174 Meningkatnya investasi akan meningkatkan suku bunga bank baik nominal
maupun riil. Karena investasi non pangan lebih menguntungkan alokasi dana KLBI untuk pertanian menurun sehingga kebijakan harga pangan menurun. Pengaruh faktor
eksternal, meningkatnya sukubunga mengakibatnya banyak modal asing masuk ke dalam negeri sehingga terjadi kenaikan penawaran dollar AS dan nilai rupiah
menguat. Hal yang sama jika neraca perdagangan mengalami peningkatan. Dengan menguatnya rupiah impor pangan menjadi lebih murah, sehingga dana untuk
kebijakan harga pangan menjadi menurun. Sebaliknya jika nilai tukar melemah, harga pangan impor menjadi meningkat sehingga diperlukan dana lebih besar untuk
melakukan kebijakan harga pangan.
7.2. Respon Dinamik Variabel Ekonomi Makro terhadap Kebijakan Harga
Pangan Respon dinamik variabel ekonomi makro terhadap guncangan stok pangan
yang direprsentasikan oleh adanya kebijakan harga pangan dianalisis dengan menggunakan teknik Impulse Response Function. Namun sebelumnya perlu dibatasi
bagaimana pengaruh gangguan pangan baik positif maupun negatif, terhadap variabel ekonomi makro. Seperti telah diutarakan pada Bab III sebelumnya, menurut Dawe
2002 pengaruh tersebut dapat terjadi pada tiga kondisi yaitu: 1 tanpa intervensi pemerintah dan ekonomi tertutup, 2 ada intervensi pemerintah berupa kebijakan
buffer stock dan perekonomian tertutup, dan 3 pada perekonomian terbuka.
Kondisi yang digunakan pada penelitian ini sesuai dengan kondisi saat ini yaitu ada intervensi pemerintah berupa kebijakan buffer stock dan perekonomian
terbuka. Namun karena dalam prakteknya pasar pangan dunia, khususnya beras, terbatas maka gangguan stok pangan tidak dengan mudah distabilisasi oleh
keberadaan pasar internasional. Di samping itu kebijakan harga pangan yang dimaksud tidak hanya kebijakan buffer stock tetapi termasuk kebijakan harga input.
175 Pengaruh guncangan kebijakan harga pangan sebesar satu standar deviasi
terhadap stabilitas ekonomi makro di Indonesia dapat dilihat pada Gambar 35 – Gambar 43, sedangkan data lengkapnya dapat dilihat pada
Lampiran 23. Guncangan kebijakan harga pangan dapat berupa impor pangan dan input
produksi pertanian seperti pupuk TSP dan KCl dan pestisida. Akibatnya BOT yang masih surplus 9.9 juta USD pada saat terjadi guncangan pada triwulan pertama
menjadi defisit 51.8 juta USD. Defisit terus membesar hingga triwulan ke 16 yaitu sebesar 104.5 juta USD. Setelah itu defisit sedikit berkurang dan mulai stabil pada
triwulan ke-14 hingga dalam jangka panjang defisit stabil pada nilai 98.8 juta USD. Meningkatnya Kebijakan harga pada triwulan pertama menyebabkan PDB
mengalami ekspansi. Hal ini disebabkan oleh meningkatnya penawaran uang akibat kebijakan harga sehingga merangsang aktivitas ekonomi. Namun karena sebagian
dana kebijakan harga pangan tersebut digunakan untuk impor, maka pada triwulan 2 – 4 PDB mengalami kontraksi mencapai angka terendah pada triwulan ke-4 yaitu -
0.99 persen. Selanjutnya secara fluktuatif PDB cenderung mengalami ekspansi dan mulai stabil pada triwulan ke 13 hingga dalam jangka panjang pertumbuhan PDB
stabil pada – 0.84 persen. Dengan demikian setiap peningkatan satu standar deviasi kebijakan harga pangan akan menurunkan PDB sebesar 0.84 persen.
Kontraksinya aktivitas ekonomi menyebabkan penerimaan pemerintah menjadi menurun, sehingga sejak dilakukan guncangan kebijakan harga pangan maka
pertumbuhan dana yang digunakan untuk mendukung kebijakan tersebut cenderung menurun dari 27.95 persen pada awal kebijakan mengalami pertumbuhan terendah
menjadi 16.42 persen pada triwulan ke 13. Pertumbuhan mulai stabil pada triwulan ke-18 dan dalam jangka panjang stabil kembali pada pertumbuhan 17.47 persen.
176
Gambar 39. Respon Kebijakan Harga Pangan terhadap Guncangan Kebijakan Harga Pangan
Gambar 35. Respon Kebijakan Harga Pangan terhadap Guncangan
Kebijakan Harga Pangan
Gambar 36. Respon Neraca Perdagangan terhadap Guncangan Kebijakan Harga
Gambar 37. Respon PDB terhadap Guncangan Kebijakan Harga Pangan
Respon Kebijakan Harga Pangan
Triwulan 0.10
0.15 0.20
0.25 0.30
5 10
15 20
25 30
35
Respon Neraca Perdagangan
Triwulan -50
-100 -150
50
5 10
15 20
25 30
35
Respon PDB
Triwulan -0.003
-0.005 -0.007
-0.009 -0.011
-0.001
5 10
15 20
25 30
35
177
Gambar 38. Respon Penawaran Uang terhadap Guncangan Kebijakan Harga
Pangan
Gambar 39. Respon Inflasi terhadap Guncangan Kebijakan Harga Pangan
Gambar 42. Respon Inflasi terhadap Guncangan Kebijakan Harga Pangan
Gambar 40. Respon Suku Bunga terhadap Guncangan Kebijakan Harga Pangan
Respon Inflasi
Triwulan 0.000
0.005 0.010
0.015 0.020
5 10
15 20
25 30
35
Respon Suku Bunga
Triwulan -0.1
-0.2 -0.3
-0.4 -0.5
0.0 0.1
0.2
5 10
15 20
25 30
35 Penawar
an Uang
Triwulan 0.005
0.007 0.009
0.011 0.013
0.015
5 10
15 20
25 30
35
178
Gambar 41 Respon Investasi terhadap Guncangan Kebijakan Harga Pangan Gambar 41. Respon Pengangguran Guncangan Kebijakan Harga Pangan
Gambar 42 Respon Nilai Tukar terhadap Guncangan Kebijakan Harga Pangan
Gambar 43. Respon Pengangguran terhadap Guncangan Kebijakan Harga Pangan
Respon Penganggur an
Triwulan -0.005
-0.010 -0.015
-0.020 0.000
5 10
15 20
25 30
35 Respons Investasi
Triwulan -0.02
-0.04 -0.06
-0.08 0.00
0.02 0.04
0.06
5 10
15 20
25 30
35
Respon Nilai Tukar
Triwulanan 0.01
0.02 0.03
0.04 0.05
5 10
15 20
25 30
35
179 Di pasar uang dampak kebijakan harga pangan pada triwulan pertama
meningkatkan penawaran uang 1.47 persen karena dana kebijakan harga sebagian berasal dari dana segar KLBI. Peningkatan penawaran uang diikuti oleh peningkatan
inflasi sebesar 0.11 persen. Dugaan terjadinya inflasi akibat kebijakan harga diantisipasi pihak Bank Indonesia dengan melakukan sterilisasi sehingga penawaran
uang menurun mencapai titik terendah hingga 0.54 persen triwulan ke-6 yang diikuti dengan penurunan inflasi.
Sterilisasi yang dilakukan hingga triwulan ke-6 ternyata terlalu berlebihan sehingga menyebabkan PDB kontraksi hingga triwulan ke –4. Oleh karena itu Bank
Indonesia meningkatkan kembali jumlah penawaran uang ke posisi hampir sama dengan posisi awal yang mulai stabil pada triwulan ke 25 dan dalam jangka panjang
stabil pada 1.14 persen. Naiknya penawaran uang sejak triwulan ketujuh menyebabkan PDB mengalami sedikit ekspansi. Jadi terlihat jelas adanya hubungan
antara penawaran uang, inflasi dan PDB. Hanya saja penawaran uang dan Inflasi sifatnya lebih volatil dibandingkan PDB. Hal ini disebabkan pemerintah melakukan
intervensi terhadap penawaran uang dan efeknya berdampak langsung pada inflasi. Pada triwulan pertama naiknya penawaran uang dan inflasi menyebabkan suku
bunga riil meningkat pada triwulan pertama. Tetapi ketika inflasi meningkat mencapai nilai tertinggi pada triwulan ke-5 yaitu 1.52 persen maka suku bunga riil menjadi
turun mencapai titik terendah pada triwulan ke-3 yaitu –0.43 persen. Turunnya suku bunga tidak direspon oleh investor, apalagi saat suku bunga naik kembali mencapai
titik tertinggi pada triwulan ke-8 yaitu 0.14 persen. Suku bunga tersebut kemudian turun kembali dan mulai stabil pada triwulan ke-21 dan dalam jangka panjang stabil
pada tingkat -0.05 persen Kenaikan suku bunga riil ini disebabkan karena menurunnya inflasi dan mulai stabil pada triwulan ke-9 kemudian dalam jangka
panjang stabil pada tingkat 1.04 persen.
180 Kenaikan suku bunga menyebabkan investasi mengalami penurunan dan
mencapai titik terendah pada triwulan ke-6 yaitu –7.43 persen. Investasi mulai stabil kembali pada triwulan ke-18 dan dalam jangka panjang stabil pada angka -5.68
persen. Penurunan investasi ini menyebabkan PDB kontraksi. Jadi penurunan PDB disebabkan oleh dua hal yaitu menurunnya investasi dan neraca perdagangan.
Ternyata guncangan kebijakan harga pangan dalam jangka panjang tidak berpengaruh terhadap suku bunga. Kondisi suku bunga yang fluktuatif dan kembali stabil pada
kondisi semula ini mungkin yang menyebabkan investor tidak perlu meresponnya. Turunnya suku bunga domestik menyebabkan terjadinya pelarian modal ke
luar negeri. Untuk itu dibutuhkan dollar sehingga permintaan dollar AS meningkat dan rupiah terdepresiasi mencapai nilai tertinggi yaitu 4.56 persen pada triwulan ke-3.
Sebaliknya saat suku bunga meningkat terjadi kapital inflow dan rupiah menguat lagi kondisi ini menyebabkan nilai tukar mulai stabil pada triwulan ke-18 kemudian dalam
jangka panjang menjadi stabil relatif sama pada kondisi sebelum ada guncangan kebijakan harga pangan yaitu pada tingkat 2.35. Artinya guncangan kebijakan harga
pangan tidak berpengaruh besar terhadap nilai tukar rupiah. Di pasar tenaga kerja naiknya harga barang atau inflasi direspon pengusaha
dengan meningkatkan permintaan tenaga kerja hingga triwulan ke-2 setelah guncangan terjadi pengurangan pengangguran mencapai titik terendah yaitu – 1.81
persen. Namun setelah diamati ternyata inflasi yang terjadi akibat impor bukan akibat meningkatnya permintaan produk dalam negeri. Kondisi ini menyebabkan pengusaha
menurunkan permintaan tenaga kerja sehingga pengangguran meningkat kembali dan mulai stabil pada triwulan ke-14 kemudian dalam jangka panjang stabil mendekati
kondisi semula yaitu –0.64 persen. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa dalam jangka panjang
keseimbangan yang terjadi akibat guncangan kebijakan harga pangan menyebabkan
181 stagflasi yaitu peningkatan inflasi dan kontraksi ekonomi. Sementara itu nilai tukar,
suku bunga, penawaran uang dan tingkat pengangguran relatif stabil. Stabilnya penawaran uang menunjukkan ketatnya pihak Bank Indonesia melakukan
pengendalian Inflasi melalui pengendalian penawaran uang. Ketatnya pengendalian penawaran uang termasuk dalam mengeluarkan dana
KLBI untuk program kebijakan harga pangan selalu dilakukan oleh Bank Indonesia. Hal ini sesuai dengan hasil komunikasi langsung dengan Staf Biro Kredit Bank
Indonesia sebagai berikut: Saat ada dana KLBI, status BI merupakan bagian dari Pemerintah. Dengan
demikian jika ada sektor yang dianggap prioritas maka diperlukan bantuan dana dari BI yang merupakan fresh money sehingga menyebabkan penawaran uang meningkat.
Untuk melihat dampak meningkatnya penawaran uang terhadap inflasi, setiap minggu dilakukan evaluasi. Apakah perlu dilakukan operasi pasar terbuka dengan SBI atau
tidak. Umumnya dilakukan operasi pasar namun tidak selalu 100 1 : 1, tetapi sangat tergantung pada kondisi pasar. Setelah tahun 1999 dengan UU BI No. 23 tidak
demikian lagi. Karena BI sudah merupakan lembaga yang independen. Kalaupun KLBI masih ada, hanya merupakan sisa-sisa dana yang merupakan hasil kesepakatan
sebelum tahun 1999. Jika diamati lebih rinci Tabel 26 dinamika inflasi dimulai dari 0.00 persen
saat guncangan menjadi 1.52 persen pada saat terjadi inflasi tertinggi pada triwulan ke-5 dan kemudian stabil pada tingkat inflasi 1.04 persen. Kenaikan yang terjadi
hanya sekitar 1.00 persen. Kenaikan tersebut tidak memberikan efek besar bagi perekonomian.
Kontraksi PDB saat guncangan terjadi sebesar –0.34 persen kemudian kontraksi paling dalam terjadi pada triwulan ke-4 yaitu –0.99 dan dalam jangka
panjang stabil menjadi -0.84 persen. Peurunan pertumbuhan hanya –0.65 persen
182 merupakan angka yang relatif kecil sehingga dapat dikatakan kebijakan harga pangan
tidak berdampak signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Terjadinya stagflasi disebabkan kebijakan harga pangan yang dilakukan masih
didukung dengan pengadaan pangan impor beras, jagung, kedele, gula, dll. Peningkatan impor menurunkan BOT akibatnya PDB mengalami kontraksi dan inflasi
juga meningkat. Kedepan sebaiknya kebijakan harga pangan dilakukan dengan dominan mengandalkan produksi dalam negeri sehingga tidak menurunkan BOT dan
diduga akan menyebabkan PDB ekspansi. Hasil studi Suparmin 2005 juga menyarankan hal yang senada yaitu jika
konsumsi beras terus meningkat diversifikasi pangan pokok tetap tidak berlangsung, maka diperlukan adanya peningkatan suplai yang berkesinambungan melalui upaya
peningkatan produktivitas perluas areal panen, dan pengurangan kehilangan pasca panen. Namun karena modelnya tidak memasukkan unsur BOT yang mempengaruhi
permintaan agregat dan pertumbuhan ekonomi maka dengan tujuan untuk stabilisasi harga berasgabah Suparmin 2005 juga menganjurkan peningkatan impor beras.
7.3. Respon Dinamik Variabel Ekonomi Makro terhadap Guncangan Kebijakan Moneter