Aliran Klasik Teori Pembangunan Ekonomi: Pertumbuhan vs Ketidakmerataan

54 Perbedaan teori pembangunan yang terkait dengan masalah distribusi pendapatan dapat dibedakan menurut dua aliran ekonomi, yaitu aliran Klasik Orthodox dan aliran Strukturalis.

3.2.1. Aliran Klasik

Aliran ini menggunakan konsep Adam Smith 1 tentang proses pembangunan yang berpegang pada konsep keseimbangan alokasi sumberdaya dan konsep pasar bebas dimana harga menjadi acuan dalam proses pertukaran. Perbedaan kondisi antar sektor akan menyebabkan pertukaran dan alokasi sumberdaya secara efisien tanpa ada campur tangan pemerintah konsep pasar bebas hingga mencapai kondisi pareto optimal. Pertukaran tersebut pada hakekatnya merupakan proses pembangunan Herrick dan Kindleberger, 1988; Arndt, 1987; Gillis et al., 1987; Djojohadikusumo, 1994 dan Deliarnov, 1995. Aspek distribusi pendapatan dibahas dengan penekanan pada masalah pembagian hasil produksi antara pemilik modal dan pemilik tanah. Lewis membahas aspek ketidakmerataan inequality melalui model ekonomi dua sektor. Dengan menggunakan konsep-konsep mahzab Klasik dan teori Malthus Lewis mengasumsikan tenaga kerja tersedia dengan jumlah berlebih dan pada tingkat upah subsisten yang tetap. Teori ini menyatakan bahwa ketidakmerataan pendapatan akan muncul pada awalnya dan akan menghilang setelah dicapai hasil pembangunan. Ada dua alasan meningkatnya ketidakmerataan pendapatan pada awal pertumbuhan. Pertama, kontribusi pemilik kapital meningkat pada saat peran sektor modern meningkat sehingga meningkatkan kesenjangan pendapatan antara pemilik modal dan buruh. Kedua, kesenjangan distribusi buruh sendiri juga meningkat dengan bertambahnya tenaga kerja namun masih dalam jumlah yang masih sedikit yang pindah dari tingkat upah sektor subsisten ke tingkat upah sektor modern yang lebih tinggi. Namun ketidakmerataan tersebut berubah manakala seluruh 1 Pengikutnya diantaranya David Ricardo, Jean B. Say dan Stuart Mill 55 surplus tenaga kerja diserap oleh sektor modern yang menyebabkan tenaga kerja berubah menjadi faktor produksi yang langka. Tingkat upah kemudian meningkat yang pada akhirnya akan menurunkan tingkat ketidakmerataan sekaligus mengurangi tingkat kemiskinan. Setiap orang akan memperoleh manfaat apabila mereka menunggu proses pembangunan tersebut berlangsung sampai selesai. Peningkatan sementara dalam ketidakmerataan pendapatan hanya merupakan biaya untuk memperoleh manfaat proses pembangunan tersebut. Tanpa adanya campur tangan pemerintah pemerataan akan terjadi dengan sendirinya pada saat negara telah mencapai tingkat pembangunan dan pendapatan per kapita yang tinggi. Teori diatas konsisten dengan konsep pemikiran Kuznets 1955 yang dituangkan dalam bentuk kurva U terbalik, yaitu sewaktu pendapatan per kapita naik, ketidakmerataan mulai muncul dan mencapai maksimum pada saat pendapatan berada pada tingkat menengah dan kemudian menurun sewaktu telah dicapai tingkat pendapatan yang sama dengan karakteristik negara industri. Peningkatan pertumbuhan dimungkinkan dengan berkembangnya sektor pemimpin leading sector. Ketidakmerataan pendapatan akan memburuk pada tahap awal disebabkan upah buruh masih relatif rendah. Dengan demikian pertumbuhan tidak banyak memberikan manfaat bagi golongan miskin atau golongan buruh. Namun dengan semakin meningkatnya pendapatan per kapita, maka permintaan terhadap sarana publik transportasi, komunikasi, pendidikan dsb juga meningkat. Kondisi ini akan memunculkan trickle-down effect bagi golongan miskin dengan meningkatnya upah buruh melalui sektor lain. Gillis et al., 1987; Todaro, 2000. Menurut Hogendorn 1992 fenomena kurva Kuznets tersebut dapat dilihat pada masyarakat, dimana distribusi pendapatan yang merata pada awalnya dijumpai di sektor pertanian. Namun begitu sebagian masyarakat berpindah ke sektor industri yang memiliki upah lebih tinggi, maka ketidakmerataan pendapatan masyarakat segera muncul 56 Konsep distribusi pendapatan menurut Lewis tersebut memunculkan beberapa argumen tandingan. Pertama, ketimpangan menciptakan kondisi dimana hanya orang-orang kaya yang bisa menginvestasikan kembali sebagian besar pendapatannya untuk memperoleh hasil yang lebih besar lagi, sementara orang-orang miskin membelanjakan pendapatannya untuk barang konsumsi. Semakin lama hal ini akan menciptakan ketimpangan lagi yang semakin lebar. Kedua, ketiadaan akses investasi golongan miskin secara akumulatif akan menyebabkan rendahnya pertumbuhan GNP dibandingkan apabila terdapat pemerataan pendapatan yang lebih besar. Ketiga, asumsi hasil produksi golongan kaya akan diinvestasikan kembali secara empiris meragukan. Yang terjadi adalah pengalihan modal ke luar negeri karena alasan keamanan dan tingginya tingkat konsumsi barang-barang mewah oleh golongan kaya. Keempat, rendahnya taraf hidup golongan miskin mengakibatkan rendahnya produktivitas ekonomi mereka yang secara akumulatif mengakibatkan rendahnya pertumbuhan ekonomi nasional Todaro, 2000.

3.2.2. Aliran Strukturalis