Konsumsi Pangan Ketersediaan Protein

163 meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan indikator makin tingginya pertumbuhan ekonomi suatu negara diharapkan dapat meningkatkan kualitas ketahanan pangan nasional. Tabel 21. Hasil Pendugaan Pengaruh Kebijakan Harga Input dan Kebijakan Harga Ouput terhadap Ketahanan Pangan LPAV4 Dependent variable: LPAV4 Periode pendugaan dari 1976 – 2004: 29 observasi Nilai koefisien jangka panjang: Regressor Koefisien Standar Error T-Ratio [Prob] LRAGIP 0.0106 0.0549 0.1922 [0.849] LRAGOP 0.0379 0.0482 0.7869 [0.439] LPDB 0.6189 0.1071 5.7778 [0.000] A0 13.8441 1.3515 10.2432 [0.000] Nilai koefisien jangka pendek dLRAGIP 0.0045 0.0238 0.1907 [0.850] dLRAGOP 0.0163 0.0195 0.8364 [0.411] dLPDB -0.3106 0.3576 -0.8687 [0.394] dA0 5.9472 2.1912 2.7142 [0.012] ecm-1 -0.4296 0.1735 -2.4761 [.021] ecm = LPAV4-0.010550LRAGIP-0.037896LRAGOP-0.61888LPDB- 13.8441A0 R-Squared 0.3379 R-Bar-Squared 0.19397 ; S.E. of Regression 0.070865 ; F-stat. F 4, 24 2.9345[0.042]; DW-statistic 2.4665

6.4.2. Konsumsi Pangan

Pendugaan persamaan konsumsi pada awalnya menggunakan variabel yang sama dengan pendugaan ketersediaan pangan. Namun karena lingkup analisisnya bersifat mikro, yaitu tingkat konsumsi per kapita, maka variabel konsumsi energi dan protein serta produk domestik bruto yang digunakan merupakan konsumsi dan PDB per kapita. Selain itu dicoba juga menggunakan indeks harga konsumen LIHK sebagai proksi dari aksesibilitas ekonomi penduduk dan variabel harga minyak solar 164 LRSOL sebagai proksi aksesibilitas fisik. Dari berbagai respesifikasi yang dilakukan hanya model konsumsi energi yang memberikan hasil yang relatif baik , sedangkan untuk model konsumsi protein tidak. Berikut disajikan hasil pendugaan terbaik dari berbagai respesifikasi yang telah dilakukan Tabel 22. Hasil pendugaan menunjukkan bahwa kebijakan harga pangan berpengaruh positif terhadap konsumsi energi per hari per kapita penduduk Indonesia. Akan tetapi pengaruh kebijakan tersebut secara statistik tidak signifikan. Demikian pula halnya dengan produk PDB per kapita. Pengaruh yang signifikan terhadap konsumsi energi adalah tingkat inflasi, terutama dalam jangka panjang. Makin tinggi inflasi maka akses penduduk terhadap energi makin berkurang. Rinciannya dapat dilihat pada Lampiran 19 . Tabel 22. Hasil Pendugaan Pengaruh Kebijakan Harga Pangan terhadap Ketahanan Pangan LEACK4 Dependent variable: LEACK4 Periode pendugaan dari 1976 – 2004: 29 observasi Nilai koefisien jangka panjang: Regressor Koefisien Standar Error T-Ratio [Prob] LRIOPP 0.0014 0.0294 0.0486 [0.962] LIHK -0.0937 0.0510 -1.8388 [0.078] LPDBK 0.0100 0.1507 0.0663 [0.948] A0 -0.2712 0.3300 -0.8217 [0.419] Nilai koefisien jangka pendek dLRIOPP 0.0092 0.0190 0.0484 [0.962] dLIHK -0.0605 0.0423 -1.4283 [0.166] dLPDBK 0.0064 0.0979 0.0659 [0.948] dA0 -0.1749 0.2185 -0.8004 [0.431] ecm-1 -0.6451 0.2036 -3.1683 [0.004] ecm = LEACK4 - 0.0014277LRIOPP + 0.093738LIHK -0.0099956LPDBK + 0.27116A0 R-Squared 0.33942 R-Bar-Squared 0.22933; S.E. of Regression 0.050582 F-stat. F 4, 24 3.0830 [0.035] DW-statistic 2.0136 165 Temuan-temuan ini konsisten dengan fakta yang terjadi dan hasil penelitian Hermanto 2002 yang menyatakan bahwa gejolak harga pangan akan mempengaruhi inflasi sehingga berdampak negatif terhadap daya beli konsumen dan petani produsen net consumer sehingga menghambat rumah tangga tersebut untuk akses terhadap pangan yang dibutuhkan. Tingginya inflasi, seperti pada krisis ekonomi yang terjadi pada medio 1997, menyebabkan menurunnya konsumsi penduduk. Dampaknya pada tahun 2005 banyak ditemui kasus busung lapar di berbagai wilayah di Indonesia. Jadi walaupun PDB per kapita meningkat, jika distribusinya tidak merata tidak akan memberikan pengaruh signifikan bagi sebagian besar penduduk yang tidak akses pada aktivitas ekonomi. Diduga masih banyak variabel-variabel yang sifatnya mikro yang menentukan tingkat konsumsi energi seseorang. Menurut Saliem et al, 2002, faktor-faktor tersebut adalah pendapatan rumah tangga, pendidikan kepala rumah tanggaisteri, dan jumlah anggota rumah tangga, pola asuh, dan budaya setempat. Penguasaan lahan petani diduga juga mempengaruhi kenapa kebijakan harga pangan tidak berpengaruh pada tingkat konsumsi energi dan protein. Seperti diutarakan pada teori garis anggaran di depan, dampak kebijakan harga pangan terhadap ketahanan pangan dapat melalui dua jalur. Pertama adanya rotasi garis anggran yang menyebabkan harga pangan menjadi relatif murah dan kedua melalui pergeseran garis anggaran kekanan yang menyebabkan daya beli makin meningkat. Jika sebagian besar petani penguasaan lahannya semakin mengecil, bahkan hanya sebagai petani buruh landless maka kebijakan harga pangan yang dilakukan pemerintah untuk meningkatkan pendapatan masyarakat berpendapatan rendah seperti pada sebagian besar petani menjadi kurang berarti. Kebijakan yang dilakukan justru dinikmati petani pemilik lahan luas dan pemilik lahan yang bukan petani. Petani kecil 166 hanya menerima upah buruh atau bagi hasil yang kurang signifikan pengaruhnya terhadap peningkatan pendapatan rumah tangga mereka. Data pada Tabel 23 menunjukkan bahwa distribusi petani yang menguasai lahan kurang dari setengah hektar jumlahnya makin meningkat dari 44.5 pada tahun 1983 menjadi 51.5 dan 55.0 pada tahun 1993 dan tahun 2003. Penurunan jumlah penguasaan lahan tersebut dapat disebabkan makin terkonsentrasinya penguasaan lahan pada penduduk kelompok berpendapatan tingggi dan atau dapat juga disebabkan oleh makin mengecilnya penguasaan lahan akibat adanya budaya mewariskan lahan kepada anak. Faktor kedua ini terlihat pada Tabel 23 dengan semakin banyaknya jumlah rumah tangga petani dari waktu ke waktu selama 30 tahun terakhir. Masalah penguasaan lahan ini sebenarnya dapat dicegah dengan mengimplementasikan dan menyempurnakan Undang-undang Pokok Agraria Tahun 1960 yang hingga kini belum efektif dilakukan Jajaki, 2005. Tabel 23. Distribusi Rumah Tangga Pertanian Pengguna Lahan Menurut Golongan Luas Lahan yang Dikuasai, Tahun 1983, 1993, dan 2003 Luas Lahan Yang Dikuasasi Tahun Satuan 0.5 Ha = 0.5 Ha Jumlah Rumah Tangga 1983 ribu unit 7 601 9 475 17 076 44.5 55.5 100.0 1993 ribu unit 10 908 10 253 21 161 51.5 48.5 100.0 2003 ribu unit 13 314 10 909 24 223 55.0 45.0 100.0 Sumber: Sensus Pertanian 1983, 1993, dan 2003 BPS, 2004a, 1995, 1984

6.5. Ringkasan Hasil