Studi Terdahulu Tentang Kemiskinan

41 pendapatan. Populasi rumah tangga kaya memperoleh peningkatan pendapatan yang jauh lebih besar daripada golongan populsi miskin. Sebaliknya kebijakan di sektor pertanian dan agroindustri akan memperbaiki distribusi pendapatan dan kelompok rumah tangga miskin akan memperoleh peningkatan pendapatan yang lebih besar dibandingkan kelompok kaya.

2.8. Studi Terdahulu Tentang Kemiskinan

Decaluwe et al. 1998 mengkaji dampak guncangan shock perdagangan dan reformasi tarif terhadap distribusi dan kemiskinan rumah tangga di berbagai negara sedang berkembang. Model yang digunakan untuk mengkaji masalah tersebut adalah Computable General Equilibrium model CGE model . Distribusi pendapatan masing-masing rumah tangga diukur dengan menggunakan Beta distibution function. Untuk mengukur kemiskinan digunakan indeks Foster, Greer dan Thorbecke’s FGT index. Dalam model tersebut distribusi pendapatan diperlakukan sebagai variabel endogen. Dengan spesifikasi tersebut garis kemiskinan akan berubah mengikuti perubahan harga relatif. Garis kemiskinan dan distribusi pendapatan yang baru digunakan untuk membandingkan tingkat kemiskinan terhadap tahun dasar. Untuk mengukur tingkat kemiskinan rumah tangga indeks P ά digunakan dua skenario, pertama adalah penurunan harga ekspor tanaman pangan sebesar 30 persen dan kedua, penurunan tarif impor sebesar 50 persen. Dampak penurunan harga ekspor tanaman pangan dan penurunan tarif impor menyebabkan menurunnya pendapatan rumah tangga dan menurunkan garis kemiskinan. Efek simulasi liberalisasi perdagangan terhadap kemiskinan menghasilkan P ά yang meningkat, artinya tingkat kemiskinan meningkat, namun hal sebaliknya terjadi untuk efek simulasi penurunan harga ekspor. Decaluwe et al. 1999 mengkaji ulang penelitian sebelumnya Decaluwe et al., 1998 dengan menggabungkan kerangka SAM Social Accounting Matrix pada model 42 CGE untuk mengetahui dampak liberalisasi perdagangan dan reformasi tarif terhadap kemiskinan. Kerangka SAM yang diadopsi untuk model CGE adalah pengelompokan rumah tangga. Hasil kajian menunjukkan bahwa dampak penurunan harga ekspor tanaman pangan terhadap kemiskinan rumah tangga yaitu menurunkan head-count ratio untuk seluruh kelompok rumah tangga kecuali rumah tangga di perdesaan. Rumah tangga perdesaan menunjukkan head-count ratio tertinggi yaitu sebesar 92.9 persen populasi berada di bawah garis kemiskinan. Dibandingkan dengan nilai tahun dasar, nilai head- count ratio mengalami perbaikan hanya sebesar 0.4 persen, yang berarti bahwa hanya sedikit sekali rumah tangga yang mengalami penurunan kemiskinan. Sedangkan untuk kelompok rumah tangga perkotaan, khususnya untuk kelompok rumah tangga yang berpendidikan tinggi, peningkatan harga ekspor tanaman pangan menyebabkan peningkatan head-count ratio P yang tertinggi yaitu sebesar 0.5 persen sampai 0.8 persen, yang berarti terjadi peningkatan kemiskinan pada kelompok rumah tangga tersebut. Sedangkan dampak reformasi tarif impor menyebabkan ukuran poverty gap menurun untuk seluruh kelompok rumah tangga. Tetapi perbaikan kemiskinan tersebut kurang begitu berarti bagi kelompok rumah tangga perdesaan dan rumah tangga perkotaan yang berpendapatan tinggi. Thorbecke dan Jung 1996 menggunakan analisis multiplier untuk mengkaji dampak shock atau goncangan terhadap kemiskinan. Dari analisis tersebut diperoleh elastisitas kemiskinan terhadap rata-rata pendapatan, yang nilainya berhubungan positif dengan perbedaan rata-rata pendapatan dengan garis kemiskinan. Selanjutnya nilai elastisitas tersebut digunakan untuk menghitung indeks kemiskinan FGT O’Ryan dan Sebastian 2003 mengkaji peran sektor pertanian terhadap pengurangan kemiskinan, distribusi pendapatan dan pembangunan ekonomi di Chile. Pendekatan analisis yang digunakan adalah model CGE untuk mengkaji dampak dari dua goncangan, yaitu pertama, peningkatan produktivitas tenaga kerja dan kapital di masing- masing sektor sebesar 2 persen. Kedua, pemberian subsidi harga untuk masing-masing 43 sektor, yaitu sektor pertanian, agroindustri dan industri. Para peneliti tersebut menyadari bahwa memberikan shock dalam bentuk persentase seperti dilakukan adalah tidak fair, karena besaran shock tidak sama dikarenakan masing-masing sektor memiliki ukuran yang berbeda sehingga rasio tenaga kerja dan kapital pun juga berbeda. Namun ide dasarnya adalah untuk mengetahui dampak shock tersebut terhadap penurunan kemiskinan. Hasil kajian menunjukkan bahwa efek peningkatan produktivitas tenaga kerja atau kapital di sektor industri terhadap kinerja makroekonomi lebih besar dibandingkan dengan di sektor pertanian. Tetapi dampaknya terhadap distribusi pendapatan sangat berbeda, dimana peningkatan produktivitas kapital di sektor industri menurunkan tingkat pemerataan, namun sebaliknya untuk sektor pertanian. Pola yang sama juga terjadi untuk peningkatan produktivitas tenaga kerja. Bagaimana dampak terhadap pengurangan kemiskinan? Meskipun sektor industri memberikan dampak yang lebih baik terhadap kinerja ekonomi dibanding sektor pertanian, namun dampak yang ditimbulkan terhadap pengurangan kemiskinan justru 25 persen lebih rendah di banding sektor pertanian. Ravallion dan Datt 1999 mengkaji faktor-faktor yang mempengaruhi pengurangan kemiskinan di India, yaitu rata-rata hasil pertanian yang lebih tinggi, pengeluaran pembangunan wilayah yang lebih tinggi, output non pertanian baik di perdesaan maupun di perkotaan dan inflasi yang rendah. Elastisitas penurunan kemiskinan terhadap variabel- variabel tersebut hampir sama untuk seluruh wilayah, kecuali untuk variabel peningkatan output non pertanian. Dan dari kajian yang lain Datt dan Ravallion, 1998 diperoleh hasil bahwa penurunan kemiskinan absolut di perdesaan berhubungan negatif terhadap upah riil di perdesaan dan terhadap rata-rata hasil pertanian, tetapi berhubungan positif terhadap harga bahan pangan. Dengan demikian harga pangan yang rendah akan menurunkan tingkat kemiskinan karena sebagian besar penduduk miskin di perdesaan India tidak memiliki lahan sehingga mereka adalah pembeli pangan. De Janvry dan Sadoulet 2000 menggunakan data Amerika Latin untuk mengkaji hubungan antara elastisitas distribusi pendapatan dan aset terhadap penurunan 44 kemiskinan dengan pertumbuhan agregat. Elastisitas kemiskinan di perkotaan terhadap pertumbuhan pendapatan secara agregat sebesar -0.95 dan hasil kajian tersebut juga menunjukkan bahwa variabel-variabel pertanian tidak berpengaruh terhadap kemiskinan di kota. Di sisi lain, hasil kajian juga menunjukkan bahwa tingkat ketidakmerataan pendapatan berpengaruh terhadap elastisitas kemiskinan, dimana ketidakmerataan yang rendah meningkatkan nilai absolut elastisitas tersebut yang bertanda negatif. De Janvry et al. 1991 mengkaji program stabilisasi politik ekonomi terhadap pertumbuhan dan kesejahteraan. Model yang digunakan adalah model CGE. Sebagai instrumen stabilisasi adalah perubahan nilai tukar dan kebijakan fiskal. Untuk mengukur dampak program stabilisasi terhadap kesejahteraan digunakan indeks kemiskinan FGT. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada pengurangan kemiskinan selama periode waktu yang dianalisa. Bahkan sebaliknya kemiskinan justru meningkat untuk seluruh kasus. Pertumbuhan agregat jangka panjang yang dapat mengurangi kemiskinan di perdesaan adalah melalui kebijakan moneter dan kebijakan fiskal. Karena pertumbuhan sangat terjaga melalui kebijakan fiskal, maka kebijakan tersebut sangat cocok untuk mengurangi kemiskinan di perdesaan. Sebaliknya untuk kemiskinan di kota, kebijakan yang dapat mengurangi kemiskinan adalah kebijakan moneter dan kebijakan fiskal secara bersama-sama. Sedangkan hasil-hasil kajian tentang kemiskinan yang dilakukan di Indonesia diantaranya dilakukan oleh Booth 2000 yang mengkaji masalah kemiskinan dan pemerataan selama era Presiden Soeharto dimana hasil penelitian menunjukkan bahwa head-count ratio di Indonesia pada akhir tahun 1980 an dibawah Philipine, tetapi di atas Malaysia dan Thailand. Diantara tahun 1987- 1996, kemiskinan relatif secara agregat menurun lambat, namun untuk wilayah perkotaan mengalami peningkatan. Booth mendukung bahwa pembangunan pertanian dan perdesaan merupakan hal penting untuk mengurangi kemiskinan di Indonesia. Namun menurut Booth program-program 45 pembangunan perdesaan hendaknya tidak lagi difokuskan pada tanaman pangan seperti yang telah dilakukan di masa lalu, melainkan lebih difokuskan pada kebutuhan-kebutuhan spesifik untuk penduduk miskin di daerah-daerah miskin. Pyatt dan Round 2004 menggunakan model SAM atau SNSE Indonesia tahun 1980 untuk mengkaji efek pengganda harga tetap terhadap penurunan kemiskinan di Indonesia. Hasil kajian menunjukkan perubahan proporsi penduduk miskin dipengaruhi oleh perubahan pendapatan dan perubahan harga. Namun perubahan harga tersebut hanya akan berarti jika garis kemiskinan untuk masing-masing kelompok rumah tangga bergerak secara berbeda. Pada model pengganda harga tetap efek perubahan harga tersebut diabaikan. Hasil penelitian Simatupang dan Darmoredjo 2003 menyimpulkan bahwa PDB sektor pertanian memiliki dampak terhadap insiden kemiskinan di perdesaan yang lebih besar dibanding sektor lainnya, sedangkan kemiskinan di perkotaan terutama dipengaruhi oleh PDB sektor industri. Namun demikian PDB sektor lain, yaitu industri dan non pertanian lainnya juga berpengaruh terhadap insiden kemiskinan. Yang menarik dari kajian ini adalah insiden kemiskinan juga dipengaruhi oleh harga beras, dengan demikian strategi pembangunan yang efektif untuk pengentasan kemiskinan adalah startegi pembangunan yang lebih menitikberatkan pada pembangunan yang berbasis pertanian agricultural led- development , khususnya subsektor tanaman pangan. Fane dan Warr 2002 dengan menggunakan model CGE untuk mengkaji peran pertumbuhan ekonomi di Indonesia dalam mengurangi kemiskinan. Perbedaan sumber pertumbuhan mempengaruhi kemiskinan dan ketidakmerataan pendapatan secara berbeda karena masing-amsing memiliki pendapatan faktor factor return yang berbeda. Hasil penelitian juga menyimpulkan bahwa semakin besar peran petumbuhan ekonomi meningkatkan pendapatan faktor bagi masyarakat miskin, semakin besar potensi menurunkan kemiskinan dan ketidakmerataan pendapatan. 46 Yudhoyono 2004 menggunakan pendekatan model simultan untuk mengkaji pembangunan pertanian dan perdesaan untuk mengatasi kemiskinan. Model yang digunakan adalah model ekonomi politik kebijakan fiskal. Hasil penelitian menunjukkan bahwa angka kemiskinan dipengaruhi oleh kebijakan fiskal, pertumbuhan ekonomi dan tingkat upah. Pengeluaran pemerintah memberikan pengaruh positif bagi upaya-upaya pengurangan angka kemiskinan. Pengeluaran pemerintah yang dimaksud adalah peningkatan pengeluaran pemerintah untuk infrastruktur untuk mengurangi kemiskinan di pedesaan sedangkan untuk kemiskinan di perdesaan digunakan pengeluaran pemerintah untuk pertanian. Nanga 2006 menggunakan pendekatan model simultan untuk mengkaji dampak transfer fiskal terhadap kemiskinan di Indonesia. Model yang dibangun meliputi blok fiskal daerah, blok output, blok tenaga kerja, blok pengeluaran per kapita rumah tangga, blok distribusi pendapatan dan blok kemiskinan. Untuk membangun blok kemiskinan digunakan ukuran kemiskinan indeks FGT, yaitu tingkat kemiskinan P , indeks kedalaman kemiskinan P 1 dan keparahan kemiskinan P 2 sebagai variabel endogen sehingga terbentuk enam persamaan struktural. Hasil penelitian menunjukkan bahwa transfer fiskal di Indonesia memiliki dampak yang cenderung memperburuk ketimpangan pendapatan dan kemiskinan. Kemiskinan dipengaruhi oleh ketimpangan pendapatan yang ditunjukkan melalui ukuran kemiskinan yang memilki hubungan yang responsif atau elastis terhadap perubahan indeks Gini. Transfer fiskal dalam berbagai bentuk cenderung menguntungkan sektor non pertanian daripada sektor pertanian. Astuti 2005 menggunakan pendekatan SAM untuk mengkaji dampak investasi sektor pertanian terhadap perekonomian dan upaya pengurangan kemiskinan di Indonesia. Investasi yang dimaksud dalam kajian ini adalah investasi infrastruktur baik yang berasal dari pemerintah dan swasta. Sektor pertanian yang dimaksud meliputi subsektor tanaman pangan dan hortikultura, perkebunan, peternakan, perikanan dan kehutanan. Sebagai 47 variabel eksogen adalah pengeluaran pemerintah, pengeluaran swasta dan rumah tangga. Institusi rumah tangga dikelompokkan menjadi sepuluh golongan rumah tangga berdasarkan pemilikan lahan, jenis pekerjaan pertanian atau non pertanian dan lokasi desa atau kota. Untuk menganalisis aspek kemiskinan, Astuti menggunakan analisis terpisah dari metoda SAM, yaitu dengan menggunakan indikator kemiskinan FGT poverty index melalui data Susenas. Dengan menggunakan metode ini dapat dianalisis lebih jauh perubahan jumlah orang atau rumah tangga miskin di Indonesia sebagai dampak dari perubahan pendapatan. Sutomo 1995 menganalisis masalah kemiskinan rumah tangga dan pembangunan ekonomi wilayah dengan menggunakan kerangka SAM atau SNSE sebagai kerangka kerja dan kerangka analitis. Apek kemiskinan rumah tangga difokuskan pada masalah siapa atau golongan rumah tangga mana yang termasuk sebagai rumah tangga miskin, banyaknya penduduk miskin, serta dampak kebijakan tertentu terhadap kemiskinan atau distribusi pendapatan rumah tangga. Kajian ini juga ingin mengetahui faktor-faktor penyebab kemiskinan rumah tangga, proses pemiskinan rumah tangga dan hubungannya dengan pembangunan ekonomi wilayah. Aspek kemiskinan dijelaskan dengan menggunakan anaisis deskriptif, yaitu melalui analisis persentase, rasio atau perbandingan. Analisis pengganda neraca digunakan untuk menjelaskan hubungan antara pertumbuhan ekonomi dengan perubahan dalam distribusi pendapatan rumah tangga. Selain itu Sutomo juga menggunakan analisis kontribusi faktor-faktor produksi factor share untuk memperkuat analisis deskriptif maupun analisis pengganda. Dengan berbagai aspek studi terdahulu yang disajikan di atas, disertasi ini diharapkan dapat melengkapi penelitian terdahulu, lebih fokus pada kekhususannya dalam mengkaitkan antara pengembangan sektor agroindustri dengan aspek kemiskinan dan distribusi pendapatan, yang pada penelitian-penelitian terdahulu ketiga aspek tersebut dilakukan secara terpisah.

III. KERANGKA TEORI

3.1. Model Pembangunan Dua Sektor

Industrialisasi pertanian merupakan media transmisi yang tepat bagi proses transformasi struktural suatu perekonomian subsisten ke perekonomian modern. Hal ini tidak terlepas dari model pembangunan ekonomi dua sektor yang pertama dirumuskan oleh Lewis 1954 yang selanjutnya dikembangkan oleh Ranis 1964. Menurut model pembangunan dua sektor Lewis perekonomian terdiri dari dua sektor, yaitu: 1 sektor tradisional yaitu sektor pertanian subsisten yang surplus tenaga kerja, dan 2 sektor industri perkotaan modern yang tingkat produktivitasnya tinggi dan menjadi penampungan transfer tenaga kerja dari sektor tradisional. Model Lewis memfokuskan pada terjadinya proses penyerapan surplus tenaga kerja yang memberikan kontribusi terhadap output sektor pertanian ke sektor industri dimana diasumsikan sektor industri memiliki teknik inovasi untuk memanfaatkan surplus tenaga kerja. Asumsi dasar model surplus tenaga kerja tersebut adalah transfer tenaga kerja dari sektor pertanian ke sektor industri terjadi tanpa mengakibatkan penurunan output sektor pertanian. Hal ini dapat diartikan produk marginal tenaga kerja di sektor pertanian adalah nol sehingga dengan berkurangnya tenaga kerja, output sektor pertanian tidak akan berkurang. Dalam merumuskan modelnya Lewis mengasumsikan pula bahwa keuntungan sektor modern dari selisih upah diinvestasikan kembali seluruhnya dan tingkat upah di sektor industri perkotaan diasumsikan konstan dan jumlahnya ditetapkan melebihi tingkat rata-rata upah disektor pertanian. Oleh karena itu laju dari proses transfer tenaga kerja tersebut ditentukan oleh tingkat investasi dan akumulasi modal secara keseluruhan di sektor modern. Pada tingkat upah sektor industri yang konstan, kurva penawaran tenaga kerja perdesaan dianggap elastis sempurna.