Erika Hidayanti FKIK

(1)

i

GAMBARAN PELAKSANAAN

PELAYANAN FARMASI KLINIK DI RUMAH SAKIT X

TAHUN 2017

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Gelar Sarjana Kesehatan

Masyarakat (S.K.M.)

Oleh:

Erika Hidayanti

1112101000069

MANAJEMEN PELAYANAN KESEHATAN PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA 2017


(2)

ii

LEMBAR PERSETUJUAN


(3)

(4)

(5)

iv FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN MASYARAKAT PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT

PEMINATAN MANAJEMEN PELAYANAN KESEHATAN

Skripsi, Februari 2017

Erika Hidayanti, NIM: 1112101000069

GAMBARAN PELAKSANAAN PELAYANAN FARMASI KLINIK DI RUMAH SAKIT X TAHUN 2017

xii + 193 halaman, 11 tabel, 2 bagan, 6 lampiran

ABSTRAK

Standar pelayanan farmasi klinik di rumah sakit menentukan kualitas pelayanan dan menjaga keselamatan pasien. Standar pelayanan farmasi klinik rumah sakit di Indonesia mengacu pada standar nasional seperti SPM dan PMK. Di Indonesia standar mengacu pada PMK nomor 58 tahun 2014 tentang Standar Pelayanan Farmasi di Rumah Sakit.

Penelitian ini merupakan penelitian dengan pendekatan kualitatif dan kuantitatif. Pendekatan kualitatif dilakukan dengan wawancara mendalam, observasi, dan telaah dokumen terkait kegiatan farmasi klinik di RS X berdasarkan pada PMK nomor 58 tahun 2014. Informan pada penelitian ini adalah apoteker dan asisten apoteker yang terlibat kegiatan pelayanan farmasi klinik. Pendekatan kuantitatif dilakukan dengan mengambil sampel resep sebanyak 295 resep untuk dianalisis kelengkapannya.

Berdasarkan hasil penelitian didapatkan pelayanan farmasi klinik di RS X terdiri dari pengkajian dan pelayanan resep, penelusuran riwayat penggunaan obat, rekonsiliasi obat, pelayanan informasi obat, pemantauan terapi obat, monitoring efek samping obat, dan dispensing sediaan steril. Sedangkan yang belum dilakukan adalah, konseling, visite, evaluasi penggunaan obat, dan pemantauan kadar obat dalam darah. Dari 11 kegiatan RS X hanya melaksanakan 7 kegiatan saja. Kesalahan dalam kegiatan farmasi klinik di RS X yang sering terjadi adalah pada saat pembacaan resep oleh tenaga kefarmasian karena tak terbaca atau tak jelasnya tulisan dokter.

Maka dari itu RS X disarankan untuk berupaya membuat standar untuk rumah sakit sesuai dengan kemampuannya, lalu untuk mengurangi kesalahan pembacaan resep maka disarankan RS X untuk menggunakan sistem electronic prescribing. Selain itu, dibuat aturan atau SOP yang jelas untuk petugas kefarmasian agar tidak terjadi kesalahpahaman antar-petugas.

Kata Kunci: Pelayanan farmasi klinik, medication error, pengkajian resep Daftar Bacaan: 64 (1994-2016)


(6)

v FACULTY OF MEDICINE AND HEALTH SCIENCE

PUBLIC HEALTH STUDY PROGRAM

HEALTH CARE MANAGEMENT DEPARTMENT

Undergraduate Thesis, February 2017 Erika Hidayanti, NIM: 1112101000069

DESCRIPTION OF IMPLEMENTATION OF CLINICAL

PHARMACY IN X HOSPITAL, 2017

xii+193 pages, 11 tables, 2 charts, 6 attachments

ABSTRACT

Standard of clinical pharmacy services in hospitals are determine the quality of service and maintain patient safety. Standard of clinical pharmacy services in hospital in Indonesia based on national regulations such as SPM and PMK. For clinical pharmacy services the standard refers to PMK number 58 in 2014 about Standards of Pharmaceutical Services at the Hospital.

This research use qualitative and quantitative approach. The qualitative approach is done by in-depth interviews, observation, and documents study related to clinical pharmacy activities in X Hospital based on the PMK number 58 in 2014. The informant in this study is a pharmacist and assistant pharmacists who involved in clinical pharmacy service activities. Quantitative approaches is done prescription samples analyzed of 295 recipes.

Based on the results, clinical pharmacy services in X Hospitals consists of assessment and prescription services, search history of drug use, medication reconciliation, drug information services, monitoring drug therapy, monitoring of drug side effects, and dispensing sterile preparations. But this hospital not apllied the counseling, visite, drug use evaluation, and monitoring of drug levels in blood. From 11 activities, X Hospital only applied 7 activities. Errors event in clinical pharmacy activities in X Hospital that often occurs when reading prescriptions by pharmacy officers because of illegible recipes from the doctor.

Thus, X Hospital advisable to make its own policy or standar about clinical pharmacy based on its own capability, and to reduce precribing errors in X Hospital, it is advisable to use electronic prescribing systems. In addition, X hospital also should make a clear rules for pharmacy officers to avoid misunderstandings between them.

Keywords: clinical pharmacy services, medication errors, assessment recipe Reading List: 64 (1994-2016)


(7)

vi

RIWAYAT HIDUP

DATA PRIBADI

Nama lengkap : Erika Hidayanti Jenis kelamin : Perempuan

Tempat, Tanggal Lahir : Bandung, 2 Agustus 1994 Agama : Islam

Alamat tinggal : Jln. SD Inpres No.1001 Cireunde – Ciputat, Tangerang Selatan

No. Hp/telpon : 087882387507

E-mail : erikahidayanti@gmail.com

RIWAYAT PENDIDIKAN

1. 2000-2006 : SDN Citrasari Lembang – Bandung 2. 2006-2009 : SMPN 1 Lembang – Bandung 3. 2009-2012 : SMAN 1 Bandung

4. 2012- 2017 : Kesehatan Masyarakat FKIK UIN Jakarta

PENGALAMAN ORGANISASI

1. Ketua Biro Humaas dan Media PAMI Nasional 2016-2017

2. Pemimpin Umum Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Institut 2016 3. Pemimpin Litbang Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Institut 2015 4. Wakil Ketua (Pergerakan Anggota Muda IAKMI) PAMI Jakarta Raya

2014-2015

5. Pemimpin Redaksi Himpunan Jurnalis Independen SMAN 1 Bandung 2010-2012

6. Redaksi Satu Gen SMAN 1 Bandung 2010-2011 7. Redaksi Majalah 357 SMPN 1 Lembang 2008-2009 8. Saung Sastra Lembang 2009-2010


(8)

vii

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas rahmat dan karunia-Nya kepada kita semua sehingga saya dapat menyusun skripsi yang berjudul ―Gambaran Pelaksanaan Standar Pelayan Farmasi Klinik di Rumah Sakit X Tahun 2017‖. Penulisan skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk kelulusan untuk mendapat gelar Sarjana Kesehatan Mayarakat (S.K.M.).

Sungguh Maha Sempurna itu adalah Allah SWT, kekurangan dan kekhilafan terdapat pada penulis maka dari pada itu penulis menyadari bahwa laporan ini tidak lebih dari ketidak sempurnaan. Kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan untuk kokohnya skripsi ini. Ucapan terimakasih penulis tuturkan secara ikhlas dan penuh dengan kerendahan hati atas terselasaikannya skripsi ini kepada :

1. Ibu, Bapak, Mas Erlangga, Tante Nana, Eyang Uti, dan seluruh keluarga besar yang telah membantu kelancaran saya dalam menyelesaikan skripsi ini mulai dari bantuan finansial hingga semangat dan doa yang tiada henti

2. Ibu Fase Badriah, Ph.D selaku pembimbing I dan Ibu Lilis Muchlisoh, SKM, MKM selaku pembimbing II yang selalu siap memberikan bimbingan dan pengarahan membangun dalam proses pembuatan skripsi ini.

3. Bapak Dr. Farid Hamzens, M.Si selaku pembimbing akademik penulis. 4. Bapak Prof. Dr. H. Arif Sumantri, SKM, M.Kes selaku Dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

5. Ibu Fajar Ariyanti, M.Kes, Ph.D selaku Ketua Program Studi Kesehatan Masyarakat Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

6. Ibu Ida Yuliarsih, Apt. selaku pembimbing lapangan di RS X yang memberikan banyak pengalaman dan kesempatan bagi penulis. Serta


(9)

viii

seluruh petugas kefarmasian RS X yang sudah membantu berjalan lancarnya proses pengambilan data.

7. Dr. Risnita, Dr. Fitriyanti, dan seluruh petugas di Manajemen Risiko yang membantu saya saat proses magang dan berbagi cerita di rumah sakit serta tentang skripsi saya. Tak lupa, bagian Diklat RS X yang membantu perizinan saya dalam melakukan penelitian di RS X.

8. Sahabat-sahabat saya sejak hampir 10 tahun, Delia, Dwi, Olga, Yosan, Syauqina, dan Refy yang meski jauh tapi selalu memberi semangat dan tempat berbagi segala cerita.

9. Sahabat-sahabat saya semasa kuliah Paramita, Nova, Farras, Dwi, Arina, dan Atthina, juga Halida, Vira, Tantri, Ayu Fita, Nuril, Ica, dan seluruh keluarga besar MPK 2012 dan Kesmas 2012 yang tak bisa disebutkan satu per satu.

10.Tempat segala curahan suka dan duka yang menemani perjalanan skripsi ini mulai dari penulisan, studi pendahuluan, hingga hasil, Singgih A. Dani.

11.Sahabat-sahabat seperjuangan di Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Institut, Maulia, Nur Hamidah, Syah Rizal, dan Thohirin yang sudah susah senang bersama. Tak lupa seluruh Pengurus LPM Institut 2016, yang membantu saya menyelesaikan tugas sebagai Pemimpin Umum LPM Institut 2016 dan seluruh Keluarga Besar Institut (KBI).

12.Teman berbagi cerita yang sabar jadi pelampiasan cerita sedih dan mengesalkan, sekaligus yang selalu mau diajak jalan-jalan, Fathra. 13.Teman-teman seperjuangan di Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) UIN

Jakarta, PAMI Jakarta Raya, dan PAMI Nasional yang selalu kritis dan kreatif.

14.Semua pihak yang membantu kelancaran skripsi ini yang tak bisa saya sebut satu persatu.

Jakarta, Februari 2017 Erika Hidayanti


(10)

ix

DAFTAR ISI

PERNYATAAN PERSETUJUAN ... ii

LEMBAR PERNYATAAN ... iii

ABSTRAK ... iv

ABSTRACT ... v

RIWAYAT HIDUP ... vi

KATA PENGANTAR ... vii

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR SINGKATAN ... xiv

BAB I ... 1

PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 7

1.3 Pertanyaan Penelitian ... 8

1.4 Tujuan Penelitian ... 9

1.4.1 Tujuan Umum ... 9

1.4.2 Tujuan khusus ... 9

1.5 Manfaat Penelitian ... 10

1.5.1 Bagi Rumah Sakit ... 10

1.5.2 Bagi Peneliti ... 11

1.5.3 Bagi Institusi ... 11

1.6 Ruang Lingkup ... 11

BAB II ... 12

TINJAUAN PUSTAKA ... 12

2.1 Pelayanan Farmasi Klinik Rumah Sakit ... 12

2.1.1 Pengkajian dan pelayanan Resep ... 13

2.1.2 Penelusuran Riwayat Penggunaan Obat... 17

2.1.3 Rekonsiliasi Obat ... 19

2.1.4 Pelayanan Informasi Obat (PIO) ... 22

2.1.5 Konseling ... 25


(11)

x

2.1.7 Pemantauan Terapi Obat (PTO) ... 32

2.1.8 Monitoring Efek Samping Obat (MESO) ... 34

2.1.9 Evaluasi Penggunaan Obat (EPO) ... 35

2.1.10 Dispensing Sediaan Steril ... 35

2.1.11 Pemantauan Kadar Obat dalam Darah (PKOD)... 36

2.2 Medication Error ... 37

2.3 Pencegahan Medication Error ... 41

2.4 Kerangka Teori ... 42

BAB III ... 44

KERANGKA PIKIR DAN DEFINISI ISTILAH ... 44

3.1 Kerangka Pikir ... 44

3.2 Definisi Istilah ... 46

BAB IV METODE PENELITIAN ... 58

4.1 Desain Penelitian ... 58

4.1.1 Substansi Kualitatif ... 58

4.1.2 Variabel Kuantitatif ... 59

4.2 Waktu dan Tempat Penelitian ... 59

4.3 Informan Penelitian ... 59

4.4 Populasi dan Sampel ... 60

4.5 Instrumen Penelitian ... 61

4.6 Sumber Data ... 61

4.7 Pengumpulan Data ... 62

4.7.1 Pengumpulan Data Kuaitatif ... 62

4.7.2 Pengumpulan Data Kuantitatif ... 62

4.8 Pengolahan Data ... 63

4.8.1 Pengolahan Data Kualitatif ... 63

4.8.2 Pengolahan Data Kuantitatif ... 64

4.9 Analisis Data ... 65

4.9.1 Analisis Data Kualitatif ... 65

4.9.2 Analisis Data Kuantitatif ... 65

4.10 Triangulasi Data ... 66


(12)

xi

HASIL PENELITIAN ... 68

5.1 Gambaran Umum Rumah Sakit X ... 68

5.1.1 Gambaran Sumber Daya Manusia Farmasi di Rumah Sakit X ... 69

5.1.2 Gambaran Sarana Prasarana Farmasi di Rumah Sakit X ... 72

5.1.3 Gambaran Kebijakan Pelayanan Farmasi Klinik di Rumah Sakit X . 75 5.2 Gambaran Pelaksanaan Pelayanan Farmasi Klinik di Rumah Sakit X .. 76

5.2.1 Gambaran Pengkajiaan dan Pelayanan Resep di RS X ... 77

5.2.2 Gambaran Rekonsiliasi Obat di RS X ... 89

5.2.3 Gambaran Pelayanan Informasi Obat di RS X ... 92

5.2.4 Gambaran Konseling di RS X ... 96

5.2.5 Gambaran Visite di RS X ... 97

5.2.6 Gambaran Pemantauan Terapi Obat di RS X ... 98

5.2.7 Gambaran Monitoring Efek Samping Obat (MESO) di RS X ... 100

5.2.8 Gambaran Dispensing Sedian Steril di RS X ... 101

5.3 Gambaran Pencapaian Pelaksanaan Pelayanan Farmasi Klinik di Rumah Sakit X ... 105

BAB VI ... 107

PEMBAHASAN ... 107

6.1 Keterbatasan Penelitian ... 107

6.2 Analisis Input Pelayanan Farmasi Klinik ... 107

6.3 Analisis Pelaksanaan Pelayanan Farmasi Klinik di Rumah Sakit X .... 108

6.3.1 Analisis Pengkajiaan dan Pelayanan Resep di RS X ... 109

6.3.2 Analisis Rekonsiliasi Obat di RS X ... 117

6.3.3 Analisis Pelayanan Informasi Obat di RS X ... 119

6.3.4 Analisis Konseling di RS X ... 122

6.3.5 Analisis Visite di RS X ... 124

6.3.6 Analisis Pemantauan Terapi Obat di RS X ... 127

6.3.7 Analisis Monitoring Efek Samping Obat (MESO) di RS X ... 128

6.3.8 Analisis Dispensing Sediaan Steril di RS X ... 129

6.4 Analisis Pencapaian Pelaksanaan Pelayanan Farmasi Klinik ... 130

BAB VII ... 134


(13)

xii

7.1 Simpulan ... 134

7.1 Saran ... 136

DAFTAR PUSTAKA ... 138


(14)

xiii

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Definisi Istilah ... 46

Tabel 4.1 Informan Penelitian ...46

Tabel 4.2 Validitas Data ... 66

Tabel 5.1 Ketenagakerjaan ...54

Tabel 5.2 Ketenagakerjaan Famasi ... 70

Tabel 5.3 Sarana dan Prasarana ... 72

Tabel 5.4 Kelengkapan Administrasi Resep RS X ... 85

Tabel 5.5 Kelengkapan Farmasetik Resep RS X ... 86

Tabel 5.6 Kelengkapan Persyaratan Klinis Resep RS X ... 87


(15)

xiv DAFTAR SINGKATAN

ACCP : American College of Clinical Pharmacy

ASHP : American Society of Health-System Pharmacists Binfar : Bina Farmasi

BPJS : Badan Penyelenggara Jaminan Kesehatan BPOM : Badan Pengawas Obat dan Makananan CDC : Centers for Disease Control and Prevention EPO : Evaluasi Penggunaan Obat

IGD : Instalasi Gawat Darurat Kepmenkes : Keputusan Menteri Kesehatan KIE : Komunikasi, Informasi, Edukasi MCNZ : Medical Council of New Zealand MESO : Monitoring Efek Samping Obat Permenkes : Peraturan Menteri Kesehatan PIO : Pelayanan Informasi Obat PMK : Peraturan Menteri Kesehatan PTO : Pemantauan Terapi Obat

ROTD : Reakdi Obat yang Tidak Dikehendaki SMF : Sekolah Menegah Farmasi

TTK : Tenaga Teknis Kefarmasian UDD : Unit Dose Dispensing


(16)

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Farmasi klinik merupakan perluasan peran profesi petugas farmasi yang tidak hanya berorientasi kepada obat namun juga kepada pasien dan bertujuan untuk meningkatkan kualitas terapi obat. Aktifitas farmasi klinik terpusat kepada pasien, bekerjasama dan berkolaborasi antar profesi dengan dokter dan perawat dalam tim pelayanan kesehatan (Hepler, 2004;Miller, 1981) dalam Restriyani (2016).

Farmasi klinik bertujuan mengidentifikasi, mencegah, dan menyelesaikan masalah terkait obat. Tuntutan masyarakat terkait pelayanan kefarmasian di Rumah Sakit mengharuskan adanya perluasan dari paradigma lama yang berorientasi kepada produk (drug oriented) menjadi paradigma baru yang berorientasi pada pasien (patient oriented) dengan filosofi Pelayanan Kefarmasian (Pharmaceutical Care) (Prayitno, 2003).

Pelayanan farmasi klinik pun terbukti efektif dalam menangani terapi pada pasien. Selain itu, pelayanan tersebut juga efektif untuk mengurangi biaya pelayanan kesehatan dan meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan. Hal itu terutama diperoleh dengan melakukan pemantauan resep dan pelaporan efek samping obat. Pelayanan ini terbukti dapat menurunkan angka kematian di rumah sakit secara signifikan (Ikawati, 2010).


(17)

2

Beberapa studi menggambarkan sikap dokter terhadap peran farmasi klinik. Di Sudan, dokter menjadi tidak nyaman dengan adanya apoteker yang merekomendasikan peresepan obat untuk pasien meskipun jenis pengobatan tersebut untuk penyakit minor. Sedangkan, di Jordan terdapat 63% dokter mengharapkan apoteker untuk mengajari pasien mereka mengenai keamanan dan ketepatan penggunaan obat. Di samping itu, sebagian dokter menyetujui bahwa apoteker selalu dapat diandalkan sebagai sumber informasi obat (Abu-Garbieh, et al., 2010).

Namun, sebanyak 48,2% dokter-dokter di Kuwait tetap kurang nyaman dalam menyusun resep pasien bersama dengan apoteker. Di Libya dan United Arab Emirates (UAE) diketahui sedikit sekali interaksi antara dokter dan apoteker. Berdasarkan temuan dari salah satu penelitian menunjukkan hampir 70- 60% dokter di Libya dan UAE berturut-turut jarang atau tidak pernah melakukan diskusi dengan apoteker mengenai terapi obat yang diperolah pasien. Selanjutnya terlihat kurangnya kepercayaan dokter terhadap apoteker dalam memonitor tekanan darah dan menyediakan terapi pengganti (Abu-Garbieh, et al., 2010).

Di sisi lain, pada farmasi klinik, apoteker didefinisikan terlibat dalam merawat pasien pada semua fase perawatan kesehatan. Mereka harus memiliki pengetahuan yang mendalam tentang obat yang terintegrasi dengan pemahaman yang mendasar dari biomedis, farmasi, kehidupan sosial, dan ilmu klinis. Apoteker klinis berpedoman pada bukti terapi, ilmu


(18)

3

berkembang, teknologi terbaru, dan prinsip-prinsip hukum, etika, sosial, budaya, ekonomi, serta profesional yang relevan (ACCP, 2008)

Di Indonesia, Berdasarkan PMK No.58 tahun 2014 tentang Standar Pelayanan Farmasi Rumah Sakit, pelayanan farmasi klinik merupakan pelayanan langsung yang diberikan apoteker kepada pasien dalam rangka meningkatkan efek terapi dan meminimalkan risiko terjadinya efek samping karena obat, untuk tujuan keselamatan pasien (patient safety) sehingga kualitas hidup pasien (quality of life) terjamin

Pelayanan farmasi klinik yang harus diselenggarakan menurut PMK No.58 Tahun 2014 di antaranya adalah pengkajian dan pelayanan resep, penelusuran riwayat obat, rekonsiliasi obat, pelayanan informasi obat, konseling, visite, pematauan terapi obat, monitoring efek samping obat, evaluasi penggunaan obat, dan dispening sediaan steril.

Penelitian di beberapa RS di Yogyakarta dan sekitarnya menujukkan bahwa rata-rata rumah sakit melaksanakan standar pelayanan farmasi klinik sebesar 74,5%. Beberapa rumah sakit yang termasuk dalam penelitian ini yang berpengaruh terhadap penyebab tidak terlaksananya pelayanan farmasi klinik adalah kurangnya tenaga kerja, terutama tenaga kerja yang berkompeten untuk melakukan kegiatan farmasi klinik. Kurangnya sarana dan prasaran juga sangat berpengaruh terhadap pelaksanaan pelayanan 44 farmasi klinik, contohnya dispensing sediaan steril dan pemantuan kadar obat dalam darah (Indah dan Utami, 2016).


(19)

4

Studi yang berbeda menunjukan tentang pelayanan resep yang termasuk dalam kegiatan farmasi klinik di RS Y di yang masih terdapat kesalahan. Pada tahap prescibring potensi kesalahan terjadi karena tulisan resep tidak terbaca 0,3%, nama obat berupa singkatan 12%, tidak ada dosis pemberian 39%, tidak ada jumlah pemberian 18%, tidak ada aturan pakai 34%, tidak menuliskan satuan dosis 59%, tidak ada bentuk sediaan 84%, tidak ada rute pemberian 49%, tidak ada tanggal permintaan resep 16%, tidak lengkap identitas pasien (tidak ada nomor rekam medik 62%, usia 87%, berat badan 88%, tinggi badan 88%, jenis kelamin pasien 76%, dan no kamar pasien 77%). Selain itu pada tahap transcribing potensi kesalahan terjadi karena tidak ada dosis pemberian obat 89%, tidak ada rute pemberian 21%, tidak ada bentuk sediaan 14%. Lalu, pada tahap penyiapan (dispensing) kesalahan terjadi karena pemberian etiket yang tidak lengkap 61% (Susanti, 2013).

Ada pun penelitian lain terkait standar pelayanan farmasi adalah salah satunya rekonsiliasi obat. Penelitian yang dilakukan Eko Setiawan, dkk, di Dinas Kesehatan Jawa Timur, pada tahun 2015 menunjukkan bahwa kecenderungan petugas termasuk apoteker mau terlibat dalam proses rekonsiliasi. Mereka pun menganggap penting proses rekonsiliasi obat ini (Setiawan, et al. 2015).

Studi lain menunjukan kegiatan visite pada farmasi klinik berhasil menurunkan angka kesalahan pengobatan. Kegiatan pendampingan apoteker saat visite dokter efektif menurunkan 86% tingkat kesalahan


(20)

5

peresepan yang ditemukan (11,31%). Jumlah rekomendasi yang diberikan oleh apoteker berpengaruh signifikan terhadap jumlah kesalahan peresepan di ruang perawatan intensif (Turnodihardjo, Hakim, dan Kartikawatiningsi, 2016).

Studi ini selaras dengan sebuah studi di Massachusetts General Hospital, Boston, yang mengatakan partisipasi farmasis dalam kunjungan ke bangsal perawatan ICU dapat mengurangi hingga 60% kejadian efek samping obat yang disebabkan oleh kesalahan dalam perintah pengobatan (Ikawati, 2010).

Seperti yang disebutkan dalam PMK 58 tahun 2014, kegiatan farmasi klinik dilakukan untuk meningkatkan jaminan keselamatan pasien. Berdasarkan Laporan Peta Nasional Insiden Keselamatan Pasien (Konggres PERSI Sep 2007), kesalahan dalam pemberian obat menduduki peringkat pertama (24.8%) dari 10 besar insiden yang dilaporkan. Jika disimak lebih lanjut, dalam proses penggunaan obat yang meliputi peresepan (prescibing), membaca resep (transcribing), penyiapan (dispensing) dan administrasi (administration), penyiapan (dispensing) menduduki peringkat pertama (Depkes, 2008).

Sedangkan berdasarkan Kepmenkes No.129 Tahun 2008 tetang Standar Pelayanan Minimal (SPM) di Rumah Sakit salah satu indikator SPM adalah tidak adanya kesalahan pemberian obat dengan standar yang harus dicapai sebesar 100%. Kesalahan pemberian obat itu meliputi salah


(21)

6

dalam memberikan jenis obat, salah dosis, salah jumlah, hingga salah orang atau pasien. Standar pelayanan farmasi lainnya pun diatur dalam SPM, seperti kepuasan pelanggan dengan standar ≥ 80%, penulisan sesuai formalium 100%, waktu tunggu pelayanan obat jadi ≤30%, dan waktu tunggu pelayanan obat racikan ≤60%.

Penyebab terjadinya kesalahan obat (medication error) di antaranya karena informasi mengenai pasien yang tidak jelas, misalnya tidak ada riwayat alergi yang diinformasikan. Lalu, tidak mendapat penjelasan mengenai obat seperti apa cara pakai, frekuensi pemakaian, dan lain sebaginya. Kemudian komunikasi yang buruk dalam peresepa seperti dalam membaca resep, menulis resep, dan resep tidak terbaca. Setelah itu, salah menuliskan etiket/label pada obat serta suasana lingkungan kerja yang tidak nyaman dan kondusif (Badriah, 2015).

Sedangkan studi lain terhadap beberapa penelitian dan litelatur mengenai faktor penyebab kesalahan obat (medication error) di antaranya lingkungan pekerjaan perawat yang kurang mendukung, tingkat jabatan perawat, usia pasien yang sudah tua, rekonsiliasi obat pra-masuk rumah sakit, kurangnya pengetahuan tentang obat-obatan (dosis, mendeteksi interaksi obat), pengkajian yang kurang lengkap tentang riwayat alergi dan kurangnya pemantauan klinis terhadap pasien (Muladi, 2012).

Berdasarkan latar belakang tersebut, peneliti ingin mengetahui gambaran pelaksanaan standar pelayanan farmasi klinik di RS X. Standar


(22)

7

pelayanan farmasi klinik diterapkan dengan tujuan untuk meningkatkan keselamatan pasien.

1.2Rumusan Masalah

Berdasarkan studi litelatur yang dilakukan standar pelayan farmasi klinik di rumah sakit menentukan kualitas pelayanan. Sehingga seharusnys diterapkan dengan sebaik mungkin oleh rumah sakit demi menjaga kualitas dan keselamatan pasien.

. Standar pelayanan farmasi di rumah sakit tentu harus mengacu pada standar nasional seperti SPM dan PMK. Namun, pada kenyataannya pada penelitian sebelumnya yang dilakukan Indah dan Utami, 2016 dari 4 rumah sakit yang diteliti di Yogyakarta belum ada satu pun rumah sakit yang mampu menerapkan seluruh kegiatan farmasi klinik sesuai PMK No.58 Tahun 2014.

Di RS X sendiri penelitian dan evaluasi terkait pelayanan farmasi klinik belum pernah dilakukan. Di samping itu, laporan kesalahan pengobatan masih terjadi di RS X. Selain itu, menurut hasil wawancara belum sepenuhnya kegiatan pelayanan farmasi klinik pada PMK No.58 Tahun 2014 dapat dilakukan. Di antaranya yang belum dilakukan adalah konseling dan visite bersama.

Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian terhadap pelayanan farmasi klinik di RS X berdasarkan PMK nomor 58 tahun 2014 tentang standar pelayanan farmasi di rumah sakit.


(23)

8 1.3Pertanyaan Penelitian

1. Bagaimana gambaran SDM pada pelayanan farmasi klinik di RS X

2. Bagaimana gambaran sarana dan prasarana pada pelayanan farmasi klinik di RS X

3. Bagaimana gambaran kebijakan pada pelayanan farmasi klinik di RS X

4. Bagaimana gambaran proses pelaksanaan pelayanan resep pada pelayanan farmasi kilinik di RS X?

5. Bagaimana gambaran proses pelaksanaan rekonsiliasi obat pada pelayanan farmasi kilinik di RS X?

6. Bagaimana gambaran proses pelaksanaan Pelayanan Informasi Obat (PIO) pada pelayanan farmasi kilinik di RS X?

7. Bagaimana gambaran proses pelaksanaan konseling pada pelayanan farmasi kilinik di RS X?

8. Bagaimana gambaran proses pelaksanaan visite pada pelayanan farmasi kilinik di RS X?

9. Bagaimana gambaran proses pelaksanaan Pemantauan Terapi Obat (PTO) pada pelayanan farmasi kilinik di RS X?

10.Bagaimana gambaran proses pelaksanaan Monitoring Efek Samping Obat (MESO) pada pelayanan farmasi kilinik di RS X?


(24)

9

11.Bagaimana gambaran proses pelaksanaan Evaluasi Penggunaan Obat (EPO) pada pelayanan farmasi kilinik di RS X?

12.Bagaimana gambaran proses pelaksanaan dispensing sediaan steril pada pelayanan farmasi kilinik di RS X?

13.Bagaimana gambaran pencapaian pelaksanaan pelayanan farmasi klinik di RS X?

1.4Tujuan Penelitian

1.4.1 Tujuan Umum

Diketahuinya gambaran pelaksanaan standar pelayanan farmasi klinik di RS X sesuai dengan PMK No. 58 Tahun 2014.

1.4.2 Tujuan khusus

1. Diketahuinya gambaran SDM pada pelayanan farmasi klinik di RS X

2. Diketahuinya gambaran sarana dan prasarana pada pelayanan farmasi klinik di RS X

3. Diketahuinya gambaran kebijakan pada pelayanan farmasi klinik di RS X

4. Diketahuinya gambaran proses pelaksanaan pelayanan resep pada pelayanan farmasi klinik di RS X

5. Diketahuinya gambaran proses pelaksanaan rekonsiliasi obat pada pelayanan farmasi klinik di RS X


(25)

10

6. Diketahuinya gambaran proses pelaksanaan Pelayanan Informasi Obat (PIO) pada pelayanan farmasi klinik di RS X 7. Diketahuinya gambaran proses pelaksanaan konseling pada

pelayanan farmasi klinik di RS X

8. Diketahuinya gambaran proses pelaksanaan visite pada pelayanan farmasi klinik di RS X

9. Diketahuinya gambaran proses pelaksanaan Pemantauan Terapi Obat (PTO) pada pelayanan farmasi klinik di RS X

10.Diketahuinya gambaran proses pelaksanaan Monitoring Efek Samping Obat (MESO) pada pelayanan farmasi klinik di RS X 11.Diketahuinya gambaran proses pelaksanaan Evaluasi

Penggunaan Obat (EPO) pada pelayanan farmasi klinik di RS X 12.Diketahuinya gambaran proses pelaksanaan dispensing sediaan

steril pada pelayanan farmasi klinik di RS X

13.Diketahuinya gambaran pencapaian pelaksanaan pelayanan farmasi klinik di RS X

1.5Manfaat Penelitian

1.5.1 Bagi Rumah Sakit

Dapat menjadi tambahan salah satu referensi bagi rumah sakit untukmelakukan upaya peningkatan pelayanan farmasi klinik.


(26)

11

1.5.2 Bagi Peneliti

Dapat mengaplikasikan teori pelayanan pelaksanaan standar farmasi klinis yang telah dipelajari ke kondisi sebenarnya.

1.5.3 Bagi Institusi

Hasil penelitian dapat dijadikan referensi yang dapat diteliti lebih lanjut. Serta dapat dijadikan informasi dan dokumentasi di kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

1.6Ruang Lingkup

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui gambaran pelaksanaan standar pada pelayanan farmasi klinis di Rumah Sakit X tahun 2017 yang akan diteliti oleh mahasiswa Kesehatan Masyarakat Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada bulan Juli 2016-Januari 2017. Penelitian ini dilakukan untuk di ketahuinya pelaksanaan standar pelayanan farmasi klinik di RS X. Penelitian ini bersifat kualitatif, yaitu penelitian deskriptif dengan menggunakan desain studi kasus dan metode pendekatan sistem. Penelitian ini merupakan penelitian yang akan mengeskplorasi permasalahan mengenai gambaran pelaksanaan standar pada pelayanan farmasi di rumah sakit. Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan data primer yang diperoleh dari wawancara, observasi, dan telaah dokumen.


(27)

12

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pelayanan Farmasi Klinik Rumah Sakit

Farmasi klinik merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sistem pelayanan kefarmasian di rumah sakit yang berorientasi pada pelayanan pasien. Farmasi klinik bertujuan mengidentifikasi, mencegah, dan menyelesaikan masalah terkait obat. Tuntutan masyarakat terkait pelayanan kefarmasian di Rumah Sakit mengharuskan adanya perluasan dari paradigma lama yang berorientasi kepada produk (drug oriented) menjadi paradigma baru yang berorientasi pada pasien (patient oriented) dengan filosofi Pelayanan Kefarmasian (Pharmaceutical Care) (Prayitno, 2003).

Farmasi klinik merupakan perluasan peran profesi petugas farmasi yang tidak hanya berorientasi kepada obat namun juga kepada pasien dan bertujuan untuk meningkatkan kualitas terapi obat. Aktifitas farmasi klinik terpusat kepada pasien, bekerjasama dan berkolaborasi antar profesi dengan dokter dan perawat dalam tim pelayanan kesehatan (Hepler, 2004;Miller, 1981) dalam (Restriyani, 2016).

Berdasarkan PMK No.58 tahun 2014 tentang Standar Pelayanan Farmasi Rumah Sakit, pelayanan farmasi klinik merupakan pelayanan langsung yang diberikan Apoteker kepada pasien dalam rangka meningkatkan outcome terapi dan meminimalkan risiko terjadinya efek samping karena obat, untuk tujuan


(28)

13

keselamatan pasien (patient safety) sehingga kualitas hidup pasien (quality of life) terjamin. Pelayanan farmasi klinik yang dilakukan meliputi:

1. Pengkajian dan Pelayanan Resep; 2. Penelusuran Riwayat Penggunaan Obat; 3. Rekonsiliasi Obat;

4. Pelayanan Informasi Obat (PIO); 5. Konseling;

6. Visite;

7. Pemantauan Terapi Obat (PTO);

8. Monitoring Efek Samping Obat (MESO); 9. Evaluasi Penggunaan Obat (EPO); 10.Dispensing Sediaan Steril; Dan

11.Pemantauan Kadar Obat Dalam Darah (PKOD)

2.1.1 Pengkajian dan pelayanan Resep

Dalam PMK No. 58 tahun 2014, pelayanan resep dimulai dari penerimaan, pemeriksaan ketersediaan, pengkajian resep, penyiapan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai termasuk peracikan obat, pemeriksaan, penyerahan disertai pemberian informasi. Pada setiap tahap alur pelayanan resep dilakukan upaya pencegahan terjadinya kesalahan pemberian obat (medication error).

Kegiatan ini untuk menganalisa adanya masalah terkait obat, bila ditemukan masalah terkait obat harus dikonsultasikan kepada dokter penulis


(29)

14

resep. Apoteker harus melakukan pengkajian resep sesuai persyaratan administrasi, persyaratan farmasetik, dan persyaratan klinis baik untuk pasien rawat inap maupun rawat jalan.

Persyaratan administrasi meliputi:

a. nama, umur, jenis kelamin, berat badan dan tinggi badan pasien; b. nama, nomor ijin, alamat dan paraf dokter;

c. tanggal Resep; dan d. ruangan/unit asal Resep. Persyaratan farmasetik meliputi:

a. nama obat, bentuk dan kekuatan sediaan; b. dosis dan jumlah obat;

c. stabilitas yaitu derajat degradasi suatu obat dipandangdari segi kimia. Stabilitas obat dapat diketahui dari ada tidaknyapenurunan kadar selama penyimpanan; dan

d. aturan dan cara penggunaan. Persyaratan klinis meliputi:

a. ketepatan indikasi, dosis dan waktu penggunaan obat; b. duplikasi pengobatan;

c. alergi dan Reaksi Obat Yang Tidak Dikehendaki (ROTD); d. kontraindikasi; dan


(30)

15

Penulisan resep sendiri memiliki standar yang berbeda di setiap negara. Namun, yang terpenting resep yang ditulis harus jelas. Beberapa resep masih ditulis dalam bahasa latin dibeberapa negara, meski bahasa lokal lebih banyak ditemukan. Setidaknya dalam resep memuat informasi ini maka kemungkinan kecil terjadi kesalahan (WHO, 1994):

a. Nama dan alamat prescriber, dengan nomor telepon (jika mungkin) Hal ini biasanya pra-dicetak pada formulir. Jika apoteker memiliki pertanyaan tentang resep ia dapat dengan mudah menghubungi prescriber tersebut.

b. Tanggal resep

Di banyak negara validitas resep tidak memiliki batas waktu, tetapi di beberapa negara apoteker tidak memberikan obat resep lebih dari tiga sampai enam bulan. Maka tanggal resep penting untuk mengetahui vaiditas obat yang disediakan itu sendiri.

c. Nama dan kekuatan obat

R/ (tidak Rx) berasal dari Resep (Latin untuk 'mengambil'). Setelah R/ harus ditulis nama obat dan kekuatan. Sangat dianjurkan untuk menggunakan nama generik obat. Hal ini menandakan penulis resep tdak cenderung pada salah satu merk obat yang bisa saja mahal bagi pasien. Namun, jika ada alasan khusus untuk meresepkan merek khusus, nama dagang dapat dituliskan dalam resep.


(31)

16

Kekuatan obat menunjukkan berapa miligram kandungan obat dalam setiap tablet, supositoria, atau mililiter cairan. Singkatan yang diterima secara internasional harus digunakan: g untuk gram, ml untuk mililiter. Cobalah untuk menghindari desimal dan, jika perlu, menulis kata-kata penuh untuk menghindari kesalahpahaman. Misalnya, menulis Levotiroksin 50 mikrogram, bukan 0.050 miligram atau 50 ug. Dalam resep untuk obat yang diawasi atau yang berpotensi disalahgunakan lebih aman untuk menulis kekuatan dan jumlah total dalam kata-kata, untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan. Instruksi penggunaan harus jelas dan dosis harian maksimum disebutkan. Gunakan tinta tak terhapuskan.

d. Bentuk sediaan dan jumlah total

Hanya menggunakan singkatan standar yang akan diketahui apoteker.

e. Informasi untuk label paket

S singkatan Signa (Latin untuk 'menulis'). Semua informasi berikut S atau kata 'Label' harus disalin oleh apoteker ke label paket. Termasuk berapa banyak obat yang harus diambil, seberapa sering, dan setiap instruksi dan peringatan tertentu. Semuanya harus diberikan dalam bahasa awam. Jangan gunakan singkatan atau pernyataan seperti 'seperti sebelumnya' atau 'seperti yang diarahkan'.

f. Inisial atau tanda tangan prescriber


(32)

17

2.1.2 Penelusuran Riwayat Penggunaan Obat

Dalam PMK No.58 Tahun 2014, penelusuran riwayat penggunaan obat merupakan proses untuk mendapatkan informasi mengenai seluruh obat/sediaan farmasi lain yang pernah dan sedang digunakan, riwayat pengobatan dapat diperoleh dari wawancara atau data rekam medik/pencatatan penggunaan obat pasien. Adapun tahapan penelusuran riwayat penggunaan obat sebagai berikut:

a. Membandingkan riwayat penggunaan obat dengan data rekam medik/pencatatan penggunaan obat untuk mengetahui perbedaan informasi penggunaan obat;

b. Melakukan verifikasi riwayat penggunaan obat yang diberikan oleh tenaga kesehatan lain dan memberikan informasi tambahan jika diperlukan;

c. Mendokumentasikan adanya alergi dan Reaksi Obat yang Tidak Dikehendaki (ROTD);

d. Mengidentifikasi potensi terjadinya interaksi obat;

e. Melakukan penilaian terhadap kepatuhan pasien dalam menggunakan obat;

f. Melakukan penilaian rasionalitas obat yang diresepkan;

g. Melakukan penilaian terhadap pemahaman pasien terhadap obat yang digunakan;

h. Melakukan penilaian adanya bukti penyalahgunaan obat; i. Melakukan penilaian terhadap teknik penggunaan obat;


(33)

18

j. Memeriksa adanya kebutuhan pasien terhadap obat dan alat bantu kepatuhan minum obat (concordance aids);

k. Mendokumentasikan obat yang digunakan pasien sendiri tanpa sepengetahuan dokter; dan

l. Mengidentifikasi terapi lain, misalnya suplemen dan pengobatan Informasi yang harus didapatkan menurut PMK No.58 Tahun 2014 dalam penelusuran riwayat penggunaan obat di antaranya adalah nama obat (termasuk obat non resep), dosis, bentuk sediaan, frekuensi penggunaan, indikasi dan lama penggunaan obat; reaksi obat yang tidak dikehendaki termasuk riwayat alergi; dan kepatuhan terhadap regimen penggunaan obat (jumlah obat yang tersisa).

Riwayat penggunaan obat adalah hal yang penting dalam mencegah kesalahan peresepan serta pengurangan risiko untuk pasien. Di samping itu, riwayat penggunaan obat yang akurat juga berguna untuk mendeteksi hubungan terapi obat atau perubahan tanda-tanda klinis yang mungkin akibat dari penggunaan obat. Riwayat penggunaan obat uang baik harus mencakup semua obat yang sedang dan telah diresepkan pada pasien, reaksi obat sebelumnya termasuk kemungkinan reaksi hipersensitif, dan obat-obat yang tak menggunakan resep, termasuk pengobatan herbal atau alternatif, serta kepatuhan terhadap terapi (FitzGerald, 2009).

Bagian penting dari riwayat penggunaan obat sering tidak lengkap dan tidak akurat. Penelitian menunjukan hal ini merupakan salah satu kebiasaan yang terjadi di dunia. Apoteker bisa memainkan peran penting pada pencegahan


(34)

19

kesalahan ini dengan terlibat dalam memperoleh riwayat penggunaan obat setelah adanya perpindahan pasien (FitzGerald, 2009).

Riwayat penggunaan obat yang hati-hati merupakan hal penting. Hal ini dilakukan untuk menilai penyebab dari efek obat. Karena bisa berisi keterangan alergi pasien sebelumnya (Ritter, et al, 2008).

2.1.3 Rekonsiliasi Obat

Rekonsiliasi obat merupakan suatu proses yang menjamin informasi terkait penggunaan obat yang akurat dan komprehensif dikomunikasikan secara konsisten setiap kali terjadi perpindahan pemberian layanan kesehatan seorang pasien. Pengertian rekonsiliasi obat tersebut menyiratkan beberapa elemen penting yang mendasari keberhasilan implementasi program tersebut, yaitu: 1) proses rekonsiliasi obat merupakan proses formal; 2) proses rekonsiliasi obat merupakan proses dengan pendekatan multisiplin; 3) penyedia layanan kesehatan harus dapat bekerja sama dengan pasien dan keluarga pasien/penjaga pasien. Proses perpindahan pemberian layanan kesehatan dapat terjadi pada setting berikut: 1) saat pasien Masuk Rumah Sakit (MRS); 2) pasien mengalami perpindahan antar bangsal atau unit layanan dalam suatu instansi rumah sakit yang sama (misalnya dari bangsal rawat inap menuju intensive care unit); 3) perpindahan dari suatu instansi rumah sakit menuju: rumah, layanan kesehatan primer (antara lain: puskesmas, praktek pribadi dokter yang bekerja sama dengan apotek, atau klinik), atau rumah sakit lain (Setiawan, et al, 2015).


(35)

20

Dalam PMK No.58 Tahun 2014 rekonsiliasi obat merupakan proses membandingkan instruksi pengobatan dengan obat yang telah didapat pasien. Rekonsiliasi dilakukan untuk mencegah terjadinya kesalahan obat (medication error) seperti obat tidak diberikan, duplikasi, kesalahan dosis atau interaksi obat. Kesalahan obat (medication error) rentan terjadi pada pemindahan pasien dari satu rumah sakit ke rumah sakit lain, antar ruang perawatan, serta pada pasien yang keluar dari rumah sakit ke layanan kesehatan primer dan sebaliknya.

Tujuan dilakukannya rekonsiliasi obat adalah:

a. Memastikan informasi yang akurat tentang obat yang digunakan pasien;

b. Mengidentifikasi ketidaksesuaian akibat tidak terdokumentasinya instruksi dokter; dan

c. Mengidentifikasi ketidaksesuaian akibat tidak terbacanya instruksi dokter.

Sedangkan setelah itu diatur pula tahap proses rekonsiliasi obat yang terdiri dari pengumpulan data, komparasi, melakukan konfirmasi kepada dokter apabila terjadi kesalahan, dan komunikasi. Berikut penjelasan masing-masing tahap:

a. Pengumpulan data

Mencatat data dan memverifikasi obat yang sedang dan akan digunakan pasien, meliputi nama obat, dosis, frekuensi, rute, obat mulai diberikan, diganti, dilanjutkan dan dihentikan, riwayat alergi pasien serta efek


(36)

21

samping obat yang pernah terjadi. khusus untuk data alergi dan efek samping obat, dicatat tanggal kejadian, obat yang menyebabkan terjadinya reaksi alergi dan efek samping, efek yang terjadi, dan tingkat keparahan.

Data riwayat penggunaan obat didapatkan dari pasien, keluarga pasien, daftar obat pasien, obat yang ada pada pasien, dan rekam medik/medication chart. Data obat yang dapat digunakan tidak lebih dari 3 (tiga) bulan sebelumnya. Semua obat yang digunakan oleh pasien baik Resep maupun obat bebas termasuk herbal harus dilakukan proses rekonsiliasi.

b. Komparasi

Petugas kesehatan membandingkan data obat yang pernah, sedang dan akan digunakan. Discrepancy atau ketidakcocokan adalah bilamana ditemukan ketidakcocokan/perbedaan diantara data-data tersebut. Ketidakcocokan dapat pula terjadi bila ada obat yang hilang, berbeda, ditambahkan atau diganti tanpa ada penjelasan yang didokumentasikan pada rekam medik pasien. Ketidakcocokan ini dapat bersifat disengaja (intentional) oleh dokter pada saat penulisan Resep maupun tidak disengaja (unintentional) dimana dokter tidak tahu adanya perbedaan pada saat menuliskan Resep.

c. Melakukan konfirmasi kepada dokter jika menemukan ketidaksesuaian dokumentasi.

Bila ada ketidaksesuaian, maka dokter harus dihubungi kurang dari 24 jam. Hal lain yang harus dilakukan oleh Apoteker adalah menentukan bahwa adanya perbedaan tersebut disengaja atau tidak disengaja;


(37)

22

mendokumentasikan alasan penghentian, penundaan, atau pengganti; dan memberikan tanda tangan, tanggal, dan waktu dilakukannya rekonsilliasi obat.

d. Komunikasi

Melakukan komunikasi dengan pasien dan/atau keluarga pasien atau perawat mengenai perubahan terapi yang terjadi. Apoteker bertanggung jawab terhadap informasi obat yang diberikan.

2.1.4 Pelayanan Informasi Obat (PIO)

Rata-rata, 50% pasien tak menggunakan obat yang diresepkan dengan benar, meminumnya tidak teratur, atau tidak sama sekali. Alasan yang paling umum adalah karena gejala telah berhenti, efek samping yang terjadi, obat tidak dianggap efektif, atau jadwal dosis rumit bagi pasien, terutama orang tua. Tidak patuhnya pasien terhadap pengobatan mungkin tidak memiliki konsekuensi serius bagi sebagian obat, namun pada sebagin lainnya, obat menjadi tidak efektif atau beracun jika digunakan tidak teratur (WHO, 1994).

Kepatuhan pasien terhadap pengobatan dapat ditingkatkan dengan tiga cara yaitu, pemilihan terapi obat yang baik. menciptakan hubungan dokter-pasien yang baik, atau meluangkan waktu untuk memberikan informasi yang diperlukan, seperti petunjuk dan peringatan. Terapi obat yang baik terdiri dari sedikitnya obat yang diresepkan, dengan tindakan cepat, sedikit efek samping sesedikit mungkin, dalam bentuk sediaan yang tepat, jadwal dosis sederhana (satu atau dua kali sehari), dan durasi pengobatan sesingkat mungkin (WHO, 1994).


(38)

23

Pelayanan Informasi Obat (PIO) adalah salah satu untuk mengurangi ketidapatuhan tersebut. Pasien membutuhkan informasi, petunjuk dan peringatan agar mereka memiliki pengetahuan untuk menerima dan mengikuti pengobatan serta mendapat keterampilan yang diperlukan untuk menggunkaa obat dengan tepat. Dalam beberapa studi, kurang dari 60% pasien telah memahami bagaimana menggunakan obat yang mereka terima. Informasi harus diberikan yang jelas, menggunakan bahasa umum dan meminta pasien untuk mengulang kata-kata yang diucapkan petugas oleh dirinya sendiri terkait beberapa informasi inti, untuk memastikan bahwa infromasi terlah dipahami (WHO, 1994).

Dalam memberikan infromasi terkait obat apoteker harus memberikan informasi obat untuk pasien yang akurat dan komprehensif . Infromasi terrapi obat juga diinformasikan untuk profesional kesehatan, pasien, dan perawat pasien yang sesuai. Tanggapan terhadap permintaan informasi obat umum dan pasien-spesifik harus disediakan secara akurat dan tepat waktu oleh apoteker, dan harus ada penilaian untuk memastikan kualitas tanggapan yang diberikan (ASHP, 2013).

Apoteker juga harus menginformasikan pada staf dan penyedia layanan kesehatan rumah sakit tentang penggunaan obat secara berkelanjutan melalui publikasi yang tepat, presentasi, dan program terterntu. Apoteker harus memastikan penyebaran informasi produk obat secara tepat waktu (misalnya, ingat pemberitahuan, perubahan pelabelan, dan perubahan ketersediaan produk). Infromasi pun dapat diberikan dengan komunikasi elektronik (misalnya, situs web, newsletter email, intranet posting), cara ini lebih efektif dan lebih mudah diakses (ASHP, 2013).


(39)

24

Menurut PMK No. 58 Tahun 2014 PIO merupakan kegiatan penyediaan dan pemberian informasi, rekomendasi obat yang independen, akurat, tidak bias, terkini dan komprehensif yang dilakukan oleh Apoteker kepada dokter, apoteker, perawat, profesi kesehatan lainnya serta pasien dan pihak lain di luar Rumah Sakit. PIO bertujuan untuk:

a. Menyediakan informasi mengenai obat kepada pasien dan tenaga kesehatan di lingkungan rumah sakit dan pihak lain di luar rumah sakit;

b. Menyediakan informasi untuk membuat kebijakan yang berhubungan dengan obat/sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai, terutama bagi tim farmasi dan terapi;

c. Menunjang penggunaan obat yang rasional.

Kegiatan PIO berupa penyediaan dan pemberian informasi obat yang bersifat aktif atau pasif. Pelayanan bersifat aktif apabila apoteker pelayanan informasi obat memberikan informasi obat dengan tidak menunggu pertanyaan melainkan secara aktif memberikan informasi obat, misalnya penerbitan buletin, brosur, leaflet, seminar dan sebagainya. Pelayanan bersifat pasif apabila apoteker pelayanan informasi obat mernberikan informasi obat sebagai jawaban atas pertanyaan yang diterima (Dirjen Pelayanan Farmasi dan Alat Kesehatan, 2006).

Sedangkan dalam PMK No.58 Tahun 2014 kegiatan tersebut, meliputi : a. Menjawab pertanyaan;


(40)

25

c. Menyediakan informasi bagi tim farmasi dan terapi sehubungan dengan penyusunan formularium rumah sakit;

d. Bersama dengan tim Penyuluhan Kesehatan Rumah Sakit (PKRS) melakukan kegiatan penyuluhan bagi pasien rawat jalan dan rawat inap; e. Melakukan pendidikan berkelanjutan bagi tenaga kefarmasian dan tenaga

kesehatan lainnya; dan f. Melakukan penelitian.

2.1.5 Konseling

Konseling berasal dari kata counsel yang artinya memberikan saran, melakukan diskusi dan pertukaran pendapat. Konseling adalah suatu kegiatan bertemu dan berdiskusinya seseorang yang membutuhkan (klien) dan seseorang yang memberikan (konselor) dukungan dan dorongan sedemikian rupa sehingga klien memperoleh keyakinan akan kemampuannya dalam pemecahan masalah. Konseling pasien merupakan bagian tidak terpisahkan dan elemen kunci dari pelayanan kefarmasian, karena Apoteker sekarang ini tidak hanya melakukan kegiatan compounding dan dispensing saja, tetapi juga harus berinteraksi dengan pasien dan tenaga kesehatan lainnya dimana dijelaskan dalam konsep Pharmaceutical Care. Dapat disimpulkan bahwa pelayanan konseling pasien adalah suatu pelayanan farmasi yang mempunyai tanggung jawab etikal serta medikasi legal untuk memberikan informasi dan edukasi mengenai hal-hal yang berkaitan dengan obat (Dirjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan, 2007).


(41)

26

Apoteker harus berpartisipasi dalam konseling pasien. Apoteker harus membantu untuk memastikan bahwa semua pasien diberikan informasi yang memadai tentang obat yang mereka terima untuk membantu pasien berpartisipasi dalam keputusan perawatan kesehatan mereka sendiri dan mendorong kepatuhan terhadap pengobatan. Kegiatan konseling pasien harus dikoordinasikan dengan keperawatan, medis, dan staf klinis lainnya yang diperlukan. Materi terkait obat yang dikembangkan oleh layanan lain dan departemen serta sumber komersial harus ditinjau oleh staf farmasi (ASHP, 2013).

Konseling obat dalam PMK No.58 Tahun 2014 adalah suatu aktivitas pemberian nasihat atau saran terkait terapi obat dari apoteker (konselor) kepada pasien dan/atau keluarganya. Konseling untuk pasien rawat jalan maupun rawat inap di semua fasilitas kesehatan dapat dilakukan atas inisitatif apoteker, rujukan dokter, keinginan pasien atau keluarganya. Pemberian konseling yang efektif memerlukan kepercayaan pasien dan/atau keluarga terhadap apoteker.

Pemberian konseling obat bertujuan untuk mengoptimalkan hasil terapi, meminimalkan risiko reaksi obat yang tidak dikehendaki (ROTD), dan meningkatkan cost-effectiveness yang pada akhirnya meningkatkan keamanan penggunaan obat bagi pasien (patient safety).

Secara khusus konseling obat ditujukan untuk:


(42)

27

b. Menunjukkan perhatian serta kepedulian terhadap pasien; c. Membantu pasien untuk mengatur dan terbiasa dengan obat; d. Membantu pasien untuk mengatur dan menyesuaikan penggunaan

obat dengan penyakitnya;

e. Meningkatkan kepatuhan pasien dalam menjalani pengobatan; f. Mencegah atau meminimalkan masalah terkait obat;

g. Meningkatkan kemampuan pasien memecahkan masalahnya dalam hal terapi;

h. Mengerti permasalahan dalam pengambilan keputusan; dan

i. Membimbing dan mendidik pasien dalam penggunaan obat sehingga dapat mencapai tujuan pengobatan dan meningkatkan mutu

pengobatan pasien.

Dalam PMK No.58 Tahun 2014 pun diatur mengenai kriteria pasien yang harus diberikan konseling, di antaranya adalah pasien kondisi khusus (pediatri, geriatri, gangguan fungsi ginjal, ibu hamil dan menyusui), pasien dengan terapi jangka panjang/penyakit kronis (TB, DM, epilepsi, dan lain-lain), pasien yang menggunakan obat-obatan dengan instruksi khusus (penggunaan kortiksteroid dengan tappering down/off), pasien yang menggunakan obat dengan indeks terapi sempit (digoksin, phenytoin), pasien yang menggunakan banyak obat (polifarmasi).


(43)

28 2.1.6 Visite

Visite dalam PMK No. 58 Tahun 2014 merupakan kegiatan kunjungan ke pasien rawat inap yang dilakukan apoteker secara mandiri atau bersama tim tenaga kesehatan untuk mengamati kondisi klinis pasien secara langsung, dan mengkaji masalah terkait obat, memantau terapi obat dan ROTD, meningkatkan terapi obat yang rasional, dan menyajikan informasi obat kepada dokter, pasien serta profesional kesehatan lainnya.

Visite juga dapat dilakukan pada pasien yang sudah keluar rumah sakit baik atas permintaan pasien maupun sesuai dengan program rumah sakit yang biasa disebut dengan Pelayanan Kefarmasian di Rumah (Home Pharmacy Care). Sebelum melakukan kegiatan visite apoteker harus mempersiapkan diri dengan mengumpulkan informasi mengenai kondisi pasien dan memeriksa terapi obat dari rekam medik atau sumber lain.

Kegiatan visite dapat dilakukan oleh apoteker secara mandiri atau kolaborasi dengan tenaga kesehatan lain sesuai dengan situasi dan kondisi. Keduanya memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing (lihat tabel) yang perlu diperhatikan dalam melakukan kegiatan visite dan menetapkan rekomendasi (Dirjen Bina Farmasi dan Alat Kesehatan, 2011).

Dalam pelaksanaan visite kolaborasi banyak kendala yang dialami petugas. Beberapa studi menggambarkan sikap dokter terhadap peran farmasi klinik khususnya pendampingan apoteker. Di Sudan, dokter menjadi tidak nyaman dengan adanya apoteker yang merekomendasikan peresepan obat untuk


(44)

29

pasien meskipun jenis pengobatan tersebut untuk penyakit minor. Sedangkan, di Jordan terdapat 63% dokter mengharapkan apoteker untuk mengajari pasien mereka mengenai keamanan dan ketepatan penggunaan obat. Di samping itu, sebagian dokter menyetujui bahwa apoteker selalu dapat diandalkan sebagai sumber informasi obat (Abu-Garbieh, et al., 2010).

a. Visite Mandiri

Pada kegiatan visite mandiri, apoteker harus memperkenalkan diri kepada pasien dan keluarganya agar timbul kepercayaan mereka terhadap profesi apoteker sehingga mereka dapat bersikap terbuka dan kooperatif. Apoteker berkomunikasi efektif secara aktif untuk menggali permasalahan pasien terkait penggunaan obat (lihat informasi penggunaan obat di atas). Respon dapat berupa keluhan yang disampaikan oleh pasien, misalnya: rasa nyeri menetap/bertambah, sulit buang air besar; atau adanya keluhan baru, misalnya: gatal-gatal, mual, pusing. Apoteker harus melakukan kajian untuk memastikan apakah keluhan tersebut terkait dengan penggunaan obat yang telah diberitahukan sebelumnya, misalnya urin berwarna merah karena penggunaan rifampisin; mual karena penggunaan siprofloksasin atau metformin (Dirjen Bina Farmasi dan Alat Kesehatan, 2011).

Setelah bertemu dengan pasien berdasarkan informasi penggunaan yang diperoleh, apoteker dapat (i) menetapkan status masalah (aktual atau potensial), dan (ii) mengidentifikasi adanya masalah baru. Pada visite mandiri, rekomendasi lebih ditujukan kepada pasien dengan tujuan untuk meningkatkan kepatuhan penggunaan obat dalam hal aturan pakai, cara pakai, dan hal-hal yang harus


(45)

30

diperhatikan selama menggunakan obat. Rekomendasi kepada pasien yang dilakukan oleh apoteker dapat berupa konseling, edukasi, dan pendampingan cara penggunaan obat. (Dirjen Bina Farmasi dan Alat Kesehatan, 2011)

Setelah pelaksanaan visite mandiri, apoteker dapat menyampaikan rekomendasi kepada perawat tentang jadwal dan cara pemberian obat, misalnya: obat diberikan pada waktu yang telah ditentukan (interval waktu pemberian yang sama), pemberian obat sebelum/sesudah makan, selang waktu pemberian obat untuk mencegah terjadinya interaksi, kecepatan infus, jenis pelarut yang digunakan, stabilitas dan ketercampuran obat suntik. Rekomendasi kepada perawat yang dilakukan oleh apoteker dapat berupa konseling, edukasi, dan pendampingan cara penyiapan obat. Rekomendasi yang diberikan harus berdasarkan pada bukti terbaik, terpercaya dan terkini agar diperoleh hasil terapi yang optimal. Rekomendasi kepada apoteker lain dapat dilakukan dalam proses penyiapan obat, misalnya: kalkulasi dan penyesuaian dosis, pengaturan jalur dan laju infus. Rekomendasi kepada dokter yang merawat yang dilakukan oleh apoteker dapat berupa diskusi pembahasan masalah dan kesepakatan keputusan terapi. Apoteker juga harus memantau pelaksanaan rekomendasi kepada pasien, perawat, atau dokter. Jika rekomendasi belum dilaksanakan maka apoteker harus menelusuri penyebab tidak dilaksanakannya rekomendasi dan mengupayakan penyelesaian masalah. (Dirjen Bina Farmasi dan Alat Kesehatan, 2011).


(46)

31

b. Visite Kolaborasi

Pada kegiatan visite bersama dengan tenaga kesehatan lain, perkenalan anggota tim kepada pasien dan keluarganya dilakukan oleh ketua tim visite. Pada saat mengunjungi pasien, dokter yang merawat akan memaparkan perkembangan kondisi klinis pasien berdasarkan pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang, dan wawancara dengan pasien; hal ini dapat dimanfaatkan apoteker untuk memperbarui data pasien yang telah diperoleh sebelumnya atau mengkaji ulang permasalahan baru yang timbul karena perubahan terapi. Apoteker harus berpartisipasi aktif dalam menggali latar belakang permasalahan terkait penggunaan obat (Dirjen Bina Farmasi dan Alat Kesehatan, 2011)

Sebelum memberikan rekomendasi, apoteker berdiskusi dengan anggota tim secara aktif untuk saling mengklarifikasi, mengkonfirmasi, dan melengkapi informasi penggunaan obat, Pada visite tim, rekomendasi lebih ditujukan kepada dokter yang merawat dengan tujuan untuk meningkatkan hasil terapi, khususnya dalam pemilihan terapi obat, misalnya pemilihan jenis dan rejimen antibiotika untuk terapi demam tifoid, waktu penggantian antibiotika injeksi menjadi antibiotika oral, lama penggunaan antibiotika sesuai pedoman terapi yang berlaku. Rekomendasi yang diberikan harus berdasarkan informasi dari pasien, pengalaman klinis (kepakaran) dokter dan bukti terbaik yang dapat diperoleh. Rekomendasi tersebut merupakan kesepakatan penggunaan obat yang terbaik agar diperoleh hasil terapi yang optimal. Pemberian rekomendasi kepada dokter yang merawat dikomunikasikan secara efektif, misalnya: saran tertentu yang bersifat


(47)

32

sensitif (dapat menimbulkan kesalahpahaman) diberikan secara pribadi (tidak di depan pasien/perawat (Dirjen Bina Farmasi dan Alat Kesehatan, 2011).

Setelah rekomendasi disetujui dokter yang merawat untuk diimplementasikan, apoteker harus memantau pelaksanaan rekomendasi perubahan terapi pada rekam medik dan catatan pemberian obat. Jika rekomendasi belum dilaksanakan maka apoteker harus menelusuri penyebabnya dan mengupayakan penyelesaian masalah (Dirjen Bina Farmasi dan Alat Kesehatan, 2011).

2.1.7 Pemantauan Terapi Obat (PTO)

Pemantauan Terapi Obat (PTO) dalam PMK No.58 Tahun 2014 merupakan suatu proses yang mencakup kegiatan untuk memastikan terapi obat yang aman, efektif dan rasional bagi pasien. Tujuan PTO adalah meningkatkan efektivitas terapi dan meminimalkan risiko ROTD. Pasien yang mendapatkan terapi obat mempunyai risiko mengalami masalah terkait obat. Kompleksitas penyakit dan penggunaan obat, serta respons pasien yang sangat individual meningkatkan munculnya masalah terkait obat. Hal tersebut menyebabkan perlunya dilakukan PTO dalam praktek profesi untuk mengoptimalkan efek terapi dan meminimalkan efek yang tidak dikehendaki.

Hasil meta-analisis yang dilakukan di Amerika Serikat pada pasien rawat inap didapatkan hasil angka kejadian ROTD yang serius sebanyak 6,7% dan ROTD yang fatal sebanyak 0,32%. Sementara penelitian yang dilakukan di rumah sakit di Perancis menunjukkan : masalah terkait obat yang sering muncul antara


(48)

33

lain: pemberian obat yang kontraindikasi dengan kondisi pasien (21,3%), cara pemberian yang tidak tepat (20,6%), pemberian dosis yang sub terapeutik (19,2%), dan interaksi obat (12,6%).1 Data dari penelitian yang dilakukan di satu rumah sakit di Indonesia menunjukkan 78,2% pasien geriatri selama menjalani rawat inap mengalami masalah terkait obat. Beberapa masalah yang ditemukan dalam praktek apoteker komunitas di Amerika Serikat, antara lain: efek samping obat, interaksi obat, penggunaan obat yang tidak tepat.3 Sementara di Indonesia, data yang dipublikasikan tentang praktek apoteker di komunitas masih terbatas (Dirjen Bina Farmasi dan Alat Kesehatan, 2009).

Keberadaan apoteker memiliki peran yang penting dalam mencegah munculnya masalah terkait obat. Apoteker sebagai bagian dari tim pelayanan kesehatan memiliki peran penting dalam PTO. Pengetahuan penunjangdalam melakukan PTO adalah patofisiologi penyakit; farmakoterapi; serta interpretasi hasil pemeriksaan fisik, laboratorium dan diagnostik. Selain itu, diperlukan keterampilan berkomunikasi, kemampuan membina hubungan interpersonal, dan menganalisis masalah. Proses PTO merupakan proses yang komprehensif mulai dari seleksi pasien, pengumpulan data pasien, identifikasi masalah terkait obat, rekomendasi terapi, rencana pemantauan sampai dengan tindak lanjut. Proses tersebut harus dilakukan secara berkesinambungan sampai tujuan terapi tercapai (Dirjen Bina Farmasi dan Alat Kesehatan, 2009).


(49)

34

a. Pengkajian pemilihan obat, dosis, cara pemberian obat, respons terapi, Reaksi Obat yang Tidak Dikehendaki (ROTD);

b. Pemberian rekomendasi penyelesaian masalah terkait obat; dan c. Pemantauan efektivitas dan efek samping terapi obat.

2.1.8 Monitoring Efek Samping Obat (MESO)

Monitoring Efek Samping Obat (MESO) merupakan kegiatan pemantauan setiap respon terhadap obat yang tidak dikehendaki, yang terjadi pada dosis lazim yang digunakan pada manusia untuk tujuan profilaksis, diagnosa dan terapi. Efek Samping obat adalah reaksi obat yang tidak dikehendaki yang terkait dengan kerja farmakologi.

Monitoring efek samping obat yang benar adalah dicatat pada lembar MESO yang kemudian akan ditandatangani oleh dokter, kemudian akan dikirimkan secara ke pusat MESO Indonesia, yaitu Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) di Jakarta (Purwantiastuti, 2015).

Pengawalan dan pemantauan aspek keamanan obat pascapemasaran dilakukan untuk mengetahui efektifitas (efectiveness) dan keamanan penggunaan obat pada kondisi kehidupan nyata atau praktik klinik yang sebenarnya. Banyak bukti menunjukkan bahwa sebenarnya Efek Samping Obat (ESO) dapat dicegah, dengan pengetahuan yang bertambah, yang diperoleh dari kegiatan pemantauan aspek keamanan obat pasca pemasaran (atau yang sekarang lebih dikenal dengan istilah Farmakovigilans. Sehingga, kegiatan ini menjadi salah satu komponen


(50)

35

penting dalam sistem regulasi obat, praktik klinik dan kesehatan masyarakat secara umum.

2.1.9 Evaluasi Penggunaan Obat (EPO)

Evaluasi Penggunaan Obat (EPO) dalam PMK No. 58 Tahun 2014 merupakan program evaluasi penggunaan Obat yang terstruktur dan berkesinambungan secara kualitatif dan kuantitatif.

Tujuan EPO yaitu:

j. Mendapatkan gambaran keadaan saat ini atas pola penggunaan obat; k. Membandingkan pola penggunaan obat pada periode waktu tertentu; l. Memberikan masukan untuk perbaikan penggunaan obat; dan h. Menilai pengaruh intervensi atas pola penggunaan obat.

2.1.10 Dispensing Sediaan Steril

Pencampuran sediaan steril harus dilakukan secara terpusat di instalasi farmasi rumah sakit untuk menghindari infeksi nosokomial dan terjadinya kesalahan pemberian obat. Pencampuran sediaan steril merupakan rangkaian perubahan bentuk obat dari kondisi semula menjadi produk baru dengan proses pelarutan atau penambahan bahan lain yang dilakukan secara aseptis oleh apoteker di sarana pelayanan kesehatan (ASHP, 1985) dalam (Dirjen Bina Farmasi dan Alat Kesehatan, 2009).

Aseptis berarti bebas mikroorganisme. Teknik aseptis didefinisikan sebagai prosedur kerja yang meminimalisir kontaminan mikroorganisme dan


(51)

36

dapat mengurangi risiko paparan terhadap petugas. Kontaminan kemungkinan terbawa ke dalam daerah aseptis dari alat kesehatan, sediaan obat, atau petugas jadi penting untuk mengontrol faktor-faktor ini selama proses pengerjaan produk aseptis.. Pencampuran sediaan steril harus memperhatikan perlindungan produk dari kontaminasi mikroorganisme; sedangkan untuk penanganan sediaan sitostatika selain kontaminasi juga memperhatikan perlindungan terhadap petugas, produk dan lingkungan (Dirjen Bina Farmasi dan Alat Kesehatan, 2009).

Sedangkan menurut PMK No. 58 Tahun 2014 dispensing sediaan steril harus dilakukan di Instalasi Farmasi Rumah Sakit dengan teknik aseptik untuk menjamin sterilitas dan stabilitas produk dan melindungi petugas dari paparan zat berbahaya serta menghindari terjadinya kesalahan pemberian obat.

Dispensing sediaan steril dalam PMK No.58 Tahun 2014 bertujuan:

a. Menjamin agar pasien menerima obat sesuai dengan dosis yang dibutuhkan;

b. Menjamin sterilitas dan stabilitas produk;

c. Melindungi petugas dari paparan zat berbahaya; dan d. Menghindari terjadinya kesalahan pemberian obat.

2.1.11 Pemantauan Kadar Obat dalam Darah (PKOD)

Pemantauan Kadar Obat dalam Darah (PKOD) merupakan interpretasi hasil pemeriksaan kadar Obat tertentu atas permintaan dari dokter yang merawat karena indeks terapi yang sempit atau atas usulan dari Apoteker kepada dokter. Kegiatan PKOD meliputi:


(52)

37

a. Melakukan penilaian kebutuhan pasien yang membutuhkan PKOD b. Mendiskusikan kepada dokter untuk persetujuan melakukan PKOD c. Menganalisis hasil pemeriksaan kadar

2.2 Medication Error

Kesalahan obat (medication error) adalah setiap kejadian yang sebenarnya dapat dicegah yang dapat menyebabkan atau membawa kepada penggunaan obat yang tidak layak atau membahayakan pasien, ketika obat dalam kontrol petugas kesehatan, pasien, atau konsumen (NCCMERP) (Cahyono, 2008).

Kejadian kesalahan obat (medication error) merupakan salah satu ukuran pencapaian keselamatan pasien. Medicaton error dapat terjadi pada tahap peresepan (precribing), penyiapan (dispensing), dan pemberian obat (drug administrastion) . Kesalahan pada salah satu tahap dapat menimbulkan kesalahan pada tahap selanjutnya. Kejadian kesalahan obat (medication error) terkait dengan praktisi, produk obat, prosedur, lingkungan atau sistem yang melibatkan peresepan (prescibing) , penyiapan (dispensing), dan administrasi (administration) (Tajuddin, et al. 2012)

Berdasarkan keputusan Menteri Kesehatan No.1027/MENKES/SK/IX/2004 tentang standar pelayanan kefarmasian di apotek, kesalahan obat (medication error) adalah kejadiaan yang merugikan pasien akibat pemakaian obat selama dalam penanganan tenaga


(53)

38

kesehatan yang sebenarnya dapat dicegah. Kesalahan pengobatan biasa terjadi di rumah sakit dan kesalahan dapat terjadi pada setiap tahap dari peresepan (dokter) melalui dispensing (apoteker atau staf dispensing) untuk administrasi (keperawatan atau pasien sendiri) (Depkes, 2006).

Leape, et. Al (1995) mengidentifikasi penyebab kesalahan antara lain 1) Kurangnya diseminasi pengetahuan, terutama para dokter yang merupakan 22 % penyebab kesalahan, 2) Tidak cukupnya informasi, 14% dari kesalahan mengenai pasien seperti halnya data uji laboratorium, 3) Sebanyak 10% kesalahan dosis yang kemungkinan disebabkan oleh tidak diikutinya SOP pengobatan, 4) 9% Lupa, 5) 9% kesalahan dalam membaca resep seperti tulisan tidak terbaca, interprestasi perintah dalam resep, dan singkatan dalam resep, 6) Salah mengerti perintah lisan, 7) Pelabelan dan kemasan, 8) Stok dan penyimpanan obat yang tidak baik, 9) Masalah dengan standard an distribusi, 10) Assesment alat penyampai obat yang tidak baik saat membeli dan penggunaan, 11) Stress di lingkungan kerja, dan 12) Ketidaktahuan pasien.

Ada pun menurut Kepmenkes tahun 2004 tentang standa pelayanan kefarmasian di apotek faktor-faktor lain yang berkontribusi pada kesalahan obat (medication error) antara lain:

1. Komunikasi atau kegagalan berkomunikasi

Hal ini merupakan suber utama terjadinya kesalahan. Institusi pelayanan kesehatan harus menghilangkan hambatan komunikai antar petugas


(54)

39

kesehatan dan membuat SOP bagiaman resep/penerimaan obat dan informasi obat lainnya dikomunikasikan. Komunikasi baik antar apoteker maupun dengan petugas kesehatan lainnya perlu dilakukan dengan jelas untuk menghindari penafsiran ganda atau ketidaklengkapan informasi dengan berbicara perlahan dan jelas. Perlu dibuat daftarsingkatan dan penulisan dosis yang berisiko menimbulkan kesalahan untuk diwaspadai. 2. Kondisi lingkungan

Untuk menghindari kesalahan yang berkaitan dengan kondisi linngkungan, area disepensing harus didesain dengan tepat dan sesuai dengan alur kerja, untuk menurunkan kelelahan dengan pencahayaan yang cukup dan temperatur yang nyaman. Selain itu, area kerja harus bersih dan teratur untuk mencegah terjadinya keslaahan. Obat untuk setiap pasien perlu disiapkan dalam nampan terpisah.

3. Gangguan/interupsi saat bekerja

Gangguan/interupsi harus seminimum mungkin dengan mengurangi interupsi baik langsung maupun melalui telepon.

4. Beban kerja

Rasio antara beban kerja dan SDM yang cukup penting untuk mengurangi stres dan beban kerja berlebihan sehingga dapat menurunkan kesalahan.


(55)

40

Meskipun edukasi staf merupakan cara yang tidak cukup kuat dalam menurunkan insiden/kesalahan,tetapi mereka dapat memainkan peran penting ketika dilibatka dalam sistem menurunkan insiden/kesalahan.

Sedangkan menurut American Hospital Association, kesalahan obat (medication error) antara lain dapat terjadi pada situasi berikut: 1. Informasi pasien yang tidak lengkap, misalnya tidak ada informasi

tentang riwayat alergi dan penggunaan obat sebelumnya.

2. Tidak diberikan informasi obat yang layak, misalnya cara minum atau menggunakan obat, frekuensi dan lama pemberian hingga peringatan jika timbul efek samping.

3. Kesalahan komunikasi dalam peresepan, misalnya interpretasi apoteker yang keliru dalam membaca resep dokter, kesalahan membaca nama obat yang relatif mirip dengan obat lainnya, kesalahan membaca desimal, pembacaan unit dosis hingga singkatan peresepan yang tidak jelas.

4. Pelabelan kemasan obat yang tidak jelas sehingga berisiko dibaca keliru oleh pasien.

5. Faktor-faktor lingkungan, seperti ruang apotek/ruang obat yang tidak terang, hingga suasana tempat kerja yang tidak nyaman yang dapat mengakibatkan timbulnya medication error.


(56)

41 2.3 Pencegahan Medication Error

Dalam Pedoman Tanggung Jawab Apoteker terhadap Keselamatan Pasien, maka upaya pencegahan kesalahan obat (medication error) adalah sebagai berikut (Depkes, 2008):

1. Mendorong fungsi dan pembatasan (forcing function& constraints): suatu upaya mendesain sistem yang mendorong seseorang melakukan hal yang baik, contoh : sediaan potasium klorida siap pakai dalam konsentrasi 10% Nacl 0.9%, karena sediaandi pasar dalam konsentrasi 20% (>10%) yang mengakibatkan fatal (henti jantung dan nekrosis pada tempat injeksi) 2. Otomasi dan komputer (Computerized Prescribing Order Entry):

membuat statis/robotisasi pekerjaan berulang yang sudah pasti dengan dukungan teknologi, contoh : komputerisasi proses penulisan resep oleh

dokter diikuti dengan ‖/tanda peringatan‖ jika di luar standar (ada penanda otomatis ketika digoxin ditulis 0.5g)

3. Standard dan protokol, standarisasi prosedur: menetapkan standar berdasarkan bukti ilmiah dan standarisasi prosedur (menetapkan standar pelaporan insiden dengan prosedur baku). Kontribusi apoteker dalam Panitia Farmasi dan Terapi serta pemenuhan sertifikasi/akreditasi pelayanan memegang peranan penting.

4. Sistem daftar tilik dan cek ulang: alat kontrol berupa daftar tilik dan penetapan cek ulang setiap langkah kritis dalam pelayanan. Untuk mendukung efektifitas sistem ini diperlukan pemetaan analisis titik kritis dalam sistem.


(57)

42

5. Peraturan dan Kebijakan : untuk mendukung keamanan proses manajemen obat pasien. contoh : semua resep rawat inap harus melalui supervisi apoteker

6. Pendidikan dan Informasi: penyediaan informasi setiap saat tentang obat, pengobatan dan pelatihan bagi tenaga kesehatan tentang prosedur untuk meningkatkan kompetensi dan mendukung kesulitan pengambilan

7. keputusan saat memerlukan informasi

8. Lebih hati-hati dan waspada:membangun lingkungan kondusif untuk mencegah kesalahan, contoh : baca sekali lagi nama pasien sebelum menyerahkan.

2.4 Kerangka Teori

Berdasarkan seluruh teori yang telah dipaparkan maka dapat disusun kerangka teori yang menjelaskan mengenai sistem keselamatan pasien pada pelayanan farmasi klinik di rumah sakit. Pada penelitian ini unsur sistem yang digunakan tiga yaitu input, proses dan output.

Input, proses, dan output yang dalam pelayanan farmasi klinik di sini sesuai dengan standar pelayanan rumah sakit yang mengacu pada PMK No.58 Tahun 2014 tentang standar pelayanan farmasi rumah sakit. Input terdiri dari SDM, sarana dan prasarana, serta kebijakan. Proses terdiri dari pengkajian dan pelayanan resep, penelusuran riwayat penggunaan obat, rekonsiliasi obat, pelayanan informasi obat, konseling, visite,pemantauan terapi obat, monitoring efek samping obat, evaluasi penggunaan obat, dispensing sediaan steril, dan


(58)

43

pemantauan kadar obat dalam darah. Sedangkan ouput adalah terlaksananya pelayanan farmasi klinik sesuai dengan PMK No.58 Tahun 2014. Maka skema kerangka teorinya adalah sebagai berikut:

Bagan 2.1 Kerangka Teori

Sumber: (PMK No. 58 Tahun 2014, Kepmenkes 129 Tahun 2008) Pelayanan farmasi klinik di

rumah sakit

PROSES INPUT:

1. SDM

2. Sarana dan Prasarana 3. Kebijakan/SOP

1. Pengkajian dan Pelayanan resep 2. Penelusuran riwayat

penggunaan obat 3. Rekonsiliasi obat

4. Pelayanan informasi obat 5. Konseling

6. visite

7. Pemantauan terapi obat 8. Monitoring efek samping

obat

9. Evaluasi penggunaan obat

10.Dispensing sediaan steril 11.Pemantauan kadar obat

dalam darah OUTPUT : Standar pencapaian pelayanan farmasi klinik sesuai dengan PMK 58 tahun 2014:

1. Jumlah pelayanan dilaksanakan 100%

2. Tidak adanya kejadian kesalahan pemberian obat 100%


(59)

44

BAB III

KERANGKA PIKIR DAN DEFINISI ISTILAH

3.1Kerangka Pikir

Berdasarkan kerangka teori sebelumnya maka kerangka konsep yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

Bagan 3.1 Kerangka Pikir

Pada penelitian ini digunakan pendekatan sistem melalui input, proses, dan output untuk mengetahui gambaran secara utuh pelaksanaan pelayanannya. Pada penelitian ini unsur sistem yang paling

PROSES

Pelayanan pelayanan farmasi klinik di rumah sakit

INPUT:

1. SDM

2. Sarana dan Prasarana

3. Kebijakan/SOP 1. Pengkajian dan Pelayanan resep

2. Rekonsiliasi obat

3. Pelayanan informasi obat 4. Konseling

5. visite

6. Pemantauan terapi obat 7. Monitoring efek samping

obat

8. Evaluasi penggunaan obat 9. Dispensing sediaan steril

OUTPUT : Standar pencapaian pelayanan farmasi klinik sesuai dengan PMK 58 tahun 2014: 1. Jumlah pelayanan farmasi klinik yang dilaksanakan 2. Jumlah kejadian kesalahan pemberian obat 100%


(60)

45

menggambarkan fokus penelitian yaitu pada proses. Proses yang dalam pelayanan farmasi klinik di RS X mengadopsi PMK No.58 Tahun 2014 tentang standar pelayanan farmasi rumah sakit. Proses tersebut terdiri dari pengkajian dan pelayanan resep, rekonsiliasi obat, pelayanan informasi obat, konseling, visite,pemantauan terapi obat, monitoring efek samping obat, evaluasi penggunaan obat, dan dispensing sediaan steril. Untuk variabel penelusuran penggunaan obat tidak diteliti karena harus melibatkan proses yang panjang dengan mengkaji rekam medis pasien yang rahasia dan tidak bisa diteliti sembarang orang, serta pemantauan kadar obat dalam darah pun tidak diteliti karena harus melibatkan proses pemeriksaan darah yang panjang serta bantuan dan izin dari tenaga medis.


(61)

46 3.2Definisi Istilah

Tabel 3.1 Definisi Istilah

Istilah Definisi Cara Ukur Alat Ukur Infroman Hasil Ukur Utama Pendukung

SDM

Apoteker dan tenaga kefarmasian yang memiliki kemampuan dan pengetahuan tentang pelayanan farmasi

Wawancara mendalam dan tealaah dokumen

Pedoman wawancara, pedoman telaah dokumen

Kepala bagian farmasi

Petugas bagian pengelola sumber daya bagian farmasi

1. Informasi mengenai jumlah tenaga kefarmasian di RS X

2. Informasi mengenai latar belakang petugas

pelayanan farmasi di RS X 3. Informasi mengenai

standar dan kebijakan sebagai aopteker atau petugas kefarmasian lainnya di RS X


(62)

47

Istilah Definisi Cara Ukur Alat Ukur Infroman Hasil Ukur Utama Pendukung

Sarana dan Prasarana

Fasilitas dan ruang yang memadai dalam hal kualitas dan kuantitas yang dapat menunjang fungsi dan proses pelayanan kefarmasian, menjamin lingkungan kerja yang aman untuk petugas, dan

memudahkan sistem komunikasi rumah sakit

Wawancara mendalam, observasi, dan telaah dokumen Pedoman wawancara, ceklis observasi, dan pedoman telaah dokumen Kepala bagian farmasi Petugas pengelola sarana dan prasarana farmasi

1. Informasi mengenai sarana dan prasarana standar kefarmasian di RS X 2. Infrormasi mengenai perawatan sarana dan

prasarana kefarmasian di RS X

3. Informasi mengenai kelengkapan sarana dan prasarana kefarmasian di RS X

4. Informasi mengenai kesesuaian penggunaan sarana dan prasarana kefarmasian di RS X


(63)

48

Istilah Definisi Cara Ukur Alat Ukur Infroman Hasil Ukur Utama Pendukung

Kebijakan/SOP

Kebijaka atau aturan yang digunakan rumah sakit untuk menjalankan kegiatan pelayanan farmasi klinik Wawancara mendalam, dan telaah dokumen Pedoman wawancara, dan pedoman telaah dokumen Kepala bagian farmasi Petugas teknis farmasi

1. Informasi mengenai peraturan atau kebijakan standar kefarmasian yag digunakan rumah sakit di RS X

2. Informasi mengenai

pelaksanaan kebijakan atau peraturan yang telah dibuat di RS X

3. Informasi mengenai kesesuaian kebiajakan atau peraturan rumah sakit dengan perundang undangan di RS X

Pengkajian dan Pelayanan resep

Pelayanan resep dimulai dari penerimaan,

pemeriksaan

ketersediaan, pengkajian resep, penyiapan sediaan

Wawancara mendalam, observasi, dan telaah dokumen Pedoman wawancara, observasi, dan pedoman Kepala bagian farmasi 1. Petugas farmasi penerima resep 2. Petugas

1. Informasi mengenai kelengkapan administrasi resep di RS X

2. Informasi mengenai persyaratan farmasetik


(64)

49

Istilah Definisi Cara Ukur Alat Ukur Infroman Hasil Ukur Utama Pendukung

farmasi, alat kesehatan dan bahan medis habis pakai termasuk peracikan obat, pemeriksaan, penyerahan disertai pemberian informasi telaah dokumen peracik obat

resep di RS X 3. Informasi mengenai

persyaratan klinis resep di RS X

Rekonsiliasi obat

Proses membandingkan instruksi pengobatan dengan obat yang telah didapat pasien.

Pencegahan terjadinya kesalahan obat

(medication error) yaitu obat tidak diberikan, duplikasi, kesalahan dosis atau interaksi obat, terutama pada pemindahan pasien Wawancara mendalam dan observasi Pedoman wawancara, dan pedoman observasi Kepala bagian farmasi 1. Apoteker petugas distribusi obat

1. Informasi mengenai keakuratan obat yang digunakan pasien di RS X 2. Informasi mengenai

ketidasesuaian obat akibat tak terdokumentasinya instruksi dokter di RS X 3. Informasi mengenai

ketidasesuaian pemberian obat akibat tak terbacanya instruksi dokter di RS X


(65)

50

Istilah Definisi Cara Ukur Alat Ukur Infroman Hasil Ukur Utama Pendukung

antarrumah sakit, antar ruang perawatan, serta pada pasien yang keluar dari rumah sakit ke layanan kesehatan primer dan sebaliknya.

Pelayanan informasi obat

kegiatan penyediaan dan pemberian informasi, rekomendasi obat yang independen, akurat, tidak bias, terkini dan komprehensif yang dilakukan oleh apoteker kepada dokter, apoteker, perawat, profesi

kesehatan lainnya serta pasien dan pihak lain di luar rumah sakit

Wawancara mendalam dan observasi Pedoman wawancara dan pedoman observasi Kepala bagian farmasi Apoteker yang bertugas memberikan PIO

1. Informasi mengenai sediaan informasi tentang obat kepada pasien dan tenaga kesehatan di lingkungan RS dan pihak lain luar RS di RS X 2. Infromasi mengenai

sediaan informasi untuk membuat kebijakan yang berhubungan dengan obat di RS X

3. Informasi mengenai penggunaan obat yag


(66)

51

Istilah Definisi Cara Ukur Alat Ukur Infroman Hasil Ukur Utama Pendukung

rasional di RS X

Konseling

Aktivitas pemberian nasihat atau saran terkait terapi obat dari

Apoteker (konselor) kepada pasien dan/atau keluarganya.

Wawancara mendalam dan observasi

Pedoman wawancara dan

pedoman observasi

Kepala bagian farmasi

Apoteker yang bertugas sebagai konselor

1. Informasi mengenai jenis konseling yang

dilakukan RS di RS X 2. Informasi mengenai

komunikasi antar apoteker dan pasien di RS X

3. Informasi mengenai teknik konseling apoteker dengan pasien di RS X


(1)

187 mandi untuk staf

2 Peralatan

- Peralatan penyimpanan - Peralatan peracikan - Peralatan pembuatan

obat

- Peralatan kantor - Lemari penyimpanan

khusus narkotika - Lemari pendingin - Pendingin ruangan

untuk ruang termolabil - Penerangan, saran air,

ventilasi, dan sistem pembuangan limbah - Alarm

- Peralatan sistem komputerisasi - Peralatan produksi 3 Peralatan Aseptic

Dispensing

- Biological safety cabinet/vertical laminar air flow cabinet

- Horizontal laminar air flow cabinet

- Pass-box dengan pintu berganda

- Barometer - Termometer


(2)

188 - Wireless intercom

4 Peralatan Pendistribusian 5 Peralatan Konsultasi 6 Peralatan Ruang Informasi

Obat

7 Peralatan Ruang Arsip

1.1 Ruang Produksi

No Syarat Kesesuaian

Ya Tidak

1 Lokasi jauh dari pencemaran lingkungan

2 Terdapat saran perlindungan dari cuaca, banjir, rembesan air, binatang dan serangga

3 Rancang bangun sesuai dengan alur kerja dan alur orang 4 Pengendalian lingkungan terhadap udara, permukaan

langit-langut, barang masuk, dan petugas yang di dalam

5 Luas ruangan minimal 2 kali daerah kerja dengan jarak tiap peralatan 2,5 m

6 Di luar ruang produksi ada fasilitas untuk lalu lintas petugas dan barang

7 Ruang terpisah antar obat jadi dan bahan baku 8 Ruang terpisah untuk setiap proses produksi

9 Ruang terpisah untuk produksi obat luar dan obat dalam 10 Permukaan lantai, dinding, langit-langut, dan pintu harus

kedap air, tidak terdapat sambungan, tidak menggunakan media pertumbuhan mikroba, mudah dibersihkan dan tahan terhadap pembersih/desinfektan

11 Daerah pengemasan dan oengolahan hindari bahan dari kayu kecuali dilapisi cat epoxy/enamel


(3)

189 ruangan, suhu, kelembaban, intensitas cahaya

1.2Ruang Aseptic Dispensing

No Syarat Kesesuaian

Ya Tidak

1 Ruang bersih kelas 10.000

2 Ruang penyimpanan kelas 100.000 3 Ruang antara kelas 100.000

4 Ruang ganti pakaian kelas 100.000

5 Lantai datar dan halus tanpa sambungan, keras, serta resiste terhadap zat kimia

6 Dinding rata dan halus, keras, serta resiste terhadap zat kimia 7 Sudt-sudut permukaan langit-langit dengan dinding dibuat

melengkung dengan radius 20 – 30 mm

8 Colokan listrik datar dengan permukaan dan kedap air serta dapat dibersihkan

9 Penerangan, saluran, dan kabel dibuat di atas plafon 10 Rangka pintu terbuat dari stainles stell

11 Aliran udara menuju ruang bersih, ruang peniapa, ruang ganti pakaian, dan ruang antara harus melalui HEPA filter dan memenuhi syarat kelas 10.000

12 Tekanan udara ruang bersih adalah 15 pascal lebih rendah dari ruang lainnnya

13 Suhu udara di ruangan bersih dan steril dipelihara pada suhu 16-25 C


(4)

190 1.3 Laboratorium

No Syarat Kesesuaian

Ya Tidak

1 Lokasi terpisah dari ruang produksi

2 Konstruksi bangunan tahan asam, alkali, zat kimia, dan pereaksi lain

3 Tata ruang sesuai alur kerja

4 Perlengkapan instalasi air dan listrik 5 Terdapat ruang produksi non steril

6 Terdapat ruang penanganan sediaan sitostatik

7 Terdapat ruang pencampuran/ pelarutan/pengemasan sediaan yang tidak stabil

8 Terdapat ruang penyimpanan nutrisi parenteral

Pengkajian dan Pelayanan Resep

Persyaratan administrasi Ada Tidak ada Keterangan

- Nama pasien - Umur pasien - Jenis kelamin - Berat badan - Tinggi badan - Nama dokter - Nomor izin - Alamat - Paraf dokter - Tanggal resep - Ruang/unit asal


(5)

191 Persyaratan Farmasetik

- Nama obat - Bentuk obat - Kekuatan sediaan - Dosis

- Jumlah obat - Stabilitas - Aturan dan cara

penggunaan Persyaratan klinis

- Ketepatan indikasi, dosis, dan waktu penggunaan obat - Duplikasi

pengobatan

- ROTD

- Kontraindikasi - Interaksi obat


(6)

192 Lampiran V