Faktor-faktor yang Menentukan Efektivitas Kebijakan Harga Pangan

21

2.2. Faktor-faktor yang Menentukan Efektivitas Kebijakan Harga Pangan

Peran pemerintah direpresentasikan oleh besarnya biaya yang digunakan untuk implementasi kebijakan harga pangan. Semakin besar dana yang digunakan maka seharusnya ketahanan pangan semakin membaik. Namun, karena implementasi kebijakan ini melibatkan banyak pemangku kepentingan, maka selain konsep dan dana banyak aspek teknis yang juga menentukan efektivitas kebijakan harga pangan. Menurut Mooy 2005 1 sejak dulu Bank Indonesia sudah memperhatikan masalah pertanian dan pengusaha kecil dalam bentuk program BIMAS, Kredit Candak Kulak, KUT, dll. Namun hasilnya belum sesuai dengan yang diharapkan. Kegagalan tersebut selalu dikatakan disebabkan oleh konsep yang salah. Kemudian muncul konsep baru yang ternyata juga mengalami kegagalan. Jadi masalah sebenarnya adalah kegagalan di tingkat implementasi. Bisa saja konsepnya baik, tapi implementasinya mengalami banyak hambatan, moral hazard, salah penggunaan, tidak tepat waktu, dll. Dengan demikian efektivitas kebijakan perlu perhatian sampai pada tataran implementasi.

2.2.1. Komoditas Gabah

Secara umum sasaran kebijakan pangan adalah: 1 meningkatkan produksi pangan untuk mencukupi kebutuhan dalam negeri, 2 meningkatkan pendapatan petani, 3 mengendalikan kecukupan pangan sehingga tersedia di seluruh wilayah, dalam waktu dan jumlah, serta dalam batas harga yang terjangkau masyarakat, dan 4 memperbaiki mutu produksi pangan. Efektivitas suatu kebijakan yang diukur dari keberhasilan pencapaian sasaran tersebut ditentukan oleh bagaimana proses pembuatan dan implementasi kebijakan dilaksanakan PSE, 2003. . Dalam kasus kebijakan harga beras, implementasi pengadaan melibatkan KUD, pedagang grosir, pengecer dan importir. Sementara itu implementasi 1 Komunikasi langsung dengan Adrianus Mooy, mantan Gubernur Bank Indonesia 22 penyalurannya melibatkan koperasi pasar, pedagang grosir dan pengecer. Kegiatan pengadaan dan penyaluran tersebut sebagian besar menggunakan angkutan laut yang membutuhkan waktu cukup panjang sejak dari muat, perjalanan dan bongkar. Rangkaian tersebut melibatkan banyak lembaga sehingga berpeluang besar terjadi gangguan jadwal kegiatan. Menurut Moelyono 2002, kapasitas penyimpanan dan jaringan perhubungan laut merupakan faktor kendala yang berat untuk melakukan operasi pergerakan dan dislokasi stok yang efisien. Menurut Kasryno et al. 2001 kebijakan harga pangan dan perdagangan internasional beras sejak pra swasembada beras sampai tahun 1996 kelihatan efektif karena disertai dengan kebijakan nilai tukar rupiah yang over value. Namun menjadi tidak efektif sejak diberlakukan deregulasi perdagangan beras. Kebijakan tarif impor yang tinggi juga menjadi tidak efektif karena memberi insentif bagi importir ilegal Amang dan Sawit, 2001, sehingga efisiensi sistem usaha tani perlu ditingkatkan. Menurut Suryana 2004b, pelaksanaan Inpres No. 9 tahun 2001 tentang Penetapan Kebijakan Perberasan oleh berbagai instansi terkait cukup efektif. Namun dalam pelaksanaannya berupa penerapan tarif impor sebesar Rp 430 per kg dikatakan belum sepenuhnya efektif, tetapi telah mampu menjadi penghambat membanjirnya beras impor dan sekaligus menjadi katup pengaman penyediaan pangan saat pasokan dalam negeri berkurang, sehingga mengurangi tekanan munculnya lonjakan harga. Pernyataan tersebut dapat diinterpretasikan bahwa proses pembuatan kebijakan berjalan sesuai yang diharapkan. Namun implementasinya mengalami masalah. Pada periode itu, bukti empiris menunjukkan pengendalian impor tidak efektif karena adanya beras selundupan yang harganya lebih murah dari harga beras domestik. Sementara itu, perangkat dan kelembagaan pengawas dengan kondisi geografis yang ada belum berjalan baik. 23 Keefektifan kebijakan harga pangan selain ditentukan oleh kegiatan pengadaan komoditas, juga ditentukan oleh kegiatan distribusinya. Menurut Suntoro 2004, adanya jembatan yang rusak, bencana alam, kerusuhan, pungutan liar dan lainnya, dampaknya sangat besar terhadap stok dan harga pangan di suatu wilayah, sehingga bisa mengakibatkan terjadi rawan pangan. Karena selain ditentukan daya beli, tingkat pendapatan, harga pangan, dan kelembagaan di tingkat lokal, proses distribusi pangan merupakan faktor penentu akses individu terhadap pangan Rachman dan Ariani, 2002. Dengan demikian efektivitas kebijakan harga pangan tersebut tidak hanya melibatkan satu sektor, tetapi banyak sektor. Untuk mengefektifkan kebijakan insentif ekonomi bagi petani pangan, pada tahun 2003 pemerintah menyiapkan subsidi pupuk sebesar 1.35 triliyun rupiah, subsidi benih 24 milyar rupiah dan subsidi bunga kredit ketahanan pangan sebesar 10 persen, kenaikan harga dasar pembelian pemerintah dari Rp 1500 per kg menjadi Rp 1700 per kg GKG di tingkat petani. Kebijakan tersebut didukung dengan kenaikan dan pengefektifan penerapan tarif impor beras dan pembelian gabah atau beras petani oleh pemerintah saat panen raya Suryana, 2004b. Keberhasilan kebijakan harga dasar gabah pembelian pemerintah, perlu memperhatikan hal-hal berikut: 1 pembelian dilakukan pada saat yang tepat, yaitu puncak panen raya, 2 volume gabah yang dibeli diperkirakan 10 persen dari produksi periode puncak panen raya, dan 3 menetapkan harga dasar gabah yang layak menjamin keuntungan usahatani, minimal 30 persen dari total pengeluaran. Harga yang tinggi menyebabkan biaya semakin mahal dan menuntut penerapan tarif impor yang tinggi. Dalam kondisi penegakan hukum yang lemah, penerapan tarif impor terlalu tinggi akan mendorong penyelundupan beras Departemen Pertanian, 2002. Efektivitas penerapan harga dasar juga dipengaruhi oleh ketepatan jadwal pencairan dan fleksibilitas penggunaan dana Amang dan Sawit, 2001. 24 Menurut PSE 2003, tingginya insiden harga jual gabah di bawah harga dasar gabah pembelian pemerintah HDPP selama periode Januari – Agustus 2003 disebabkan oleh beberapa alasan berikut: 1 volume panen dalam negeri sangat besar karena periode puncak panen raya, 2 harga beras internasional cenderung turun atau setidaknya tidak akan naik, 3 nilai rupiah stabil di bawah Rp 9 000 per US , bahkan saat ini cenderung menguat pada tingkat di bawah Rp 8 500 per US , sehingga harga paritas impor beras menjadi lebih murah lagi, 4 paket kebijakan HDPP mengalami diskontruksi, terutama berkaitan dengan penetapan tarif dan tataniaga impor beras, dan 5 pengadaan gabah dalam negeri oleh Bulog belum sepenuhnya efektif dalam menjaga stabilisasi harga gabah petani, karena pembelian gabah melalui kontraktor pengadaan tidak menjamin sepenuhnya kontraktor tersebut membeli gabah di sentra produksi padi dan sesuai degan HDPP. Efektivitas kebijakan bantuan pangan dapat juga dipengaruhi oleh pendekatan yang digunakan. PSE 2003, melaporkan setidaknya ada tiga pendekatan yang dipakai untuk membantu pangan bagi masyarakat, yaitu bantuan pangan secara umum broad food targeting, secara sempit narrow food targeting, dan langsung kepada sasaran self-food targeting. Pendekatan bantuan pangan secara umum dilakukan dengan memberi subsidi pangan untuk komoditas yang banyak dikonsumsi masyarakat seperti beras. Pemerintah melepas stok saat harga melewati harga tertinggi untuk menghambat kenaikan harga beras di pasar dan mengontrol volume impor guna menstabilkan harga beras dalam negeri dari pengaruh gejolak harga beras di luar negeri. Kebijakan ini dinikmati semua kelompok baik miskin maupun kaya. Pendekatan bantuan secara sempit adalah subsidi pangan secara langsung diberikan kepada kelompok sasaran. Kelompok sasaran ditentukan berdasarkan daerah dimana umumnya mereka berada, seperti daerah kekeringan. Setiap kelompok 25 sasaran diikutkan dalam kelompok kerja misalnya memperbaiki saluran irigasi yang diberikan upah berupa beras. Dengan cara ini dua manfaat yang diterima, yaitu peningkatan pendapatan riil pekerja dan perbaikan infrastruktur yang berdampak positif pada kegiatan produksi dan pemasaran pertanian. Kelemahannya sering tidak tepat dalam menentukan kelompok sasaran. Pendekatan bantuan pangan langsung dengan cara memberikan subsidi pada komoditas pangan yang banyak dikonsumsi oleh kelompok miskin kekurangan pangan, seperti program raskin menggunakan beras kualitas medium. Cara ini tidak dinikmati kelompok menengah dan kaya, karena mereka tidak biasa mengkonsumsi pangan yang dikonsumsi kelompok miskin. Cara ini lebih efektif karena mencapai sasaran, murah dan kebocorannya relatif kecil. Selain pendekatannya, bentuk bantuannya juga menentukan efektivitas kebijakan. Kelemahan dan kelebihan bantuan dalam bentuk tunai dan natura Tabel 5. Tabel 5. Kekuatan dan Kelemahan Subsidi Pangan Melalui Uang Tunai dan Natura Keterangan Uang Tunai Natura 1. Distorsi dalam produksi Melalui mekanisme pasar Terdistorsi 2. Distorsi dalam konsumsi Melalui mekanisme pasar Terdistorsi 3. Mendorong konsumsi komoditas pangan tertentu Tidak akan terjadi Akan terjadi 4. Mendorng konsumsi anggota RT: wanita dan anak-anak Belum tentu, bisa diselewengkan Lebih mengena sasaran 5. Pembayar pajak Kurang menerimanya Lebih menerima 6. Dampak kenaikan harga Merosot nilainya Stabil nilainya 7. Menentukan kelompok sasaran Lebih sulit dan sering bocor ke luar sasaran Lebih mudah, bisa dikontrol masyarakat 8. Keinginan secara politis Kurang disenangi Lebih disenangi Sumber: PSE 2003 26

2.2.2. Komoditas Palawija dan Pangan Lain

Penetapan harga dasar selain gabah, pertama kali diterapkan pada palawija mulai berlaku pada Pebruari 1978. Jumlah pengadaan dalam negeri untuk komoditas jagung, kedele, dan kacang hijau pada awal-awal tahun penetapan harga dasar cukup besar. Tetapi untuk beberapa tahun terakhir ini, pengadaan jagung tidak lebih dari satu persen. Bahkan pemerintah tidak lagi membeli komoditas jagung, kedele, dan kacang hijau karena harga di pasar umum sangat baik, jauh di atas harga dasar. Oleh karena itu pengadaan untuk menjaga harga dasar tidak diperlukan lagi PSE, 2003.

2.2.3. Sarana Produksi Pertanian

Laporan PSE 2003 tentang perkembangan kelembagaan kredit pertanian dijelaskan sebagai berikut. Kredit diberikan dalam bentuk sarana produksi sering menghadapi permasalahan berupa keterlambatan kredit, paket kredit yang tidak sesuai dengan kebutuhan petani. Keadaan ini mengurangi efektivitas manfaat kredit yang berakibat tidak tercapainya sasaran dan menyebabkan besarnya tunggakan kredit. Oleh karena itu, seperti halnya bantuan pangan, kredit KUT Pola Khusus dimana bantuan pinjaman yang diberikan berupa uang tunai dengan prosedur yang lebih mudah lebih disukai petani dan efektif meningkatkan jumlah pemakaian sarana produksi, produksi gabah dan meningkatkan pendapatan petani dibandingkan KUT Pola Umum Sanim, 1998. Pada tahun 1999 KUT diganti dengan Kredit Ketahanan Pangan KKP. Berbeda dengan KUT, pada KKP menggunakan sistem executing yang berarti bank pelaksana harus menanggung dana dan risiko kredit . Pemerintah hanya memberi subsidi bunga sebesar 10 persen untuk usahatani tanaman pangan dan enam persen untuk usaha lainnya. Hambatan skim kredit KKP adalah pihak bank masih belum siap dan banyak KUDkoperasi atau petani yang menunggak KUT. 27 Kenaikan produksi padi telah meningkatkan kemampuan petani untuk membeli sarana produksi, sehingga realisasi program KUT sangat rendah berkisar antara 5 – 15 persen bahkan pada musim tanam tahun 2001 realisasi KKP hanya mencapai 0.5 persen Kasryno et al., 2001. Adnyana, et al. 2000 menunjukkan bahwa sebagian besar petani menggunakan kredit informal dan warung sarana produksi pertanian. Dengan kondisi yang demikian ditambah dengan banyaknya penyimpangan kredit, dapat menyebabkan penyaluran kredit program pada saat ini sudah tidak efektif. Bagi petani yang penting adalah insentif berproduksi, ketersediaan sarana produksi, teknologi, kualitas prasarana irigasi, dan sumberdaya lahan. Pupuk subsidi hanya diperuntukkan pada usahatani tanaman pangan. Keadaan ini menyebabkan adanya perembesan penggunaan pupuk dari tanaman pangan ke penggunaan lain, sehingga sering petani pangan mengalami kekurangan pupuk Ilham, 2001. Perbedaan harga pupuk di dalam negeri dengan di luar negeri juga menyebabkan adanya perembesan pupuk ke luar negeri. Dengan dua masalah tersebut dan makin besarnya beban subsidi maka pemerintah menetapkan kebijakan penghapusan subsidi pupuk dan melepaskan tataniaga pupuk sesuai mekanisme pasar. Pada kondisi tanpa subsidi dan pasar bebas awalnya berdampak positif terhadap ketersediaan pupuk dengan harga yang relatif murah. Akibatnya distribusi pupuk mengikuti sinyal pasar dengan harga dan permintaan yang tinggi termasuk untuk ekspor, karena harga jual fob lebih mahal dari harga di dalam negeri, sehingga terjadi lagi masalah kelangkaan pupuk Ilham, 2002. Berdasarkan kenyataan ini pemerintah mengatur kembali tataniaga pupuk urea. Kegiatan ekspor pupuk urea dikhawatirkan akan mengganggu produksi beras nasional. Sementara produsen pupuk tetap memperhatikan keberlangsungan usahanya untuk mencapai keuntungan. Untuk itu pemerintah memberikan subsidi pada 28 produsen. Kebijakan pemerintah ini dikritik sebagian pakar, karena subsidi tersebut dikhawatirkan tidak akan dirasakan oleh petani. Berdasarkan tinjauan empiris dari beberapa studi terdahulu efektifitas kebijakan harga pangan tidak hanya dipengaruhi oleh dana yang diberikan secara langsung untuk kebijakan tersebut, tetapi juga dipengaruhi oleh banyak faktor sejak dari proses pembuatan hingga implementasi kebijakan, beberapa di antaranya adalah: 1. Ketepatan dalam melakukan kebijakan, seperti: 1 pembelian dilakukan pada saat dan wilayah yang tepat, yaitu puncak panen raya dan di wilayah surplus produksi, 2 volume gabah yang dibeli diperkirakan 10 persen dari produksi periode puncak panen raya, dan 3 menetapkan harga dasar gabah yang layak menjamin keuntungan usahatani, minimal 30 persen dari total pengeluaran. 2. Dukungan kebijakan lain yang harmonis, seperti kebijakan tarif impor harus diharmoniskan dengan perbedaan harga domestik dan pasar internasional, kebijakan nilai tukar rupiah over value atau under value, dan penegakan hukum. 3. Kinerja kelembagaan yang terlibat dalam sistem distribusi, yaitu KUD, lembaga kredit, koperasi pasar, pedagang grosir, pengecer, Dolog, Bulog, dan importir. 4. Fasilitas dan lembaga yang mendukung dalam sistem distribusi, yaitu jaringan angkutan laut, jaringan angkutan darat, dan kapasitas pergudangan 5. Pendapatan dan daya beli petani terhadap harga input dan outrput. 6. Pendekatan yang digunakan, yaitu bantuan pangan secara umum broad food targeting , secara sempit narrow food targeting, dan langsung kepada sasaran self-food targeting. 7. Bentuk bantuan dan prosedurnya, yaitu dalam bentuk tunai dan natura dengan prosedur yang mudah. 8. Bencana alam, kerusuhan dan pungutan liar selama kegiatan distribusi. 29 2.3.Faktor-faktor yang Mempengaruhi Inflasi Inflasi merupakan indikator utama ekonomi makro. Dengan demikian stabilitas ekonomi makro sangat ditentukan oleh stabilitas inflasi. Untuk mengefektifkan pengendalian inflasi, maka perlu diketahui faktor-faktor apa yang mempengaruhi inflasi. Hasil penelitian menggunakan data 1969-1982 yang dilakukan Gunawan 1991 menyimpulkan bahwa faktor-faktor utama penentu inflasi di Indonesia adalah: defisit domestik, inflasi yang diimpor, harga minyak dan gas bumi. Sementara itu penawaran bahan makanan yang secara teoritis seharusnya mempengaruhi harga umum, tetapi karena ketatnya pengaturan harga oleh pemerintah menyebabkan perannya tidak dapat terlihat. Faktor tingkat upah yang hampir semua negara maju dan beberapa negara berkembang merupakan salah satu sumber utama inflasi, di Indonesia tingkat upah tak begitu berperan. Amang 1984, melakukan studi menggunakan data periode 1967-1981 tentang inflasi di Indonesia dengan menggunakan empat model, yaitu: inflasi moneteris, permintaan dan penawaran agregat, persamaan simultan, dan efek langsung harga beras terhadap inflasi. Hasil analisis menunjukkan bahwa penyebab utama inflasi di Indonesia adalah demand pull inflation, tetapi faktor-faktor struktural cost push inflation juga berpengaruh signifikan. Selanjutnya dikatakan bahwa faktor moneter yang menyebabkan inflasi adalah peningkatan penawaran uang melebihi peningkatan permintaan uang. Meningkatnya penawaran uang disebabkan oleh: defisit pemerintah, pengembangan kredit oleh sistem perbankan, dan surplus neraca pembayaran yang disebabkan oil booming dan bantuan asing. Faktor yang disebabkan oleh cost push inflation adalah meningkatnya harga-harga komoditas utama di pasar domestik seperti bahan bakar minyak, beras, 30 dll. Hasil simulasi kebijakan dari model persamaan simultan dan model efek langsung harga beras terhadap inflasi menunjukkan bahwa naiknya harga beras menyebabkan meningkatnya laju inflasi. Studi Gunawan 1991 dan Amang 1984 tentang pengaruh harga pangan terhadap inflasi menunjukkan hasil yang berbeda. Perbedaan tersebut dapat disebabkan oleh spesifikasi model yang digunakan. Studi Amang 1984 lebih mengembangkan spesifikasi model dengan menggunakan empat model sehingga dapat menunjukkan keterkaitan antara harga beras dan inflasi. Perwira 2001 menggunakan data bulanan dari Januari 1996 – Desember 1999, hasil pendugaannya menunjukkan bahwa permintaan uang, suku bunga riil, dan pembayaran utang berpengaruh negatif terhadap tingkat inflasi. Sementara itu nilai tukar rupiah terhadap dolar AS, capital inflow, dan inflasi periode sebelumnya berpengaruh positif dengan nilai R 2 0.7325. Parameter dugaan permintaan uang dan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS berpengaruh sangat nyata α=1, sedangkan yang lainnya tidak berbeda nyata dengan nol. Pengaruh depresiasi nilai tukar ke inflasi sangat kuat terjadi sejak berlakunya sistem nilai tukar mengambang Bank Indonesia, 2002. Sebaliknya, sebelum periode krisis, pengaruh nilai tukar ke inflasi hampir tidak terjadi. Tinjauan perkembangan ekonomi periode triwulanan yang dilakukan CSIS 2001a; 2001b; 2001c; 2001d; 2002a; 2002b; 2002c; 2002d selama tahun 2001-2002, menunjukkan bahwa faktor- faktor yang menentukan inflasi adalah: a peningkatan permintaan uang, b pertumbuhan uang beredar, c naiknya harga BBM dan tarif dasar listrik akibat penurunan subsidi, d melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS, e meningkatnya permintaan terhadap barang menjelang bulan Puasa dan Natal, f kenaikan upah minimum, g kenaikan pajak rokok, h kemarau panjang yang menggangu produksi pangan, dan i tidak efektifnya kebijakan moneter. 31 Khusus untuk Bulan Maret - April 2002, terjadi deflasi masing-masing sebesar 0.02 dan 0.24 persen. Penyebab utama deflasi adalah turunnya harga makanan selama masa panen. Hasil analisis Sadewa 2003 1 , inflasi yang terjadi sangat rendah, yaitu sebesar 0.77 persen pada tiga bulan pertama 2003 disebabkan kebijakan moneter yang dijalankan bank sentral sudah cukup baik. Selain itu disebabkan juga oleh penurunan harga bahan makanan akibat meningkatnya pasokan dari dalam dan luar negeri. Penemuan hasil studi terdahulu bahwa variabel yang mempengaruhi inflasi tidak hanya dari sektor riil dan moneter, tetapi ada juga pengaruh faktor kebijakan. Romer 1996 menyatakan bahwa, salah satu variabel yang cukup banyak menjadi perhatian adalah kebebasan bank sentral. Disamping itu, harga bahan pangan termasuk beras masih menentukan tingkat inflasi di Indoneisa. Dengan demikian kebijakan pangan yang ditujukan untuk meningkatkan ketahanan pangan dan pengendalian inflasi masih relevan untuk dilakukan di Indonesia.

2.4. Pengendalian Inflasi dan Pertumbuhan Ekonomi