148 diperkenalkan skim kredit PIR Trans yang didukung KLBI. Produk akhir perkebunan
yang banyak dikonsumsi penduduk adalah minyak goreng kelapa dan kelapa sawit. Dengan demikian relevan jika mengaitkan kebijakan harga pangan dengan konsumsi
minyak goreng. Karena itu digunakan variabel EAV5, PAV5, EAC5 dan PAC5 yang merupakan EAV3, PAV3, EAC3 dan PAC3 ditambah dengan ketersediaankonsumsi
energi dan protein yang berasal dari minyak goreng. Proksi variabel ketahanan pangan terakhir adalah EAV6, PAV6, EAC6 dan PAC6 yang merupakan EAV5, PAV5,
EAC5 dan PAC5 ditambah dengan ketersediaankonsumsi energi dan protein yang berasal dari ubi jalar dan ubi kayu.
Ikan merupakan pangan hewani yang banyak dikonsumsi berbagai lapisan masyarakat. Namun demikian tidak dimasukkan sebagai komponen dari variabel
ketahanan pangan. Hal tersebut dikarenakan kebijakan harga pangan yang terkait dengan perikanan hanya pada KKPA. Kredit yang disalurkan dengan dukungan dana
KLBI berupa KIKKMKP motorisasi nelayan dan intensifikasi tambak rakyat serta kredit melalui KUD untuk nelayan guna mengantisipasi penghapusan pukat harimau
Bank Indonesia, 2001. Rendahnya akses nelayan terhadap lembaga kredit formal dan berdasarkan data Tabel 17 maka diasumsikan keterkaitan itu sangat kecil.
Pemanfaatan KKP pada perikanan juga sangat kecil dibandingkan subsektor lain Gambar 27. Dengan demikian bahan pangan ikan kurang relevan dimasukkan.
6.3. Keragaan Ketersediaan dan Konsumsi Kalori dan Protein
Dari uraian terdahulu, kebijakan harga pangan yang dilakukan pemerintah sejak 1965 sampai dengan sekarang lebih banyak ditujukan untuk tanaman pangan,
khususnya beras sebagai pangan utama penduduk. Sesuai dengan salah satu tujuan kebijakan harga pangan yaitu meningkatkan produksi pangan maka perkembangan
keragaan ketersediaan kalori dan protein merupakan indikasi untuk melihat dampak kebijakan tersebut.
149
Budidaya Tebu 78
Pengadaan Pangan
3 Perikanan
0.4
Tanaman Pangan 9
Peternakan 10
Sumber Deptan, 2004 diolah
Gambar 27. Penyaluran Kredit Ketahanan Pangan di Indonesia Januari 2001-Desember 2004
Gambar 28 dan Gambar 29 menunjukkan program kebijakan harga pangan selama ini mampu meningkatkan ketersediaan kalori dan protein secara konsisten.
Bahkan dibandingkan dengan pedoman PPH 2020, konsumsi energi 2200 kkal dan konsumsi protein 48 gram per kapita per hari, maka di tingkat ketersediaan yang
dianjurkan harus sebesar 2550 kkal dan 55 gram per kapita per hari Azwar, 2004, Indonesia sudah memenuhi ketersediaan kalori sejak tahun 1983 yaitu 2565 kkal dan
protein sejak tahun 1986 yaitu 58.22 gram per kapita per hari. Akan tetapi ketersediaan yang cukup belum diikuti oleh kualitas yang
memadai, karena sebagian besar dipenuhi dari sumber nabati. Padahal untuk mencapai komposisi pangan yang baik kontribusi energi dan protein hewani terhadap
total energi harus sekitar 15. Hardinsyah dan Tambunan, 2004. Selama periode 1975-2003 kontribusi keduanya masih belum mencapai anjuran, bahkan sumber kalori
yang berasal dari hewani jauh di bawah anjuran Gambar 30.
150
2565
500 1000
1500 2000
2500 3000
3500
19 75
19 77
19 79
19 81
19 83
19 85
19 87
19 89
19 91
19 93
19 95
19 97
19 99
20 01
20 03
Tahun
Ketersediaan Energi kkal
E-Nabati E-Hewani
Energi
Sumber: BPS dan Badan Bimas Ketahanan Pangan berbagai terbitan-diolah
Gambar 28. Perkembangan Ketersediaan Energi Per Kapita Per Hari di
Indonesia, Tahun 1975-2003
Jika dirinci lebih jauh, sebagian besar kalori dan protein nabati tersebut bersumber dari beras Gambar 31 dan Gambar 32. Ini membuktikan bahwa kebijakan
harga pangan selama ini bias kearah padi-padian, khususnya beras. Bahkan setelah adanya upaya penyempurnaan bidang perkreditan dengan mengurangi peran KLBI
melalui Paket Kebijakan Januari 1990 PAKJAN 90, KLBI masih mendukung upaya pelestarian swasembada pangan melalui KUT; Kredit pada KUD yang
membiayai pengadaan padi, palawija, cengkeh dan pupuk; Kredit kepada Koperasi Primer untuk Anggotanya KKPA antara lain untuk membiayai Program TRI dan
kredit kepada Bulog untuk Pengadaan Pangan Nasional.
151
58.22
10 20
30 40
50 60
70 80
90
19 75
19 77
197 9
198 1
198 3
198 5
198 7
19 89
199 1
199 3
199 5
199 7
199 9
20 01
20 03
Tahun Ketersediaan Protein Gram
P-Nabati P-Hewani
Protein Total
Sumber: BPS dan Badan Bimas Ketahanan Pangan berbagai terbitan-diolah
Gambar 29. Perkembangan Ketersediaan Protein Per Kapita Per Hari di
Indonesia, Tahun 1975-2003
97
3 87
13
Kalori 2725 Protein 65.57
Nabati Hewani
Sumber: BPS dan Badan Bimas Ketahanan Pangan berbagai terbitan-diolah
Gambar 30. Rataan Ketersediaan Energi dan Protein Per Kapita Per Hari di Indonesia Sejak Tahun 1975-2003
152
Lain2 5
Gula 5
Padi2an 65
Lemak minyak 8
Pati2an 8
Buahbiji berminyak
9
Sumber: BPS dan Badan Bimas Ketahanan Pangan berbagai terbitan-diolah
Gambar 31. Rata-rata Proporsi Kalori yang Tersedia Per Kapita per Hari
Menurut Bahan Pangan di Indonesia sejak Tahun 1975-2003
Ikan 8
Daging 3
Pati2an 3
Lain2 5
Buahbiji berminyak
19 Padi2an
62
Sumber: BPS dan Badan Bimas Ketahanan Pangan berbagai terbitan-diolah
Gambar 32. Rata-rata Proporsi Protein yang Tersedia Per Kapita Per Hari Menurut Bahan Pangan di Indonesia Tahun 1975-2003
153 Timpangnya kebijakan pangan tersebut dapat dilihat juga dari rendahnya
kontribusi ikan 8 dan daging 3 dibandingkan buahbiji berminyak 19 sebagai sumber protein. Apalagi kontribusi sayur dan buah yang dalam norma gizi
PPH memiliki bobot tertinggi, kontribusinya terhadap ketersediaan kalori dan protein sangat kecil sekali. Pemerintah baru mengeluarkan skim kredit untuk
membiayai hortikultura pada tahun 1994, melalui pengembangan skim KUT dan Kredit untuk KUD Bank Indonesia, 2001.
Selama 29 terakhir 1975-2003 kelihatan belum ada dampak signifikan hasil kebijakan harga pangan yang mampu menggeser proporsi ketersedian padi-padian di
sekitar 60-an persen sebagai sumber kalori Gambar 33. Sensitifnya stabilitas sosial terhadap perubahan akses penduduk terhadap pangan utama, sedangkan upaya
peningkatan kesejahteraan belum memberikan hasil yang berarti mungkin menyebabkan hal tersebut dilakukan oleh pemerintah. Tingginya inflasi pada tahun
1966 dan kerusuhan Mei 1998 suatu bukti empirik kerusuhan sosial yang harus dibayar mahal akibat naiknya harga sehingga pangan sulit diakses penduduk.
Pemerintahan manapun tidak menginginkan hal tersebut terjadi. Tidak seperti pada ketersediaan kalori, proporsi ketersediaan protein menurut
bahan pangan mengalami perubahan walaupun masih didominasi dari sumber padi- padian. Terlihat ada kecenderungan hubungan yang saling substitusi antara protein
yang berasal dari padi-padian dengan buahbiji berminyak Gambar 34. Demikian juga sumber protein yang berasal dari ikan, walaupun lamban, tetapi ketersediaannya
cenderung meningkat. Gambaran ini dapat dijadikan indikasi bahwa upaya-upaya diversifikasi protein potensial dilakukan melalui upaya peningkatan produksi
buahbiji berminyak seperti kedele, kacang tanah dan kacang hijau serta produk perikanan.
154
10 20
30 40
50 60
70 80
197 5
197 7
197 9
198 1
198 3
198 5
198 7
198 9
199 1
199 3
199 5
199 7
199 9
200 1
200 3
Tahun Propors
i Ka lori Te
rs e
d ia
Padi2an
Pati2an
Gula Buahbiji
Berminyak Buah2an
Sayur2an Daging
Telur Susu
Ikan Minyak
Lemak
Sumber: BPS dan Badan Bimas Ketahanan Pangan berbagai terbitan-diolah
Gambar 33. Rata-rata Proporsi Kalori yang Tersedia Per Kapita Per Hari
Menurut Bahan Pangan di Indonesia Tahun 1975-2003
155
10 20
30 40
50 60
70 80
19 75
19 77
19 79
19 81
19 83
19 85
19 87
19 89
19 91
19 93
19 95
19 97
19 99
20 01
20 03
Tahun Proporsi Protein Tersedia
Padi2an
Pati2an
Gula Buahbiji
Berminyak Buah2an
Sayur2an Daging
Telur Susu
Ikan Minyak
Lemak
Sumber: BPS dan Badan Bimas Ketahanan Pangan berbagai terbitan-diolah
Gambar 34. Rata-rata Proporsi Protein yang Tersedia Per Kapita Per Hari Menurut Bahan Pangan di Indonesia Tahun 1975-2003
156
6.4. Pengaruh Kebijakan Harga Pangan terhadap Ketahanan Pangan