Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kontaminasi Bakteri Escherichia coli
87
tangan perlu diperatikan pula menggosok ujung-ujung jari, kuku, ibu jari, pergelangan tangan dan sela-sela tangan. Setelah itu keringkan dengan
menggunakan handuklap yang bersih dan kering atau menggunakan kertas tissue. Air hangat dan sabun lebih baik dapat menghilangkan lemak, bakteri dan
kotoran. Apabila tidak terdapat air hangat, air dingin dapat dipakai untuk mencuci tangan dengan tetap menggunakan sabun WHO, 2006.
Penelitian yang dilakukan oleh Burton dkk 2011 menunjukkan bahwa mencuci tangan dengan sabun lebih efektif dalam menghilangkan bakteri pada
tangan dari pada mencuci tangan dengan air saja. Segala jenis sabun dapat digunakan untuk mencuci tangan, baik itu sabun mandi, sabun antiseptik maupun
sabun cair. Sabun antiseptik mengandung zat antibakteri umum seperti Triklosan yang resisten terhadap organisme tertentu Kemenkes RI, 2014. Air yang
digunakan untuk mencuci tangan harus air yang bersih dan mengalir. Menurut Permenkes No. 1096 tahun 2011, air tersebut juga harus memenuhi persyaratan
air bersih dan pipa penyaluran air tidak terjadi kebocoran maupun tidak berhubungan dengan saluran pembuangan air limbah atau terkontaminasi dengan
air kotor. Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Anggorowati
2014 yang menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara mencuci tangan dengan kontaminasi E.coli pada jajanan di pasar tradisional sekitar Kota Klaten
dengan Pvalue sebesar 0,52. Penelitian yang dilakukan oleh Baluka dkk 2015 juga menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara praktik mencuci tangan
dengan kontaminasi makanan di kantin Universitas Makarere, Uganda dengan Pvalue 0,05.
88
Namun penelitan ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Pratiwi 2014 yang diketahui bahwa terdapat hubungan antara praktik mencuci
tangan dengan sabun dengan kontaminasi E.coli pada sambal yang disediakan di kantin UNS dengan Pvalue sebesar 0,008. Penelitian Sneed dkk 2015 yang juga
menunjukkan bahwa penjamah makanan yang tidak mencuci tangan dengan sabun berisiko 2,36 kali dapat mengkontaminasi makanan daripada penjamah
makanan yang mencuci tangan dengan sabun. Oleh karena itu, mencuci tangan dengan sabun merupakan hal pokok yang
harus dilakukan oleh penjamah makanan. Mencuci tangan dengan sabun merupakan kegiatan yang ringan dan sering disepelekan, namun efektif dalam
upaya mencegah kontaminasi pada makanan. Mencuci tangan sebaiknya dilakukan dengan menggunakan sabun yang mengandung anti bakteri karena
lebih efektif membunuh kuman dibanding sabun biasa Cahyaningsih dkk, 2009.
2 Menggunakan Alat Bantu Penyajian Makanan
Salah satu aspek higiene sanitasi penjamah makanan lainnya adalah menggunakan alat bantu penyajian makanan. Sentuhan tangan merupakan
penyebab yang paling umum terjadinya kontaminasi makanan. Mikroorganisme yang melekat pada tangan akan berpindah ke dalam makanan dan akan
berkembang biak dalam makanan, terutama makanan jadi. Untuk menghindari perpindahan mikroorganisme pada tangan ke dalam makanan, diperlukan alat
bantu untuk ambil makanan. Alat bantu digunakan untuk mengambil makanan matang atau melakukan pengemasan makanan agar tidak terjadi kontak langsung
dengan tangan penjamah makanan. Selain itu, menurut Moehyi 1992 memegang makanan secara langsung selain tampak tidak etis, juga akan
mengurangi kepercayaan pelanggan.
89
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa sebanyak 80 penjamah makanan menggunakan alat bantu saat mengambil dan menyajikan makanan
matang. Alat bantu yang paling banyak digunakan berupa penjepit. Alat bantu lain yang digunakan, antara lain tusukan, garpu, sendok, dan sumpit.
Berdasarkan hasil uji statistik menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara menggunakan alat bantu penyajian makanan dengan
kontaminasi bakteri E.coli pada PJAS di sekolah dasar Kecamatan Cakung tahun 2016 dengan Pvalue sebesar 0,044. Pedagang makanan yang tidak menggunakan
alat bantu penyajian makana berisiko 5,00 kali lebih besar dapat menyebabkan kontaminasi bakteri E.coli daripada pedagang yang tidak menggunakan alat
bantu penyajian makanan matang. Banyaknya jumlah penjamah makanan yang sudah menggunakan alat bantu
penyajian makanan disebabkan karena sebagian besar makanan merupakan jenis makanan yang dimasak terlebih dahulu sebelum disajikan. Sehingga alat bantu
tersebut digunakan agar tangan tidak terbakar akibat mengambil makanan yang baru matang. Beberapa penjamah makanan 38,3 juga sudah mengikuti
pelatihan mengenai keamanan pangan yang dilakukan oleh dinas kesehatan dan puskesmas setempat, sehingga hal tersebut dapat menambah pengetahuan
penjamah makanan tentang kemungkinan terjadinya kontaminasi akibat menyentuh makanan langsung dengan tangan.
Menyentuh makanan dengan tangan langsung tanpa menggunakan alat bantu dapat mingkatkan risiko terjadinya proses kontaminasi pada makanan
Setyorini, 2013. Alat bantu yang dapat digunakan untuk mengambil makanan antara lain penjepit, spatula jaring, sarung tangan, garpu, dan sendok Green
dkk, 2007. Selain untuk membantu mengambil makanan matang, alat bantu
90
seperti penjepit dapat berfungsi untuk menghindari makanan kontak langsung dengan tangan. Untuk mempermudah proses pengambilan makanan, diperlukan
ukuran penjepit yang sesuai EATS, 2016. Selain menggunakan penjepit atau alat bantu ambil makanan lainnya,
penjamah makanan juga dapat menggunakan sarung tangan untuk mengurangi risiko kontaminasi bakteri dari tangan ke dalam makanan Michaels, 2002.
Sarung tangan tidak berarti dapat menggantikan cuci tangan, tetapi hal ini dimaksudkan untuk lebih memastikan keamanan pangan dan mencegah
kontaminasi silang. Pemakaian sarung tangan plastik atau karet digunakan setelah mencuci tangan dengan bersih dan diganti setiap setelah menangani
makanan Toronto Public Health, 2004. Namun, beberapa penjamah makanan tidak menggunakan sarung tangan saat mengambil makanan dengan alasan
terganggu untuk melaksanakan pekerjaannya dan belum terbiasa Marpaung dkk, 2012.
Penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Green dkk 2007 yang menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara
penggunaan alat bantu penyajian makanan dengan kontaminasi bakteri pada restauran di kota Atlanta, Amerika Serikat dengan Pvalue 0,001. Penelitian
yang dilakukan oleh Badrie dkk 2003 juga menunjukkan adanya hubungan antara penggunaan alat bantu penyajian makanan dengan kontaminasi bakteri
pada pedagang kaki lima di Trinidad, India dengan Pvalue 0,01. Namun, penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh
Pratiwi 2014 yang menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara menggunakan alat bantu penyajian makanan dengan kontaminasi bakteri E.coli
pada makanan yang dijual di kantin UNS dengan Pvalue 1,00. Penelitian yang
91
dilakukan oleh Marlina 2007 juga menunjukkan hasil yang sama, dimana tidak ada hubungan antara praktik menggunakan alat bantu ketika mengambil
makanan dengan kandungan E.coli pada tempe penyet di warung Tembalang dengan Pvalue 0,276.
Untuk menghindari terjadinya kontaminasi bakteri dari tangan ke dalam makanan yang akan dijual, penjamah makanan harus menggunakan alat seperti
sendok, penjepit dan garpu pada saat proses penyajian makanan ataupun pengemasan. Penjamah makanan juga dapat menggunakan sarung tangan dari
plastik transparan yang tipis dan sekali pakai untuk menyajikan makanan jika tidak menggunakan alat bantu Pujiati dkk, 2015.
3 Cara Mencuci Peralatan Penanganan Makanan
Salah satu aspek higiene sanitasi peralatan yaitu cara pencucian peralatan penanganan makanan. Peralatan merupakan salah satu media kontaminasi
bakteri ke dalam makanan. Cara pencucian peralatan yang tidak benar akan menyebabkan bakteri yang terdapat pada peralatan berpindah pada makanan
yang akan diolah. Berdasarkan Permenkes No. 1096 tahun 2011, fasilitas jasaboga harus memiliki tempat khusus untuk mencuci tangan, peralatan dan
bahan makanan. Peralatan pengolahan dan penanganan makanan harus dicuci dengan menggunakan air mengalir dan sabun EATS, 2016.
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, diketahui bahwa 66,7 cara pencucian peralatan yang dilakukan oleh penjamah makanan tidak memenuhi
syarat. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara cara pencucian peralatan penanganan makanan dengan
kontaminasi bakteri E.coli pada PJAS di Sekolah Dasar Kecamatan Cakung tahun 2016 dengan Pvalue sebesar 0,783.
92
Penjamah makanan belum melakukan praktik pencucian peralatan dengan cara yang benar, dimana sudah menggunakan sabun, namun tidak menggunakan
air yang mengalir. Beberapa kantin yang disediakan oleh pihak sekolah dasar di Kecamatan Cakung telah menyediakan sarana fasilitas sanitasi berupa tempat
untuk mencuci tangan, peralatan dan bahan makanan. Pada fasilitas tersebut juga sudah disediakan sabun untuk mencuci peralatan dan sponge untuk
membersihkan sisa makanan dalam peralatan tersebut. Sedangkan pada penjamah makanan yang berjualan diluar sekolah, sebagian
besar 73 mencuci peralatan dengan menggunakan air pada ember yang digunakan secara berulang kali dan diletakkan di bagian bawah gerobak, selain
untuk mencuci peralatan makan, air dalam ember tersebut juga digunakan untuk mencuci tangan. Penjamah makanan menggunakan air pada ember untuk
mencuci peralatan dikarenakan lebih praktis dan tidak perlu sering mengambil air pada sumber air bersih. Namun beberapa pedagang mencuci peralatan setelah
mereka sampai di rumah karena jenis makanan yang dijual adalah berupa makanan camilansnack yang sudang matang sebelum dijual.
Walaupun sebagian besar penjamah makanan berjualan dengan sarana bangunan kantinkios yang telah dilengkapi oleh fasilitas sanitasi yang
disediakan oleh pihak sekolah, beberapa diantaranya masih mencuci peralatan menggunakan air dalam ember yang telah ditampung. Penjamah makanan
tersebut beralasan karena lebih praktis dan dapat langsung mencuci peralatan daripada harus membawa peralatan tersebut ke fasilitas sanitasi. Selain itu,
jumlah fasilitas sanitasi yang sedikit dan tidak sebanding dengan jumlah pedagang yang berjualan.
93
Hasil pada penelitian ini menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara cara pencucian dengan kontaminasi bakteri E.coli pada makanan jajanan. Hal ini
dapat disebabkan karena walaupun penjamah makanan tidak menggunakan air mengalir saat mencuci peralatan, penjamah makanan telah menggunakan sabun
untuk mencuci peralatan tersebut. Sabun yang digunakan untuk mencuci peralatan tersebut merupakan jenis alkali yang dapat membersihkan dan
menghilangkan sisa makanan, lemak dan minyak yang menempel pada peralatan yang dapat berpotensi menjadi media perkembangbiakkan bakteri Marriott dan
Gravani, 2006. Menurut Kemenkes RI 2011 pencucian peralatan harus menggunakan
sabundetergen, air panas dan air bersih serta memberikan sanitizer berupa larutan kaporit 50 ppm atau iodophor 12,5 ppm. Langkah-langkah pencucian
peralatan yang baik menurut Washington State Departement of Health 2013, yaitu dengan membersihkan bak tempat pencucian peralatan, membuang sisa
makanan yang menempel pada peralatan ke tempat sampah, membilas peralatan dengan air, memberikan sabun, kemudian bilas dengan air bersih, memberikan
sanitizer dan terakhir tiriskan peralatan hingga kering dan diletakkan pada tempat yang bersih dan terlindung dari pencemaran. Penggunaan sikat dan sponges
untuk mencuci peralatan dapat membantu menghilangkan sisa makanan maupun material deposit lainnya yang terdapat pada peralatan penanganan makanan.
Kain lapserbet yang digunakan untuk mengeringkan peralatan yang telah dicuci harus bersih, kering, dan tidak digunakan untuk keperluan lainnya. Selain
itu kain lapserbet harus dicuci setiap hari dan disanitasi dengan bahan sanitaiser yang sesuai Pratiwi, 2014. Selain itu, peralatan harus dicuci dengan
menggunakan air yang mengalir. Menurut Permenkes No. 1096 tahun 2011, air
94
tersebut juga harus memenuhi persyaratan air bersih dan pipa penyaluran air tidak terjadi kebocoran maupun tidak berhubungan dengan saluran pembuangan
air limbah atau terkontaminasi dengan air kotor. Pedagang kaki lima diketahui mencuci peralatan menggunakan air yang dipakai berulang-ulang. Air yang
dipakai berulang-ulang dapat berpotensi menyebabkan kontaminasi bakteri ke dalam makanan ketika akan diolah menggunakan perlatan yang dicuci
menggunakan air yang dipakai berulang-ulang tersebut Badrie dkk, 2003. Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Cahyaningsih
dkk 2009 dimana menujukkan bahwa tidak ada hubungan antara cara pencucian peralatan dengan kontaminasi E.coli di warung makan Desa
Caturtunggal dengan Pvalue sebesar 0,481. Pada penelitian yang dilakukan oleh Atmiati 2012 menunjukkan hal yang sama, dimana tidak ada hubungan antara
kondisi sanitasi alat dengan kandungan E.coli pada es buah yang dijual oleh pedagang kaki lima di Temanggung dengan Pvalue 0,431. Berdasarkanan
penelitian yang dilakukan oleh Schilegelova dkk 2010, menunjukkan bahwa kontaminasi mikroba justru mengalami peningkatan setelah dilakukan praktik
pencucian peralatan. Pada penelitian yang dilakukan oleh Indrawani dkk 2010 juga menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara cara pencucian alat dengan
kontaminasi E.coli pada makanan yang dijual oleh pedagang kaki lima di sepanjang jalan Margonda, Depok dengan Pvalue sebesar 0,1979.
Namun, penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Aristin dkk 2014, dimana proses pencucian peralatan pengolahan makanan
yang tidak memenuhi syarat berhubungan dengan kontaminasi bakteri pada lalapan dengan Pvalue sebesar 0,004. Selain itu, dari penelitian yang dilakukan
oleh Wibawa 2008 diketahui bahwa ada hubungan antara higiene sanitasi
95
peralatan dengan kontaminasi bakteri E.coli pada makanan jajanan di sekolah dasar Kabupaten Tangerang dengan Pvalue sebesar 0,039. Menurut penelitian
Sofiana 2009 juga menunjukkan adanya hubungan antara sanitasi peralatan dengan kontaminasi E.coli di SD Kecamatan Tapos, Depok dengan Pvalue
sebesar 0,045. Cara pencucian peralatan yang tidak memenuhi syarat dapat berisiko
menyebabkan kontaminasi pada makanan. Pencucian peralatan sebaiknya dilakukan sesegera mungkin sebelum sisa makanan kering, karena makanan
kering yang menempel pada permukaan peralatan akan menjadi media yang baik bagi pertumbuhan bakteri. Selain itu, kebersihan bak pencucian juga perlu
diperhatikan karena bak yang kotor juga dapat memungkinkan terjadinya kontaminasi antara bak dengan peralatan Cahyaningsih dkk, 2009.
4 Jenis Sarana Berjualan
Jenis sarana berjualan merupakan salah satu aspek higiene sanitasi sarana penjaja yang perlu diperhatikan karena jenis sarana dapat memengaruhi
keamanan makanan yang dijualnya. Terdapat 2 jenis cara berjualan makanan jajanan, yaitu dengan bergerak ambulatory dan tidak bergerak stationary.
Pedagang makanan jajanan yang berjualan dengan bergerak ambulatory menggunakan sarana berupa gerobak, baik yang didorong, menggunakan sepeda,
motor ataupun mobil, atau pedagang tersebut berkeliling sambil membawa dagangannya. Sementara pedagang makanan jajanan yang berjualan dengan cara
tidak bergerak stationary menggunakan sarana bangunan semi permanen seperti bangunan kantin maupun kios kecil WHO, 2010.
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa sebanyak 51,7 penjamah makanan menggunakan sarana berjualan berupa bangunan kantin dan kios. Hasil
96
uji statistik menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara jenis sarana berjualan dengan kontaminasi bakteri E.coli pada PJAS di sekolah dasar
Kecamatan Cakung tahun 2016 dengan Pvalue sebesar 0,775. Pada penelitian ini, bangunan kantin dan kios yang menjadi sarana
berjualan berada di dalam lingkungan sekolah sedangkan penjamah makanan yang menggunakan sarana berupa gerobak keliling berada di luar lingkungan
sekolah. Kantin merupakan suatu ruang yang berada di sekolah dimana menyediakan makanan pilihan yang sehat untuk siswa yang dilayani oleh petugas
kantin, sedangkan kios merupakan sebuah toko kecilwarung Sofiana, 2009. Jenis gerobak keliling yang digunakan oleh penjamah makanan berupa gerobak
yang di dorong, menggunakan sepeda, motor serta berupa gerobak yang dipikul. Sebagian besar penjamah makanan 83,3 yang berjualan dengan sarana
bangunan kantin dan kios sudah dilengkapi dengan fasilitas sanitasi berupa tempat untuk mencuci tangan, bahan baku, dan peralatan dengan sumber air
bersih yang mengalir dan sabun. Selain itu, sebagian besar penjamah makanan 71,4 yang berjualan dengan sarana bangunan kantin dan kios memiliki tempat
penyimpanan makanan matang yang memenuhi syarat. Dari hasil penelitian diketahui bahwa sebagian besar penjamah makanan
55,2 yang menggunakan sarana berjualan berupa gerobak keliling memiliki pendidikan akhir SD. Sedangkan pada penjamah makanan dengan sarana
berjualan berupa bangunan kantin dan kios, sebanyak 45,7 memiliki pendidikan akhir SMA. Tingkat pendidikan merupakan salah satu faktor yang
berpengaruh terhadap tingkatan pengetahuan dan produktivitas tenaga kerja. Semakin tinggi tingkat pendidikan maka perilaku dan produktivitas juga akan
meningkat. Seseorang dengan pendidikan yang lebih tinggi akan memberikan
97
peluang motivasi, sikap, disiplin dan produktivitas yang lebih tinggi Notoatmodjo, 2007. Beberapa penelitian menunjukkan adanya kaitan antara
tingkat pendidikan dengan kebersihan pada penjamah makanan. Menurut Marsaulina 2004 menyimpulkan adanya hubungan antara kebersihan dengan
pendidikan, terutama setelah mencapai tingkat SMP. Berdasarkan jenis kelamin, sebagian besar penjamah makanan 88,2
yang berjualan dengan sarana gerobak keliling merupakan laki-laki. Sedangkan pada penjamah makanan dengan sarana berjualan berupa bangunan kantin dan
kios sebanyak 87,1 merupakan perempuan. Banyaknya jenis kelamin laki-laki pada penjamah makanan yang menggunakan sarana berjualan gerobak keliling
dikarenakan jenis kelamin laki-laki lebih kuat daripada perempuan dalam mendorong gerobak jualannya. Beberapa penelitian mengaitkan antara perbedaan
perilaku seseorang berdasarkan jenis kelamin. Menurut survei observasi mengenai keamanan makanan di Amerika Serikat terhadap 2.130 penduduk
menunjukkan adanya perbedaan antara pria dan wanita dalam hal mencuci tangan, dimana kaum wanita lebih sering mencuci tangannya daripada pria
dengan presentase sebesar 74. Selain itu kaum wanita dinilai mempunyai perhatian lebih terhadap higiene dan sanitasi daripada pria dikarenakan lebih
sering berhubungan dengan proses pengolahan makanan ketika berada di rumah Timmreck, 2005.
Dari hasil penelitian juga dapat diketahui bahwa 50,9 penjamah makanan yang berjualan dengan gerobak keliling memiliki tempat penyimpanan makanan
matang yang terbuka. Sedangkan pada penjamah makanan yang berjualan di kantin dan kios sebagian besar 71,4 memiliki tempat penyimpanan makanan
yang tertutup. Penjamah makanan yang menggunakan sarana berupa bangunan
98
kantin biasanya memiliki praktik higiene penanganan dan penyimpanan makanan, sarana dan fasilitas sanitasi serta sanitasi tempat dan peralatan yang
lebih baik daripada penjamah makanan yang berjualan di luarpedagang keliling. Selain itu, terdapat perbedaan signifikan pengetahuan penjamah makanan yang
berjualan di luar dengan penjamah makanan yang berjualan di kantin Yasmin dan Madanijah, 2010.
Pada penelitian ini tidak ada hubungan antara jenis sarana berjualan dengan kontaminasi bakteri E.coli pada makanan jajanan dapat disebabkan karena pada
sebagian besar penjamah makanan 55,2 dengan sarana berjualan gerobak keliling, telah berjualan lebih dari 5 tahun, sehingga kemungkinan telah memiliki
pengalaman mengenai cara pengolahan makanan yang baik dan benar. Pengalaman bekerja dapat mempengaruhi tingkat pengetahuan dan praktik
higene sanitasi pada penjamah makanan. Masa kerja dapat mempengaruhi kinerja positif maupun negatif. Pengaruh positif didapatkan ketika semakin lama bekerja
maka akan semakin berpengalaman dalam melaksanakan tugasnya. Sedangkan pengaruh negatif terjadi ketika pengalaman masih kurang akibat masa kerja yang
baru sebentar Wati, 2013. Sarana penjualan makanan jajanan memegang peranan penting untuk
mencegah kontaminasi E.coli pada makanan jajanan. Sarana berjualan makanan jajanan sangat menentukan keberhasilan dalam pengolahan makanan jajanan
yang aman dan sehat Riyanto dan Abdillah, 2012. Kantin sekolah berperan untuk memenuhi kebutuhan siswa akan makanan selama di sekolah. Pada
umumnya makanan yang dijual di kantin mempunyai variasi yang sangat beragam dengan harga yang relatif murah dan mudah dijangkau oleh siswa
Nugroho dan Yudhastuti, 2014. Penjamah makanan yang berjualan di kantin
99
sekolah memiliki pengetahuan dan praktik keamanan yang lebih baik daripada pedagang kaki lima Bas et.al, 2006.
Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Djaja 2008 yang menyatakan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara jenis
sarana berjualan dengan kontaminasi E.coli di Jakarta Selatan dengan Pvalue sebesar 0,08. Namun, penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian yang
dilakukan oleh Baluka dkk 2015 yang menyatakan bahwa terdapat perbedaan signifikan pada penjamah makanan di kantin dan di luar Universitas Makerere,
Uganda dengan kontaminasi E.coli dengan Pvalue 0,05. Untuk mencegah kemungkinan terjadinya kontaminasi bakteri E.coli ke
dalam makanan, penjamah makanan perlu mengikuti penyuluhan mengenai keamanan pangan secara berkesinambungan, serta meningkatkan praktik sanitasi
makanan dengan memelihara tempat penyimpanan makanan. Selain itu, penjamah makanan yang berjualan dengan sarana gerobak keliling diharapkan
dapat melengkapi fasilitas sanitasi, tempat sampah dan memastikan konstruksi sarana yang digunakan dapat melindungi makanan dari debu, kotoran, asap serta
gangguan vektor, sepeti lalat, kecoa, dan tikus.
5 Keberadaan Fasilitas Sanitasi
Keberadaan fasilitas sanitasi merupakan salah satu aspek dari higiene sanitasi sarana penjaja. Fasilitas sanitasi adalah sarana dan kelengkapan yang
harus tersedia untuk memelihara kualitas lingkungan atau mengendalikan faktor- faktor lingkungan fisik yang dapat menyebabkan kontaminasi pada makanan.
Fasilitas sanitasi meliputi tempat untuk mencuci tangan, alat dan bahan baku. Hasil penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa 60 fasilitas
sanitasi yang dimiliki oleh penjamah makanan tidak memenuhi syarat, dimana
100
fasilitas sanitasi tersebut tidak dilengkapi dengan air mengalir dan sabun. Berdasarkan uji statistik diketahui bahwa tidak ada hubungan antara keberadaan
fasilitas sanitasi dengan kontaminasi bakteri E.coli pada PJAS di Sekolah Dasar Kecamatan Cakung tahun 2016 dengan Pvalue sebesar 1,00.
Beberapa sekolah menyediakan fasilitas sanitasi berupa tempat untuk mencuci tangan, peralatan maupun bahan makanan yang dilengkapi dengan air
mengalir dan sabun pada penjamah makanan yang berjualan di dalam kantin sekolah. Namun, terdapat pula sekolah yang belum menyediakan fasilitas
sanitasi, sehingga penjamah makanan hanya menggunakan ember yang berisi air untuk mencuci tangan dan peralatan yang dibawa dari rumah. Sedangkan pada
penjamah makanan yang berjualan dengan sarana gerobak keliling, beberapa diantaranya tidak memiliki fasilitas sanitasi berupa tempat untuk mencuci tangan
maupun peralatan. Hal ini disebabkan karena mereka menjual jenis makanan jajanan yang langsung dikonsumsi setelah diracik, seperti berbagai jenis es,
jagung manis, gorengan, dan nasi uduk. Namun, beberapa diantaranya memiliki fasilitas sanitasi berupa ember yang berisi air yang digunakan untuk mencuci
tangan dan peralatan, seperti pada penjual bakso, siomay, bubur ayam dan mie ayam.
Pada penelitian ini diketahui tidak ada hubungan antara keberadaan fasilitas sanitasi dengan kontaminasi bakteri E.coli. Hal ini dapat disebabkan karena
walaupun penjamah makanan masih menggunakan ember yang berisi air untuk mencuci tangan dan peralatan, beberapa pedagang tetap mengganti air dalam
ember tersebut saat terdapat sumber air bersih di lokasi berjualan. Berdasarkan wawancara, diketahui bahwa frekuensi penggantian air dalam ember tersebut
berkisar antara 3 – 6 kali penggantian. Selain itu, beberapa penjamah makanan
101
juga memisahkan antara ember untuk mencuci tangan dengan ember untuk mencuci peralatan, sehingga kemungkinan kontaminasi bakteri dapat berkurang.
Fasilitas sanitasi merupakan sarana pendukung yang harus ada, supaya kondisi higiene sanitasi dapat terlaksana dengan baik. Keberadaan tempat cuci
tangan, peralatan dan bahan baku diperlukan untuk mencegah kontaminasi bakteri E.coli ke makanan yang akan diolah. Tempat cuci tangan, peralatan dan
bahan baku perlu diletakkan pada tempat yang mudah dijangkau dan dekat dengan tempat bekerja. Selain itu, jumlahnya juga perlu disesuaikan dengan
jumlah pengguna serta dilengkapi dengan air mengalir dan sabun Kemenkes RI, 2011.
Keberadaan air bersih pada fasilitas sanitasi dapat mengurangi risiko terjadinya kontaminasi bakteri ke dalam makanan. Air bersih yang digunakan
merupakan air mengalir yang dapat berasal dari air tanah maupun PDAM. Apabila air bersih akan ditampung dalam ember, maka ember tersebut harus
ditutup agar tidak tercemar oleh patogen. Selain itu, air dalam ember tersebut hanya boleh digunakan untuk sekali pakai dan tidak boleh digunakan berulang
kali. Air bersih yang bersumber dari PDAM sudah mengandung klorin yang dapat membunuh bakteri, dimana klorin merupakan bahan kimia pembunuh
bakteri, sehingga air bersih yang sampai ke konsumen sudah bebas dari bakteri Marpaung dkk, 2012.
Fasilitas sanitasi yang memenuhi syarat dapat mendukung peningkatan praktik personal hygiene yang baik. Penjamah makanan yang memiliki fasilitas
sanitasi yang memenuhi syarat 1,89 kali memiliki praktik personal hygiene yang baik daripada penjamah makanan yang memiliki fasilitas sanitasi yang tidak
memenuhi syarat. Hal ini disebabkan karena penjamah makanan yang memiliki
102
fasilitas sanitasi yang memenuhi syarat akan tetap menjaga kebersihan diri dan melakukan praktik penanganan makanan dengan baik Tessema dkk, 2014.
Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Kurniadi dkk 2013 yang menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara keberadaan fasilitas
sanitasi dengan kontaminasi bakteri E.coli pada makanan jajanan di kantin sekolah dasar Kecamatan Bangkinang dengan Pvalue sebesar 0,053.
Namun, penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Mugampoza dkk 2013 yang diketahui bahwa terdapat hubungan antara
keberadaan fasilitas sanitasi dengan kontaminasi bakteri patogen pada makanan dengan pvalue sebesar 0,001. Pada penelitian yang dilakukan oleh Yunaenah
2009 diketahui bahwa fasilitas sanitasi yang tidak memenuhi syarat berisiko 9,214 kali dapat menyebabkan kontaminasi E.coli pada makanan jajanan
dibandingkan dengan fasilitas sanitasi yang memenuhi syarat. Sedangkan pada penelitian Suryani 2014 diketahui juga diketahui bahwa fasilitas sanitasi yang
tidak memenuhi syarat 2,046 kali berisiko menyebabkan kontaminasi bakteri pada peralatan makan.
Untuk menghindari kontaminasi bakteri ke dalam makanan, pihak sekolah dasar dapat menyediakan fasilitas berupa tempat untuk mencuci tangan, peralatan
dan bahan makanan yang dilengkapi dengan air mengalir dan sabun di dekat lokasi pedagang makanan berjualan. Sehingga pedagang makanan dapat dengan
mudah mendapat akses fasilitas sanitasi yang memenuhi syarat. Selain untuk pedagang makanan, fasilitas sanitasi tersebut juga dapat digunakan oleh anak-
anak untuk mencuci tangan terlebih dahulu sebelum mengambil makanan agar terhindar dari kontaminasi bakteri yang mungkin terdapat pada tangan
Yunaenah, 2009.
103
6 Tempat Penyimpanan Makanan Matang
Keberadaan tempat penyimpanan makanan matang merupakan salah satu aspek dari higiene sanitasi sarana penjaja dan higiene sanitasi pada rantai
makanan. tempat menyimpan makanan. Makanan matang perlu disimpan pada tempat yang tertutup dan terhindar dari debu, vektor penyakit maupun sumber
tercemar lainnya yang dapat berpotensi menyebabkan kontaminasi pada makanan.
Hasil penelitian menunjukkan 65 tempat penyimpanan makanan matang yang dimiliki oleh penjamah makanan tidak memenuhi syarat, yaitu tidak
tertutup dan terbebas dari debu, lalat maupun vektor penyakit lainnya. Berdasarkan uji statistik diketahui bahwa ada hubungan yang signifikan antara
tempat penyimpanan makanan matang dengan kontaminasi bakteri E.coli pada PJAS di sekolah dasar Kecamatan Cakung tahun 2016 dengan Pvalue sebesar
0,007. Tempat penyimpanana makanan matang yang tidak memenuhi syarat akan berisiko 6,109 kali lebih besar dapat menyebabkan kontaminasi E.coli
pada makanan. Tempat penyimpanan makanan matang yang digunakan oleh penjamah
makanan pada penelitian ini berupa tempatwadah plastik yang dilengkapi oleh tutup maupun tanpa tutup, termos es, termos nasi, etalase kaca yang tertutup
maupun terbuka, baskom, panci dan icebox. Sebagian kecil penjamah makanan 18,3 tidak memiliki tempat penyimpanan makanan matang dikarenakan
makanan yang mereka masak langsung dijual kepada pembeli, seperti martabak telor, kerak telor, dan martabak manis. Berdasarkan hasil penelitian diketahui
bahwa pada penjamah makanan yang berjualan dengan menggunakan sarana gerobak keliling, sebanyak 79,3 tempat penyimpanan makanan yang dimiliki
104
tidak memenuhi syarat. Pada pedagang yang menjual lebih dari satu jenis makanan, makanan matang diletakkan pada wadah yang terpisah. Penyimpanan
makanan matang dan bahan makanan yang belum diolah juga dilakukan secara terpisah. Sebagian besar makanan yang sudah matang disimpan pada suhu
ruang. Makanan yang telah matang perlu disimpan dengan memperhatikan hal-hal,
seperti penyimpanan harus memperhatikan prinsip first in first out FIFO dan first expired first out FEFO, yaitu makanan yang disimpan terlebih dahulu dan
yang mendekati masa kadaluarsa dikonsumsi terlebih dahulu; tempat atau wadah penyimpanan harus terpisah untuk setiap jenis makanan jadi dan
mempunyai tutup yang dapat menutup sempurna tetapi berventilasi yang dapat mengeluarkan uap air; makanan jadi tidak dicampur dengan bahan makanan
mentah; dan penyimpanan harus memenuhi suhu penyimpanan yang telah ditetapkan Kemenkes RI, 2011. Berdasarkan penelitian Muhonjal et.al 2014
diketahui bahwa 81 pedagang kaki lima menyimpan makanan matang pada suhu ruang, dimana hal ini dapat berisiko terjadinya kontaminasi bakteri.
Kondisi etalase tempat penyimpanan makanan harus dalam keadaan bersih dan tertutup. Kebersihan tempat penjualan akan menentukan mutu dan keamaan
yang dihasilkan. Menjajakan makanan dalam keadaan terbuka dapat meningkatkan risiko tercemarnya makanan oleh lingkungan, baik melalui
udara, debu, asap kendaraan, maupun serangga Triandini dan Handajani, 2015. Makanan yang tidak disimpan dalam keadaan tertutup dapat
mengundang binatangserangga yang dapat mengkontaminasi makanan. Binatangserangga, seperti lalat ini biasanya akan membawa kuman patogen
penyakit. Lalat memiliki kebiasaan hidup di tempat kotor dan tertarik bau busuk
105
seperti sampah, sehingga kuman patogen akan ikut terbawa pada kaki dan mulut lalat yang akan menyebabkan kontaminasi pada makanan Atmiati,
2012. Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Yunus dkk
2015 yang menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara tempat penyimpanan makanan dengan kontaminasi E.coli pada makanan di rumah makan Kota
Manado dengan Pvalue sebesar 0,006. Pada penelitian Yunaenah 2009 diketahui bahwa ada hubungan antara penyimpanan makanan matang dengan
kontaminasi E.coli pada makanan jajanan di kantin sekolah dasar Jakarta Pusat dengan Pvalue sebesar 0,001.
Tempat penyimpanan makanan matang harus diperhatikan untuk mencegah kemungkinan terjadinya kontaminasi bakteri pada makanan. Pedagang makanan
diharapkan tidak menyimpan makanan matang lebih dari 6 jam untuk mengurangi risiko kontaminasi bakteri. Namun, jika menyimpan makanan
matang lebih dari 6 jam, pedagang makanan perlu meletakkan makanan matang pada tempatwadah yang tertutup, tidak dekat dengan sumber pencemaran, tidak
tercampur dengan bahan makanan lainnya dan sesuai dengan kondisi makanan yang dijual, sehingga terhindar dari kontaminasi silang atau kontaminasi
langsung terhadap sumber pencemar Marpaung dkk, 2012.
7 Cara Penyajian
Cara penyajian makanan merupakan salah satu aspek dari higiene sanitasi pada rantai makanan. Menyajikan makanan dalam keadaan terbuka dapat
meningkatkan risiko tercemarnya makanan oleh lingkungan, baik melalui udara, debu, asap kendaraan dan serangga. Makanan yang dijajakan di pinggir
106
jalan akan sangat mudah terpapar debu dan asap kendaraan Agustina dkk, 2009.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa 76,7 cara penyajian makanan jajanan tidak memenuhi syarat, berdasarkan uji statistik diketahui bahwa ada
hubungan antara cara penyajian dengan kontaminasi bakteri E.coli pada PJAS di sekolah dasar Kecamatan Cakung tahhun 2016 dengan Pvalue sebesar 0,02.
Cara penyajian yang tidak memenuhi syarat dapat berisiko 7,143 kali terkontaminasi bakteri daripada cara penyajian yang memenuhi syarat.
Sebagian besar makanan jajanan 88,3 dalam penelitian ini disajikan ke konsumen dalam keadaan terbuka karena makanan tersebut termasuk kedalam
makanan yang siap langsung dimakan ready to eat food. Jenis pembungkus makanan yang paling banyak digunakan adalah plastik bening 58,3 dan
kertas nasi warna cokelat 16,7. Pembungkus lainnya yang digunakan adalah sterofoam, plastik mika, gelas plastik, piring, mangkok, kertas bekas dan kertas
koran. Sebagian besar makanan 93,3 disajikan pada waktu kurang dari 6 jam, karena pedagang tersebut hanya berjualan hingga waktu sekolah berakhir.
Berdasarkan Permenkes No. 1096 tahun 2011 prinsip penyajian makanan antara lain setiap jenis makanan di tempatkan dalam wadah terpisah, tertutup
agar tidak terjadi kontaminasi silang dan dapat memperpanjang masa saji makanan sesuai dengan tingkat kerawanan makanan; makanan yang
mengandung kadar air tinggi makanan berkuah baru dicampur pada saat menjelang dihidangkan untuk mencegah makanan cepat rusak dan basi;
makanan yang ditempatkan dalam wadah yang sama seperti dus atau rantang harus dipisah dari setiap jenis makanan agar tidak saling campur aduk;
makanan yang harus disajikan panas diusahakan tetap dalam keadaan panas
107
dengan memperhatikan suhu makanan; semua yang disajikan adalah makanan yang dapat dimakan, bahan yang tidak dapat dimakan harus disingkirkan; dan
pelaksanaan penyajian makanan harus tepat sesuai dengan seharusnya yaitu tepat menu, tepat waktu, tepat tata hidang dan tepat volume sesuai jumlah.
Dari hasil penelitian diketahui bahwa pada penjamah makanan yang berjualan dengan sarana gerobak keliling dan sarana bangunan kantin dan kios
sebagian besar makanan dijual ke konsumen dalam keadaan terbuka dengan masing-masing persentase sebesar 65,5 dan 64,5. Pada penjamah makanan
yang berjualan dengan sarana gerobak keliling dan sarana bangunan kantin dan kios, sebagian besar menggunakan plastikmika untuk menyajikan makanan ke
konsumen dengan masing-masing persentase sebesar 62,06 dan 54,83. Makanan jajanan yang dijajakan harus dalam keadaan terbungkus dan atau
tertutup. Pembungkus yang digunakan dan atau tutup makanan jajanan harus dalam keadaan bersih dan tidak mencemari makanan Kemenkes RI, 2003.
Penggunaan pembungkus seperti kertas untuk menyajikan makanan dapat menjadi sumber pencemaran jika kertas tersebut tidak dalam keadaan bersih.
Selain itu, pembungkus makanan yang tidak disimpan dengan baik atau diletakkan di atas meja dapat terpapar oleh debu maupun bahan makanan
mentah yang dapat mengkontaminasi makanan yang disajikan Ademi dan Rinanda, 2011.
Jeda waktu antara pengolahan dan penyajian makanan perlu diperhatikan oleh penjamah makanan. Waktu penyimpanan dan penyajian makanan akan
memberi cukup kesempatan bagi bakteri untuk berkembang biak menjadi 1 juta dalam waktu 6 jam. Hal ini akan meningkatkan kontaminasi dan jumlah bakteri
dalam makanan yang disajikan dan meningkatkan risiko konsumen untuk
108
menderita penyakit bawaan makanan Agustina dkk, 2009. Makanan yang akan disajikan lebih dari 6 jam dari waktu pengolahan, harus diatur suhunya
pada suhu dibawah 4
o
C atau dalam keadaan beku 0
o
C. Sedangkan makanan yang akan disajikan kurang dari 6 jam dapat diatur suhunya dengan suhu ruang
asal makanan segera dikonsumsi dan tidak menunggu. Apabila dilakukan pemanasan kembali, maka makanan harus dipanaskan sampai suhu mencapai
60
o
C Sofiana, 2009. Penelitian ini sejalan dengan penelitian Yunaenah 2009 diketahui bahwa
ada hubungan antara penyajian makanan dengan kontaminasi E.coli pada makanan jajanan di kantin sekolah dasar Jakarta pusat dengan Pvalue 0,03.
Selain itu, berdasarkan penelitian Kurniadi dkk 2013 juga menunjukkan bahwa adanya hubungan antara penyajian makanan dengan kontaminasi E.coli
pada makanan jajanan di sekolah dasar Kecamatan Bangkinang dengan Pvalue sebesar 0,002.
Namun, penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Nuryani 2015 yang menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara cara
penyajian dengan kontaminasi bakteri E.coli di sekolah dasar Kecamatan Denpasar Selatan dengan Pvalue 0,05. Penelitian yang dilakukan oleh
Kurniasih dkk 2015 juga menunjukkan hal yang sama, dimana tidak ada hubungan antara penyajian makanan dengan kontaminasi bakteri E.coli di
warung makan sekitar terminal Borobudur dengan Pvalue sebesar 0,484. Penyajian makanan merupakan rangkaian akhir dari perjalanan makanan.
Sebelum disajikan, makanan perlu diatur sedemikian rupa sehingga menarik, menambah selera makan, terhidar dari kontaminasi dan terjaga sanitasinya.
Untuk itulah makanan jajanan harus disajikan dengan menggunakan tempatalat
109
perlengkapan yang bersih dan aman bagi kesehatan, serta menyajikan makanan panas tetap dalam keadaan panas dan makanan dingin tetap dalam keadaan
dingin Ademi dan Rinanda, 2011.
110