41 sebagai dasar perlunya dilakukan kajian tentang keterkaitan kebijakan harga pangan
terhadap ketahanan pangan dan stabilitas ekonomi makro, 2 tidak lagi menganalisis harga pangan yang sudah dilakukan peneliti sebelumnya, tetapi mengkaji kebijakan
harga pangan yang menentukan stabilitas harga pangan itu sendiri, 3 pangan yang dianalisis tidak hanya beras, tetapi termasuk beberapa bahan pangan yang relevan
dengan sasaran komoditas dari kebijakan harga pangan. Selama ini banyak statemen yang menyatakan bahwa pentingnya stabilisasi
harga pangan karena pengaruhnya sangat signifikan terhadap stablitas ekonomi makro, terutama inflasi dan ketahanan pangan yang secara luas akan mempengaruhi
pembangunan nasional. Pernyataan-pernyataan tersebut lebih didasarkan pada pengalaman empiris sejak tahun 1945 hingga krisis ekonomi tahun 1998.
Penelitian empiris tentang hal itu masih belum banyak dilakukan. Kalaupun ada terbatas pada pengaruh harga beras terhadap inflasi. Bedasarkan hal tersebut maka
penelitian ini menjadi penting untuk dilakukan, sehingga pengalaman-pengalaman empiris yang selama ini terjadi dapat dikaji perilakunya untuk digunakan merancang
kebijakan yang lebih efektif mencapai sasaran pembangunan yang diinginkan.
2.7. Biaya dan Manfaat Kebijakan Harga Pangan
2.7.1. Biaya Stabilisasi Harga Pangan
Kebijakan harga pangan dapat berupa kebijakan harga output, kebijakan impor pangan dan kebijakan subsidi input. Menurut Sadoulet dan de Janvry 1995
kebijakan tersebut merupakan alat utama intervensi pemerintah untuk meningkatkan kontribusi pertanian terhadap pembangunan ekonomi atau meningkatkan
kesejahteraan rumah tangga petani. Namun kebijakan yang menyebabkan distorsi tersebut menjadi perdebatan berbagai grup kepentingan yang mewakili produsen,
konsumen, pemerintah, kompetitor internasional dan ahli lingkungan. Berdasarkan
42 analisis keseimbangan parsial, kebijakan tersebut menimbulkan inefisiensi jika
dibandingkan dengan kondisi pasar persaingan sempurna sebagai patokan. Berikut diuraikan dampak berbagai kebijakan.terhadap kesejahteraan.
Kebijakan subsidi produsen menjamin harga produsen Pp di atas harga yang dibayar konsumen Pc yang sama dengan harga batas Pb
1
Gambar 1. Kebijakan ini meningkatkan kesejahteraan produsen
2 1
+ =
∆PS , tidak memberikan dampak
terhadap kesejahteraan konsumen CS ∆
=0. Untuk kebijakan tersebut pemerintah mengeluarkan biaya
3 2
1 −
− −
= ∆B
, sehingga secara keseluruhan menimbulkan inefisiensi Net Social Gain=NSG= - 3.
P
Pp 1 2 3
Pb=Pc
0 Q Gambar 1. Dampak Subsidi Produsen terhadap Kesejahteraan
Pada kebijakan subsidi konsumen, pemerintah menetapkan harga konsumen Pc
di bawah harga jual produsen Pp yang sama dengan harga batas Pb Gambar 2. Kebijakan ini tidak mempengaruhi kesejahteraan produsen
= ∆PS
, konsumen diuntungkan CS
∆ =1+2. Pemerintah menanggung biaya subsidi yang sangat besar
3 2
1 −
− −
= ∆B
, sehingga menimbulkan inefisiensi Net Social Gain = - 3.
1
Pb=e.Ps, dimana e adalah nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing dan Ps harga dunia dalam mata uang asing.
43 P
Pb 1 2 3
Pc
0 Q
Gambar 2. Dampak Subsidi Konsumen terhadap Kesejahteraan Jika pemerintah mensubsidi input produksi, petani akan menjadi akses pada
teknologi dan dampaknya menggeser kurva penawaran ke kanan dari S
1
ke S
2
Gambar 3. Akibatnya produksi meningkat dan harga turun. Konsumen dan produsen memperoleh manfaat masing-masing
2 1
+ =
∆CS dan
= ∆PS 4-1, sehingga
dampak penggunaan teknologi memberikan manfaat positif NSG=2+4. Manfaat keseluruhan merupakan selisih antara manfaat akibat perubahan teknologi dengan
biaya akibat subsidi input. P S
1
S
2
P
1
1 2 P
2
3 4
0 Q Gambar 3. Dampak Perubahan Teknologi terhadap Kesejahteraan
44 Kebijakan untuk mencapai ketahanan pangan yang lebih mandiri dilakukan
dengan mengenakan tarif impor produk pangan Gambar 4. Produsen memperoleh manfaat
= ∆PS 1, namun konsumen dikenai pajak
= ∆CS -1-2-3-4. Pemerintah
memperoleh manfaat =
∆B 3 dari penerimaan tarif impor. Secara keseluruhan pengaruh redistributif dari konsumen ke produsen dan Pemerintah menimbulkan
kerugian NSG= -2 -4.
P
P 1 2 3 4 tarif
Pb
0 Q Gambar 4. Dampak Tarif Impor terhadap Kesejahteraan
Menurut Amang dan Sawit 2001 manajemen stok yang merupakan inti dari kebijakan harga pangan memerlukan biaya. Biaya tersebut meliputi biaya pengadaan,
eksploitasi
1
dan manajemen
2
Tabel 8. Demikian juga dengan program OPK membutuhkan biaya yang terdiri dari subsidi langsung, biaya operasional, biaya tidak
langsung dan biaya insentif. Biaya tidak langsung adalah biaya yang dikeluarkan masyarakat untuk mengangkut beras dari titik distribusi ke tempat masing-masing.
Biaya insentif adalah subsidi kurs untuk impor beras yang dilakukan Bulog Tabel 9.
1
meliputi biaya penanganan, transportasi, penyimpanan dan distribusi.
2
meliputi biaya administrasi dan penelitian.
45 Tabel 8. Biaya Stabilisasi Harga Beras yang Dikeluarkan Bulog, Tahun 19961997
Rincian Biaya Persentase
1. Eksploitasi
2. Manajemen
3. Susut Komoditas
4. Bunga bank termasuk administrasi
27.37 17.31
4.89 50.43
Total Total Rp juta
100.00 1 136 069
Sumber: Amang dan Sawit 2001
Tabel 9. Biaya Program Operasi Pasar Khusus Periode Agustus 1998-Agustus 1999 Rincian Biaya
Nilai Rp Milyar 1.
Subsidi beras 2.
Biaya operasional 3.
Biaya tidak langsung 4.
Biaya insentif 2 400
267 63
628 Total
3 358
Sumber: Tabor dan Sawit 1999 dalam Amang dan Sawit 2001
Jika biaya manajemen stok relatif tinggi bukan berarti fungsi tersebut dihilangkan, melainkan perlu dilakukan perbaikan manajemen untuk meningkatkan
efisiensi. Karena pada prinsipnya manajemen stok yang dilakukan dengan baik dapat memberikan manfaat secara langsung mikro maupun tidak langsung makro.
Menurut Suparmin 2005, beberapa hal yang mempengaruhi biaya manajemen stok beras Bulog adalah: 1 jumlah stok yang besar dapat membantu
kegiatan distribusi sekaligus untuk stabilisasi harga, namun merupakan beban jika disimpan terlalu lama karena biaya simpan menjadi besar dan berakibat lebih lanjut
pada penurunan pembelian Bulog sehingga harga gabah menurun akibat kelebihan penawaran di pasar, 2 pembelian gabah petani oleh Sub Dolog melalui pedagang
46 besar akan lebih efisien dibandingkan membeli langsung ke petani, namun hal itu
menyebabkan stabilitas harga gabah yang diterima petani menurun, 3 negosiasi antara Bulog dan Menteri Keuangan dalam menentukan subsidi kepada Bulog
membutuhkan biaya transaksi yang harus dibebankan pada biaya manajemen stok, 4 jual beli delivery order merupakan modus penyelewengan yang dilakukan merupakan
biaya dalam manajemen stok. Jika dilakukan dengan efisien dan tanpa penyelewengan, secara teori selain
memberikan manfaat positif melalui efek pengganda, upaya manajemen stok secara langsung juga akan meningkatkan kesejahteraan Ellis, 1992. Gambar 5
menunjukkan jika terjadi goncangan penawaran, perpotongan kurva penawaran tidak diperlihatkan dengan kurva permintaan berkisar diantara A dan B. Dengan kebijakan
manajemen stok, harga akan distabilkan di tengah dua titik tersebut.
P D
P
2
A Pe a b
P
1
c d e f B g h
D 0 Q
2
Qe Q
1
Q Gambar
5. Dampak Kesejahteraan Kebijakan Stabilisasi Harga Ketika terjadi Perubahan Penawaran
47 Secara total, efek kebijakan tersebut diuraikan sebagai berikut:
1. Jika penawaran mengalami defisit sehingga produksi turun dari Qe ke Q
2
menyebabkan harga naik dari Pe ke P
2
. Melalui kebijakan manajemen stok, dilakukan penjualan stok ke pasar sehingga harga tetap di Pe. Dampak kebijakan
ini adalah: a.
= ∆CS a + b
b. =
∆PS - a c.
Pendapatan penjualan stok = d + g 2.
Jika terjadi kelebihan penawaran sehingga produksi naik dari Qe ke Q
1
menyebabkan harga turun dari Pe ke P
1
. Melalui kebijakan manajemen stok, dilakukan penjualan stok ke pasar sehingga harga tetap di Pe. Otoritas melakukan
pembelian kelebihan produksi untuk keperluan stok. Dampak kebijakan ini adalah:
a. =
∆CS - c + d + e b.
= ∆PS c + d + e + f
c. Biaya Pembelian untuk stok = - e + f + h
3. Efek total dari kebijakan manajemen stok tersebut adalah:
a. Manfaat-Biaya manajemen stok saling meniadakan: d + g = e + f + h
b. =
∆CS - d sebab c + e = a + b c.
= ∆PS d + e + f
d. Kesejahteraan total: e + f
Kesejahteraan tersebut akan diperoleh jika tidak ada biaya yang dikeluarkan untuk gudang dan administrasi lain. Kenyataanya dibutuhkan biaya, selagi biaya
tersebut lebih kecil atau sama dengan e + f kegiatan manajemen stok layak dilakukan.
48 Stabilisasi harga juga dilakukan oleh bank sentral di beberapa negara maju
1
dengan kebijakan moneter. Kebijakan tersebut mendapat kritik dari beberapa ahli analisis kesejahteraan manfaat-biaya yang menyatakan biaya dalam mendukung
stabilisasi harga lebih besar dibandingkan manfaatnya Saxton, 1997. Lima kritikan terhadap kebijakan tersebut adalah:
1. Mandat stabilisasi harga sebagai tujuan utama kebijakan moneter hanya akan
menghilangkan alat kebijakan ekonomi pemerintah yang mampu menstabilkan ekonomi makro. Dalam kondisi kebijakan fiskal dengan anggaran berimbang,
defisit kebijakan fiskal tidak lagi dapat berperan untuk stabilisasi harga. Oleh karena itu kebijakan moneter harus menjaga fleksibilitasnya untuk dapat bertindak
sebagai stabilisasi. Tanpa fleksibilitas ini, tidak satupun yang dapat menstabilkan ekonomi makro dari berbagai gangguan.
2. Target stabilitas harga yang ketat melalui kebijakan moneter adalah suboptimal
jika penyesuaian pasar tenaga kerja tidak bekerja dalam menghadapi gangguan pengangguran dan upahnya tidak fleksibel. Dengan menurunnya kekakuan upah
nominal, inflasi positif adalah penting untuk memicu penyesuaian pasar tenaga kerja terhadap gangguan pengangguran. Dengan demikian, biaya untuk
menghapuskan inflasi lebih tinggi dibandingkan yang diduga karena pada tingkat inflasi rendah akan muncul trade-off permanen antara pengangguran dan inflasi;
biaya pengangguran dalam menghapuskan inflasi meningkat jika inflasi mendekati nol. Artinya, stabilitas harga akan berakibat pada meningkatnya
pengangguran. 3.
Inflasi positif adalah penting agar kebijakan moneter dapat memicu kebijakan ekspansif dengan suku bunga rendah. Dengan tingkat inflasi positif, bank sentral
dapat merespon gangguan permintaan agregat negatif dengan mengarahkan suku
1
Australia, Kanada, Finlandia, Spanyol, Swedia dan United Kingdom.
49 bunga nominal jangka pendek di bawah inflasi yang diharapkan, sehingga dana
bank sentral menjadi negatif dan memacu ekonomi. Dengan stabilisasi harga inflasi nol dan suku bunga nominal nol akan membatasi kemampuan bank
sentral untuk menurunkan suku bunga riil dan memicu ekonomi. Jadi inflasi nol akan menjadi kendala bagi kebijakan moneter sehingga bank sentral tidak
mempunyai kebebasan dan kemampuan untuk mendorong kebijakan ekspansif. Oleh karena itu stabilitas harga memiliki risiko, sedangkan inflasi positif
membuat opsi kebijakan moneter lebih luas. 4.
Ketika terjadi inflasi adalah lebih baik mentoleransi inflasi rendah dibandingkan mengeluarkan biaya untuk menurunkan inflasi sampai level nol. Analisis
kesejahteraan menunjukkan bahwa menurunkan inflasi ke nol adalah tidak tepat jika tingkat inflasinya rendah, karena biayanya lebih besar dibandingkan
manfaatnya. Namun mengevaluasi argumen ini sulit karena diperlukan penilaian yang tepat dengan pengukuran yang komprehensif dan akurat dari biaya dan
manfaat yang ditimbulkan. 5.
Tingkat inflasi yang sebenarnya tidak dapat diukur secara akurat dengan luasnya indeks harga seperti indeks harga konsemen. Terdapat bias indeks harga
konsumen dalam pendugaan inflasi yaitu tingkat inflasi yang sebenarnya di bawah tingkat yang diukur. Bias ini berimplikasi bahwa indeks harga konsumen tidak
dapat digunakan sebagai tujuan kebijakan yang berdaya guna. Konsekuensinya, stabilitas harga atau target inflasi tidak dapat bekerja sebagai suatu strategi untuk
kebijakan moneter dan dalam prakteknya tidak dapat diterapkan. Pendugaan bias inflasi indeks harga konsumen adalah bervariasi, tetapi berkisar antara 0.5 persen
sampai 2.0 persen per tahun. Dari uraian di atas ternyata stabilitasi harga dilakukan baik oleh negara sedang
berkembang maupun negara maju. Perbedaan perekonomian negara tersebut
50 berimplikasi perbedaan kebijakan yang diambil. Pada negara sedang berkembang
dimana pangsa pengeluaran pangan lebih besar dari pangsa pengeluaran lainnya kebijakan harga pangan menjadi lebih penting dibandingkan pada negara maju yang
lebih pada kebijakan target inflasi yang biasanya dilakukan melalui pengendalian penawaran uang dan tingkat suku bunga. Kedua upaya tersebut membutuhkan biaya
yang tidak sedikit sehingga banyak mendapat kritikan. Namun dengan alasan yang lebih jauh yaitu kestabilan sosial dan politik. Biaya tersebut tidak menjadi penghalang
bagi negara-negara tertentu untuk melakukannnya.
2.7.2. Manfaat Stabilisasi Harga Pangan
Menurut Timmer 1996 dan Dawe 1995 biaya yang dikeluarkan untuk menstabilkan harga seharusnya tidak hanya dinilai dari segi untungrugi sebuah
perusahaan, akan tetapi harus dilihat kaitannya dengan kestabilan ekonomi makro, pertumbuhan ekonomi, investasi disektor beras, investasi di sektor terkait lainnya,
hankam, politik dan aspek sosial lainnya. Termasuk ketahanan pangan yang berkaitan dengan kualitas sumberdaya manusia dan tercapainya pembangunan nasional.
Menurut Moelyono 2002, motif kebijakan stabilissi harga secara umum adalah agar terpelihara kepastian kepada produsen, pedagang dan konsumen.
Kepastian ini melahirkan perasaan aman dan keyakinan, sehingga kalkulasi-kalkulasi investasi dapat dilakukan dengan teratur, kalkulasi-kalkulasi pendapatan dapat
dilakukan tanpa meleset banyak dan kalkulasi-kalkulasi pengeluaran dapat dilakukan dengan agak pasti. Dengan demikian stabilisasi mendorong efisiensi pada umumnya
dan efisiensi dalam pengambilan keputusan. Menurut Amang dan Sawit 2001, ada tiga alasan perlunya dilakukan
stabilisasi harga pangan:
51 1.
Ketidakstabilan harga pangan dapat mengurangi minat investasi pada tingkat usahatani dari seharusnya, sebab petani tidak terangsang menggunakan teknologi
baru dan alat-alat pertanian. Akibat selanjutnya menurunkan investasi pada kegiatan pemasaran dan pengolahan.
2. Sektor industri amat berkepentingan atas stabilisasi harga pangan karena amat
terkait dengan upah tenaga kerja. Jika pangan cukup maka produktivitas tenaga kerja tinggi sehingga berpengaruh positif terhadap tingkat efisiensi suatu
perusahaan. Stabilnya harga pangan akan mendorong investasi jangka panjang. Selain itu stabilnya harga pangan terkait dengan stabilitas politik, sehingga
mendorong peningkatan investasi dan berpengaruh positif terhadap penyerapan tenaga kerja dan pertumbuhan ekonomi.
3. Konsumen mengalami kerugian apabila harga pangan tidak stabil, terutama
kelompok pendapatan rendah, sebab mereka lebih peka terhadap perubahan harga pangan. Jika ini terganggu akan mudah memicu berbagai kekerasan sosial yang
mengganggu stabilitas politik. Pengalaman selama ini Malari 1975 dan Kirisis Ekonomi 1978 cukup besar kerugian akibat dari kerusuhan yang ditimbulkan
oleh kekerasan sosial. Dari sisi metodologis, menurut Sadoulet dan de Janvry 1995 analisis
keseimbangan parsial cenderung menekankan pengaruh negatif statis distorsi harga dan mengabaikan pengaruh dinamis positif. Sebenarnya ada beberapa pengaruh
positif dari kebijakan distorsi harga tersebut, seperti perubahan pendapatan dan biaya yang menggeser kurva permintaan dan penawaran, interaksi antar pasar dengan
produk atau faktor yang saling bersubstitusi atau komplemen dalam produksi atau konsumsi, pengaruh nilai tukar dan tabungan, investasi serta pengaruh penerimaan
publik, pendapatan pemerintah dari pajak yang digunakan untuk menurunkan biaya
52 transportasi, subsidi temporer untuk mendapatkan skala ekonomi dan redistribusi
pendapatan bagi penduduk miskin. Analisis mengenai stabilisasi harga pangan jarang dianalisis secara
menyeluruh dalam suatu konteks ekonomi makro. Padahal cara ini sangat bermanfaat dibanding dengan analisa parsial yang selama ini hanya ditujukan untuk menentang
argumen perlunya stabilisasi harga Dawe 1995. Stabilisasi harga beras untuk Indonesia oleh Dawe 1995 telah dibuktikan dapat menguntungkan tidak saja
produsen dan konsumen manfaat ekonomi mikro tapi juga manfaat ekonomi makro. Secara teori, dampak keuntungan yang ditimbulkan dari suatu kebijakan
stabilisasi harga pangan dalam bentuk transfer Tr pemerintah. Hal itu diuraikan pada persamaan berikut.
Pendapatan nasional didefinisikan sebagai berikut: Y = C + I + G + X
1 Jika konsumsi, investasi dan ekspor bersih didefinisikan seperti persamaan 2, 3
dan 4 maka persamaan 1 berubah menjadi persamaan 5. C = C + c Yd
2 ki
I I
− =
3 mY
X X
− =
4 Y = C + c Yd + I - ki + G + X - m Y
5 Jika disposible income Yd didefinisikan seperti persamaan 6 maka persamaan 5
berubah menjadi persamaan 7 Tr
tY Tx
Y Yd
− +
− =
6 Y = [C + c{Y – Tx + tY – Tr}] + I – ki + G + X - mY
7 Y = C + cY – cTx - ctY + cTr + I - ki + G + X - mY
Y = C + I + G + X + Yc – ct – m + cTr – Tx – ki Y – Yc – ct - m = C + I + G + X + cTr – Tx – ki
53 Y {1 – c –ct – m} = C + I + G + X + cTr – Tx – ki
Y = }
1 {
m ct
c ki
Tx Tr
c X
G I
C −
− −
− −
+ +
+ +
1 ]
[ m
ct c
ki Tx
Tr c
X G
I C
Y +
+ −
− −
+ +
+ +
=
8
Dari persamaan 8 di atas diperoleh efek pengganda fiskal f sebesar :
1 1
m ct
c f
+ +
− =
9
Meningkatnya pembayaran transfer Tr akan meningkatkan pendapatan nasional sebesar sebesar f. Angka efek pengganda fiskal tersebut untuk kelompok
berpendapatan rendah adalah tinggi karena rumah tangga miskin selalu dicirikan nilai c
yang tinggi dan nilai m yang rendah. Dengan demikian ternyata kebijakan stabilisasi dapat memberikan efek positif terhadap perekonomian nasional.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa implementasi kebijakan harga pangan membutuhkan biaya yang cukup besar. Secara teori, dengan analisis parsial
kebijakan tersebut memberikan kerugian sosial, namun dengan kondisi perekonomian nasional yang sebagian masyarakatnya masih menghadapi masalah dengan daya beli
terhadap pangan, analisis secara makro menunjukkan bahwa kebijakan harga pangan memberikan efek multiplier yang mampu memberikan pertumbuhan ekonomi. Hal
utama yang perlu dilakukan adalah meningkatkan kualitas dalam implementasi kebijakan sehingga kebocoran yang tidak diinginkan dapat dihilangkan.
54
III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka