tidak terlalu tinggi. Jenis-jenis pohon dari stratum ini kurang memerlukan cahaya atau tahan naungan toleran.
c. Stratum C: Terdiri dari pohon-pohon yang tingginya 4-20 m, tajuknya
kontinyu. Pohon-pohon dalam stratum ini rendah, kecil, banyak bercabang.
Disamping ketiga strata pohon itu terdapat pula strata perdu-semak dan tumbuh-tumbuhan penutup tanah, yaitu :
d. Stratum D: Lapisan perdu dan semak, tingginya 1-4 m.
e. Stratum E: Lapisan tumbuh-tumbuhan penutup tanah ground cover,
tingginya 0-1 m. Richards 1966 mengemukakan bahwa hutan primer dengan struktur
yang teratur akan menjadi kelompok hutan-hutan sekunder yang tidak teratur setelah penebangan pohon yang terseleksi. Keadaan tegakan yang
ditinggalkan akan menentukan struktur dan komposisi pohon selanjutnya.
D. Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia TPTI
Untuk mengelola kawasan hutan alami fungsi produksi dengan berbagai karakteristiknya maka sistem silvikultur tebang pilih dianggap paling
efisien, karena hanya menebang pohon besar yang kayunya dapat langsung dimanfaatkan saja tanpa mengubah ekosistem hutan terlalu keras. Sistem
silvikultur tebang pilih merupakan sistem silvikultur yang paling luas di Indonesia. Sistem silvikultur ini dikeluarkan oleh Departemen Kehutanan
dengan nama Sistem Tebang Pilih Tanam Indonesia Sutisna, 2001. Sistem silvikultur adalah rangkaian kegiatan berencana dari
pengelolaan hutan yang meliputi penebangan, peremajaan, dan pemeliharaan tegakan hutan guna menjamin kelestarian produksi kayu atau hasil hutan
lainnya. Sedangkan TPTI adalah sistem silvikultur yang meliputi cara penebangan dengan batas diameter dan permudaan hutan Departemen
Kehutanan, 1992. Sistem silvikultur TPTI merupakan sistem yang paling sedikit
mengubah ekosistem hutan di hutan produksi yang merupakan hutan alami campuran tidak seumur, dibandingkan dengan sistem silvikultur lainnya.
Sistem TPTI diharapkan menjadi modifikasi dari peristiwa alami di dalam hutan, yaitu menyingkirkan pohon-pohon tua agar ruang yang dipakainya
dimanfaatkan oleh pohon-pohon muda yang masih produktif Sutisna, 2001. Satu sistem silvikultur ditetapkan untuk satu risalah hutan. Risalah
hutan adalah kegiatan pendahuluan perencanaan yang memuat bahasan kritis terhadap tegakan hutan sebagai dasar penetapan kegiatan silvikultur atau
bahkan sistem silvikultur yang sesuai. Penetapan ini harus selalu memperhatikan azas kelestarian hutan yang mencakup kelangsungan
produksi, penyelamatan tanah dan air, perlindungan alam, dan aspek usaha yang menguntungkan Sutisna, 2001.
Tujuan dari sistem TPTI adalah untuk mengatur pemanfaatan hutan alam produksi serta meningkatkan nilai hutan, baik kualitas maupun kuantitas
pada areal bekas tebangan, untuk rotasi berikutnya agar terbentuk tegakan hutan campuran yang diharapkan dapat berfungsi sebagai penghasil kayu
penghara industri secara lestari Departemen Kehutanan, 1992. Sedangkan sasaran dari TPTI adalah tegakan hutan alam produksi tidak seumur dengan
keanekaragaman hayati yang tinggi Sutisna, 2001. Untuk mencapai tujuan ini maka tindakan-tindakan silvikultur dalam
hal ini permudaan hutannya diarahkan kepada: 1.
Pengaturan komposisi jenis pohon didalam hutan yang diharapkan dapat lebih menguntungkan baik ditinjau dari segi ekologi maupun ekonomi.
2. Pengaturan strukturkerapatan tegakan yang optimal didalam hutan yang
diharapkan dapat memberikan peningkatan produksi kayu bulat dari tegakan sebelumnya.
3. Terjaminnya fungsi hutan dalam rangka pengawetan tanah dan air.
4. Terjaminnya fungsi perlindungan hutan.
Untuk mencapai sasaran yang diharapkan, maka ditetapkan tahapan TPTI dan tata waktu pelaksanaannya sebagai berikut:
Tabel 1. Tahapan Kegiatan TPTI.
No Tahapan Kegiatan TPTI
Waktu Pelaksanaan dalam tahun 1
Penataan Areal Kerja Et – 3
2 Inventarisasi Tegakan Sebelum Penebangan
Et – 2 3
Pembukaan Wilayah Hutan Et – 1
4 Penebangan Et
5 Penebasan
Et + 1 6
Inventarisasi Tegakan Tinggal Et + 1
7 Pengadaan bibit
Et + 2 8
Penanamanpengayaan Et + 2
9 Pemeliharaan tahap pertama
Et + 3 10
Pemeliharaan tahap lanjutan a.
Pembebasan b.
Penjarangan Et + 4
Et + 9 Et + 14
Et + 19 11
Perlindungan dan penelitian Terus menerus
Sumber Departemen Kehutanan, 1992. Keterangan: Et adalah simbol tahun penebangan.
Pelaksanaan sistem silvikultur TPTI dalam pengusahaan hutan dimaksudkan untuk mengatur kegiatan penebangan dan pembinaan hutan
alam produksi yang mempunyai jumlah pohon inti minimal 25 pohon per hektar. Pohon inti adalah pohon jenis komersial berdiameter minimal 20 cm
yang akan membentuk tegakan utama yang akan ditebang pada rotasi tebangan berikutnya. Pohon inti yang ditunjuk, diutamakan terdiri dari pohon
komersial yang sama dengan pohon yang ditebang. Seandainya jumlahnya masih kurang dari 25 pohon per hektar, dapat ditambah dari jenis kayu lain
Departemen Kehutanan, 1992. Pada unit kesatuan pengusahaan hutan alam produksi, yang
mempunyai komposisi dan struktur tegakan yang khusus, dapat diadakan penyesuaian sistem silvikultur TPTI sebagai berikut: Departemen Kehutanan,
1992 a.
Pada hutan payau, pedoman sistem silvikultur yang dipergunakan tetap berdasarkan pada Keputusan Direktur Jenderal Kehutanan No.
60KptsDJ1978. b.
Pada hutan rawa dengan komposisi hutan terdiri dari jenis komersial khusus, misalnya jenisramin, perupuk, dan jenis komersial lainnya; dan
pemegang HPH tidak sanggupsulit melaksanakan kegiatan penanamanpengayaan, maka hanya diijinkan menebang pohon sebanyak-
banyaknya 23 dari jumlah pohon, sesuai dengan komposisi jenisnya. c.
Pada kondisi hutan rawa yang tidak ditemukan pohon berdiameter 50 cm keatas dalam jumlah yang cukup, misalnya pada hutan ramin campuran,
maka khusus jenis ramin dapat dilakukan penurunan batas diameter pohon yang boleh ditebang menjadi 35 cm; dengan jumlah pohon inti paling
sedikit 25 pohon per hektar, berdiameter 15 cm ke atas. Sedangkan rotasi tebangan ditetapkan 25 tahun. Pengaturan pohon yang dapat ditebang
mengikuti ketentuan pada butir b tersebut. d.
Pada kondisi hutan dengan jumlah pohon muda yang berdiameter 20-49 cm, yang dapat ditunjuk sebagai pohon inti kurang dari 25 pohon per
hektar, maka kekurangannya harus ditambah dengan pohon komersial lain, yang berdiameter di atas 50 cm dan berfungsi pula sebagai pohon
induk. Batas diameter batang yang boleh ditebang adalah 50 cm, dengan jumlah pohon inti paling sedikit 25 pohon per hektar, sedangkan rotasi
tebang ditetapkan 35 tahun. e.
Pada kondisi hutan yang terdiri dari jenis-jenis komersial, yang memiliki pertumbuhan yang lambat dan sulit ditemukan pohon-pohon yang
berdiameter 50 ke atas, seperti pada hutan eboni campuran, maka khusus untuk jenis eboni dapat dilakukan penurunan batas diameter pohon yang
boleh ditebang menjadi 35 cm, dengan jumlah pohon inti paling sedikit 25 pohon per hektar, berdiameter 15 cm ke atas. Sedangkan rotasi tebang
ditetapkan 45 tahun. TPITPTI mengikuti kaidah alami dengan menebang jenis-jenis pohon
komersial dengan limit diameter 50 cm ke atas pada hutan produksi dan limit diameter 60 cm ke atas pada hutan produksi terbatas. Hasil tebangan
TPITPTI tersebar dalam bentuk rumpang pada areal bekas tebangan, menurut kerapatan jenis-jenis pohon komersial ditebang pada areal tebangan
Soerianegara, 1996. TPITPTI juga mensyaratkan diadakannya penanaman pengayaan pada
areal hutan yang permudaannya kurang, pada areal bekas lahan sarad bekas tempat pengumpulan dan tanah-tanah terbuka lainnya. Pemilihan jenis pohon
untuk penanaman pengayaan sesuai dengan kondisi daerah yang akan ditanami khususnya keadaan tanah dan cahaya sangat berperan dalam
keberhasilan tanaman pengayaan yang dilakukan Soerianegara, 1996.
Menurut pedoman TPTI maka harus tersedia minimal 400 batanghektar untuk tingkat semai, 200 batanghektar untuk tingkat pancang
dan 75 batanghektar untuk tingkat tiang dan 25 pohon hektar jenis komersial dan sehat Departemen Kehutanan, 1993.
Sistem TPTI memerlukan struktur tegakan pohon-pohon jenis niagawi yang berimbang, artinya jenis-jenis pohon yang bakal dipanen harus memiliki
jumlah permudaan segala tingkatan yang memadai. Namun struktur demikian pada umumnya tidak dimiliki oleh jenis-jenis pohon stratum atasan, karena
jenis-jenis itu hanya berkembang tumbuh di dalam rumpang dengan sinar matahari yang cukup. Untuk memperbaiki struktur harmonis dari tegakan
jenis-jenis niagawi, diperlukan pengaturan ruang tumbuh untuk mendukung sejumlah terbatas dari permudaan agar segala tingkatan permudaan memiliki
jumlah yang memadai Sutisna, 2001.
E. Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Intensif Indonesia TPTII