2.2. Disparitas Regional
Dalam konteks spasial, proses pembangunan yang telah dilaksanakan selama ini ternyata telah menimbulkan berbagai permasalahan yang berkaitan
dengan tingkat kesejahteraan antar wilayah yang tidak berimbang. Pendekatan yang sangat menekankan pada pertumbuhan ekonomi dengan membangun pusat-
pusat pertumbuhan telah mengakibatkan investasi dan sumberdaya terserap dan terkonsentrasi di perkotaan sebagai pusat-pusat pertumbuhan, sementara wilayah-
wilayah hinterland mengalami pengurasan sumberdaya yang berlebihan massive backwash effect Anwar 2001. Secara makro dapat kita lihat terjadinya
ketimpangan pembangunan yang signifikan misalnya antara wilayah desa-kota, antara wilayah Indonesia Timur dan Indonesia Barat, antara wilayah Jawa dan non
Jawa dan sebagainya. Menurut Murty 2000, secara terperinci terdapat beberapa faktor utama
yang menyebabkan terjadinya disparitas antar wilayah baik yang bersifat alamiah atau fisik maupun struktural akibat dari faktor-faktor utama ini antara lain
mencakup : 1 geografis; 2 sejarah; 3 politik; 4 kebijakan pemerintah; 5 administrasi; 6 sosial; dan 7 ekonomi.
Kesenjangan ini pada akhirnya menimbulkan berbagai permasalahan yang dalam konteks makro sangat merugikan bagi keseluruhan proses pembangunan.
Potensi konflik menjadi sedemikian besar karena wilayah-wilayah yang dulunya kurang tersentuh pembangunan mulai menuntut hak-haknya. Demikian pula
hubungan antar wilayah telah membentuk suatu interaksi yang saling memperlemah Rustiadi 2001.
Wilayah-wilayah hinterland menjadi lemah karena pengurasan sumber daya yang berlebihan, sedangkan pusat-pusat pertumbuhan pada akhirnya juga
menjadi lemah karena proses urbanisasi yang luar biasa. Fenomena urbanisasi yang mampu memperlemah perkembangan kota ini dapat dilihat di kota-kota
besar di Indonesia yang dipenuhi oleh daerah kumuh slum area, tingginya tingkat polusi, terjadinya kemacetan dan sebagainya. Perkembangan perkotaan
pada akhirnya sarat dengan permasalahan-permasalah sosial, lingkungan dan ekonomi yang makin kompleks dan rumit untuk diatasi Rustiadi 2001.
Di Indonesia, wujud disparitas juga dalam bentuk urban bias dan pro Jawa.
Menurut Anwar dan Rustiadi 2000, kebijakan yang urban bias dimaksudkan sebagai kebijakan yang lebih menguntungkan kawasan perkotaan
dan memperlemah posisi bargaining wilayah perdesaan. Di dalam alokasi sumber daya, bias ini tercermin dalam kepincangan pembangunan antara wilayah
perdesaan dan wilayah perkotaan, yang mana secara ekonomi keseluruhan menjadi tidak efisien.
Pembuktian adanya pro urban dan pro Java di Indonesia di antaranya dilakukan oleh Garcia 2000 dengan menggambarkan kebijakan pemerintah pada
masa orde baru berdasarkan data tahun 1993 dan 1995. Dinyatakan bahwa pada masa orde baru, intervensi pemerintah ditunjukkan dengan memproteksi industri
10 sepuluh kali lebih banyak dibanding proteksi pertanian dan kehutanan, dan telah menetapkan pajak terhadap minyak, gas dan sektor pertambangan.
Pulau Jawa mempunyai ratio tenaga kerja terhadap luas lahan yang besar dan memproduksi sebagian besar output dari sektor industri di Indonesia, sedang
pulau-pulau lain seperti Sumatera, Kalimantan dan Indonesia Timur, rasio tenaga kerja terhadap luas lahan relatif kecil, tetapi mempunyai sumber daya alam besar
dan memproduksi output terbesar dari sektor sumber daya alam. la menyimpulkan bahwa pemerintah orde baru lebih berpihak pada penduduk perkotaan daripada
penduduk perdesaan, dan pada kegiatan industri daripada sektor-sektor primer, dan pada Pulau Jawa daripada Bali, Sumatera dan Indonesia Timur
Menurut Anwar dan Rustiadi 2000, masalah kemiskinan adalah ciri dan pemandangan yang umum sebagian besar penduduk perdesaan. Sedang menurut
Lipton 1977 secara umum terjadi misalokasi sumberdaya antara perkotaan dan perdesaan urban bias. Lipton bahkan menggambarkan adanya kesepakatan
umum di antara para pengambil kebijakan bahwa pembangunan berarti pertumbuhan ekonomi. Untuk mencapai pertumbuhan ekonomi, investasi
dipusatkan untuk industri yang dianggap lebih menguntungkan dan mengabaikan fakta bahwa mayoritas penduduk berada di perdesaan.
Terdapat tiga karakteristik penting dari kebijakan yang bias perkotaanurban bias, yaitu :
- menitikberatkan pada pasar dan pertumbuhan ekonomi
- memprioritaskan industri lebih besar daripada pertanian
- alokasi sumberdaya lebih besar ke masyarakat kota daripada ke desa
Dari hasil penelitian dan pernyataan di atas, terlihat bahwa kebijakan yang bias perkotaan tersebut lebih menekankan pada kegiatan perekonomian di wilayah
perkotaan. Kurangnya kegiatan perekonomian di wilayah perdesaan mengurangi sumber pendapatan penduduk perdesaan, sehingga untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya penduduk desa akan menuju wilayah perkotaan, terjadi keterkaitan perkotaan - perdesaan.
Melihat kondisi yang demikian dan dampak negatifnya terhadap perkembangan wilayah perdesaan dan perkotaan serta pertumbuhan perekonomian
nasional secara agregat, maka dirasa perlu untuk mengurangi disparitas antar wilayah dengan mulai berupaya untuk meningkatkan pembangunan wilayah
perdesaan agar tercapai pembangunan wilayah yang berimbang. Menurut Murty 2000, pembangunan wilayah yang berimbang merupakan
sebuah pertumbuhan yang merata dari berbagai wilayah yang berbeda untuk meningkatkan pengembangan kapabilitas dan kebutuhan mereka. Hal ini tidak
selalu berarti bahwa semua wilayah harus mempunyai perkembangan yang sama atau mempunyai tingkat industri yang sama, atau mempunyai pola ekonomi yang
sama atau mempunyai kebutuhan pembangunan yang sama, akan tetapi yang lebih penting adalah adanya pertumbuhan yang seoptimal mungkin dari potensi yang
dimiliki oleh setiap wilayah sesuai dengan kapasitasnya. Dengan demikian diharapkan keuntungan dari pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan merupakan
hasil dari sumbangan interaksi yang saling memperkuat diantara semua wilayah yang terlibat.
2.3. Pengembangan Wilayah