182 merupakan angka yang relatif kecil sehingga dapat dikatakan kebijakan harga pangan
tidak berdampak signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Terjadinya stagflasi disebabkan kebijakan harga pangan yang dilakukan masih
didukung dengan pengadaan pangan impor beras, jagung, kedele, gula, dll. Peningkatan impor menurunkan BOT akibatnya PDB mengalami kontraksi dan inflasi
juga meningkat. Kedepan sebaiknya kebijakan harga pangan dilakukan dengan dominan mengandalkan produksi dalam negeri sehingga tidak menurunkan BOT dan
diduga akan menyebabkan PDB ekspansi. Hasil studi Suparmin 2005 juga menyarankan hal yang senada yaitu jika
konsumsi beras terus meningkat diversifikasi pangan pokok tetap tidak berlangsung, maka diperlukan adanya peningkatan suplai yang berkesinambungan melalui upaya
peningkatan produktivitas perluas areal panen, dan pengurangan kehilangan pasca panen. Namun karena modelnya tidak memasukkan unsur BOT yang mempengaruhi
permintaan agregat dan pertumbuhan ekonomi maka dengan tujuan untuk stabilisasi harga berasgabah Suparmin 2005 juga menganjurkan peningkatan impor beras.
7.3. Respon Dinamik Variabel Ekonomi Makro terhadap Guncangan Kebijakan Moneter
Pengaruh guncangan kebijakan moneter sebesar satu standar deviasi terhadap stabilitas ekonomi makro di Indonesia dapat dilihat pada Gambar 44 – Gambar 52,
sedangkan data lengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 24.
Ketika guncangan terjadi hingga triwulan pertama penawaran uang naik sedikit dari 3.36 persen menjadi 3.37 persen. Namun hal ini telah meningkatkan
inflasi dari nol persen menjadi 0.23 persen pada triwulan pertama dan terus meningkat menjadi 0.33 persen pada triwulan ke-2. Kemudian inflasi turun mencapai titik
rendah yaitu -0.17 persen kemudian naik sedikit dan stabil pada triwulan ke-13 dalam kondisi deflasi. Guncangan kebijakan moneter awalnya menyebabkan jumlah uang
183 yang ditawarkan fluktuatif dan mulai stabil pada triwulan ke-12 serta akhirnya
meningkatkan penawaran uang dari 3.36 persen saat guncangan menjadi 3.62 persen dalam jangka panjang
Kecilnya respon penawaran uang akibat kebijakan moneter pada triwulan pertama, sedangkan inflasi meningkat relatif tajam menyebabkan naiknya suku bunga
nominal sehingga suku bunga riil juga meningkat dari –0.08 persen saat terjadi guncangan menjadi 0.03 persen pada triwulan pertama. Peningkatan suku bunga riil
direspon investor dengan mengurangi investasi sehingga laju investasi menurun. Demikian juga sebaliknya jika terjadi penurunan suku bunga investor meningkatkan
investasinya. Perilaku demikian hanya berlaku hingga triwulan ketiga karena fluktuasi suku bunga relatif tinggi. Setelah itu fluktuasi suku bunga relatif mengecil
dan pengaruhnya tidak signifikan terhadap perilaku investasi. Fluktuasi suku bunga mulai stabil pada triwulan ke-13 hingga stabil dalam jangka panjang.
Naiknya suku bunga pada triwulan pertama meningkatkan kapital inflow akibatnya nilai tukar mengalami apresiasi. Nilai tukar yang terapresiasi ini berperan
mengendalikan inflasi. Walau pada dua triwulan pertama kebijakan moneter menyebabkan meningkatnya inflasi namun dalam jangka panjang pengaruhnya dapat
meningkatkan nilai tukar rupiah sehingga inflasi menjadi terkendali. Dalam jangka panjang guncangan kebijakan moneter menyebabkan rupiah terapresiasi dan mulai
stabil pada triwulan ke-10 hingga stabil pada –3.92 persen. Inflasi yang meningkat tajam hingga triwulan ke-2 menyebabkan daya saing
produk ekspor menurun. Hal ini terlihat dari nilai tukar yang menguat sehingga neraca perdagangan juga menurun dari surplus 77.23 juta USD menjadi defisit 226.06
juta USD. Defisit terus berlanjut dan mulai stabil pada triwulan ke-8 hingga jangka panjang stabil pada 453.09 juta USD.
184 Defisit neraca perdagangan menyebabkan PDB kontraksi pada triwulan
pertama namun meningkat kembali hinga triwulan ke-4 dan sedikit menurun pada triwulan ke-5 kemudian meningkat kembali dan stabil pada triwulan ke-13, namun
masih tetap kontraksi. Turunnya neraca perdagangan sedangkan penawaran uang meningkat memberi peluang untuk meningkatkan aktivitas ekonomi domestik
khususnya sektor konsumsi domestik. Konsumsi domestik ini mampu meningkatkan PDB. Akan tetapi peningkatan PDB yang disebabkan oleh bukan sektor produksi
karena terlihat kecenderungan investasi yang menurun dan mulai stabil pada triwulan ke-11. Penurunan investasi menyebabkan angka pengangguran meningkat dan mulai
stabil pada triwulan ke-8. Untuk mengendalikan inflasi biasanya jika BI melakukan penyuntikan dana ke
pasar selalu diikuti oleh sterilisasi dalam bentuk lainnya. Dengan demikian guncangan kebijakan moneter dapat menyebabkan dana untuk kebijakan harga
pangan menurun. Hal ini terus berlanjut hingga triwulan kedua. Namun demikian karena kebijakan moneter juga menyebabkan inflasi hingga triwulan ke-2 maka dana
untuk kebijakan harga pangan ditingkatkan sebagai reaksi terhadap inflasi. Akan tetapi pada triwulan ke-3 dan seterusnya inflasi mengalami penurunan hingga stabil
pada -0.07 persen. Kondisi demikian direaksi oleh kebijakan harga dengan menurunkan dana untuk dukungan kebijakan harga dan sedikit meningkat sebelum
mulai stabil pada triwulan ke -10.
Peningkatan penawaran uang melalui kebijakan moneter bertujuan untuk meningkatkan aktivitas perekonomian. Namun dalam jangka pendek meningkatkan
inflasi sehingga daya saing produk ekspor menurun dan menurunkan neraca perdagangan. Akibatnya PDB mengalami kontraksi. Dalam jangka panjang kebijakan
tersebut mampu meningkatkan aktivitas ekonomi khususnya sektor konsumsi bukan
185 di investasi dan mampu meningkatkan PDB tetapi tidak mengurangi pengangguran,
bahkan sebaliknya. Dari temuan ini disimpulkan bahwa kebijakan moneter mampu menurunkan
inflasi, namun belum mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi, tidak mampu mengurangi pengangguran dan tidak mengurangi defisit perdagangan. Jika
pemanfaatan uang beredar mampu menggerakkan sektor riil dari sisi investasi diduga kebijakan moneter juga mampu mengatasi masalah pengangguran dan defisit
perdagangan luar negeri. Untuk mencapai kinerja ekonomi yang baik perlu didukung oleh kebijakan yang mampu meningkatkan kinerja sektor riil.
R e
spon Penaw aran U
ang
Triwulan 0.020
0.025 0.030
0.035 0.040
5 10
15 20
25 30
35
Gambar 44. Respon Penawaran Uang terhadap Guncangan Kebijakan Moneter
Respon Inflasi
Triwulan -0.001
-0.002 0.000
0.001 0.002
0.003 0.004
5 10
15 20
25 30
35
Gambar 45. Respon Inflasi terhadap Guncangan Kebijakan Moneter
186
Respon Suku Bunga Bank
Triwulan -0.05
-0.10 -0.15
-0.20 -0.25
-0.30 0.00
0.05 0.10
0.15
5 10
15 20
25 30
35
Gambar 46. Respon Suku Bunga terhadap Guncangan Kebijakan Moneter
Respon Nilai Tukar
Triwulan -0.01
-0.02 -0.03
-0.04 -0.05
0.00
5 10
15 20
25 30
35
Gambar 47. Respon Nilai Tukar terhadap Guncangan Kebijakan Moneter
Respon Pengangguran
Triwulan 0.00
0.01 0.02
0.03 0.04
0.05 0.06
5 10
15 20
25 30
35
Gambar 48. Respon Pengangguran terhadap Guncangan Kebijakan Moneter
187
Respon PDB
Triwulan -0.004
-0.006 -0.008
-0.010 -0.002
5 10
15 20
25 30
35
Gambar 49. Respon PDB terhadap Guncangan Kebijakan Moneter
Respon Investasi
Triwulan -0.05
0.00 0.05
0.10 0.15
5 10
15 20
25 30
35
Gambar 50. Respon Investasi terhadap Guncangan Kebijakan Moneter
Respon Ner a
ca
Per dagangan
Triwulan -100
-200 -300
-400 -500
100
5 10
15 20
25 30
35
Gambar 51. Respon Neraca Pedagangan terhadap Guncangan Kebijakan
Moneter
188
Respon Kebijakan Harga Pangan
Triwulan -0.02
-0.04 -0.06
-0.08 0.00
5 10
15 20
25 30
35
Gambar 52. Respon Kebijakan Harga Pertanian terhadap Guncangan Kebijakan
Moneter 7.4.
Respon Dinamik Variabel Ekonomi Makro terhadap Guncangan Kebijakan Perdagangan
Guncangan kebijakan perdagangan dapat disebabkan oleh menurunnya nilai impor, meningkatnya nilai ekspor, keduanya meningkat tapi peningkatan nilai ekspor
lebih besar dari nilai impor, atau keduanya menurun tapi penurunan nilai impor lebih besar dari nilai ekspor. Pengaruh guncangan kebijakan perdagangan sebesar satu
standar deviasi terhadap stabilitas ekonomi makro di Indonesia dapat dilihat pada Gambar 53 – Gambar 61, sedangkan data lengkapnya dapat dilihat pada
Lampiran 25. Pada saat terjadi guncangan neraca perdagangan mengalami surplus 742 juta
USD. Dampak surplus BOT menyebabkan rupiah terapresiasi hingga nilai tertinggi pada triwulan ke-2.
Menguatnya rupiah menyebabkan ekspor menurun atau impor meningkat sehingga surplus neraca perdagangan menurun hinga triwulan ke-2.
Penurunan surplus ini kembali melemahkan nilai tukar hingga puncaknya pada triwulan ke-5. Keduanya saling mempengaruhi hingga neraca perdagangan mulai
stabil pada triwulan ke-11 dan nilai tukar mulai stabil pada triwulan ke 11. Penguatan nilai tukar yang cukup tajam hingga triwulan ke-2 direspon BOT
hingga triwulan ke-3. Demikian juga peningkatan BOT antara triwulan 3 - 4
189 direspon menguatnya rupiah hinggga triwulan ke-5. Terlihat adanya lag waktu saat
keduanya saling mempengaruhi, namun pada pergerakan dengan osilasi yang lebih kecil pada triwulan berikutnya tidak terjadi lag waktu.
Bagaimana kebijakan perdagangan tersebut dilakukan sehingga mampu meningkatkan BOT. Hasil analisis menunjukkan bahwa meningkatnya BOT akibat
adanya penurunan penawaran uang sampai triwulan ke-2 sehingga inflasi menjadi menurun. Penurunan inflasi meningkatkan daya saing sehingga ekspor meningkat
dan menyebabkan BOT surplus. Namun seperti diutarakan sebelumnya surplus BOT ini menyebabkan rupiah terapresiasi. Untuk menjaga kestabilan ekonomi otoritas
moneter mengendalikan jumlah penawaran uang hingga BOT, nilai tukar, dan inflasi cenderung stabil. Kestabilan tersebut mulai tercapai saat jumlah uang beredar mulai
stabil pada triwulan ke-18. Guncangan kebijakan perdagangan yang didukung oleh pengendalian uang
beredar awalnya menurunkan inflasi. Reaksi kebijakan harga pangan akibat penurunan inflasi adalah menurunkan dana yang digunakan hingga triwulan ke-2
untuk kebijakan tersebut. Melambatnya penurunan inflasi antara triwulan 2 – 3 diantisipasi dengan meningkatkan dana untuk kebijakan harga pangan. Demikian
juga ketika inflasi terus naik hingga mencapai puncak pada triwulan ke-7, walaupun terjadi osilasi pemerintah tetap mengantisipasi dengan kebijakan harga pangan.
Osilasi ini dapat disebabkan oleh sumber dana yang tersedia dan kondisi inflasi itu sendiri, hingga akhirnya mulai stabil pada triwulan ke-14. Namun demikian, dalam
jangka panjang kebijakan perdagangan tidak mempengaruhi kebijakan harga pangan. Di pasar uang dinamika suku bunga riil mengikuti dinamika inflasi. Penuruan
inflasi mencapai titik terendah pada triwulan ke-3 diikuti kenaikan suku bunga tertinggi pada triwulan yang sama demikian seterusnya hingga mulai stabil pada
190 triwulan ke-19 dan dalam jangka panjang terjadi peningkatan suku bunga menjadi
0.24 persen. Dinamika suku bunga dikuti pula oleh dinamika investasi. Pada triwulan
pertama naiknya suku bunga 0.11 persen dikuti dengan penurunan investasi 18.11 persen. Pada triwulan berikutnya suku bunga masih naik tetapi justru investasi juga
naik Artinya osilasi yang terjadi pada investasi waktunya lebih pendek dibandingkan dengan osilasi yang terjadi pada suku bunga. Fenomena ini mengindikasikan bahwa
investasi tidak hanya dipengaruhi oleh suku bunga tetapi ada faktor lain, adalah stabilitas sosial poltik suatu negara.
Guncangan kebijakan perdagangan yang menyebabkan BOT surplus meningkatkan pertumbuhan PDB hingga 0.71 persen pada triwulan ke-3. Namun
karena kenaikan ini tidak banyak didukung oleh sektor riil, karena disisi lain investasi cenderung turun, PDB kontraksi kembali hingga 0.18 persen dan mulai stabil pada
triwulan ke-13. Peningkatan PDB yang tidak didukung kenaikan investasi menyebabkan angka pengangguran meningkat hingga stabil menjadi 1.66 persen.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa keseimbangan akhir akibat kebijakan perdagangan menyebabkan BOT surplus, pertumbuhan ekonomi yang
diikuti inflasi namun tidak mampu menurunkan tingkat pengangguran. Peningkatan BOT dapat disebabkan penurunan impor atau peningkatan ekspor akibat melemahnya
nilai tukar. Penurunan impor dapat terjadi karena pemerintah mengenakan tarif impor ,melalui kebijakan nilai tukar, pada produk pangan hingga menurunkan nilai impor.
Jika demikian dapat ditafsirkan bahwa kebijakan pengenaan tarif pada produk pangan impor menyebabkan pertumbuhan ekonomi. Akan tetapi pertumbuhan
ekonomi tersebut belum mampu mengurangi pengangguran. Untuk mengatasi masalah pengangguran diperlukan penciptaan iklim investasi yang kondusif untuk
menggerakkan sektor riil dan menciptakan kesempatan kerja.
191
Respon Nerca Perdagangan
Triwulan 200
300 400
500 600
700 800
5 10
15 20
25 30
35 40
45 50
Gambar 53. Respon Neraca Perdagangan terhadap Guncangan Kebijakan Perdagangan
Respon Nilai Tukar
Triwulan -0.005
-0.010 -0.015
-0.020 -0.025
0.000 0.005
0.010
5 10
15 20
25 30
35 40
45 50
Gambar 54. Respon Nilai Tukar terhadap Guncangan Kebijakan Perdagangan
Respon Inflasi
Triwulan -0.001
-0.002 -0.003
-0.004 0.000
0.001 0.002
0.003 0.004
0.005
5 10
15 20
25 30
35 40
45 50
Gambar 55. Respon Inflasi terhadap Guncangan Kebijakan Perdagangan
192
Respon Kebijakan Harga Pangan
Triwulan -0.005
-0.010 -0.015
-0.020 0.000
0.005 0.010
0.015 0.020
5 10
15 20
25 30
35 40
45 50
Gambar 56. Respon Kebijakan Harga Pangan terhadap Guncangan
Kebijakan Perdagangan
R e
spon PD B
Triwulan 0.000
0.002 0.004
0.006 0.008
5 10
15 20
25 30
35 40
45 50
Gambar 57. Respon PDB terhadap Guncangan Kebijakan Perdagangan
Respon Pengangguran Triwulan
0.000 0.005
0.010 0.015
0.020
5 10
15 20
25 30
35 40
45 50
Gambar 58. Respon Pengangguran terhadap Guncangan Kebijakan
Perdagangan
193
Respon Penawaran Uang Triwulan
-0.002 -0.004
-0.006 -0.008
0.000 0.002
5 10
15 20
25 30
35 40
45 50
Gambar 59. Respon Penawaran Uang terhadap Guncangan Kebijakan
Perdagangan
Re sp
o n
Su ku
Bu n
g a
Triwulan -0.1
-0.2 0.0
0.1 0.2
0.3 0.4
0.5
5 10
15 20
25 30
35 40
45 50
Gambar 60. Respon Suku Bunga terhadap Guncangan Kebijakan
Perdagangan
R e
s pon Inv
e s
tas i
Triwulan -0.05
-0.10 -0.15
-0.20 0.00
5 10
15 20
25 30
35 40
45 50
Gambar 61. Respon Ivestasi terhadap Guncangan Kebijakan Perdagangan
194 Tiga guncangan ekonomi yang disebabkan kebijakan harga pangan, kebijakan
moneter dan kebijakan perdagangan mempunyai kelebihan dan kekurangan Tabel 25. Kelebihan kebijakan harga pangan tidak menyebabkan naiknya tingkat
pengangguran namun menyebabkan kontraksi ekonomi. Kontraksi ekonomi dapat dihindari jika kebijakan harga pangan yang dilakukan didukung oleh produksi dalam
negeri. Selama ini kebijakan tersebut banyak didukung oleh produk impor baik berupa impor pangan maupun sarana produksi. Hal tersebut menyebabkan BOT
defisit sehingga PDB kontraksi. Jika kebijakan harga pangan lebih didukung oleh
produksi dalam negeri, ini berarti terjadi pengurangan impor sehingga nilai ekspor lebih besar dari nilai impor. Kebijakan perdagangan yang mengurangi impor
menyebabkan BOT surplus sehingga PDB mengalami ekspansi, namun pengangguran dan inflasi menjadi meningkat
. Tabel 25. Dampak Kebijakan Harga Pangan, Moneter, dan Perdagangan terhadap
Keseimbangan Ekonomi Makro dalam Jangka Panjang
No Kebijakan
Dampak terhadap Indikator Kunci Ekonomi Makro
1 Kebijakan Harga Pangan
meningkat PDB kontraksi
Inflasi BOT defisit
Pengangguran stabil
2 Kebijakan Moneter
ekspansi PDB kontraksi
Deflasi BOT defisit
Pengangguran naik
3 Kebijakan Perdagangan
penurunan impor PDB ekspansi
Inflasi BOT surplus
Pengangguran naik
Dampak kebijakan moneter menyebabkan keseimbangan jangka panjang mengalami kontraksi, pengangguran meningkat, BOT defisit, dan deflasi. Hasil ini
sesuai dengan mandat Bank Indonesia 2006, yaitu memelihara kestabilan nilai rupiah melalui kebijakan moneter, mengatur dan menjaga kelancaran sistem
195 pembayaran, serta mengatur dan mengawasi bank. Kebijakan moneter tersebut
dilakukan untuk mengendalikan laju inflasi. Selanjutnya dikatakan bahwa bukti-bukti empiris menunjukan dalan jangka panjang kebijakan moneter hanya dapat
mempengaruhi tingkat inflasi dan tidak dapat mempengaruhi variabel riil, seperti pertumbuhan output ataupun tingkat pengangguran.
Tabel 25 memperlihatkan dampak ketiga kebijakan terhadap keseimbangan jangka panjang yang sifatnya kualitatif dan belum menggambarkan apakah kebijakan
tersebut menyebabkan instabilitas ekonomi makro. Untuk melihat dampak kebijakan terhadap stabilitas ekonomi makro diperlukan ukuran-ukuran kuantitatif. Ada empat
ukuran yang digunakan dalam melihat dampak kebijakan terhadap stabilitas. Rinciannya dapat dilihat pada Tabel 26.
Tabel 26. Dampak Kebijakan Harga Pangan, Moneter dan Perdagangan terhadap Stabilitas Ekonomi Makro
Ukuran Stabilitas Kebijakan
Variabel Ekonomi
Makro Waktu
mencapai stabil
triwulan Perbedaan
dampak maksimum dan
minimum Perbedaan
petumbuhan awal dan
akhir Koefisien
Variasi 1. Kebijakan
Harga Pangan
meningkat 1. Inflasi
2. PDB 3. BOT
4. UNM 9
13 14
14 1.52 0-5
0.86 2-4 62 0-1
1.23 2-7 1.04
0.50 615
+
0.03 0.29
0.18 0.25
0.36
2. Kebijakan Moneter
ekspansi 1. Inflasi
2. PDB 3. BOT
4. UNM 13
13 8
8 0.33 2-5
0.58 1-4 492 0-3
4.79 0-4 0.00
0.22 391
+
4.95 1.83
0.33 0.22
0.22
3. Kebijakan
Perdag
angan penurunan
impor 1. Inflasi
2. PDB 3. BOT
4. UNM 14
13 13
11 0.84 3-7
0.71 0-3 506 0-3
1.58 0-4 0.24
0.30 60
+
1.66 0.83
1.29 0.28
0.23
Keterangan : Diolah dari Gambar 36-62 dan Lampiran 23-25. dalam Juta USD.
+ diperoleh saat pertumbuhan triwulan ke-1 ke-2 dan triwulan saat akan mencapai stabil. n: angka dalam kurung menunjukkan periode titik maksimum-minimum terpanjang.
BOT=neraca perdagangan; PDB: Produk Domestik Bruto; UNM : pengangguran.
196 Ukuran pertama yaitu waktu yang dibutuhkan hingga dampak guncangan
mulai stabil kolom tiga Tabel 26. Dari tiga kebijakan terlihat bahwa waktu yang dibutuhkan untuk mencapai stabil relatif sama yaitu berkisar 8-14 triwulan atau 2-3.5
tahun. Waktu ini menjadi penting jika fluktuasi yang terjadi cukup tajam atau panjang gelombang jarak titik maksimum dan minimum yang terjadi cukup besar.
Kolom empat pada Tabel 26 memperlihatkan ukuran kedua dalam menentukan stabilitas yaitu perbedaan antara pertumbuhan pada saat mencapai titik
maksimum dan titik minimum. Secara umum ketiga kebijakan tidak menyebabkan instabilitas pada variabel kunci ekonomi makro dengan perbedaan jarak titik
maksimum dan minimum antara 0.33 – 4.79 persen, kecuali pada neraca perdagangan perbedaan tersebut cukup besar.
Ukuran ketiga adalah dampak kebijakan terhadap perbedaan pertumbuhan saat awal dan akhir kolom lima Tabel 26. Sama seperti ukuran sebelumnya, secara
umum ketiga kebijakan tidak menyebabkan instabilitas pada variabel kunci ekonomi makro dengan perbedaan 0.00-1.66 persen, kecuali pada neraca perdagangan
perbedaan tersebut cukup besar. Ukuran keempat adalah koefisien variasi
1
. Secara relatif nilai koefisien variasi variabel kunci ekonomi makro yang diakibatkan
guncangan kebijakan harga pangan memiliki nilai kecil dibandingkan koefisien variasi variabel kunci ekonomi makro yang diakibatkan guncangan kebijakan moneter
dan kebijakan perdagangan. Indikasi ini makin mendukung bahwa dampak kebijakan harga pangan tidak menyebabkan instabilitas ekonomi makro. Temuan ini sama
dengan penelitian Kannapiran 2000, skim stabilitas harga komoditas dapat mengurangi instabilitas ekonomi makro, tetapi pada beberapa tinjauan hasil penelitian
sebelumnya ada yang menciptakan sedikit fluktuasi, khususnya pada balance of
1
cv=sdrataan
197 payment
BOP. Secara relatif nilai koefisien variasi inflasi dan PDB akibat dampak kebijakan harga pangan lebih kecil dari dua kebijakan lainnya.
Hasil tersebut dapat saja berbeda antar negara karena perbedaan sistem pemerintahan sehingga kebijakan-kebijakan yang diambil juga berbeda. Pernyataan
ini sesuai dengan hasil simulasi Gylfason 1990 yang menunjukkan bahwa hasil kebijakan endogenus dapat memiliki perbedaan yang mendasar sesuai dengan tipe
pemerintahan, yaitu konservatif, liberal, atau netral. Studi Gunawan 1991 di Indonesia menunjukkan bahwa ketatnya pengaturan harga di Indonesia menyebabkan
berkurangnya ketidakstabilan ekonomi makro.
7.5. Faktor-faktor yang Menentukan Kebijakan Harga Pangan dan Stabilitas