pengembangan wilayah dapat saling dipertukarkan, namun berbagai kalangan di Indonesia cenderung untuk menggunakan secara khusus istilah pengembangan
wilayahkawasan dibandingkan pembangunan wilayahkawasan untuk istilah regional development. Secara umum istilah pengembangan dianggap mengandung
konotasi pemberdayaan, kedaerahan, kewilayahan dan lokalitas Rustiadi et al. 2005.
Pengembangan lebih menekankan proses meningkatkan dan memperluas. Dalam pengertian bahwa pengembangan adalah melakukan sesuatu yang tidak
dari nol, atau tidak membuat sesuatu yang sebelumnya tidak ada, melainkan melakukan sesuatu yang sebenarnya sudah ada tapi kualitas dan kuantitasnya
ditingkatkan atau diperluas. Jadi dalam hal pengembangan masyarakat tersirat pengertian bahwa masyarakat yang dikembangkan sebenarnya sudah memiliki
kapasitas bukannya tidak memiliki sama sekali namun perlu ditingkatkan kapasitasnya Rustiadi et al. 2005.
Secara filosofis suatu proses pembangunan dapat diartikan sebagai upaya yang sistematik dan berkesinambungan untuk menciptakan keadaan yang dapat
menyediakan berbagai alternatif yang sah bagi pencapaian aspirasi setiap warga yang paling humanistik. Dengan perkataan lain proses pengembangan merupakan
proses memanusiakan manusia. Untuk mencapai tujuan-tujuan pembangunan yang diinginkan, upaya-upaya pembangunan harus diarahkan kepada efisiensi
effeciency, pemerataan equity dan keberlanjutan sustainability dalam memberi panduan kepada alokasi sumber daya semua kapital yang berkaitan
dengan natural, human, man-made maupun social baik pada tingkatan nasional, regional maupun lokal, yang sering memerlukan sumber daya dari luar, seperti
barang-barang modal untuk diinvestasikan guna mengembangkan infrastruktur ekonomi, sosial dan lingkungan Anwar 2005.
2.4. Titik Pertumbuhan Growth Point dan Kutub Pertumbuhan
Growth Pole
Konsep titik pertumbuhan growth point concept berawal dari adanya pemikiran keuntungan-keuntungan aglomerasi, yaitu konsentrasi produksi
yang lebih efisien daripada terpencar-pencar.
Pemikiran terjadinya titik pertumbuhan adalah karena kegiatan ekonomi cenderung beraglomerasi di sekitar sejumlah titik fokus. Dalam suatu wilayah,
arus polarisasi akan bergravitasi ke arah titik-titik fokus tersebut, yang dapat merupakan pusat kontrol atau pusat dominan dalam wilayah tersebut. Dari arus
pergerakan akan dapat ditentukan garis perbatasan penurunan arus sampai pada titik minimum. Pusat tersebut dinamakan titik pertumbuhan, sedangkan di
dalam garis perbatasan adalah wilayah pengaruhnya atau wilayah pertumbuhan. Adisasmita 2005
Berdasarkan penjelasan di atas, titik pertumbuhan tersebut dapat merupakan suatu kota kota kecil atau menengah, sedang wilayah
pengaruhnya adalah perdesaan di sekitarnya. Kepadatan arus menunjukkan adanya keterkaitan antara perkotaan dan perdesaan di sekitarnya.
Perkembangan modern dari teori titik pertumbuhan terutama berasal dari karya ahli-ahli teori ekonomi wilayah, dan yang paling menonjol adalah
Francois Perroux. la telah mengembangkan konsep kutub pertumbuhan growth pole pada tahun 1955 dikenal sebagai pole de croissance dan
menunjukkan bahwa pembangunan ditimbulkan oleh suatu konsentrasi aglomerasi tertentu bagi kegiatan ekonomi dalam suatu ruang yang abstrak
Miyoshi 1997. Perroux berpendapat bahwa fakta dasar dari perkembangan spasial, sebagaimana halnya dengan perkembangan industri, adalah bahwa
pertumbuhan tidak terjadi di sembarang tempat dan juga tidak terjadi secara serentak, pertumbuhan itu terjadi pada titik-titik atau kutub-kutub
perkembangan, dengan intensitas yang berubah-ubah, perkembangan itu menyebar sepanjang saluran-saluran yang beraneka-ragam dan dengan efek
yang beraneka-ragam terhadap keseluruhan perekonomian Glasson 1976, diacu dalam Kasikoen, 2005.
Sementara berbagai perhatian diberikan oleh akademisi terhadap konsep growth pole tersebut, praktisi menerapkan konsep ini menjadi suatu
strategi growth pole dan secara bersemangat dipertimbangkan dan diterapkan pada negara-negara maju dan negara sedang berkembang di tahun 1960an
Miyoshi, 1997, seperti dinyatakan oleh Friedmann 1966 : “pola pembangunan wilayah di USA seyogyanya diterapkan di semua negara sedang
berkembang. Kesimpulan ini diperoleh dari suatu sintesa beberapa studi empiris mengenai pembangunan wilayah di USA, seperti juga dikatakan oleh
Schultz 1951, North 1955 dan Perloff 1960 dan Miyoshi 1997. Schultz 1951 menetapkan hipotesa tentang kelambatan dimana pembangunan
ekonomi akan terjadi pada pusat pertumbuhan industri-kota industrial-urban growth centers dengan kegiatan manufacturing dan ini membutuhkan
penyerapan kegiatan pertanian di periphery-nya. Dari pernyataan tersebut jelaslah konsep growth pole telah diikuti oleh
berbagai negara, utamanya negara sedang berkembang sebagai strategi pembangunannya. Sebagai suatu negara yang sedang berkembang, dan
perencanaan pembangunan negaranya berkiblat pada Negara Amerika Serikat, maka Indonesia juga menganut strategi growth pole dalam melaksanakan
kebijakan tata ruangnya. Meskipun tidak dijelaskan secara eksplisit, tetapi bukti yang menunjukkan
Indonesia menganut konsep kutub pertumbuhan growth pole dapat dilihat dari banyaknya kota-kota primat di Indonesia yang mendasari terwujudnya konsep
kutub pertumbuhan dalam ruang. Kota-kota primat tersebut antara lain Jakarta, Surabaya, Medan, dan lain lain. Desmond 1971, Yeung Lo 1976, Mills 1994,
Gilbert Gugler 1996, Henderson dan Kuncoro 1996, diacu dalam Kasikoen 2005.
Strategi growth pole pada akhirnya membawa dampak terjadinya disparitas wilayah dan kemiskinan di perdesaan. Hal ini sejalan pernyataan Anwar
2001 bahwa pembangunan ekonomi dalam kurun waktu 20 tahun ke belakang, telah mendahulukan pertumbuhan ekonomi dalam pembangunan spatial
keruangan yang dilakukan dalam konsep kutub pertumbuhan growth pole. Konsep ini semula diramalkan akan terjadi penetesan trickle down effect dari
kutub-kutub pertumbuhan tersebut ke daerah belakangnya hinterland, tetapi kerangka berfikir tersebut ternyata menimbulkan net-effect yang mengarah
kepada pengurasan besar-besaran massive backwash effect dari wilayah belakang perdesaan ke pusat pertumbuhan di kota-kota besar.
2.5. Interaksi dan Keterkaitan Wilayah