Latar Belakang Kajian interaksi lingkungan usaha perikanan untuk menyusun model pemberdayaan usaha perikanan tangkap di Daerah Istimewa Yogyakarta

1 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia merupakan negara dengan dua per tiga wilayahnya berupa perairan dan mempunyai potensi sumber daya ikan sekitar 6,4 juta tontahun. Dengan besarnya potensi tersebut selayaknya pembangunan sektor kelautan dan perikanan didorong perkembangannya secara nasional, khususnya dalam upaya meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Widodo dan Nurhudah 1995, potensi tersebut telah dikeloladiproduksi sebesar 4,1 juta tontahun, sehingga peluang untuk usaha peningkatan nilai tambah kususnya melalui perbaikan masih cukup besar. Tingkat produksi sekitar 52 atau 4,6 juta tontahun, terdiri dari 2,4 juta tontahun perairan dalam dan 2,2 juta tontahun perairan ZEEI 48. Renstra DJPT 2005 juga menyebutkan berdasarkan hasil pengkajian Pusat Riset Perikanan Tangkap, Badan Riset Kelautan dan Perikanan, Departemen Kelautan dan Perikanan, pada tahun 2001 produksi ikan dari hasil penangkapan di laut mencapai 4,069 juta ton. Dengan demikian, tingkat pemanfaatan sumber daya ikan di Indonesia telah mencapai 63,49 dari potensi lestari sebesar 6,409 juta tontahun atau 79,37 dari JTB sebesar 5,127 juta tontahun. DJPT 2004 menyatakan bahwa pada tahun 2001 armada perikanan tangkap terdiri dari sebanyak 241.714 perahu tanpa motor dan 333.560 kapal motor terdiri 120.054 bertenaga motor tempel dan kapal bertenaga motor dalam. Berdasarkan ukuran kapal yang ukurannya lebih kecil dari 50 GT sebanyak 330.168 kapal 99 dan kapal yang ukurannya lebih besar 50 GT sebanyak 3,392 kapal 11. Jumlah ekspor sebesar 577.419 ton 12,54 dari total produk nasional 4,6 juta ton, jumlah ikan yang dipasarkan dalam bentuk segar mencapai 77,6, produk es nasional sebesar 2,9 juta ton dan hanya 30 tersebut hanya dapat dipakai ekspor ikan sebesar 19,2 dari total produk nasional. Oleh karena itu mutu ikan yang dipasarkan dalam negeri masih kurang bagus. Pada tahun 2001 produksi total perikanan tangkap sebesar 4.276.720 ton, konsumsi dalam negeri sebesar 4.692.960 ton dan konsumsi per kapita per tahun 22,4 kgkapitatahun. Sedang ekspor sebesar 487.116 ton, 11,4 terhadap total produksi tangkap. Produksi ikan hasil tangkapan terserap oleh industri pengolahan sebesar 100 Zamron dan Purnomo. 2005. 2 DJPT 2004 dan menurut Lestari 2007 berdasarkan skala usahanya atau unit usaha, secara umum usaha perikanan tangkap di Indonesia dapat digolongkan menjadi tiga kategori, yaitu skala besar, yang antara lain ditandai dengan ukuran armada lebih besar dari 30 GT, skala menengah ukuran armada antara 10-30 GT dan skala kecil dengan ukuran kapal pada umumnya kurang dari 10 GT, bahkan sebagian besar kurang dari 5 GT. Usaha perikanan tangkap skala kecil pada umumnya dihadapkan pada kendala keterbatasan akses terhadap sumber daya, modal, teknologi, informasi maupun pasar. Kondisi demikian telah menyebabkan tingkat produktivitas dan efisiensi usaha yang rendah serta posisi tawar bargaining position yang relatif rendah pula. Hal ini pada gilirannya menyebabkan rendahnya perolehan nelayan. Sementara usaha perikanan tangkap skala besar pada umumnya mempunyai kemampuan akses cukup besar terhadap berbagai faktor pendukung kelancaran usaha. Bahkan pada beberapa kondisi dijumpai keterbatasan suplai bahan baku bagi usaha pengolahan dan pemasaran hasil perikanan. Demikian halnya berbagai lembaga keuangan disinyalir mempunyai peluang untuk menyalurkan modalnya pada sektor riil, termasuk pada kegiatan usaha perikanan tangkap. Sektor perikanan saat ini masih belum sempurna tentang kelembagaannya yang bernuansa bisnis perikanan yakni suatu sistem organisasi yang terintegrasi antara aspek input, proses penangkapan dan output pemasaran belum tertata dengan baik. Inkonstitusional antara pelaku-pelaku dalam agribisnis perikanan tersebut, menyebabkan nelayan yang bersifat lemah menghadapi kelompok hilir, sehingga munculnya masalah kriteria pembagian nilai tambah yang terkait dengan resiko, akibatnya penyebaran nilai tambah tidak proporsional. Dengan ciri teknologi padat karya, mutu masih kurang bagus, masalah transmisi informasi dengan pola kondisi usaha tersebut perlu diciptakan model manajemen yang memposisikan nelayan sama kuat dengan kelompok hilir, sehingga nilai tambah yang diperoleh dapat di distribusikan secara proporsional, yang akhirnya nelayan dapat meningkat status sosialnya, ekonomi dan sebagainya pemberdayaan. Sebagaimana diketahui, permasalahan utama bagi masyarakat pantai adalah kemiskinan dan penurunan cadangan sumber daya ikan, terutama di perairan pantai. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, Pemerintah Republik Indonesia melalui Proyek Pembangunan Masyarakat Pantai dan Pengelolaan Sumber daya Perikanan COFISH telah melaksanakan berbagai upaya dengan pendekatan multi-sektor dan asas partisipatif. Upaya-upaya tersebut telah menunjukkan hasil positif berupa 3 kesamaan pandangan dan tindakan dengan berbagai pihak yang berkepentingan, khususnya tentang pengelolaan sumber daya perikanan partisipatif dan strategi pemberdayaan masyarakat melalui peningkatan peran serta mereka dalam mengatasi masalah kemiskinan dan kesejahteraannya. Proyek COFISH mempunyai tujuan : 1 Memajukan pengelolaan sumber daya perikanan khususnya usaha perikanan tangkap secara bertanggung jawab dan berbasis partisipatif, dan 2 Meningkatkan kesejahteraan melalui perbaikan prasarana sosial dan untuk menciptakan kesempatan kerjaberusaha bagi masyarakat pantai. Untuk mencapai tujuan tersebut, maka kegiatan proyek dilakukan melalui implementasi empat komponen Azizi et al. 1995, yaitu: 1 Pengelolaan sumber daya perikanan pantai. 2 Pembangunan masyarakat dan pengentasan kemiskinan. 3 Perbaikan lingkungan di pusat pendaratan ikan. 4 Penguatan kelembagaan. Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta mempunyai potensi sumber daya perikanan laut yang cukup besar sehingga mempunyai peluang yang cukup besar untuk pengembangan usaha perikanan tangkap Suman et al. 2008. Potensi tersebut meliputi perairan laut dengan panjang pantai ±110 km dengan daerah operasi penangkapan 12 mil dari pantai, tempat pendaratan ikan, lapangan terbang Internasional dan sumber daya manusia yang bermotivasi tinggi. Nilai produksi perairan mencapai sebesar 905,3 ribu tontahun. Potensi yang cukup besar tersebut telah ditangani oleh rakyat menggunakan armada penangkapan ikan yang kurang dari 20 GT dengan motor tempel. Dalam periode 10 tahun 1992-2002, armada penangkapan tersebut mengalami peningkatan sekitar 2,6 per tahun. Jumlah perahu motor tempel meningkat rata-rata 5,5 per tahun, sedangkan perahu tanpa motor pada kurun waktu yang sama, mengalami penurunan rata-rata 0,3 per tahun. Produksi perikanan tangkap pada tahun 2002 sebesar 4.073.506 ton, yang didaratkan di pantai selatan Jawa 5,3. Produksi perikanan baik hasil perikanan tangkap maupun perikanan budidayadarat di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta menunjukkan peningkatan rata-rata 6,2 per tahun, produksi perikanan tangkap pada tahun 2002 meningkat sebesar 1.640,8 ton atau sekitar 22,5 per tahun. Kegiatan perikanan tangkap di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta tidak hanya sebagai penyedia pangan, bahan baku industri dan ekspor, tetapi juga sekaligus menjadi tempat sandaran kehidupan bagi sebagian masyarakat sekitar pantai. Dengan ciri perikanan 4 subsistem dan skala kecil, sektor perikanan selalu dianggap sama dan sebangun dengan kelemahan dan ketidakberdayaan petani-nelayan. Keadaan ini telah menumbuhkan berbagai gagasan tentang strategi pemberdayaan yang dikembangkan diantaranya adalah meningkatkan posisi tawar nelayan melalui penataan kelembagaan petani-nelayan, kelembagaan pasar, dan kelembagaan pelayanan. Strategi tersebut berkembang karena pengembangan usaha perikanan diarahkan pada pemberdayaan petani-nelayan dan usaha kecil, dan berorientasi pada peningkatan kesejahteraan mereka. Dalam strategi itu praktek dominasi atau monopoli oleh segelintir usaha skala besar dihindarkan sejauh mungkin. Pada umumnya kelembagaan nelayan seperti kelompok nelayan atau koperasi maupun kelembagaan pemasaran belum berhasil membangun posisi tawar nelayan dalam transaksi pasar. Kelompok dan koperasi sangat lemah, kelembagaan pasar, kemitraan maupun bentuk kerjasama lainnya belum mampu menciptakan hubungan saling membesarkan, saling menguntungkan, dan saling memperkuat antara nelayan sebagai produsen komoditas pangan didalamnya termasuk perikanan tangkap dengan para pengusaha sektor hilir, baik pengolah maupun pemasareksportir. Kondisi ini telah mengakibatkan keseluruhan sistem agribisnis mengalami stagnasi dalam kualitas, kuantitas, maupun daya saing. Mudzakir 2003 dan Mudzakir 2006 menyatakan bahwa keterkaitan sektor perikanan masih kecil sehingga belum mampu untuk menarik sektor hulu sebagai penyedia bagi sektor perikanan maupun mendorong sektor hilir sebagai pengguna hasil perikanan dan kondisi ini diperparah dengan masih rendahnya nilai tambah yang dihasilkan oleh sektor perikanan. Lingkungan industri di masa otonomi daerah telah melakukan beberapa upaya optimalisasi pengelolaan sumber daya ikan sesuai tujuan pembangunan perikanan di daerah tersebut. Tajirin et al. 2007 upaya tersebut wajar dalam rangka peningkatan PAD, namun apabila tidak dilakukan koordinasi yang lebih mantap tidak mustahil sumber daya ikan tersebut akan semakin punah. Padahal potensi sumber daya perairan harus dikelola dan dijaga kelestariannya responsible fisheries. Dalam kaitan ini, maka strategi usaha dan penilaian terhadap kinerja menjadi hal utama dan harus selalu diperhatikan. Berdasarkan survei potensi di Pantai Selatan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta sepanjang ±110 km dengan jarak 3 mil dari garis pantai oleh Fakultas 5 Pertanian Jurusan Perikanan UGM tahun 1987 digambarkan bahwa potensi lestari yang ada sebagai berikut : - Ikan pelagis 6.120 ton per tahun 1.800 km 2 - Ikan demersal 437 ton per tahun 182 km 2 Potensi perikanan tangkap masih belum dikelola secara sempurna karena lembaga usahanya belum di berdayakan yang berorientasi secara bisnis diperkuat penelitian Tajirin et al. 2007 kontribusi sektor perikanan dalam perekonomian nasional masih relatif rendah khususnya di penangkapan ikan yang tergambar pada indeks dibawah rata-rata nasional. Kondisi ini menyebabkan nelayan dan pelaku usaha perikanan tangkap lemah menghadapi kelompok hilir sehingga menyebabkan munculnya masalah transmisi yang berakibat pada penyebaran nilai tambah tidak proporsional. Keberadaan Forum Koordinasi Pengelolaan Pemanfaatan Sumber daya Ikan FKPPS daerahregional sangat penting untuk mengakomodir berbagai stakeholder dan komponen yang berpengaruh dalam usaha perikanan tangkap. Untuk Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta forum ini masih dalam upaya perintisan operasional di lapangan. Hal ini disebabkan lingkungan untuk berjalan usaha perikanan tangkap sebagai dasar pelaksanaan operasional di lapangan belum optimal mendapat dukungan secara internal maupun eksternal. Rintisan yang dilaksanakan antara lain konsep membentuk unit kerja FKPPS, dukungan pemerintah telah ada, koordinasi dengan instansi terkait sudah mulai berjalan walaupun belum secara formal. Agar upaya tersebut lebih terarah, maka perlu diketahui tingkat pengaruh di antara berbagai komponen yang berinteraksi dalam usaha perikanan tangkap yaitu pengaruh lingkungan internal, lingkungan industri dan ligkungan eksternal terhadap lingkup usaha perikanan, sehingga alokasi dan skala prioritas sumber daya ikan dapat ditetapkan cara pengelolaan dengan baik dan benar.

1.2 Rumusan Masalah