Pemulung Masyarakat Pemanfaat Sampah
58 Tabel 12 Kondisi mayoritas pemulung pada pengelolaan persampahan
Kota Bandung hasil analisis
Kondisi mayoritas pemulung Persentase
Jenis kelamin laki- laki 75
Umur 25-35 tahun 29
Status kawin 75
Daerah asal Jawa Barat 100
Rumah milik sendiri 65
Pendidikan Sekolah Dasar 64
Sebelumnya adalah petani 34
Menjadi pemulung daripada menganggur 89
Telah lebih dari 5 tahun menjadi pemulung 45
Penghasilan Rp. 20.000-30.000,- per hari 55
Tidak mempunyai pekerjaan selain menjadi pemulung 84
Bekerja lebih dari 8 jam per hari 75
TPA adalah tempat yang disukai 61
Logam = barang yang paling dicari 19
Plastik = barang yang paling mudah didapat 22
Logam = barang yang paling jarang didapat 34
Plastik + logam = barang yang paling laku dijual 42
Karet = barang yang paling tidak laku dijual 37
Pemulung yang berada di kota Bandung di dominasi oleh laki- laki dengan proporsi 75. Kisaran umur para pemulung tersebar dari dibawah umur 25 tahun
sampai lebih dari 45 tahun dengan merata dengan persentase terbesar yaitu 29 berumur 25-35 tahun, dengan 75 dari mereka berstatus telah menikah.
Mayoritas dari pemulung berasal dari Jawa Barat, dan 65 dari jumlah pemulung responden telah memiliki rumah sendiri. Sebesar 64 pemulung hanya
berpendidikan sekolah dasar, dan 23 lulus dari sekolah menengah pertama. Adapula responden yang memiliki pendidikan cukup, sejumlah 4 lulus sekolah
menengah tingkat atas dan 1 lulus dari pendidikan tinggi .
59 Pekerjaan sebelum menjadi pemulung cukup bervariasi, namun yang cukup
menonjol adalah 34 adalah petani, 28 buruh pabrik, dan 20 penganggur. Hampir semua pemulung 89 beralasan memilih pekerjaan sebagai pemulung
adalah karena kesulitan mencari pekerjaan lain daripada menganggur. Hampir separuh 45 telah lebih dari 5 tahun bekerja sebagai pemulung dan 25 baru
bekerja kurang dari setahun sebagai pemulung. Penghasilan rata-rata perhari berkisar antara Rp 20.000,- sampai Rp 30.000,-, sebagian kecil 12
memperoleh sampai Rp 40.000,- per hari. Hampir semua pemulung 84 tidak mempunyai pekerjaan lain, namun
ada pemulung 10 yang juga bekerja sebagai petani. Jam dan hari kerja pemulung tidak tertentu, namun sebagian besar 75 bekerja lebih dari 8 jam per
hari. Kondisi cuaca dan ketersediaan sampah sangat berpengaruh pada jumlah jam kerja tersebut. Tempat yang paling disukai adalah TPA karena terdapat cukup
banyak sampah yang dapat dipulung. Perumahan juga cukup disukai karena barang pulungan relatif lebih bersih dibandingkan TP A. Daerah pertokoan
dianggap paling sulit oleh pemulung untuk memperoleh barang pulungan. Selain ketersediaan barang pulungan, lokasi pemulungan juga dipilih karena alasan dekat
dengan lapak sehingga memudahkan untuk menjual barang pulungan. Lokasi pemulungan relatif menetap dan baru berpindah ketempat lain bila di lokasi
semula tidak terdapat cukup barang pulungan. Barang pulungan yang paling banyak diambil adalah kertas, kardus, plastik,
dan logam. Selain terdapat cukup banyak, jenis barang ini relatif mudah untuk dijual ke lapak. Logam besi termasuk barang pulungan yang jarang diperoleh,
sedangkan karet dan kayu adalah jenis barang yang paling sulit untuk dijual. Harga jual barang pulungan dari TPA relatif lebih rendah dibandingkan dengan
dari daerah permukiman karena relatif lebih bersih. Tidak ada standar harga jual, umumnya ditentukan oleh pihak lapak.
Sampai saat ini belum ada pembinaan bagi pemulung di Kota Bandung, baik berupa organisasi atau akses terhadap segala bentuk informasi. Hasil obeservasi
memperlihatkan bahwa para pemulung lebih menyukai cara kerja secara individual dengan sikap bebas terhadap waktu kerja. Namun terdapat minat untuk
60 bekerja dibawah suatu perusahaan dengan tujuan memperoleh kehidupan dan
masa depan yang lebih baik. Hal tersebut diatas sejalan dengan penelitian Nas dan Jaffe 2004 yang
meneliti pemulung di Kota Bandung. Pembinaan terhadap pemulung pernah dilakukan oleh Institut Teknologi Bandung ITB pada tahun 1986, untuk
meningkatkan pendapatan pemulung dengan mendirikan koperasi pemulung. Koperasi berjalan dan cukup membantu pemulung, tetapi setelah pembinaan
dihentikan, koperasi pemulung tersebut juga secara perlahan- lahan berhenti. Para pemulung bekerja sama kembali dengan lapak bandar.
Penelitian Djuwendah 2005 ya ng mengamati kegiatan daur ulang di Kota Bandung menyebutkan bahwa hubungan antara pemulung, lapak atau bandar
merupakan hubungan yang bersifat kooperatif dan saling menguntungkan. Kelembagaan transaksi yang ada memperlihatkan adanya distribusi biaya dan
keuntungan yang seimbang. Hubungan ini merupakan hubungan saling membutuhkan, yaitu pemulung sebagai pihak pencari barang, sedangkan lapak
adalah pihak yang membeli barang dari pemulung. Lapak akan menjual barang kepada bandar yang selanjutnya menjualnya kepada pihak produsen barang daur
ulang. 4.2.3.2. Lapak Bandar
Lapak yang menjadi sampel terdiri dari lapak yang berada di sekitar lokasi tempat pembuangan akhir TPA sampah, sebanyak 20 orang. Para lapak
membeli barang pulungan dari pemulung, kemudian menjualnya kepada bandar. Profil mayoritas lapak tersebut disajikan di Tabel 13 berikut ini.
61 Tabel 13 Kondisi mayoritas lapak yang ada pada pengelolaan persampahan Kota
Bandung hasil analisis Kondisi mayoritas lapak
Persentase Jenis kelamin laki- laki
78 Status kawin
100 Memiliki rumah sendiri
87 Daerah asal Jawa Barat
96 Pendidikan SD sampai SMP
74 Sebelumnya adalah buruh pabrik
30 Menjadi lapak daripada menganggur
57 Telah lebih dari 5 tahun menjadi pemulung
57 Penghasilan Rp. 20.000-40.000,- per hari
60 Bekerja lebih dari 8 jam per hari
87 TPA adalah tempat yang disukai
71
Sebagian besar lapak 78 adalah laki- laki dengan status kawin. Sebagian lapak 87 mempunyai rumah milik sendiri, sedangkan selebihnya tinggal di
rumah sewa atau menumpang pada keluarga. Tingkat pendidikan rata-rata adalah Sekolah Dasar sampai SMU, namun juga terdapat 4 lapak berpendidikan
perguruan tinggi. Pekerjaan sebelum menjadi lapak cukup bervariasi, namun yang cukup menonjol adalah 17 adalah pemulung, 22 adalah petani, dan 30 buruh
pabrik. Lebih dari separuh 57 beralasan menjadi lapak adalah karena kesulitan mencari pekerjaan lain, dan telah bekerja sebagai lapak lebih dari 5 tahun 57
sedangkan 39 baru bekerja 1-5 tahun. Hampir semua lapak 83 memulai usaha dengan modal sendiri ditambah pinjaman. Penghasilan rata-rata perhari
tergantung dari besarnya modal, 17 berpenghasilan kurang dari Rp 20.000,-, 60 berpenghasilan antara Rp 20.000,- sampai Rp 40.000,-, dan 22
berpenghasilan lebih dari Rp 40.000,- per hari. Jam dan hari kerja lapak tidak tertentu, namun sebagian besar 87 bekerja
lebih dari 8 jam per hari. Lapak umumnya mencari lokasi kerja yang mudah didatangi oleh pemulung, sehingga sebagian besar lapak 71 berada di sekitar
TPA. Barang pulungan yang paling banyak dibeli oleh lapak adalah kertas,
62 kardus, plastik, logam, dan gelas. Selain terdapat cukup banyak, jenis barang ini
relatif mudah untuk dijual ke pabrik daur ulang. Tidak ada standar harga jual, umumnya ditentukan oleh pihak pabrik. Sampai saat ini belum ada pembinaan
bagi lapak, baik berupa organisasi atau akses terhadap segala bentuk informasi. Para lapak masih menyukai cara kerja secara individual dengan sikap bebas
terhadap waktu kerja. Sikap ini didorong oleh kemudahan untuk menentukan harga beli dari pemulung tanpa dipengaruhi oleh lapak lainnya. Namun terdapat
minat untuk bekerja dibawah suatu perusahaan dengan tujuan memperoleh kehidupan dan masa depan yang lebih baik.
Menurut Djuwendah 2005 lapak dalam kegiatan daur ulang sampah merupakan penampung dan perantara yang membeli dari pemulung dan akan
menjual kembali kepada bandar pedagang besar. Bandar biasanya melakukan spesialisasi dalam membeli bahan dauran sampah dan omsetnya relatif besar.
Lapak melakukan kerjasama dengan bandar dengan tujuan agar terhindar dari resiko fluktuasi harga, ketersediaan modal operasional besar, biaya pemasaran,
biaya bongkar muat dan transportasi.