Menurut pedoman TPTI maka harus tersedia minimal 400 batanghektar untuk tingkat semai, 200 batanghektar untuk tingkat pancang
dan 75 batanghektar untuk tingkat tiang dan 25 pohon hektar jenis komersial dan sehat Departemen Kehutanan, 1993.
Sistem TPTI memerlukan struktur tegakan pohon-pohon jenis niagawi yang berimbang, artinya jenis-jenis pohon yang bakal dipanen harus memiliki
jumlah permudaan segala tingkatan yang memadai. Namun struktur demikian pada umumnya tidak dimiliki oleh jenis-jenis pohon stratum atasan, karena
jenis-jenis itu hanya berkembang tumbuh di dalam rumpang dengan sinar matahari yang cukup. Untuk memperbaiki struktur harmonis dari tegakan
jenis-jenis niagawi, diperlukan pengaturan ruang tumbuh untuk mendukung sejumlah terbatas dari permudaan agar segala tingkatan permudaan memiliki
jumlah yang memadai Sutisna, 2001.
E. Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Intensif Indonesia TPTII
Dalam mendorong tercapainya kondisi hutan yang mampu berfungsi secara optimal, produktif, serta dikelola dengan efektif dan efisien
Departemen Kehutanan akan mengembangkan pembangunan Sistem Silvikultur Intensif atau Tebang Pilih Tanam Intensif Indonesia dalam
pemanfaatan sumberdaya hutan. Silvikultur adalah cara-cara penyelenggaraan dan pemeliharaan hutan, serta penerapan praktik-praktik pengaturan
komposisi dan pertumbuhan hutan. Dengan demikian sistem silvikultur merupakan cara utama untuk mewujudkan hutan dengan struktur dan
komposisi yang dikehendaki, yang disesuaikan dengan lingkungan setempat. Sistem silvikultur intensif ini merupakan penyempurnaan dari
sistem-sistem sebelumnya, yaitu Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia TPTI dan Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Jalur TPTJ.
Sistem TPTII adalah regime silvikultur hutan alam yang mengharuskan adanya tanaman pengkayaan pada areal pasca penebangan
secara jalur, tanpa memperhatikan cukup atau tidaknya anakan yang tersedia dalam tegakan tinggal. Keunggulan dari Tebang Pilih dan Tanam Indonesia
Intensif TPTII adalah Departemen Kehutanan, 2004:
a. Kontrol pengelolaan baik oleh perusahaan sendiri, maupun pihak luar
lebih efisien, mudah dan murah b.
Pada awal pembangunannya telah menggunakan bibit dengan jenis yang terpilih dan pada rotasi berikutnya telah menggunakan bibit dari hasil
pemuliaan, sehingga produktivitasnya bisa meningkat 5 kali, kualitas produk lebih baik.
c. Target produksi lebih bisa fleksibel bergantung pada investasi tanaman
kayu, produk metabolisme sekunder. d.
Keanekaragaman hayati, kondisi lingkungan lebih baik. e.
Kemampuan perusahaan meningkat.
F. Pemanenan Hasil Hutan
Pemanenan kayu merupakan salah satu kegiatan pengelolaan hutan, pada dasarnya merupakan serangkaian tahapan kegiatan yang dilaksanakan
untuk mengubah pohon dari hutan dan memindahkannya ke tempat penggunaanpengelolaan dengan melalui tahapan perencanaan pembukaan
wilayah hutan PWH, penebangan, penyaradan, pengangkutan dan pengujian sehingga bermanfaat bagi kehidupan ekonomi dan kebudayaan masyarakat
berdasarkan prinsip kelestarian Conway, 1976. Pemanenan merupakan suatu kegiatan memanen kayu secara ekonomis
untuk memasok industri dengan menjaga kelestarian hasil, kualitas lingkungan, dan keselamatan pekerja dan peralatan Suparto, 1994.
Sedangkan menurut Elias 1997, pemanenan adalah satu bagian yang dominan dalam manajemen hutan secara keseluruhan oleh karena itu feed
back nya terhadap kesuksesan maupun kegagalan pengelolaan hutan yang
lestari dalam jangka panjang sangatlah penting. Reduced Impact Timber Harvesting
RITH ialah suatu teknik pemanenan kayu yang direncanakan secara intensif, dalam pelaksanaan
operasinya menggunakan teknik pelaksanaan dan peralatan yang tepat serta diawasi secara intensif untuk meminimalkan kerusakan terhadap tegakan
tinggal dan tanah Elias, 2002. Dan tujuan dari implementasi RITH adalah meminimalkan pengaruh negatif terhadap lingkungan erosi, sedimentasi, dan
pengeruhan air sungai, meningkatkan efisiensi pemanenan penekanan terhadap volume limbah pemanenan, biaya pemanenan dan peningkatan
kualitas produksi kayu, menciptakan ruang tumbuh yang optimal dalam tegakan memaksimalkan pertumbuhan dan hasil hutan non kayu,
meningkatkan pendapatan, kesehatan dan keselamatan kerja pekerja dan masyarakat dan menciptakan prasyaratkondisi pengelolaan hutan alam lestari
Elias, 2002. Sistem pemanenan kayu jati dan rimba di Pulau Jawa menggunakan
sistem manual, dengan menggunakan sub sistem penyaradan dengan sapi dan pemikulan oleh manusia. Sedangkan sistem pemanenan kayu di luar Jawa
menggunakan sistem mekanis, dengan sub sistem penyaradan dengan traktor di tanah kering dan tanah rawa dengan sistem kuda-kuda Elias, 1998.
Kegiatan pemanenan kayu yang intensif dapat berpengaruh serius terhadap struktur hutan dan persentase serta kerusakan terbesar terjadi pada
pohon-pohon yang memungkinkan untuk ditebang Whitmore, 1986. Pemanenan kayu dengan sistem TPTI tidak menyebabkan perubahan
stratifikasi tegakan, karena jumlah strata tegakan sebelum dan sesudah pemanenan kayu masih sama, yakni terdiri dari strata A, B dan C. Perubahan
yang terjadi hanya pada tajuk terhadap lantai hutan yang berkisar 15-25 Elias, 1997.
Pemanenan kayu menyebabkan terjadinya perubahan komposisi dan struktur yang ditandai dengan bergesernya peringkat Indeks Nilai Penting
INP masing-masing jenis dalam petak. Jumlah yang hilang akibat pemanenan kayu terkendali dan konvensional berkisar antara 1-6 jenis
Sularso, 1996. Kegiatan penebangan dan penyaradan menyebabkan kerusakan
tegakan tinggal yang berat. Penelitian lebih lanjut memperlihatkan bahwa kegiatan penyaradan menimbulkan kerusakan yang lebih berat daripada
penebangan. Hal ini tergantung dari keterampilan pekerja, tegakan dan tajuk hutan, serta keadaan area pemanenan Bureau of Forestry Philippines, 1970.
Menurut Elias 1994, kerusakan lingkungan yang dapat diakibatkan oleh pemanenan kayu antara lain: kerusakan tegakan tinggal, kerusakan tanah
sebagai tempat tumbuh pohon-pohon, erosi, menurunnya keragaman jenis biodiversity terjadinya limbah pemanenan kayu logging waste yang besar.
1. Penebangan
Penebangan adalah pengambilan kayu dari pohon-pohon dalam tegakan yang berdiameter sama dengan atau lebih besar dari batas diameter
yang ditetapkan Departemen Kehutanan, 1993. Menurut Suparto 1979 dalam Budiaman 2003, penebangan
merupakan langkah awal dari kegiatan pemanenan kayu, meliputi tindakan yang diperlukan untuk memotong kayu dari tunggaknya secara aman dan
efisien. Maksud kegiatan penebangan melaksanakan pemanfaatan kayu secara
optimal dari blok tebangan yang sudah disahkan atas pohon-pohon yang berdiameter lebih besar dari batas diameter yang ditetapkan dan
meminimalkan kerusakan terhadap tegakan tinggal Departemen Kehutanan, 1993.
Kegiatan penebangan pohon meliputi pekerjaan penentuan arah rebah, pelaksanaan penebangan, pembagian batang, penyaradan, pengupasan dan
pengangkutan kayu bulat dari Tempat Pengumpulan TPn, ke Tempat Penimbunan Kayu TPK Departemen Kehutanan, 1993. Tetapi pada
dasarnya kegiatan penebangan pohon terdiri dari 3 kegiatan, yaitu: persiapan penebangan, penentuan arah rebah, pembuatan takik rebah dan balas
Budiaman, 2003.
Asas-asas penebangan pohon dalam sistem TPTI Sutisna, 2001 adalah:
a. Menebang pohon besar yang telah mencapai ukuran siap panen untuk
dijual agar perusahaan memperoleh keuntungan finansial, dan memberikan ruang tumbuhnya kepada permudaan yang menghasilkan riap
kayu lebih besar daripada pohon-pohon tua. b.
Pemanfaatan potensi hutan per satuan luas seoptimal mungkin dengan meminimalkan limbah pembalakan.
c. Penebangan pohon dalam tegakan menggunakan arah rebah menuju
pangkal jalan sarad agar kerusakan dan tegakan tinggal dapat diminimalkan.
d. Penomoran kayu bulat secara konsisten berdasarkan nomor pohon berdiri
yang dibuat dan dipetakan dalam kegiatan ITSP. Teknik penebangan yang benar menurut Sinaga, et.al. 1984 dalam
Putra 2003 adalah: 1.
Menyingkirkan rintangan, yaitu untuk memudahkan pekerjaan dan mencegah kecelakaan.
2. Menentukan arah rabah pohon. Penentuan arah rebah pohon yang cermat
sangat penting untuk menghindari kerusakan kayu, antara lain menghindari rebahnya pohon di atas parit, batu, tunggak dan masuk
jurang. 3.
Membuat takik rebah dan takik balas. Untuk mengurangi kerusakan pangkal pohon yang ditebang berupa serat kayu tercabut barber chair
juga untuk mengarahkan rebah pohon sesuai dengan arah rebah yang telah ditentukan terlebih dahulu.
4. Penebangan. Untuk pohon yang tidak berbanir, penebangan dilakukan
serendah mungkin yaitu sepertiga diameter pohon dari atas tanah, sedangkan pada pohon berbanir penebangan dilakukan di atas banir.
5. Pembagian dan pemotongan batang. Pekerjaan ini mencakup perataan
takik rebah dan takik balas, membagi atau memotong batang menurut panjang sortimen yang dikehendaki.
Wyatt-Smith 1963 menyatakan bahwa permudaan dianggap cukup apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. Terdapat paling sedikit 40 stocking permudaan semai jenis komersial
aatau 400 petak ukur mili acre per acre 1000 petak ukur acre per hektar. b.
Terdapat paling sedikit 60 stocking permudaan pancang jenis komersial atau 96 petak ukur per acre 240 petak ukur per hektar.
c. Terdapat paling sedikit 75 stocking permudaan tingkat tiang jenis
komersial atau 30 petak ukur per acre 75 petak ukur per hektar.
2. Penyaradan
Penyaradan skidding, yarding adalah suatu kegiatan pengeluaran kayu dari tempat tebangan ke tempat pengumpulan kayu atau disebut TPn
Sastrodimedjo, 1992. Sedangkan Budiaman 2003 menjelaskan bahwa penyaradan kayu adalah kegiatan memindahkan kayu dari tempat tebangan ke
tempat pengumpulan kayu atau ke pinggir jalan angkutan. Dan untuk mengurangi kerusakan lingkungan tanah maupun tegakan yang ditimbulkan,
penyaradan seharusnya dilakukan sesuai dengan rute penyaradan yang telah direncanakan di atas peta kerja.
Menurut Budiaman 2003, metode penyaradan dapat dilakukan dengan berbagai cara antara lain:
1. Secara manual.
2. Menggunakan hewan.
3. Memanfaatkan gaya gravitasi.
4. Skidding atau yarding dengan traktor.
5. Menggunakan kabel, pesawat, helikopter.
Berbagai cara penyaradan yang tergantung pada beberapa faktor antara lain kerapatan tegakan dan ketebalan tumbuhan bawah Conway, 1976.
Menurut Brown 1949 faktor lain yang perlu dipertimbangkan yaitu sistem silvikultur yang digunakan, keadaan iklim serta jarak ke tempat pengumpulan
kayu. Sementara itu Sumitro 1980 menyatakan faktor-faktor yang mempengaruhi penyaradan terutama di luar Jawa, antara lain: alat dan cara
penyaradan, keadaan medan kelerengan, cuaca, serta keadaan tegakan sisa. Hutan alam diluar Jawa dengan sistem TPTI, menyulitkan jalannya
penyaradan. Jalan sarad yang panjang menurut kontur dan kerapatannya rendah, terang akan mengurangi kerusakan tegakan tinggal. Kerusakan tidak
langsung berupa luka bekas traktor dan pemadatan pada lapisan atas tanah tergantung pada beratnya traktor. Sayangnya tanah hutan di luar Jawa
umumnya peka sekali terhadap gangguan ini Sumitro, 1980. Pada pelaksanaannya, penyaradan dapat dilakukan dua tahap. Tahap
pertama, yaitu menarik kayu dari tunggak di tempat tebangan ke suatu tempat pengumpulan sementara, yang pada umumnya terletak di dalam hutan.
Kegiatan ini dimaksudkan untuk mempermudah tahap pekerjaan penyaradan
selanjutnya, yang dilaksanakan karena jarak sarad yang terlalu jauh sehingga bila dilakukan penyaradan secara langsung satu tahap saja, biayanya menjadi
terlalu mahal Sastrodimedjo, 1992. Kebanyakan HPH beroperasi di daerah yang berbukit-bukit. Untuk
mengeluarkan kayu dari tegakan hutan ke tempat pengumpulan, peralatan yang sering digunakan di hutan alam tropis di Indonesia ialah traktor berban
ulat, seperti Cat D7 dan Komatsu D 85 E-SS. Traktor ini dapat bekerja pada kelerengan yang curam Elias, 1997.
Menurut Elias 1999, ada beberapa kerusakan akibat penggunaan alat berat seperti traktor, antara lain:
a. Pemadatan tanah.
Pemadatan tanah adalah proses dimana partikel-partikel tanah secara mekanik bergerak ke posisi yang lebih rapat satu sama lain. Pemadatan
tanah diakibatkan oleh beban atau tekanan yang dialami tanah tersebut. Idris 1987 menyatakan bahwa pemadatan tanah hutan yang terjadi akibat
penyaradan kayu dengan traktor berban baja ditunjukkan oleh besarnya kerapatan massa tanah hutan antara 0,703-1,960 gcm
3
dengan rata-rata 1,158 gcm
3
. Porositas tanah pada kerapatan massa tanah tersebut adalah 56. Pemadatan tanah ini merupakan fungsi dari intensitas penggunaan
jalan sarad, kebecekan tanah hutan serta kemiringan memenjang jalan sarad.
b. Keterbukaan Tanah.
Keterbukaan tanah yang disebabkan penggunaan alat berat dalam pengelolaan hutan alam pada hanya terjadi pada kegiatan penyaradan dan
pembukaan wilayah hutan jaringan jalan angkutan. c.
Erosi Setempat. Sistem pemanenan kayu dan PWH merupakan faktor dominan yang
menyebabkan erosi setempat terutama erosi parit. Menurut Arsyad 1989, erosi adalah hilangnya atau terkikisnya tanah atau atau bagian-
bagian dari tanah dari sutau tempat yang diangkut oleh air atau angin ketempat lain. Erosi menyebabkan hilangnya lapisan atas tanah yang subur
dan baik untuk pertumbuhan tanaman serta berkurangnya kemampuan tanah untuk menyerap dan menahan air.
d. Kerusakan Pada Vegetasi Hutan.
Kerusakan vegetasi hutan akibat operasi alat berat kehutanan terutama terjadi pada kegiatan penyaradan. Kerusakan vegetasi hutan, pertama
terjadi pada kesulitan perakaran pohon untuk menembus tanah yang terpadatkan akibat dilewati oleh alat berat, sehingga usaha mencari bahan
makanan, air dan menunjang batang pohonnya sendiri sering terganggu. e.
Gangguan Terhadap Satwa Liar. Gangguan pengoperasian alat berat di hutan terhadap satwa liar terutam
karena kebisingannya. Pada umumnya satwa liar akan menghilang pada waktu pengopersian alat berat, dan kembali lagi setelah operasi alat berat
berhenti.
G. Kerusakan Tegakan Tinggal
Semua bentuk pemanenan kayu tanpa kecuali menimbulkan kerusakan pada lingkungan, baik itu lingkungan hutan itu sendiri maupun lingkungan
sekitar hutan Suparto,1994. Kerusakan tegakan tinggal secara umum disebabkan oleh kegiatan
penebangan dan penyaradan. Tingkat kerusakan dari keterbukaan lahan tegakan tinggal yang disebabkan oleh kegiatan penebangan dan penyaradan
tergantung dari luasan intensitas pemanenan, terutama keterbukaan lahan yang disebabkan penebangan. Intensitas terbesar dari pemanenan
menyebabkan luasnya keterbukaan lahan pada tegakan tinggal Elias, 1997. Kerusakan tegakan tinggal akibat pemanenan kayu dengan sistem
TPTI adalah kerusakan yang terjadi pada bagian yang sebenarnya tidak termasuk dalam rencana untuk dipanen hasilnya pada waktu pemanenan kayu.
Kerusakan-kerusakan tersebut dapat berupa pohon roboh atau pohon masih berdiri tetapi bagian batang, banir atau tajuk dan diperkirakan tidak dapat
tumbuh lagi dengan normal dan keterbukaan arealtanah akibat penebangan dan penyaradan Elias, 1997.
Pohon inti dinyatakan rusak apabila mengalami salah satu atau lebih keadaan sebagai berikut: Departemen Kehutanan, 1993
a. Tajuk pohon rusak lebih dari 30 atau cabang pohondahan besar patah.
b. Luka batang mencapai bagian kayu berukuran lebih dari 14 keliling
batang dengan panjang lebih dari 1,5 m. c.
Perakaran terpotong atau 13 banirnya rusak. Menurut Elias 1993 dalam Sularso 1996, berdasarkan populasi
pohon dalam petak, kerusakan tegakan tinggal dapat dikelompokkan sebagai berikut: tingkat kerusakan ringan 25, tingkat kerusakan sedang 25-50
dan tingkat kerusakan berat 50. Beberapa tingkat kerusakan yang terjadi pada indivudu pohon yaitu:
1. Tingkat kerusakan berat
a. Patah batang.
b. Pecah batang.
c. Roboh, tumbang atau miring sudut 45
o
dengan permukaan tanah. d.
Rusak tajuk 50 rusak tajuk, juga didasarkan atas banyaknya cabang pembentuk tajuk patah.
e. Luka batangrusak kulit 12 keliling pohon atau 300-600 cm kulit
mengalami kerusakan. f.
Rusak banirakar 12 banir atau perakaran rusakterpotong. 2.
Tingkat kerusakan sedang a.
Rusak tajuk 30-50 tajuk rusak atau 16 bagian tajuk mengalami kerusakan.
b. Luka batangrusak kulit 14-12 keliling pohon rusak atau 150-300 cm
kulit rusak. c.
Rusak banirakar 13-12 banirakar rusak atau terpotong. d.
Condong atau miring pohon miring membentuk sudut 45
o
dengan tanah.
3. Tingkat kerusakan ringan
a. Rusak tajuk 30 tajuk rusak.
b. Luka batangrusak kulit 14-12 keliling dan panjang luka 1,5 m atau
kerusakan sampai kambium dengan lebar lebih dari 5 cm, lebih kurang sepanjang garis sejajar sumbu longitudinal dari batang.
c. Rusak banirakar 14 banir rusak atau perakaran terpotong.
Menurut Elias 1993, tingkat kerusakan tegakan tinggal didasarkan pada populasi pohon dan tingkatan perkembangan vegetasi sebagai berikut:
Tabel 2. Tingkat Kerusakan Tegakan Tinggal Didasarkan pada Populasi Pohon dan Tingkatan Perkembangan Vegetasi
.
Tingkatan vegetasi PT. Narkata Rimba
PT. Kiani Lestari Semai 30.02
38.20 Pancang 27.17
43.40 Tiang 24.60
33.26 Pohon -
12.63
Berdasarkan pada ukuran luka kerusakan pada setiap individu pohon, tingkat kerusakan yang disebabkan pemanenan kayu sebagai berikut:
Tabel 3. Tingkat Kerusakan Didasarkan pada Ukuran Luka Kerusakan pada Setiap Individu Pohon
.
PT. Narkata Rimba PT. Kiani Lestari
Pohon luka berat 82.12
83.29 Pohon luka sedang
13.19 6.15
Pohon luka ringan 4.58
10.56
Hasil penelitian Muhdi 2001, memperlihatkan bahwa kerusakan terhadap tegakan tinggal pada berbagai tingkatan vegetasi akibat pemanenan
kayu konvensional sebagai berikut: semai 34,42 akibat penebangan 13,55 dan akibat penyaradan 20,87, pancang 35,13 penebangan 8,73
dan penyaradan 26,40, pohon 33,15 penebangan 8,90 dan penyaradan 24,25. Sedangkan kerusakan terhadap tegakan tinggal pada berbagai
tingkatan vegetasi akibat pemanenan kayu RITH sebagai berikut: 23,17 akibat penebangan 6,36 dan penyaradan 16,80, pancang 21,72
penebangan 5,43 dan 16,29, pohon 19,53 penebangan 6,63 dan penyaradan 12,89.
Adapun hasil penelitian Sularso 1996, memperlihatkan bahwa persentase rata-rata kerusakan tegakan tinggal akibat penebangan kayu
terkendali dan konvensional berdasarkan tipe kerusakan berturut-turut adalah tipe batang sebesar 35,91, patah tajuk 25,16, patah cabangranting
19,99, roboh 11,01, condong 6,29 dan terkelupas kulitpecah banir
5,64. Sedangkan akibat penyaradan kayu urutan tipe kerusakan adalah sebagai berikut: kerusakan roboh 50,80, patah batang 19,57, patah tajuk
10,26, patah cabangranting 7,15, terkelupas kulitpecah banir 6,75 dan condong 5,47.
Hasil percobaan minimalisasi kerusakan akibat pemanenan kayu menunjukkan bahwa penerapan cara pemanenan kayu berwawasan
lingkungan dapat mengurangi kerusakan tegakan tinggal sampai 50 dan limbah pemanenan kayu 10-30. Kenaikan biaya produksipemanenan kayu
hanya 1,27 Elias, 1997.
H. Perkembangan Hutan Bekas Tebangan