Pengendalian Inflasi dan Pertumbuhan Ekonomi

31 Khusus untuk Bulan Maret - April 2002, terjadi deflasi masing-masing sebesar 0.02 dan 0.24 persen. Penyebab utama deflasi adalah turunnya harga makanan selama masa panen. Hasil analisis Sadewa 2003 1 , inflasi yang terjadi sangat rendah, yaitu sebesar 0.77 persen pada tiga bulan pertama 2003 disebabkan kebijakan moneter yang dijalankan bank sentral sudah cukup baik. Selain itu disebabkan juga oleh penurunan harga bahan makanan akibat meningkatnya pasokan dari dalam dan luar negeri. Penemuan hasil studi terdahulu bahwa variabel yang mempengaruhi inflasi tidak hanya dari sektor riil dan moneter, tetapi ada juga pengaruh faktor kebijakan. Romer 1996 menyatakan bahwa, salah satu variabel yang cukup banyak menjadi perhatian adalah kebebasan bank sentral. Disamping itu, harga bahan pangan termasuk beras masih menentukan tingkat inflasi di Indoneisa. Dengan demikian kebijakan pangan yang ditujukan untuk meningkatkan ketahanan pangan dan pengendalian inflasi masih relevan untuk dilakukan di Indonesia.

2.4. Pengendalian Inflasi dan Pertumbuhan Ekonomi

Dengan mengetahui penyebab inflasi, dapat dijadikan dasar untuk mengendalikan inflasi dalam bentuk target inflasi untuk menjaga stabilitas ekonomi. Dimulai dari negara-negara maju, dimana pangsa pengeluaran pangan terhadap pengeluaran rumah tangga sudah tidak signifikan maka sejak tahun 1989, pengendalian inflasi dilakukan oleh otoritas moneter dengan menetapkan target inflasi. Negara pertama memperkenalkan target inflasi adalah Selandia Baru Agenor, 2000. Upaya ini kemudian diikuti oleh beberapa negara Tabel 6. Brooks 1998 dalam Debelle 2000, menunjukkan bahwa rejim target inflasi terkait dengan perbaikan performa inflasi, rata-rata tingkat inflasi dan keragamannya telah menurun secara substansial Tabel 7. Dapat dilihat bahwa negara yang 1 Harian KOMPAS, 14 April 2003. Apakah Inflasi yang Rendah Buruk Bagi Perekonomian? 32 menerapkan target inflasi, inflasinya lebih rendah dan pertumbuhan outputnya menjadi lebih tinggi dengan keragaman inflasi dan output yang lebih rendah. Kondisi perekonomian seperti ini lebih baik dari kondisi sebaliknya. Tabel 6. Penerapan Target Inflasi pada Beberapa Negara Tahun 1990 - 1995 Negara Mulai Menerapkan Definisi Inflasi Target Inflasi thn Australia Kanada Finlandia Israel Selandia Br Spanyol Swedia Inggris Tahun 1993 Februari 1991 Februari 1993 Desember 1991 Maret 1990 Januari 1995 Januari 1993 Oktober 1992 Underlying CPI a Core CPI b Underlying CPI c CPI Underlying CPI d CPI CPI Retail Price Index e 2 – 3 1 - 3 ± 2 8 - 11 0 - 3 3 1 - 2 1 – 4 Sumber: Bernanke dan Mishkin, 1997. Ket. a = mengeluarkan : buah dan sayuran, bahan bakar, biaya bunga, biaya sektor publik dan harga- harga yang mudah berubah. b = mengeluarkan: bahan makanan, energy, efek putaran pertama pajak tidak langsung. c = mengeluarkan: subsidi pemerintah, pajak tak langsung, harga rumah dan bunga hipotek. d =mengeluarkan : perubahan pajak tidak langsung, perubahan signifikan pada harga impor dan harga ekspor, biaya bunga, dan bencana alam. e =mengeluarkan bunga hipotek. Di Indonesia kebijakan target inflasi diawali tahun 1999, mulai terasa hasilnya 3-4 tahun kemudian. Analisis CSIS, target inflasi Bank Indonesia untuk tahun 2000, 2001 dan 2002 masing-masing 5 – 7 persen dan 4 – 6 persen dan kurang dari 9 persen tidak dapat tercapai. Inflasi aktual masing-masing mencapai 9.35 persen, 12.55 persen dan 10.03 persen. Kegagalan tersebut disebabkan oleh meningkatnya permintaan uang pada akhir tahun 2000; kondisi politik yang tidak pasti, sehingga independensi bank sentral menjadi berkurang pada tahun 2001. Khusus tahun 2002 diperkirakan target inflasi akan tercapai karena pada Maret-April 2002 terjadi deflasi yang disebabkan oleh turunnya harga makanan selama masa panen dan terkendalinya jumlah uang beredar. Namun karena adanya 33 kenaikan permintaan menjelang hari raya, naiknya harga tarif dasar listrik, kenaikan pajak rokok dan adanya musim kemarau pada akhir tahun target yang ditetapkan tidak tercapai. Untuk tahun 2003, target inflasi sembilan persen akan mudah tercapai, bahkan diperkirakan akan mencapai 7.8 persen Sadewa, 2003 1 . Hal ini lebih disebabkan keberhasilan kebijakan moneter Bank Indonesia. Tabel 7. Tingkat Inflasi dan Pertumbuhan pada Beberapa Negara Industri yang Menerapkan dan Tidak Menerapkan Rejim Target Inflasi Inflasi Tahunan Pertumbuhan GDP Riil Negara Rataan Standar Deviasi Rataan Standar Deviasi Rejim Target Inflasi TI Australia 1980-1992 1993-1997 Negara Lain 1980 s.d menerapkan TI 1 Saat menerapkan - 1997 Rejim Non Target Inflasi Negara Besar 2 1980 - 1989 1990 - 1997 Negara Kecil 3 1980 – 1989 1990 – 1997 7.2 2.2 7.8 2.3 6.0 2.9 13.9 4.6 2.4 0.6 3.5 1.1 3.7 1.2 6.5 2.3 2.8 3.9 2.1 2.5 2.5 2.1 2.7 2.8 2.8 1.1 2.6 2.1 1.8 2.2 2.7 1.9 1 Kanada, Finlandia, Selandia Baru, Spanyol, Swedia, Inggris 2 Prancis, Jerman, Italy, Jepang, dan Amerika Serikat 3 Belgia, Denmark, Yunani, Islandia, Irlandia, Luxemburg, Norwegia, dan Portugal Sumber: Brooks 1999 dalam Debelle 2000. Mallik dan Chowdhury 2001 melakukan studi inflasi dan pertumbuhan di Asia Selatan, yaitu Bangladesh, India, Pakistan dan Sri Langka. Dengan menggunakan data time series tahunan dianalisis dengan teori kointegrasi dan model 1 Harian KOMPAS, 14 April 2003. Apakah Inflasi yang Rendah Buruk Bagi Perekonomian? 34 koreksi eror ECM. Ada dua hasil yang menarik. Pertama, inflasi dan pertumbuhan ekonomi mempunyai hubungan yang positif. Kedua, Sensitifitas perubahan dari inflasi ke tingkat pertumbuhan lebih besar daripada perubahan dari pertumbuhan ke inflasi. Implikasi dari temuan ini adalah: mengurangi inflasi ke tingkat yang paling rendah nol merugikan pertumbuhan ekonomi. Selain itu, upaya mencapai pertumbuhan yang lebih cepat dapat memanaskan ekonomi yang meluas pada tingkat inflasi yang tidak stabil. Tantangannya adalah menemukan tingkat pertumbuhan yang konsisten dengan tingkat inflasi yang stabil. Dari hasil studi terdahulu, negara-negara yang menerapkan dan mampu mencapai target inflasi yang diinginkan menunjukkan kinerja ekonomi makro yang baik dengan inflasi lebih rendah dan pertumbuhan output menjadi lebih tinggi dengan keragaman inflasi dan output yang lebih rendah. Kondisi seperti ini lebih baik dari kondisi sebaliknya. Untuk kasus Indonesia, target inflasi masih dipengaruhi harga bahan makanan dan situasi politik, kedua faktor tersebut sudah tidak signifikan mempengaruhi target inflasi di negara-negara maju yang lebih dipengaruhi oleh faktor-faktor moneter. Untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang optimal diperlukan pengendalian inflasi. Karena pangsa pengeluaran pangan di Indonesia diduga masih relatif besar maka stablitas ekonomi sangat ditentukan oleh stabilitas harga pangan. Karena itu untuk mengendalikan inflasi diperlukan pengendalian terhadap harga pangan, di antaranya dalam berntuk kebijakan harga pangan. 2.5.Dampak Kebijakan Harga Pangan terhadap Ketahanan Pangan Pasca swasembada beras 1984, terjadi pengurangan investasi di sektor pertanian irigasi dan pembukaan areal pertanian baru dan penghapusan subsidi harga sarana produksi pertanian secara bertahap menyebabkan laju pertumbuhan produksi melambat dan menjelma menjadi faktor risiko utama terhadap ketahanan pangan 35 nasional, pendapatan petani serta akan berdampak pada perekonomian dan stabilitas sosial politik Kasryno et al., 2001. Hasil penelitian Hardono 2003 dengan model rumah tangga menyimpulkan bahwa peningkatan harga input pupuk dan upah buruh tunai berdampak negatif terhadap ketahanan pangan rumah tangga pertanian. Namun dampak tersebut dapat di atasi dengan kenaikan harga output secara proporsional. Menurut PSE 2003, jika tarif impor beras Rp 430,-kg diturunkan menjadi nol persen, maka produksi beras dalam negeri tahun 2003 sebesar 31.78 juta ton, pada tahun 2004 diproyeksikan hanya turun 2,88 juta ton menjadi 28.9 juta ton dan konsumsi meningkat dari 31.5 juta ton menjadi 31.8 juta ton. Sebaliknya jika tarif impor beras dinaikkan menjadi 25 persen atau 50 persen maka produksi dan konsumsi beras domestik diperkirakan tidak akan banyak mengalami perubahan. Bahkan tarif sampai 50 persen akan menyebabkan banyaknya beras penyelundupan yang sulit dikontrol karena keadaan luas wilayah dan berbatasan dengan negara tetangga, sementara itu kuantitas dan kualitas aparat pengawas masih sangat lemah. Berdasarkan hal tersebut penerapan tarif dengan besaran yang optimal masih dapat dilakukan dengan tidak mengganggu kemandirian pangan. Untuk komoditas jagung menunjukkan bahwa penerapan tarif dari nol persen menjadi 25 atau 50 prersen diperkirakan tidak akan banyak meningkatkan produksi jagung domestik, tetapi dapat menurunkan konsumsi. Pada komoditas kedele, peningkatan tarif menjadi 25 atau 50 persen akan relatif meningkatkan produksi domestik yang diikuti dengan sedikit penurunan konsumsi. Sementara itu pada industri gula peningkatan tarif tidak perlu dilakukan karena relatif tidak mendorong produksi dalam negeri, yang perlu didorong adalah peningkatan efisisensi industri gula dalam negeri PSE, 2003. Menurut Hermanto 2002, gejolak harga beras berdampak negatif terhadap daya beli konsumen dan petani produsen berstatus net-consumer dan menghambat 36 rumah tangga tersebut untuk akses terhadap pangan yang dibutuhkan. Karena itu stabilisasi harga beras merupakan salah satu penentu tercapainya ketahanan pangan. Dengan teknik SWOT untuk melihat kinerja kebijakan stabilisasi harga Saliem et al. 2004 menyimpulkan bahwa kebijakan stabilisasi harga dengan instrumen HDG dan HDPP tidak efektif untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani yang berarti juga tidak efektif meningkatkan ketahanan pangan. Ketidakefektifan tersebut disebabkan oleh pengaruh eksternal berupa penurunan harga beras di pasar internasional dan melemahnya nilai tukar dan pengaruh faktor internal disebabkan kurang memadainya infrastruktur produksi dan pemasaran sehingga disparitas harga gabah terhadap harga beras meningkat. Peningkatan disparitas harga tersebut mencerminkan marjin pemasaran yang diterima petani semakin rendah, sehingga peningkatan pendapatan dan kesejahteraan petani menjadi sulit diupayakan. Dari analisis di atas, berkurangnya infrastruktur produksi dan pemasaran pertanian serta pengurangan subsidi input berdampak negatif terhadap ketahanan pangan. Dampak tersebut dapat dikurangi dengan kenaikan harga output secara proporsional. Dengan infrastruktur dan subsidi input yang berkurang serta semakin terbukanya pasar menyebabkan upaya kebijakan harga dengan instrumen HDG dan HDPP tidak efektif untuk meningkatkan ketahanan pangan.

2.6. Dampak Kebijakan Harga Pangan terhadap Indikator Ekonomi Makro