tiga posisi yang disebut Dalihan Na Tolu, istilah Dalihan Na Tolu selalu diartikan atau diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi Tiga Tungku Sejerangan atau Tungku Nan Tiga. Tungku yang berkaki tiga sangat membutuhkan keseimbangan yang mutlak. Jika satu dari ketiga kaki tersebut rusak, maka tungku tidak dapat digunakan berbeda dengan kaki lima, jika satu kaki rusak masih dapat digunakan dengan sedikit penyesuaian meletakkan beban, begitu juga dengan tungku berkaki empat. Tetapi untuk tungku berkaki tiga, itu tidak mungkin terjadi. Inilah yang dipilih leluhur suku Batak sebagai falsafah hidup dalam tatanan kekerabatan antara sesama yang bersaudara, dengan hula-hula dan boru. Perlu keseimbangan yang absolut dalam tatanan hidup antara tiga unsur. Untuk menjaga keseimbangan tersebut kita harus menyadari bahwa semua orang akan pernah menjadi hula-hula, pernah menjadi boru, dan pernah menjadi dongan tubu. Dalihan Na Tolu dianalogikan dengan tiga tungku masak di dapur tempat menjerangkan periuk. Maka adat Batak pun mempunyai tiga tiang penopang dalam kehidupan, yaitu: 1 Universitas Sumatera Utara pihak semarga in group; 2 pihak yang menerima istri wife receiving party; 3 pihak yang memberi istri giving party. 125 Ketiga unsur penting dalam kekerabatan masyarakat Batak tersebut yaitu: Hula-hula yaitu kelompok orang yang posisinya “di atas”, yang berasal dari keluarga marga pihak istri. Sebagai suatu wujud penghormatan terhadap kelompok ini pada masyarakat Batak dikenal dengan sebutan “Somba marhula- hula” yang berarti harus hormat kepada keluarga pihak istri agar memperoleh keselamatan dan kesejahteraan. Dongan Tubu yaitu kelompok orang-orang yang posisinya “sejajar”, yaitu: temansaudara semarga 126 Perlu keseimbangan yang absolut dalam tatanan hidup antara tiga unsur. Untuk menjaga keseimbangan tersebut haruslah menyadari bahwa semua orang akan pernah menjadi hula-hula, pernah menjadi boru, dan pernah menjadi dongan tubu dapat kita lihat kedudukan ketiga hal tersebut di atas, yaitu hula-hula, boru dan dongan sabutuha pada upacara adat bisa menjadi berganti. Posisi hula-hula yang harus tetap akrab dan kompak, yang dalam masyarakat Batak Toba dikenal dengan sebutan “manat mardongan tubu”, artinya tetap menjaga persaudaraan agar terhindar dari perseteruan. Unsur kekerabatan yang ketiga adalah Boru, yaitu kelompok penerima istri, yang dalam suatu acara adat posisinya adalah sebagai “pekerja”, sehingga dalam masyarakat Batak Toba dikenal sebutan “elek marboru” yang artinya harus memperhatikan, membujuk dan mengayomi kelompok penerima istri ini, karena merekalah yang akan bekerja apabila ada suatu acara adatpesta. 125 N Siahaan 1982. Adat Dalihan Natolu Prinsip dan Pelaksanaannya. Jakarta: Penerbit Grafindo, h. 35. 126 Leo Joosten, op. cit., h. 166. Semarga: dongan sabutuha; dongan tubu: kawan-dongan samarga. Universitas Sumatera Utara pada saat lain mungkin menjadi boru, demikian juga halnya dengan boru yang bisa menjadi hula-hula. Dengan demikian setiap kelompok masyarakat Batak Toba akan menduduki ke-3 fungsi dalihan na tolu ini, yaitu hula-hula, boru dan dongan sabutuha. Dalihan Na Tolu Dalihan Natolu adalah suatu kerangka yang meliputi hubungan-hubungan kerabat adalah merupakan kerangka dasar kekerabatan. Nilai inti kekerabatan dalam masyarakat Batak menjadi unsur utama yang dapat terwujud dalam pelaksanaan adat, selain itu juga terlihat pada tutur sapa dan bersikap karena nilai kekerabatan atau keakraban berada di tempat yang tinggi bagi aturan kehidupan masyarakat Batak Toba. darah dan juga hubungan perkawinan yang mempertalikan satu kelompok. Dengan perkawinan maka terjadilah suatu ikatan dan integrasi di antara tiga pihak yang disebut tadi, seperti tiga tungku di dapur yang besar. Cukup banyak fungsi adat ini bagi masyarakat pendukungnya, di antaranya patuduhan holong yang artinya menunjukkan kasih sayang di antara sesama yang penuh sopan santunetika. Dari fungsinya yang penuh kehikmatan maka adat Dalihan Na Tolu dapat diterima oleh setiap masyarakat Batak Toba, sekali pun mereka berbeda- beda agama atau kasta. 127 Dalihan Na Tolu bukanlah mengenai agama atau kasta karena setiap orang Batak memiliki ketiga posisi tersebut. Perbedaan agama dan kasta tidak terlalu berpengaruh, mereka yang menganut agama Islam, Kristen, Katolik, Budha dan 127 Kompas, 3 Februari 2013, h. 11, “Monang Sianipar, pengusaha sukses dari Tanah Batak, mengatakan, orang Batak Toba terikat pada konsep dalihan na tolu dalam melaksanakan pernikahan… Meski Monang pengusaha besar, ketika di acara adat ia berada dalam posisi sebagai boru, ia harus mau bekerja melayani hula-hula dan tamu lainnya mulai dari cuci piring, mencincang daging, sampai membagikan makanan. Universitas Sumatera Utara yang kaya atau miskin kadang-kadang begitu erat kaitannya, hal ini dikarenakan konsep adat telah terbentuk sejak mulai lahirnya kelompok masyarakat yang identitas utamanya adalah adanya marga, sejauh ini tidak ada orang Batak Toba tanpa marga, karena dengan marga itu orang Batak akan setia terhadap ketentuan adatnya di mana pun mereka berada.

2.4 Kampung dan Desa