Kerangka Konseptual KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka

77 Dari uraian di atas dapat dilihat bahwa gangguan panen atau panen raya dapat mempengaruhi kondisi ekonomi makro melalui berbagai jalur, di antaranya melalui inflasi, suku bunga bank, pertumbuhan ekonomi, investasi, kurva produksi agregat, dan penawaran uang. Untuk mengantisipasi dampak gangguan panen atau panen raya terhadap stabilitas ekonomi makro pemerintah melakukan kebijakan harga pangan. Tujuan utama kebijakan harga pangan adalah untuk meningkatkan ketersedian dan konsumsi pangan yang berkaitan dengan aspek ketahanan pangan. Kebijakan harga pangan juga diharapkan mampu meredam instabilitas ekonomi makro akibat adanya gangguan panen atau panen raya. Namun demikian kebijakan harga pangan yang menggunakan dana Kredit Likuiditas Bank Indonesia KLBI dan APBN yang tidak terkendali juga dapat menyebabkan instabilitas ekonomi. Karena KLBI yang bersumber dari Bank Indonesia merupakan dana segar sehingga jika dana kebijakan harga pangan dari KLBI meningkat berarti penawaran uang meningkat. Demikian juga peningakatan dana APBN akan meningkatkan permintaan agregat. Peningkatan penawaran uang dan permintaan agregat akibat dari kebijakan harga pangan akan memicu terjadinya inflasi. Dengan menggunakan model VECM penelitian ini akan melihat bagaimana dampak dan pengaruh kebijakan harga pangan terhadap stabilitas ekonomi makro.

3.2. Kerangka Konseptual

3.2.1. Bentuk Kebijakan Harga Pangan

Kenaikan harga merupakan kondisi yang relatif disukai produsen dan akan mendorong produsen untuk berproduksi. Namun, jika peningkatan produksi tidak diikuti dengan kenaikan daya beli konsumen akan menjadi sia-sia. Sebaliknya penurunan harga relatif disukai konsumen dan akan meningkatkan daya beli. Akan tetapi peningkatan daya beli tidak ada gunanya jika tidak diikuti peningkatan 78 produksi. Keadaan yang dinginkan adalah terjadi pertumbuhan output dengan tingkat inflasi yang moderat terkendali dan terjaminnya ketahanan pangan. Inflasi yang fluktuatif, walaupun diikuti dengan pertumbuhan output yang tinggi kurang disukai, karena menyebabkan ketidakpastian ekonomi, sosial, dan politik. Berdasarkan pemikiran tersebut maka stabilisasi harga merupakan suatu opsi kebijakan yang banyak mendapat perhatian. Berdasarkan penyebabnya, kebijakan stabilisasi harga atau stabilisasi harga dapat dilakukan dengan melakukan kebijakan harga pangan, yaitu kebijakan harga dasar floor price dan kebijakan harga tertinggi ceiling price. Kebijakan ini menyebabkan ketidakseimbangan pasar, sehingga diperlukan kebijakan pendukung yaitu melakukan stok atau ekspor saat kebijakan harga dasar ditetapkan dan melakukan operasi pasar saat kebijakan harga atap ditetapkan Sugiarto et al. 2002. Menurut Ellis 1992, kebijakan harga yang merupakan upaya untuk menstabilkan harga pertanian, khususnya beras, dapat dilakukan melalui berbagai instrumen, yaitu kebijakan perdagangan, kebijakan nilai tukar, pajak dan subsidi, dan intervensi langsung. Selain melalui kebijakan harga, secara tidak langsung stabilisasi harga dapat juga dilakukan melalui kebijakan pemasaran output dan kebijakan input Ellis, 1992. Kebijakan input antara lain berupa subsidi harga sarana produksi yang diberlakukan Pemerintah terhadap pupuk, benih, pestisida dan kredit. Di Indonesia, pupuk sebagai input usahatani padi dan tanaman pangan lain mendapat subsidi terbesar, dengan argumen pemberian subsidi pupuk adalah untuk: 1 merangsang penggunaan pupuk oleh petani sebagai bagian dari penerapan teknologi pertanian dan peningkatan produksi pangan, 2 menstabilkan harga di tingkat petani, dan 3 lebih mengefisienkan transfer sumberdaya dari Pemerintah ke petani guna membantu pembangunan di pedesaan Rusastra, et al. 2002. 79 Dari berbagai bentuk kebijakan yang ada, konsep kebijakann harga yang digunakan dalam penelitian ini adalah: 1 kebijakan harga input yang terdiri dari subsidi harga input dan subsidi kredit pengadaan input, 2 kebijakan harga output yang terdiri dari subsidi pengadaan pangan dan subsidi kredit pengadaan pangan, dan 3 kebijakan harga input-ouput yang merupakan gabungan dua kebijakan sebelumnya. Ukuran yang digunakan adalah jumlah dana milyar rupiah yang digunakan pemerintah untuk melaksanakan kebijakan tersebut Sebenarnya kebijakan perdagangan juga termasuk kebijakan harga. Namun dalam studi ini tidak dianalisis, karena dalam kebijakan pengadaan dan penyaluran pangan sudah termasuk dalam kebijakan harga output. Dengan demikian kalau kebijakan perdagangan dimasukkan dengan menilai volume impor pangan, diduga akan terjadi perhitungan ganda.

3.2.2. Konsep dan Status Pangan

Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia. Penggunaan pangan tidak hanya sebagai pemberi zat gizi, tetapi juga berkaitan dengan aspek sosial, ekonomi dan politik Buckle, et al. 1987. Karena pentingnya posisi pangan dalam masyarakat, maka diperlukan peraturan dan perundang-undangan tentang pangan. Undang-Undang yang mengatur tentang pangan adalah UU No.7 tahun 1996 Pemerintah Republik Indonesia 1996. Menurut UU tersebut pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lain yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan atau pembuatan makanan atau minuman. UU No.71996 belum menyebutkan status pangan, akan tetapi dalam PP No.682002 ada disebut status pangan tertentu yang bersifat pokok, misalnya beras. 80 Dalam kasus pangan pokok, peran pemerintah melebihi peran terhadap pangan lain, yaitu mewujudkan cadangan pangan dan melakukan pengendalian harga. Dari aspek gizi, Hariyadi et al. 2003 mendefinisikan pangan pokok adalah pangan yang dikonsumsi sebagai sumber karbohidratkalori, yang meliputi serealia beras, jagung jali, sorgum dan sebagainya umbi-umbian singkong, ubijalar, talas, kentang, uwi, garut dan sebagainya dan tanaman pohon sagu, sukun, pisang dan sebagainya. Namun demikian sampai saat ini kebijakan pangan nasional masih bertumpu pada beras. Kenapa ketahanan pangan selalu dikaitkan dengan komoditas beras. Beberapa hal yang menyebabkan hal tersebut adalah Amang dan Sawit, 2001 : 1. Beras merupakan pangan pokok utama dengan tingkat partisipasi konsumsi yang paling tinggi dibandingkan bahan pangan lain. 2. Kebijakan diversifikasi pangan dalam upaya memperbaiki mutu gizi masyarakat sudah ditetapkan sejak tahun 1974 dan disempurnakan dengan Inpres No.201979, namun hingga kini hasilnya belum efektif. 3. Secara fisik pangan non beras tidak siap untuk dikonsumsi secara langsung. Masih diperlukan industri pengolahan untuk memudahkan dikonsumsi dan disimpan. Sementara itu untuk beras mudah disimpan dan diolah untuk dikonsumsi tanpa melalui proses teknologi yang rumit. 4. Jagung dan umbi-umbian merupakan barang inferior, sedangkan beras barang normal dan permintaannya tidak elastis terhadap perubahan harga. Artinya kenaikan pendapatan menurunkan konsumsi jagung dan umbi-umbian, sebaliknya untuk beras. Kalaupun harga beras naik, permintaanya tidak banyak berubah. 5. Substitusi beras oleh pangan non beras melalui kebijakan harga dan subsidi mengalami kesulitan, karena elastisitas silang beras dan non beras selain terigu nilainya relatif kecil. 81 6. Nilai gizi beras, baik kandungan energi mapun proteinnya, relatif lebih tinggi dari bahan pangan pokok lainnya Tabel 10. 7. Beras terkait erat dengan inflasi dan kestabilan ekonomi makro. 8. Indonesia merupakan negara net importer beras terbesar, sedangkan beras di pasar dunia tipis thin market hanya sekitar 4-7 persen dari produksi dunia. Tabel 10. Kandungan Energi dan Protein Beras dan Pangan Non Beras lainnya No. Bahan Pangan Energi Kkal100gram bahan Protein gram100gram bahan 1 Beras 360 6,0 2 Jagung kuning 307 7,9 3 Ubi jalar 123 1,8 4 Singkong 146 1,2 5 Gaplek 338 1,5 Sumber: Amang dan Sawit, 2001 BPS 2004 mendekomposisi Indek Harga Konsumen yang dikumpulkan dari 45 kota di Indonesia menjadi tujuh kelompok barang, yaitu: 1 bahan makanan, 2 makanan jadi, minuman, rokok dan tembakau, 3 perumahan, 4 sandang, 5 kesehatan, 6 pendidikan, rekreasi dan olah raga, dan 7 transpor, komunikasi dan jasa keuangan. Kemudian bahan makanan didekomposisi menjadi: 1 padi-padian, umbi-umbian dan hasil-hasilnya, 2 daging dan hasil-hasilnya, 3 ikan segar, 4 ikan diawetkan, 5 telur, susu dan hasil-hasilnya, 6 sayur-sayuran, 7 kacang- kacangan, 8 buah-buahan, 9 lemak dan minyak, dan 10 bahan makanan lainnya. Berdasarkan indikator dan kriteria kuantitatif obyektif, Simatupang 2004 mengelompokkan komoditas beras, jagung, kedele dan gula sebagai special products. Selanjutnya menurut Sawit et al. 2004 dengan menggunakan metode I-O, dengan indeks daya penyebaran backward linkages effect ratio dan indeks daya kepekatanketergantungan forward linkages effect ratio dan penyerapan tenaga kerja employment menyaring special products menjadi 10 kelompok, yaitu: daging, susu, 82 beras, gula, jagung, buah-buahan dan sayur-sayuran, kedele, makanan lainnya, unggas dan hasil-hasilnya dan tepung lainnya. Karena penelitian ini berkaitan dengan kebijakan harga pangan dan tidak semua komoditas pangan melibatkan Pemerintah dalam bentuk kebijakan harga pangan maka tidak semua komoditas pangan akan dianalisis. Untuk itu digunakan kelompok pangan utama yang ada kaitannya dengan program kebijakan harga pangan.

3.2.3. Konsep dan Indikator Ketahanan Pangan

Menurut PP Nomor 68 tahun 2002 Pemerintah Republik Indonesia, 2002, yang dimaksud dengan ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau. Selanjutnya dijelaskan ketersediaan pangan adalah tersedianya pangan dari hasil produksi dalam negeri danatau sumber lain. Indikator ini masih bersifat makro, karena bisa saja pangan tersedia, tapi tidak dapat diakses oleh masyarakat. Untuk melihat apakah ketersediaan itu bersumber dari dalam negeri atau sumber lain, dapat dilihat dari rasio ketersediaan pangan dalam negeri dengan produksi dalam negeri. Ketersediaan pangan merupakan prasyarat penting bagi keberlanjutan konsumsi, namun dinilai belum cukup. Untuk itu diperlukan pemahaman kinerja konsumsi pangan menurut wilayah kota-desa dan pendapatan tinggi-sedang- rendah. Indikator yang dapat digunakan adalah tingkat partisipasi dan tingkat konsumsi pangan, keduanya menunjukkan tingkat aksesibilitas fisik dan ekonomi tehadap pangan DKP, 2003. Walaupun pangan tersedia pada suatu wilayah, jika tidak dapat diakses masyarakat maka kinerjanya rendah. Aksesibilitas tersebut menggambarkan aspek pemarataan dan keterjangkauan. Karena menurut PP No.682002, pemerataan mengandung makna adanya distribusi 83 pangan ke seluruh wilayah sampai tingkat rumah tangga, sedangkan keterjangkauan adalah keadaan di mana rumah tangga secara berkelanjutan mampu mengakses pangan sesuai dengan kebutuhan untuk hidup yang sehat dan produktif. Indikator lainnya adalah mutu pangan, yaitu dapat dinilai atas dasar kriteria keamanan pangan dan kandungan gizi. Keamanan pangan adalah kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan dan membahayakan kesehatan manusia. Untuk Indonesia, khususnya produk peternakan, dikenal adanya Program ASUH, yaitu Aman, Sehat, Utuh dan Halal. Aman maksudnya, bahwa hewan atau unggas tidak mengandung penyakit dan menggangu kesehatan manusia. Sehat artinya hewan tersebut memiliki zat-zat yang berguna bagi kesehatan dan pertumbuhan tubuh. Utuh artinya, tidak dicampur dengan bagian lain dari hewan tersebut atau bagian dari hewan lain. Halal artinya hewan dan unggas tersebut dipotong dan ditangani berdasarkan syariat Islam. Untuk mendapatkan kualitas gizi yang baik, diperlukan variasi konsumsi. Untuk itu telah dikembangkan suatu kebijakan dan instrumentasi diversifikasi konsumsi pangan, yaitu Pola Pangan Harapan PPH. PPH adalah susunan beragam pangan yang didasarkan pada sumber energi, baik secara absolut maupun relatif terhadap total energi tingkat konsumsi. Tujuan utama penyusunan PPH adalah untuk membuat suatu rasionalisasi pola konsumsi pangan yang dianjurkan yang terdiri dari kombinasi aneka ragam pangan untuk memenuhi kebutuhan gizi dan sesuai cita rasa FAO-RAPA, 1989 dalam: Hariyadi et al. 2003. Pedoman ini dapat berubah sesuai kondisi sosial ekonomi masyarakat dan kemajuan teknologi. Menurut Simatupang 1999, secara hirarki ketahanan pangan dapat pada tingkat global, regional, nasional, lokal daerah, rumah tangga dan individu. Tingkat ketahanan pangan yang lebih tinggi merupakan syarat yang diperlukan necessary 84 condition bagi tingkat ketahanan pangan yang lebih rendah, tetapi bukan syarat yang mencukupi sufficient condition. Karena tercapainya ketahanan pangan di tingkat wilayah tidak menjamin tercapainya ketahanan pangan di tingkat rumah tangga. Hal ini ditunjukkan adanya fakta bahwa walaupun ditingkat nasional dan wilayah provinsi memiliki status tahan pangan terjamin, namun di wilayah tersebut masih ditemukan rumah tangga rawan pangan Sudaryanto dan Rusastra, 2000; Rachman, 2004. Berdasarkan fakta tersebut, maka beberapa kelemahan mendasar paradigma ketahanan pangan pada masa Pemerintahan Orde Baru yang perlu dipahami sebagai antisipasi rumusan ketahanan pangan berkelanjutan adalah: a terfokus pada dimensi ketersediaan pangan khususnya beras pada tingkat harga murah, b lemahnya upaya peningkatan pendapatan dan aksesibilitas terhadap pangan, yang mengakibatkan krisis pangan tahun 1998, c fokus pada ketahanan pangan di tingkat nasional dan mengabaikan ketahanan pangan pada tingkat rumah tangga, dan d adanya kebijaksanaan yang kontradiktif yaitu upaya peningkatan produksi dalam rangka pemantapan swasembada pangan, namun harga pangan dipertahankan relatif murah agar terjangkau sebagian besar konsumen Sudaryanto dan Rusastra, 2000. Atas dasar kelemahan tersebut, diajukan paradigma baru ketahanan pangan berkelanjutan dengan mempertimbangkan empat dimensi utama, yaitu: ketersediaan availability, keterjangkauan accessibility, antisipasi risiko kegagalan panen vulnerability dan aspek keberlanjutan sustainability. Menurut Simatupang 1999, vulnerabilitas dalam ketahanan pangan dibedakan menjadi dua elemen. Pertama, stabilitas, yang menunjukkan kerentanan internal pada akses dan ketersediaan pangan terhadap gangguan domestik seperti penurunan produksi pangan domestik dan goncangan ekonomi. Kedua, keandalan atau reliabilitas, mengacu pada kerentanan eksternal pada akses dan ketersediaan 85 pangan terhadap perdagangan internasional. Sementara itu, menurut Saliem et al. 2003 aspek keberlanjutan ketahanan pangan identik dengan kebijakan dan strategi peningkatan kemandirian pangan nasional. Indikator yang digunakan untuk mengukur ketahanan pangan dari sisi kemandirian antara lain: 1 ketergantungan ketersediaan pangan nasional pada produksi pangan domestik, yang diukur dari rasio produksi atau ketersediaan pangan domestik yang dapat dikonsumsi terhadap ketersediaan pangan nasional, 2 ketergantungan kesediaan pangan nasional pada pangan impor dan atau net impor, yang diukur dari rasio impor pangan kotor dan atau net impor terhadap ketersediaan pangan nasional, dan 3 ketergantungan ketersediaan pangan terhadap transfer pangan dari pihak atau negara lain Simatupang, 2000 dalam: Saliem et al. 2003. Dari dua indikator pertama kemandirian pangan nasional masih tergolong aman, namun dari waktu ke waktu terjadi peningkatan ketergantungan terhadap impor. Menurut Suhardjo 1996, ketahanan pangan rumah tangga dicerminkan oleh beberapa indikator, antara lain: 1 tingkat kerusakan tanaman, ternak dan perikanan, 2 penurunan produksi pangan, 3 tingkat ketersediaan pangan di rumah tangga, 4 proporsi pengeluaran pangan terhadap pengeluaran total, 5 fluktuasi harga pangan utama yang umum dikonsumsi rumah tangga, 6 perubahan kehidupan sosial, seperti migrasi, menjualmenggadaikan asset, 7 keadaan konsumsi pangan berupa kebiasaan makan, kuantitas dan kualitas pangan, dan 8 status gizi. Karena penelitian ini berkaitan dengan kebijakan Pemerintah, maka cakupan penelitian bersifat agregat nasional. Berkaitan dengan cakupan penelitian, beberapa indikator ketahanan pangan yang digunakan peneliti lain dan ketersediaan data maka indikator ketahanan pangan yang digunakan dalam penelitian ini mencakup lingkup nasional dan tingkat rumah tangga. Untuk mempertajam hasil studi ini, 86 pembahasannya akan dilengkapi dengan hasil penelitian sebelumnya, khususnya yang berkenaan dengan konsep ketahanan pangan di tingkat wilayah dan rumah tangga. Berdasarkan lingkup dan paradigma baru konsep ketahanan pangan maka dalam penelitian ini ketahanan pangan diukur berdasarkan indikator ketersediaan pangan dan aksesibilitas pangan. Ketersediaan pangan diukur dari ketersediaan untuk konsumsi per kapita yang datanya diperoleh dari Neraca Bahan Makanan Indonesia, Badan Pusat Statistik. Makin besar angka ketersediaan pangan untuk dikonsumsi, makin tersedia pangan di tingkat nasional. Aksesibilitas pangan dapat diproksi dari tingkat konsumsi rumah tangga yang ada dari data Susenas. Makin tinggi konsumsi rumah tangga makin tinggi pula akses rumah tangga tersebut terhadap pangan. Untuk meliput aspek kualitas ketahanan pangan, maka bahan pangan yang digunakan dalam analisis diukur berdasarkan kandungan energi dan protein. Dengan demikian selain dapat mengelompokkan beberapa bahan pangan menjadi satu ukuran, analisis ini juga dapat memilah energi dan konsumsi protein. Dalam hal ini protein dapat merepresentasikan kualitas ketahanan pangan. Di samping itu untuk memperkaya hasil penelitian, dengan menggunakan beberapa hasil penelitian terdahulu akan digunakan skor Pola Pangan harapan sebagai reprsentasi kualitas ketahanan pangan, PDRB sebagai proksi pendapatan di tingkat regional.

3.2.4. Indikator dan Stabilitas Ekonomi Makro

Kebijakan harga pangan dapat mempengaruhi indikator ekonomi makro. Indikator ekonomi makro yang dimaksud dalam penelitian ini adalah inflasi, kesempatan kerja, pertumbuhan ekonomi, dan neraca perdagangan proksi dari neraca pembayaran yang merupakan indikator kunci Stiglitz, 1997; Dornbusch, Fisher dan Startz, 1998. Variabel ekonomi makro tersebut saling terkait melalui pasar barang, 87 pasar uang, pasar tenaga kerja dan pasar saham yang membentuk keseimbangan internal macro equilibrium dan keseimbangan eksternal balance of payment-BOP. Selain itu, variabel ekonomi makro lain yang diamati adalah Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS, suku bunga bank, penawaran uang dan investasi. Stabilitas ekonomi makro dapat dilihat dari pengaruh guncangan kebijakan harga pangan atau variabel ekonomi makro lainnya terhadap variabel kunci indikator ekonomi makro. Jika suatu guncangan menimbulkan fluktuasi yang besar pada variabel ekonomi makro maka dapat dikatakan stabilitas ekonomi makro rentan terhadap guncangan tersebut. Sebaliknya jika dampaknya menimbulkan fluktuasi yang kecil, maka dapat dikatakan stabilitas ekonomi makro stabil. Ukuran yang digunakan dalam mengukur stabilitas dalam studi ini adalah dampak guncanganshock terhadap: 1 perbedaan nilai awal dan akhir variabel endogen, 2 besarnya variasi yang dilihat dari amplitudo fluktuasi variabel endogen, dan 3 panjangnya waktu fluktuasi variabel endogen untuk mencapai pada keseimbangan baru, serta 4 koefisien variasi. Suatu guncangan dapat menyebabkan keseimbangan baru kondisinya meningkat, tetap atau menurun dari kondisi keseimbangan saat awal guncangan.

3.2.5. Konsep dan Pengukuran Efektivitas

Efektivitas dapat diartikan sebagai suatu usaha untuk mencapai hasil yang maksimal dengan memanfaatkan sumberdaya yang ada. Kaitannya dengan kebijakan, menurut Ramdan, et al. 2003 ukuran efektivitas kebijakan adalah: 1 Efisiensi; suatu kebijakan harus mampu meningkatkan efisiensi penggunaan sumberdaya secara optimal, 2 adil; bobot kebijakan harus ditempatkan secara adil, yakni kepentingan publik tidak terabaikan, 3 mengarah kepada insentif; suatu kebijakan harus mengarah atau merangsang tindakan dalam perbaikan dan peningkatan sasaran yang 88 ditetapkan, 4 diterima oleh publik; karena diperuntukkan bagi kepentingan publik maka kebijakan yang baik harus diterima oleh publik, dan 5 moral; suatu kebijakan harus dilandasi oleh moral yang baik. Masalahnya bagaimana mengukur efektivitas tersebut. Berikut ukuran efektivitas yang digunakan beberapa peneliti. Sanim 1998, meneliti efektivitas pemberian KUT Pola Khusus terhadap peningkatan produksi dan pendapatan petani. Dengan teknik tabulasi, persentase peningkatan produksi dan pendapatan sebelum dan sesudah penerapan KUT Pola Khusus digunakan sebagai ukuran efektivitas. Dengan pendekatan ekonometrika, efektivitas KUT Pola Khusus tersebut dilihat dengan koefisien regresi yang juga merupakan nilai elastisitas dan tingkat signifikansi Variabel independen terhadap Variabel dependen. Menurut Simatupang 2002, pembangunan sektor pertanian paling efektif dalam menurunkan jumlah penduduk miskin di Indonesia. Dengan menggunakan persamaan regresi berganda, efektivitas pengaruh variabel independen terhadap variabel dependen adalah besar dan tingkat signifikansi koefisien regresi dari variabel independen. Menurut Sudana 2003 suatu kebijakan harga dapat meningkatkan penerimaan nominal, namun kebijakan harga tersebut menjadi tidak efektif jika pendapatan riil petani tidak meningkat akibat kenaikan harga output tersebut. Suparmin 2005 menilai efektivitas kebijakan pemerintah terhadap stabilitas harga gabah dan harga beras menggunakan pendekatan analisis integrasi vertikal antar pasar dengan model kointegrasi dan vector error correction. Jika terjadi integrasi antar pasar maka kebijakan harga yang dilakukan efektif, demikian juga sebaliknya. Dengan kebijakan yang efektif diharapkan masalah atau isu yang muncul pada tingkat publik akan dapat diselesaikan secara baik, berkeadilan, dan sesuai dengan tujuan yang ditetapkan sebelumnya Ramdan, et al. 2003. Ketidakefektifan suatu kebijakan dapat disebabkan oleh beberapa hal, antara lain: proses pembuatan 89 kebijakan; konsistensi pelaksanaan kebijakan; antisipasi pihak sasaran kebijakan; dukungan dana untuk implementasi dan pengawasan pelaksanaan kebijakan, perangkat hukum dan kelembagaan. Dalam penelitian ini ada dua ukuran yang digunakan dalam menilai efektivitas kebijakan harga pangan. Pertama, untuk menilai efektivitas kebijakan harga pangan terhadap ketahanan pangan yang digunakan analisis dengan Error Correction Model digunakan tingkat signifikansi dan nilai elastisitas variabel tersebut terhadap variabel ketahanan pangan. Jika variabel kebijakan harga pangan secara statistik signifikan mempengaruhi ketahanan pangan dan nilai elastisitasnya lebih besar dari satu maka dikatakan kebijakan harga pangan efektif meningkatkan ketahanan pangan. Kedua, untuk menilai efektivitas kebijakan harga pangan terhadap stabilitas ekonomi makro diukur dari seberapa besar peran guncangan kebijakan harga pangan terhadap variabilitas variabel ekonomi makro yaitu inflasi, pertumbuhan ekonomi, pengangguran dan neraca perdagangan. Makin besar peran dalam persen guncangan kebijakan harga pangan relatif dengan guncangan lain terhadap suatu variabel endogen maka dapat dikatakan kebijakan harga pangan semakin efektif. Untuk melihat hal tersebut digunakan metode FEVD Forecast Error Variance Decomposition .

3.3. Bagan Alur Pemikiran