6. sebelum simulasi dan data pendapatan kelompok setelah simulasi dengan jumlah populasi rumah tangga yang tetap.
7. Data-data tersebut selanjutnya dipergunakan untuk menghitung distribusi pendapatan antar golongan sebelum dan sesudah simulasi.
4.4.5. Analisis Kemiskinan
Perubahan pendapatan masing-masing golongan rumah tangga dari analisis simulasi kebijakan juga digunakan untuk menganalisis kemiskinan indeks FGT dengan
menggunakan data SUSENAS. Meskipun menggunakan analisis diluar model SNSE, pada dasarnya analisis kemiskinan dalam penelitian ini tetap mengacu pada kerangka SNSE,
karena: 1 kelompok rumah tangga pada model SNSE 2003 pada dasarnya disusun berdasarkan data SUSENAS tahun 2002, dan 2 penggolongan rumah tangga pada data
SUSENAS dibuat mengikuti pengelompokan rumah tangga yang terdapat dalam neraca SNSE. Dengan menyelaraskan pengelompokan rumah tangga pada data SUSENAS dengan
model SNSE akan diperoleh keterkaitan pembahasan antara analisis kemiskinan dengan model SNSE.
Tahapan menghitung indeks kemiskinan adalah sebagai berikut. Dari data SUSENAS dapat dibentuk struktur data kelompok rumah tangga berdasarkan jenis
pekerjaan, lokasi desa-kota, rata-rata pengeluaran maupun jumlah anggota rumah tangga. Dari data rata-rata pengeluaran rumah tangga dan dengan menggunakan batas garis
kemiskinan yang ditetapkan oleh BPS, dapat ditetapkan jumlah rumah tangga yang tergolong miskin, yaitu rumah tangga yang memiliki pendapatan yang diproksi dari
pengeluaran di bawah garis kemiskinan. Karena data SUSENAS yang digunakan adalah data tahun 2002, maka garis kemiskinan yang digunakan adalah garis kemiskinan yang
ditetapkan oleh BPS untuk tahun 2002 sebesar Rp. 130 499 untuk wilayah kota dan Rp. 96 512 untuk perdesaan. Data-data tersebut selanjutnya digunakan sebagai data dasar base
data untuk menghitung indeks kemiskinan. Perubahan pendapatan rumah tangga hasil dari
simulasi kebijakan, dianggap sebagai data setelah simulasi. Selanjutnya dapat dihitung indeks kemiskinan dari data dasar dan data hasil simulasi dengan menggunakan program
analisis DAD 4.3 Distributive Analysis. Untuk menghitung indeks kemiskinan, data pendapatan rumah tangga berdasarkan
golongan rumah tangga yang diproxi dari data pengeluaran, diubah ke dalam pendapatan masing-masing individu. Hal ini dilakukan karena perhitungan FGT poverty index
didasarkan pada pengeluaran masing-masing individu atau per kapita. Sedangkan formula Foster-Greer-Thorbecke poverty index dinyatakan sebagai
berikut Cockburn, 2001. P
α
y;z =
q i
i
z y
z n
1
1 α ≥ 0 ............................................................... 57
dimana y
i
adalah rata-rata nilai pengeluaran per kapita individu ke i dalam rumah tangga yang sudah diranking berdasarkan tingkat pengeluaran, total populasi dinyatakan sebagai n
dan jumlah populasi miskin adalah q, batas kemiskinan adalah z, sehingga poverty gap ratio
adalah G
i
= z – y
i
z, dimana G
i
= 0 pada saat y
i
z. Nilai
α ada tiga macam, yaitu: 1. Jika
α = 0, P menyatakan headcount index, merupakan proporsi populasi yang
berada dibawah garis kemiskinan. Formula diatas akan menjadi: P
y;z =
q i
i
z y
z n
1
1
,
atau P = qn.
Jika misalnya sebanyak 30 persen populasi adalah kelompok miskin, maka P = 0.3.
2. Jika α = 1, menunjukkan ukuran poverty gap ratio dimana masing-masing penduduk
miskin dibobot berdasarkan jarak relatif mereka dari garis kemiskinan. Formula 57 menjadi:
P
1
= 1n
i
y z
z.
Misalkan besaran P
1
= 0.2 artinya total kesenjangan kemiskinan seluruh populasi miskin terhadap garis kemiskinan adalah 20 persen. Sedangkan P
1
P =1q
i
y z
z adalah rata-rata kesenjangan kemiskinan poverty gap yang dinyatakan sebagai
proporsi terhadap garis kemiskinan. 3. Jika
α = 2, formula 57 menjadi:
P
2
y;z =
q i
i
z y
z n
1 2
1
.
Artinya bobot yang diberikan kepada masing-masing penduduk miskin proporsional dengan kuadrat kekurangan pendapatan mereka terhadap garis kemiskinan. Indeks tersebut
merupakan ukuran yang sensitif terhadap perubahan pendapatan atau distribusi pendapatan populasi miskin distributionally sensitive index. Ukuran ini dinamakan rasio ‘keparahan’
kemiskinan poverty severity. Pengukuran kemiskinan dengan FGT index dapat digunakan juga apabila populasi
rumah tangga akan dipisahkan disaggregated menurut kelompok sub-group populasi sehingga kontribusi masing-masing kelompok dapat diketahui.
Dalam penelitian ini populasi dibagi menjadi 6 kelompok maka profil kemiskinan akan digambarkan melalui P
j
untuk j = 1,...,6. P
j
= ,
1
6 1
j i
j j
y z
p n
..................................................................................... . 58 Sedangkan kemiskinan agregat sebagai rata-rata ukuran kemiskinan kelompok,
diformulasikan sebagai: P =
6
1
1
j j
P n
N
j
.................................................................................................... 59 dimana: P
j
= ukuran kemiskinan untuk kelompok j, dimana j = 1,......,6. N
j
= jumlah populasi kelompok j y
i j
= rata-rata pengeluaran individu i yang berada pada kelompok j
i = individu1,...,n
j
yang berada dalam kelompok j. Profil kemiskinan menurut kelompok tersebut akan menggambarkan konsistensi,
yaitu ketika kemiskinan dalam suatu kelompok meningkat, maka secara agregat kemiskinan populasi juga akan meningkat, demikian sebaliknya.
Ada dua pendekatan dalam menentukan pendapatan perkapita sebagai dasar untuk menghitung indeks kemiskinan, yaitu membagi total pengeluaran rumah tangga dengan
total jumlah anggota rumah tangga pendapatan per kapita dan melalui pendekatan skala ekivalensi Equivalent Scale = ES.
Penghitungan melalui pendekatan skala ekivalensi didasarkan pada kenyataan bahwa kriteria untuk menentukan garis kemiskinan pada
umumnya lebih banyak didasarkan pada kecukupan kebutuhan energi kalori, seperti
disajikan pada Tabel 5, sementara kebutuhan kecukupan pangan individu berbeda menurut umur dan jenis kelamin Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi VIII, 2004. Dengan
demikian pengeluaran perkapita dihitung dengan mempertimbangkan perbedaan kebutuhan kecukupan kalori antara anak-anak dan orang dewasa. Metoda ini merupakan metoda
alternatif bagi metoda pendekatan rata-rata pendapatan perkapita untuk menghitung angka kemiskinan.
Konsep ES pada prinsipnya menyetarakan kebutuhan konsumsi anak dengan
populasi dewasa untuk menghitung angka kemiskinan. United States Panel Poverty and Family Assistance
menyetarakan kebutuhan konsumsi anak 0.7 populasi dewasa. Artinya secara umum anak mengkonsumsi 70 dari kebutuhan konsumsi dewasa. National Centre
for Social and Economic Modelling , 2003. Beberapa kajian di Australia menggunakan
nilai pembobot untuk anak berkisar 0.3 sampai 0.7 University of Canberra, 2003.
Demikian pula beberapa negara menerapkan skala ekivalensi dalam menghitung angka kemiskinan. Sebagai contoh skala ekivalensi yang digunakan di Srilanka, Taiwan dan
Peninsula nilainya berkisar 0.9 BPS, 2005c. Dengan angka ekivalensi mendekati satu, implikasinya penghitungan melalui metoda skala ekivalen akan memberikan hasil yang
tidak jauh berbeda dengan perhitungan angka kemiskinan melalui metoda rata-rata pengeluaran pendapatan per kapita.
Dalam menentukan ES, berdasarkan economies of scale e yang nilainya ditentukan oleh jumlah anak dan anggota rumah tangga dewasa. Nilai e berkisar 0 sampai 1. Jika e
meningkat maka ES akan menurun sehingga jika e = 1 atau tidak ada perbedaan konsumsi akibat skala ekonomi, maka besaran ES dihitung sebagai jumlah orang anggota rumah
Tabel 5. Beberapa Kriteria Garis Kemiskinan No
Penelitian Kriteria
Kota K
Desa D
K+D 1.
Esmara, 1969 Konsumsi beras kapitatahun kg
125 2.
Sayogya, 1971 Tingkat pengeluaran ekivalen
berasorangtahun kg Miskin
Miskin Sekali Paling Miskin
480 360
270 320
240 180
3. Ginneken, 1969
Kebutuhan gizi minoranghari Kalori
Protein gram 2000
50 4.
Anne Booth, 1969 Kebutuhan gizi minimumoranghr
Kalori Protein
2000 40
5. BPS, 1984
Konsumsi kalorikapitahari 2100
6. Garis Kemiskinan
internasional
1
Tingkat pendapatankapitahari US
1
1
http: unstats.un.orgunsdmiMDG20Book.pdf
Sumber : BPS 2005c
tangga. Teknik menghitung ES yang telah dilakukan selama ini di negara-negara Luxemburg sangat beragam karena masing-masing memiliki preferensi dalam aspek
tertentu. Tidak ada pedoman yang pasti teknik penghitungan ES, sehingga Whiteford 1985 menyatakan tidak ada suatu metoda
menghitung ES yang telah dilakukan selama
ini di Australia yang dapat dikatakan metoda tertentu lebih baik dibanding metoda
penghitungan ES yang lain. Penelitian ini akan menggunakan dua pendekatan dalam menghitung pendapatan
individu, yaitu melalui rata-rata pendapatan per kapita, seperti yang dilakukan oleh BPS dan melalui metoda penghitungan ES yang dikembangkan oleh Cockburn 2001 yang
telah diterapkan untuk mengkaji angka kemiskinan di Australia dan di Nepal dengan formula sebagai berikut.
ES
i
= 1+0.7Z
i
-1-K
i
+0.5K
i
................................................................................ 60 dimana : i adalah indeks rumah tangga, Z adalah jumlah anggota rumah tangga dan K
adalah jumlah anak. Formula tersebut menunjukkan, dengan memperhitungkan skala ekonomi dan umur, kepala rumah tangga diperhitungkan 1, anggota rumah tangga dewasa
lain diperhitungkan 0.7 dan anak-anak diperhitungkan 0.5. Formula yang sama telah
digunakan oleh Oktaviani et al. 2005 untuk mengkaji dampak penurunan subsidi minyak di Indonesia terhadap kemiskinan. Formula yang sama juga digunakan oleh Astuti 2005
maupun Sitepu 2007 untuk menghitung perubahan angka kemiskinan sebagai dampak investasi di sektor tertentu.
V. PERAN SEKTOR AGROINDUSTRI DALAM PEREKONOMIAN INDONESIA
5.1. Peran Sektor Agroindustri Dalam Meningkatkan Output, Nilai Tambah,Tenaga Kerja dan Modal
Dari analisis pengganda SNSE dapat diketahui peran sektor agroindustri dalam perekonomian nasional. Angka pengganda yang dibahas difokuskan pada pengganda
output, nilai tambah, tenaga kerja, modal, peran terhadap sektor.dan pendapatan rumah tangga. Makna dari nilai pengganda sektor agroindustri adalah sebagai berikut. Apabila
diberikan stimulus ekonomi sebesar 1 milyar rupiah ke sektor agroindustri, akan meningkatkan total output, nilai tambah, tenaga kerja, penerimaan sektor lain secara
nasional dan pendapatan rumah tangga sebesar masing-masing nilai
penggandanya dengan satuan yang sama.
Tabel 6 menyajikan nilai pengganda output, nilai tambah, dan tenaga kerja agroindustri dibandingkan dengan sektor pertanian primer dan industri ringan dan industri
berat serta rata-rata sektor lainnya. Sedangkan nilai pengganda masing-masing sektor secara rinci disajikan pada Lampiran 5. Hasil analisis menunjukkan rata-rata pengganda
output dan nilai tambah sektor agroindustri non makanan tahun 2003 lebih tinggi
dibandingkan rata-rata pengganda sektor-sektor lain maupun sektor pertanian primer,
namun sedikit lebih rendah bila dibandingkan dengan industri ringan. Sedangkan dalam hal penyerapan tenaga kerja, agroindustri makanan memiliki peran yang paling besar.
Apabila upah tenaga diasumsikan merupakan suatu konstanta yang bersifat konstan dalam satu titik waktu, maka nilai tambah tenaga kerja dapat dijadikan sebagai proxy penyerapan
tenaga kerja nasional. Dengan demikian dapat diartikan sektor agroindustri makanan
memiliki peran yang lebih besar dalam penyerapan tenaga kerja sedangkan agroindustri non makanan lebih berperan dalam peningkatan output dan PDB nasional. Besaran
pengganda nilai tambah agroindustri non makanan rata-rata 2.57, yang berarti setiap