Keterkaitan Kebijakan Harga Pangan dan Ketersediaan Pangan

145 Untuk keperluan analisis data, karena kondisi data yang diskontinu maka dilakukan penggabungan dari berbagai bentuk kebijakan kredit dan subsidi tersebut menjadi empat alternatif yang dapat digunakan sebagai proksi dari kebijakan harga pertanian, sebagai berikut: 1. Kebijakan Kredit Program Pengadaan Input Pertanian AICP, gabungan dari: Kredit Usaha Pertanian, Kredit Usaha Perkebunan, KUT dan Kredit KoperasiKPPA. 2. Kebijakan Kredit Pengadaan Pangan FPCP, gabungan dari: Kredit Pengadaan Gula, Kredit Pengadaan pangan dan Kredit pengadaan Pangan dan Gula. 3. Kebijakan Subsidi Pupuk untuk Pertanian FRSP. 4. Kebijakan Subsidi Pengadaan Pangan FPSP. Jika dengan gabungan tersebut masih banyak dijumpai data yang tidak kontinu, maka proksi kebijakan harga pangan di atas dapat digabungkan menjadi: 5. Kebijakan Kredit Program Pertanian ACPP, gabungan AICP dan FPCP. 6. Kebijakan Subsidi Pertanian AGSP, gabungan FRSP dan FPSP. 7. Kebijakan Harga Input AGIP, gabungan dari FRSP dan AICP 8. Kebijakan Harga Output AGOP, gabungan dari FPSP FPCP 9. Kebijakan Harga Pangan IOPP, gabungan AGIP dan AGOP. Dari sembilan proksi kebijakan harga pangan tersebut, berdasarkan hasil analisis paket kebijakan yang digunakan dalam studi ini terdiri dari tiga paket, yaitu: 1 Kebijakan Harga Input AGIP, 2 Kebijakan Harga Output AGOP, dan Kebijakan Harga Input-Output IOPP.

6.2. Keterkaitan Kebijakan Harga Pangan dan Ketersediaan Pangan

Salah satu tujuan kebijakan harga pangan adalah peningkatan produksi pangan. Meningkatnya produksi pangan akan berbanding lurus dengan peningkatan 146 ketersediaan pangan. Peningkatan ketersediaan pangan diharapkan akan lebih meningkatkan konsumsi pangan penduduk dan berarti meningkatkan ketahanan pangan, cateris paribus. Berdasarkan alur pikir demikian, kebijakan harga pangan yang selama ini dilakukan pemerintah lebih banyak pada peningkatan produksi tanaman pangan. Hal ini dapat dilihat dari jenis kebijakan kredit dan subsidi yang dilakukan Tabel 17. Kredit Bimas yang bertujuan meningkatkan produksi pangan khususnya padi dan palawija, serta meningkatkan kesejahteraan petani sudah dimulai sejak tahun 1965 Bank Indonesia, 2001. Kredit Bimas tersebut termasuk kredit modal kerja pada petani yang dananya 100 persen dari KLBI dengan tingkat bunga rendah karena disubsidi. Pada tahun 1974 dengan dukungan KLBI 90 juga diperkenalkan skim kredit kepada Koperasi Unit Desa KUD untuk pengadaan pangan yang kemudian berkembang untuk pengadaan palawija. Untuk memperkuat Bimas, pada tahun 1977 disediakan skim kredit Inmas yang sumber dananya 100 persen dari KLBI. Pada tahun 1975 pemerintah melaksanakan program Intensifikasi Tebu Rakyat TRI. Kredit programnya disalurkan melalui Bank Rakyat Indonesia Unit Desa yang kemudian disalurkan melalui KUD Berubahnya UU mengenai Bank Sentral Bank Indonesia-BI menjadi UU No 23 tahun 1999, dimana BI tidak diperkenankan lagi menyalurkan kredit, maka KUT diganti dengan Kredit Ketahanan Pangan KKP. KKP dimulai pada Oktober 2000, namun realisasinya baru berjalan Januari 2001 merupakan penyempurnaan dari KUT, KKPA unggas, tebu dan nelayan serta Kredit Koperasi Pangan Deptan, 2002a. Berdasarkan gambaran di atas maka untuk melihat dampak kebijakan harga pangan terhadap ketahanan pangan lebih relevan jika hanya melihat dampaknya terhadap ketersediaan energi EAV1, protein PAV1, konsumsi energi EAC1,dan protein PAC1 yang berasal dari bahan pangan beras, jagung, kedele dan gula. 147 Selanjutnya perkembangan kredit juga berkaitan dengan program peningkatan produksi palawija. Program ini diduga juga berpengaruh pada peningkatan produksi ubi kayu dan ubi jalar. Walaupun tidak merupakan produk utama, usahatani pangan yang dilakukan petani tidak lepas dari usahatani ubi kayu dan ubi jalar, sehingga bukan tidak mungkin ada yang menggunakan fasilitas kebijakan harga pangan untuk usaha ini. Oleh karena itu untuk melihat dampak kebijakan harga pangan juga relevan memasukkan dua komoditas tersebut, sehingga proksi ketahanan pangan dapat juga menggunakan variabel EAV2, PAV2, EAC2, dan PAC2 yang merupakan EAV1, PAV1, EAC1 dan PAC1 ditambah dengan ketersediaankonsumsi energi dan protein yang bersumber dari ubi kayu termasuk gaplek dan tapioka dan ubi jalar. Kebijakan harga yang berdampak pada peningkatan produksi pangan diduga berpengaruh terhadap ketersediaan bahan baku pakan yang berkaitan dengan peningkatan produksi daging dan telur ayam ras dan buras. Selain itu Kredit melalui KUD dan KKPA ditujukan juga untuk meningkatkan ternak unggas termasuk kredit intensifikasi ternak ayam daging Broiler dan ayam petelur serta kredit untuk peternak ayam dalam rangka Keppres 501981 restrukturisasi industri unggas Bank Indonesia, 2001. Kredit KKP yang ada saat ini juga digunakan untuk peningkatan produksi peternakan. Oleh karena itu variabel ketahanan pangan EAV3, PAV3, EAC3 dan PAC3 yang merupakan EAV1, PAV1, EAC1 dan PAC1 ditambah dengan konsumsi energi dan protein yang bersumber dari daging dan telur ayam ras dan buras juga relevan untuk digunakan. Variabel ketahanan pangan berikutnya adalah EAV4, PAV4, EAC4 dan PAC4 yang merupakan EAV3, PAV3, EAC3 dan PAC3 ditambah dengan konsumsi energi dan protein yang berasal dari ubi kayu dan ubi jalar. Untuk meningkatkan produksi produk perkebunan dengan dana KLBI juga disalurkan kredit perkebunan Tabel 17. Untuk lebih mendukung peningkatan produksi produk perkebunan dan pendapatan pekebun, pada tahun 1986 148 diperkenalkan skim kredit PIR Trans yang didukung KLBI. Produk akhir perkebunan yang banyak dikonsumsi penduduk adalah minyak goreng kelapa dan kelapa sawit. Dengan demikian relevan jika mengaitkan kebijakan harga pangan dengan konsumsi minyak goreng. Karena itu digunakan variabel EAV5, PAV5, EAC5 dan PAC5 yang merupakan EAV3, PAV3, EAC3 dan PAC3 ditambah dengan ketersediaankonsumsi energi dan protein yang berasal dari minyak goreng. Proksi variabel ketahanan pangan terakhir adalah EAV6, PAV6, EAC6 dan PAC6 yang merupakan EAV5, PAV5, EAC5 dan PAC5 ditambah dengan ketersediaankonsumsi energi dan protein yang berasal dari ubi jalar dan ubi kayu. Ikan merupakan pangan hewani yang banyak dikonsumsi berbagai lapisan masyarakat. Namun demikian tidak dimasukkan sebagai komponen dari variabel ketahanan pangan. Hal tersebut dikarenakan kebijakan harga pangan yang terkait dengan perikanan hanya pada KKPA. Kredit yang disalurkan dengan dukungan dana KLBI berupa KIKKMKP motorisasi nelayan dan intensifikasi tambak rakyat serta kredit melalui KUD untuk nelayan guna mengantisipasi penghapusan pukat harimau Bank Indonesia, 2001. Rendahnya akses nelayan terhadap lembaga kredit formal dan berdasarkan data Tabel 17 maka diasumsikan keterkaitan itu sangat kecil. Pemanfaatan KKP pada perikanan juga sangat kecil dibandingkan subsektor lain Gambar 27. Dengan demikian bahan pangan ikan kurang relevan dimasukkan.

6.3. Keragaan Ketersediaan dan Konsumsi Kalori dan Protein