Dampak Kebijakan Harga Pangan terhadap Indikator Ekonomi Makro

36 rumah tangga tersebut untuk akses terhadap pangan yang dibutuhkan. Karena itu stabilisasi harga beras merupakan salah satu penentu tercapainya ketahanan pangan. Dengan teknik SWOT untuk melihat kinerja kebijakan stabilisasi harga Saliem et al. 2004 menyimpulkan bahwa kebijakan stabilisasi harga dengan instrumen HDG dan HDPP tidak efektif untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani yang berarti juga tidak efektif meningkatkan ketahanan pangan. Ketidakefektifan tersebut disebabkan oleh pengaruh eksternal berupa penurunan harga beras di pasar internasional dan melemahnya nilai tukar dan pengaruh faktor internal disebabkan kurang memadainya infrastruktur produksi dan pemasaran sehingga disparitas harga gabah terhadap harga beras meningkat. Peningkatan disparitas harga tersebut mencerminkan marjin pemasaran yang diterima petani semakin rendah, sehingga peningkatan pendapatan dan kesejahteraan petani menjadi sulit diupayakan. Dari analisis di atas, berkurangnya infrastruktur produksi dan pemasaran pertanian serta pengurangan subsidi input berdampak negatif terhadap ketahanan pangan. Dampak tersebut dapat dikurangi dengan kenaikan harga output secara proporsional. Dengan infrastruktur dan subsidi input yang berkurang serta semakin terbukanya pasar menyebabkan upaya kebijakan harga dengan instrumen HDG dan HDPP tidak efektif untuk meningkatkan ketahanan pangan.

2.6. Dampak Kebijakan Harga Pangan terhadap Indikator Ekonomi Makro

Menurut Dawe 2002 di lingkup internasional studi tentang pengaruh ketidakstabilan harga dan program stabilisasi harga terhadap ekonomi makro kurang banyak mendapatkan perhatian ahli ekonomi. Beberapa paper kerja Waugh 1944, Oi 1961, Samuelson 1972 dan Newbery dan Stiglitz 1981 hanya beberapa halaman yang membahas arti penting skema stabilisasi harga untuk ekonomi makro. 37 Terbatasnya studi tersebut antara lain disebabkan pada negara-negara maju pembahasannya sudah tidak lagi ditingkat ekonomi mikro, seperti pengaruh harga pangan, tetapi sudah pada level lebih makro. Hal itu disebabkan karena pangsa pengeluaran pangan terhadap pengeluaran rumah tangga sudah relatif kecil sehingga dampaknya tidak nyata terhadap ekonomi makro. Kalaupun ada skema stabilisasi harga, dilakukan dengan manuver variabel-variabel makro, seperti dalam kebijakan target inflasi. Berbeda dengan di negara maju, di negara sedang berkembang, termasuk Indonesia, pangsa pengeluaran pangan terhadap pengeluaran rumah tangga masih relatif tinggi, sehingga harga pangan memberikan pengaruh relatif kuat terhadap tingkat inflasi umum di Indonesia dibandingkan produk lain Ilham, 2003a. Menurut Simatupang 2002, subsektor tanaman pangan berkontribusi besar dalam PDB pertanian sehingga berpengaruh besar dalam stabilisasi ekonomi, yang berkaitan dengan pemantapan ketahanan pangan, pengendalian inflasi, dan stabilisasi PDB. Penelitian Timmer 1997 dalam Amang dan Sawit 2001 memperlihatkan bahwa harga pangan yang stabil mendukung pertumbuhan ekonomi di negara-negara Asia. Berdasarkan hal itu kebijakan harga pangan masih relevan untuk dikaji. Pada periode 1970-1979 sumbangan bahan makanan dalam inflasi mencapai 57,47 persen dan menurun tajam menjadi 31.17 persen pada periode tahun 1990-1998. Hal ini mengindikasikan bahwa pembangunan pertanian dan kebijakan pendukungnya telah berhasil meredam peningkatan harga bahan pangan sehingga tidak lagi menjadi sumber penyebab utama inflasi seperti pada dekade 1960-an dan 1970-an Simatupang, 2002. Namun demikian karena kuatnya hubungan harga beras terhadap komoditas lain, maka stabilisasi harga beras tetap menjadi bagian strategis dari stabilisasi ekonomi PSE, 2003. 38 Saliem et al. 2004, menyimpulkan bahwa Harga Dasar Gabah HDG dan Harga Dasar Gabah Pembelian Pemerintah HDPP sebagai instrumen pokok kebijakan harga pangan masih efektif menopang stabilisasi harga jual gabah petani. Namun derajat efektivitasnya semakin menurun dengan melemahnya kontrol pemerintah terhadap pasar beras. Dimana pada saat pasar terisolasi 1995-1997 efektivitas HDG lebih tinggi dibandingkan saat pasar bebas 1998-1999 maupun saat pasar terkendali 2000-2003. Kebijakan harga pangan disamping mencegah fluktuasi musiman, umumnya juga dimaksudkan untuk melindungi ekonomi domestik terhadap ketidakstabilan pasar internasional. Liberalisasi tidak menjamin adanya stabilitas yang dapat menguntungkan negara yang lemah. Lebih-lebih pasar beras yang merupakan residual market , thin market dan bersifat oligopoly Widodo, 2003. Menurut Kasryno, et al. 2001 ada empat dampak ketidakstabilan ekonomi beras pada perekonomian nasional. Pertama, apabila produksi beras tidak dapat dipulihkan maka impor beras akan meningkat. Karena Indonesia sebagai negara besar, peningkatan impor beras di atas 10 persen konsumsi beras akan berpengaruh pada harga beras di pasar dunia. Kedua, penurunan laju pertumbuhan produktivitas disertai dengan peningkatan intensitas penggunaan input berarti keuntungan riil usahatani padi cenderung menurun yang berarti pendapatan dan kesejahteraan petani menurun. Ketiga, perlambatan peningkatan produksi padi dan pendapatan petani berdampak negatif terhadap perekonomian desa maupun pengentasan kemiskinan, karena usahatani padi merupakan basis ekonomi bagi sebagian besar penduduk desa di Indonesia. Keempat, ketahanan pangan merupakan prakondisi bagi pembangunan desa, ketahanan pangan yang rentan akan berdampak buruk terhadap perekonomian makro maupun stabilitas sosial-politik nasional. 39 Menurut Gunawan 1991, ketatnya pengaturan harga pangan di Indonesia menyebabkan berkurangnya ketidakstabilan ekonomi makro. Hal yang sama terjadi di beberapa negara, seperti yang disitir maupun yang dihasilkan dari studi Kannapiran 2000, menunjukkan skim stabilitas harga komoditas dapat mengurangi instabilitas ekonomi makro, tetapi pada beberapa hasil penelitian ada yang menciptakan sedikit fluktuasi, khususnya pada balance of payment dan stabilitas moneter. Hal itu disebabkan kebijakan stabilitas harga tidak memberikan kontribusi yang baik terhadap manajemen ekonomi makro. Dengan menggunakan indikator RMSE, menurut Suparmin 2005 stabilitas harga gabah di tingkat petani dalam rezim Pasar Terbuka Terkendali 2000-2003 relatif lebih lebih stabil dibandingkan dalam rezim Orde Baru 1975-1998 maupun dalam rezim Pasar Bebas 1998-1999. Sementara itu tingkat stabilitas harga beras di tingkat konsumen dalam rezim Orde Baru relatif lebih stabil dibandingkan dalam pasar Terbuka Terkendali dan rezim Pasar Bebas. Berarti kebijakan stabilisasi harga selama ini lebih difokuskan pada upaya menjaga stabilitas harga beras di tingkat konsumen sebagai instrumen untuk mengendalikan laju inflasi. Jika Rezim Orde Baru mewakili kebijakan harga pangan yang intensif dibandingkan rezim Terbuka Terkendali dan Rezim Pasar Bebas maka dapat dikatakan juga bahwa kebijakan harga pangan, dalam hal ini OPM, mampu meningkatkan stabilitas inflasi. Untuk melihat efektivitas kebijakan pemerintah terhadap stabilitas harga gabah dan harga beras konsumen, Suparmin 2005 menggunakan pendekatan integrasi vertikal antar pasar dengan model kointegrasi dan vector error correction. Jika terjadi integrasi antar pasar maka kebijakan harga yang dilakukan efektif, demikian juga sebaliknya. Hasil analisis menyimpulkan bahwa stabilisasi harga gabahberas efektif hanya pada rezim Orba, keefektifan ini lebih disebabkan oleh peran dan campur tangan penguasa saat itu. 40 Sugiyono 2005 dengan sistem persamaan simultan mengintegrasikan blok ekonomi beras, ekonomi makro dan politik. Hasil analisis menunjukkan bahwa faktor ekonomi beras mempengaruhi faktor ekonomi makro dan sebaliknya. Namun Faktor politik tidak mempengaruhi faktor ekonomi beras dan faktor ekonomi makro, demikian sebaliknya. Hasil penting yang berkaitan dengan penelitian ini adalah laju inflasi dipengaruhi oleh harga riil beras eceran. Dalam jangka pendek laju inflasi responsif terhadap Variabel harga riil beras eceran dengan nilai elastisitas 6.34. Ini membuktikan bahwa laju inflasi dipengaruhi oleh harga riil beras eceran sesuai pendapat Rahardjo 1993 dan Mulyana 1998. Hasil analisis simulasi yang dilakukan Sugiyono 2005 menunjukkan bahwa: 1 peningkatan harga dasar gabah lebih menguntungkan petani padi, konsumen beras tetap diuntungkan ketahanan pangan meningkat, dan stabilitas ekonomi makro terjaga pertumbuhan ekonomi meningkat, pengangguran berkurang dan inflasi mengalami penurunan, serta partai politik dan pemerintah diuntungkan karena faktor politik ketahanan nasional mengalami penguatan, 2 peningkatan subsidi pupuk berdampak positif meningkatkan penggunaan pupuk, produktivitas padi, produksi dan penawaran beras, pendapatan usahatani dan konsumsi beras, serta berdampak positif terhadap stabilitas ekonomi makro dan stabilitas politik. Dari uraian tentang studi-studi terdahulu, khususnya yang dilakukan di Indonesia, lingkup kajian terfokus pada keterkaitan harga gabahberas dan inflasi, harga gabahberas dan ketahanan pangan, kebijakan harga gabahberas dan ketahanan pangan, inflasi dan pertumbuhan ekonomi serta kebijakan harga gabahberas dan stabilitas ekonomi makro. Sementara itu studi ini lebih merupakan tahapan lebih jauh dan lebih komprehensif dari setudi sebelumnya. Hal itu disebabkan: 1 kajian ini melakukan kajian awal tentang perilaku pangsa pengeluaran pangan penduduk 41 sebagai dasar perlunya dilakukan kajian tentang keterkaitan kebijakan harga pangan terhadap ketahanan pangan dan stabilitas ekonomi makro, 2 tidak lagi menganalisis harga pangan yang sudah dilakukan peneliti sebelumnya, tetapi mengkaji kebijakan harga pangan yang menentukan stabilitas harga pangan itu sendiri, 3 pangan yang dianalisis tidak hanya beras, tetapi termasuk beberapa bahan pangan yang relevan dengan sasaran komoditas dari kebijakan harga pangan. Selama ini banyak statemen yang menyatakan bahwa pentingnya stabilisasi harga pangan karena pengaruhnya sangat signifikan terhadap stablitas ekonomi makro, terutama inflasi dan ketahanan pangan yang secara luas akan mempengaruhi pembangunan nasional. Pernyataan-pernyataan tersebut lebih didasarkan pada pengalaman empiris sejak tahun 1945 hingga krisis ekonomi tahun 1998. Penelitian empiris tentang hal itu masih belum banyak dilakukan. Kalaupun ada terbatas pada pengaruh harga beras terhadap inflasi. Bedasarkan hal tersebut maka penelitian ini menjadi penting untuk dilakukan, sehingga pengalaman-pengalaman empiris yang selama ini terjadi dapat dikaji perilakunya untuk digunakan merancang kebijakan yang lebih efektif mencapai sasaran pembangunan yang diinginkan.

2.7. Biaya dan Manfaat Kebijakan Harga Pangan