Model Pengembangan Kelembagaan Pengelolaan Persampahan Kota Berbasis Partisipasi Masyarakat (Studi Kasus Kota Bandung)

(1)

MODEL PENGEMBANGAN KELEMBAGAAN

PENGELOLAAN PERSAMPAHAN KOTA

BERBASIS PARTISIPASI MASYARAKAT

(STUDI KASUS KOTA BANDUNG)

ENDANG SARASWATI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2007


(2)

ENDANG SARASWATI. Model Pengembangan Kelembagaan Pengelolaan Persampahan Kota Berbasis Partisipasi Masyarakat (Studi Kasus Kota Bandung). Dibimbing oleh HADI S ALIKODRA, ENRI DAMANHURI dan HARTRISARI HARDJOMIDJOJO.

Pengelolaan sampah Kota Bandung mempunyai masalah utama berupa keterbatasan dalam kapasitas pelayanan, yaitu hanya sekitar 60% dari sampah kota. Hal ini hanya bisa ditanggulangi melalui reduksi sampah oleh masyarakat. Oleh karena itu partisipasi masyarakat menjadi basis pengelolaan sampah. Tujuan penelitian adalah membuat model pengembangan kelembagaan pengelolaan sampah kota yang berbasis partisipasi masyarakat. Stakeholder yang terlibat dalam pengelolaan sampah kota adalah masyarakat penghasil sampah, pengelola sampah, pemanfaat sampah, pemerhati masalah sampah, dan pemerintah.

Metode yang digunakan dalam penelitian adalah analisis statistik, organizational capacity assessment tool (OCAT) dan analisis prospektif. Responden yang terlibat meliputi 520 orang kepala rumah tangga, 26 orang Ketua RT, 26 orang Ketua RW, 26 orang Lurah, 26 orang Camat, 100 orang pemulung, 20 orang lapak, 4 orang pengusaha daur ulang, 3 orang pengusaha kompos, dan 4 lembaga swadaya masyarakat.

Analisis statistik menghasilkan tujuh faktor dari rumah tangga yang berpengaruh nyata terhadap pengelolaan persampahan. Ketujuh faktor tersebut adalah (1) jumlah sampah (2) yang menangani sampah di rumah sebelum dibuang, (3) pengetahuan tentang 3R (reduce, reuse, recycle), (4) pemilahan, (5) pelaksanaan reduce, (6) pelaksanaan reuse

dan (7) kesediaan melakukan recycle (daur ulang). Ibu rumah tangga merupakan pihak

yang paling berperan dalam pengelolaan sampah di rumah sebelum dibuang. Masyarakat pengelola sampah adalah RT (rukun tetangga) dan RW (rukun warga) yang merupakan community based organization. Masyarakat pemanfaat sampah meliputi pemulung, lapak (bandar), perusahaan pembuatan kompos dan produk daur ulang. Analisis terhadap kapasitas organisasi pengelola persampahan kota, menunjukkan lembaga tersebut masih

dalam taraf pengembangan (expanding). Aspek terlemah dalam kapasitas organisasi

adalah aspek pelayanan.

Faktor kunci dalam pengembangan kelembagaan pada pengelolaan persampahan kota berbasis partisipasi masyarakat adalah sosialisasi 3R, pemahaman 3R, peran ibu rumah tangga, kegiatan usaha kompos, pemasaran kompos, kegiatan usaha daur ulang, pemasaran produk daur ulang. Skenario yang terpilih dalam model pengembangan kelembagaan pengelolaan persampahan berbasis partisipasi masyarakat adalah skenario Agak Optimis. Strategi untuk pencapaian skenario tersebut adalah dengan sosialisasi untuk pemahaman 3R. Sasaran utama sosialisasi adalah ibu rumah tangga.

Model kelembagaan pengelolaan persampahan berbasis partisipasi masyarakat adalah rangkaian kegiatan pengelolaan sampah yang sinergis antara masyarakat penghasil, pengelola, pemanfaat sampah dan masyarakat pemerhati lingkungan serta pemerintah dalam aspek sosialisasi 3R dan pemasaran kompos dan produk daur ulang. Hasil simulasi reduksi jumlah sampah sebesar 40% dicapai dalam 20 tahun yang terbagi dalam 3 tahapan yaitu jangka pendek, menengah dan panjang. Hal tersebut dapat dicapai bila sosialisasi 3R (reduce, reuse dan recycle) dilakukan serentak di 26 kecamatan.

Kata kunci : pengembangan kelembagaan, pengelolaan sampah kota, partisipasi masyarakat


(3)

ENDANG SARASWATI. Institutional Development Model of Municipal Solid Waste Management in Community Participation Based (with special reference to Bandung City). Under direction of HADI S ALIKODRA, ENRI DAMANHURI and HARTRISARI HARDJOMIDJOJO.

Waste management becomes a major problem for municipal institution and the community of Bandung City. The major problem is waste generation exceeding municipal waste management capacity. It is about 40% of municipal solid waste could not be transported to final disposal site. To overcome this problem waste minimization must be conducted from the source i.e. households by integrating institution and community participation in waste management. The objective of the study is to develop integrated institution in municipal waste management based on community participation. The method was used in the study were statistical analysis, organizational capacity assessment tool (OCAT) and prospective analysis. The respondents were 520 households, 26 neighborhood association heads, 26 sub district heads, 100 scavengers, 4 recycling business and 3 composting business and 4 non government organizations (NGO’s).

The statistical analysis from household level showed that there were seven factors of household characteristics significantly related to waste management in three regions of population density i.e. :(1) waste volume, (2) person in charge in handling domestic waste at home before disposing, (3) understanding level of 3R (4) waste separation; (5) reduce, (6) reuse, and (7) willingness to recycle. The housewife had a major role in handling domestic waste. Neighborhood associations (RT and RW) were community based organizations who collecting domestic waste. Communities that used waste domestic were scavengers, buyers, compost and recycling product business. Organizational capacity assessment tool (OCAT) was conducted to show the capacity of municipal waste management organization. The result shows that the organization was in expanding level; however the weakest factor in organizational capacity was service aspect.

Prospective analysis was conducted by workshop method involving stakeholders in waste management of Bandung City to create scenario to build synergy between institutions and community participation. Identified key factors were 3R socialization, 3R comprehension, the housewife role, composting business, composting marketing, recycling product business, recycling product marketing. The scenario created was rather optimistic scenario that socialized of 3R program should be encouraged; in order to increase 3R comprehension with the main target of socialization were the housewives.

The model of institutional development in municipal solid waste management was a synergy of waste management activities between the communities and government in 3R socialization. The simulation of 40% waste reduction would be achieved in 20 years, that is divided into 3 phase (short, medium and long term) of socialization that should be implement in 26 districts.


(4)

©

Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2007

Hak cipta dilindungi

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotokopi, mikrofilm dan sebagainya


(5)

MODEL PENGEMBANGAN KELEMBAGAAN

PENGELOLAAN PERSAMPAHAN KOTA

BERBASIS PARTISIPASI MASYARAKAT

(STUDI KASUS KOTA BANDUNG)

ENDANG SARASWATI

Disertasi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada

Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor

S E K O L A H P A S C A S A R J A N A

I N S T I T U T P E R T A N I A N B O G O R

B O G O R

2 0 0 7


(6)

Judul Disertasi : Model Pengembangan Kelembagaan Pengelolaan Persampahan Kota Berbasis Partisipasi Masyarakat (Studi Kasus Kota Bandung)

Nama Mahasiswa : Endang Saraswati

NIM : P026010151

Disetujui, Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Hadi S. Alikodra, MS Ketua

Prof. Dr. Ir. Enri Damanhuri Anggota

Dr. Ir. Hartrisari Hardjomidjojo, DEA. Anggota

Diketahui,

Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam & Lingkungan

Dr. Ir.Surjono H. Sutjahjo, MS.

Dekan Sekolah Pascasarjana IPB

Prof. Dr.Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS


(7)

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas karunia yang dilimpahkanNya, sehingga disertasi ini dapat diselesaikan, meskipun waktu penyelesaiannya lebih lama daripada waktu yang seharusnya. Penelitian dilakukan sejak pertengahan tahun 2004 sampai Januari 2006. Tema yang dipilih adalah pengelolaan persampahan dengan judul disertasi: Model Pengembangan Kelembagaan Pengelolaan Persampahan Kota Berbasis Partisipasi Masyarakat (Studi Kasus Kota Bandung).

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Prof. Dr. Ir. Hadi S Alikodra, MS selaku ketua komisi pembimbing juga kepada Prof. Dr. Ir. Enri Damanhuri dan Dr. Ir. Hartrisari H Hardjomidjojo, DEA selaku anggota komisi pembimbing. Penghargaan penulis sampaikan kepada Perusahaan Daerah Kebersihan yang telah memberikan kesempatan untuk dilakukannya penelitian ini. Perhargaan yang sama disampaikan kepada Pemerintah Kota Bandung yang telah memfasilitasi penyelenggaraan lokakarya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Februari 2007


(8)

Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 15 Juni 1956 sebagai anak sulung dari tiga bersaudara, dari pasangan Almarhum Prof. Ir. Suryono dan Sutjiningroem Pendidikan sarjana ditempuh pada jurusan Teknik Lingkungan Institut Teknologi Bandung, dan lulus pada tahun 1986. Tahun 1998 mengikuti program pasca sarjana pada Ilmu Geografi di Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) Universitas Indonesia, dan lulus pada tahun 2000. Tahun 2001 mengikuti program S3 pada program studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PSL), Institut Pertanian Bogor dengan peminatan Kebijakan Manajemen Lingkungan (KML).

Sejak tahun 1986, penulis menjadi tenaga pengajar pada Institut Teknologi Adityawarman Bandung. sekarang Universitas Kebangsaan, pada jurusan Teknik Lingkungan.

Selama mengikuti program S3, karya ilmiah yang telah diterbitkan adalah “Dinamika Pembangunan Fisik Permukiman Kota: Kasus Kota Jakarta” pada buku Dimensi Keruangan Kota terbitan UI Press tahun 2001 dengan penyunting Raldi Hendro Koestoer dkk. Selanjutnya adalah tulisan dengan judul “Ecotourism Potency of Pulau Dua and Suroundings” dalam Dynamic Situation in Indonesia, terbitan Department of Geography, University of Indonesia (2002). Makalah penulis telah disajikan dalam 3rd International Convention of Asia Scholar (ICAS3) di Singapura pada tanggal 19 sampai 22 Juni 2003 dengan jud ul “The Spatial Analysis in Determining Municipal Solid Waste Disposal Site in Bandung, West Java”.


(9)

Halaman

DAFTAR TABEL . . . xii

DAFTAR GAMBAR . . . xiv

DAFTAR LAMPIRAN . . . xv

I. PENDAHULUAN . . . 1

1.1. Latar Belakang . . . 1

1.2. Tujuan Penelitian . . . 3

1.3. Kerangka Pemikiran . . . 4

1.4. Manfaat Penelitian . . . 6

1.5. Novelty (Kebaruan) . . . 7

II. TINJAUAN PUSTAKA . . . 8

2.1. Pengelolaan Persampahan Kota . . . 8

2.1.1. Aspek Teknik Operasional . . . .. . . 9

2.1.2. Aspek Organisasi. . . 11

2.1.3. Aspek Pembiayaan . . . 13

2.1.4. Aspek Peraturan . . . 14

2.1.5. Aspek Peranserta Masyarakat . . . 14

2.2. Teori Kelembagaan. . . . . . 15

2.2.1. Lembaga/ Institusi . . . .. . . 15

2.2.2. Organisasi . . . 17

2.2.3. Kelembagaan Lingkungan. . . 18

2.2.4. Penelitian Aspek Kelembagaan. . . 19

2.2.5. Pengembangan Kelembagaan. . . 20

2.3. Peranserta (Partisipasi) Masyarakat. . . 23

2.4. Metode Penelitian Analisis Kelembagaan & Peranserta Masyarakat 25 2.5. Model . . . 27

III. METODE PENELITIAN . . . 29

3.1. Tempat dan Waktu Penelitian . . . 29

3.2. Formulasi Permasalahan. . . 29

3.3. Rancangan Penelitian . . . 31


(10)

3.3.3. Metode Analisis Data. . . . . . . 36

3.3.3.1. Analisis Statistik dengan Uji khi-kuadrat . . . 38

3.3.3.2. Organizational Capacity Assessment Tool (OCAT). . 38

3.3.3.3. Analisis Prospektif dengan Metode Lokakarya . . . . 39

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN . . . 41

4.1.Pengelolaan Sampah Kota Bandung . . . 41

4.1.1.Teknik Operasional. . . 41

4.1.2. Organisasi . . . . . . 44

4.1.3. Pembiayaan. . . 46

4.1.4. Peraturan . . . 47

4.1.5. Peranserta Masyarakat . . . 47

4.2. Peran Stakeholder dalam Pengelolaan Sampah . . . 48

4.2.1. Masyarakat Penghasil Sampah . . . . . . . 48

4.2.2. Masyarakat Pengelola Sampah . . . .. . . 53

4.2.3. Masyarakat Pemanfaat Sampah . . . . . . . 57

4.2.3.1. Pemulung . . . . . . 57

4.2.3.2. Lapak (Bandar) . . . . . . 60

4.2.3.3. Perusahaan Pembuatan Kompos . . . 62

4.2.3.4. Perusahaan Daur Ulang . . . . . . 63

4.2.4. Masyarakat Pemerhati Lingkungan . . . . 64

4.2.4. Pemerintah . . . . . . . 65

4.3. Pengembangan Kelembagaan . . . . . . 70

4.3.1. Skenario dan Implikasi Pengembangan Skenario Kelembagaan Pengelolaan Persampahan Berbasis Partisipasi Masyarakat . . . 70 4.3.2. Pengembangan Kelemb agaan Pengelolaan Persampahan Berbasis Partisipasi Masyarakat . . . 80 4.3.3. Simulasi Reduksi Jumlah Sampah Berdasarkan Skenario Pengembangan Kelembagaan . .. . . 87 4.3.3.1. Strategi Sosialisasi 3R .. . . 88

4.3.3.2. Strategi Pemasaran Kompos . . . 91


(11)

5.2. Saran . . . 98 DAFTAR PUSTAKA . . . 99 LAMPIRAN . . . 104


(12)

No. Halaman

1 Jumlah responden dan metode pengumpulan data . . . 32

2 Variabel yang diamati . . . 33

3 Skor untuk lembaran asesmen analisis kelembagaan dengan OCAT 39

4 Skala rating disetarakan dengan tingkat pengembangan . . . 39

5 Skor atau nilai pengaruh antar faktor pada analisis prospektif . . . 40

6 Jumlah sampah Kota Bandung tahun 2000-2004 (BPS 2000-2004) . . 41

7 Tingkat kemampuan pengangkutan sampah (PD Kebersihan 2005). . 43

8 Jumlah penerimaan dan pengeluaran (PD Kebersihan 2005) . . . 46

9 Ringkasan hubungan karakteristik rumah tangga dengan aspek pengelolaan samapah pada tiga wilayah kepadatan (hasil analisis)

51

10 Ringkasan dari hasil uji pada masyarakat penghasil sampah (hasil analisis) . . . . . .

52

11 Ringkasan hubungan karakteristik rukun tetangga, rukun warga, kelurahan, dan kecamatan dengan aspek pengelolaan sampah pada pengelolaan persampahan Kota Bandung (hasil analisis) . . .

55

12 Kondisi mayoritas pemulung pada pengelolaan persampahan Kota Bandung (hasil analisis) . . .

58

13 Kondisi mayoritas lapak yang ada pada pengelolaan persampahan Kota Bandung (hasil analisis) . . .

61

14 Daftar perusahaan pembuatan kompos (hasil analisis) . . . 63

15 Perusahaan daur ulang (hasil analisis) . . . 64

16 Hasil penilaian kapasitas organisasi PD Kebersihan menggunakan OCAT (hasil analisis) . . .

66

17 Daftar faktor yang teridentifikasi dalam pengembangan kelembagaan pengelolaan persampahan berbasis partisipasi masyarakat di Kota Bandung . . .

71

18 Keadaan faktor kunci pada pengembangan kelembagaan pengelolaan persampahan berbasis partisipasi masyarakat . . .


(13)

berbasis partisipasi masyarakat (hasil analisis) . . . 20 Hasil penilaian untuk skenario pengembangan kelembagaan pengelolaan persampahan berbasis partisipasi masyarakat . . .

76

21 Hasil analisis, pengembangan dan implementasi skenario pengembangan kelembagaan pengelolaan persampahan berbasis partisipasi masyarakat . . .

84

22 Target sosialisasi 3R pertahun dari tahun 2005 sampai 2024 (hasil analisis) . . . . . .

90

23 Strategi jangka pendek, menengah dan panjang pada sosialisasi 3R dan pemasaran kompos dan produk daur ulang (hasil analisis)


(14)

No. Halaman 1 Kerangka pemikiran berdasarkan kelompok pelaku yang terlibat

dalam pengelolaan persampahan kota . . . 5

2 Produksi dan pengelolaan sampah di Jakarta (CSI 2005) . . . 9

3 Diagram alir teknik operasional pengelolaan sampah (PD Kebersihan 2005) . . . 10

4 Proses pengembangan kelembagaan (DFID 2003) . . . 21

5 Pengembangan kelembagaan (Wenban-Smith 2002) . . . 22

6 Diagram analisis kelembagaan (Bandaragoda 2000) . . . 26

7 Peta wilayah Kota Bandung dengan 26 Kecamatan . . . 29

8 Sampling responden sampel camat, lurah, ketua RW, ketua RT dan kepala rumah tangga . . . 33

9 Lokasi sampel responden rumah tangga, rukun tetangga, rukun warga, kelurahan dan kecamatan terpilih . . . 34

10 Diagram metode penelitian yang digunakan. . . 37

11 Diagram operasiona l PD Kebersihan. . . 42

12 Struktur organisasi Perusahaan Daerah Kebersihan Kota Bandung. . 45

13 Hasil perhitungan penilaian kapasitas organisasi PD Kebersihan dengan OCAT . . . 67

14 Hasil analisis peran stakeholder dalam pengelolaan sampah eksisting . . . 69

15 Gambar tingkat kepentingan faktor- faktor yang berpengaruh pada sistem yang dikaji . . . 72

16 Diagram pengembangan kelembagaan pengelolaan sampah kota berbasis partisipasi masyarakat (hasil analisis) . . . 83

17 Jumlah sampah yang harus dibuang ke TPA selama tahun 2005-2024 tanpa dan dengan pemilahan oleh rumah tangga (hasil analisis) 89 18 Pergerakan radius sosialisasi pada setiap kecamatan (hasil analisis) 91 19 Jumlah sampah layak kompos, produksi kompos dan sampah layak daur ulang tahun 2005-2024 (hasil analisis) . . . 92


(15)

No. Halaman

1 Analisis hubungan karakteristik rumah tangga pada tiga wilayah kepadatan (Tabel 1 sampai 62) . . .

105

2 Analisis karakteristik RT, RW, Kecamatan, Kelurahan (Tabel 63 sampai 73) . . . . . . .

126

3 Profil perusahaan kompos . . . 130

4 Profil perusahaan daur ulang . . . 131

5 Profil lembaga swadaya masyarakat (LSM) . . . 133

6 Ringkasan peraturan yang berkaitan dengan pengelolaan sampah kota . . . . . . .. . . ..


(16)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Masalah persampahan kota hampir selalu timbul sebagai akibat dari tingkat kemampuan pengelolaan sampah yang lebih rendah dibandingkan jumlah sampah yang harus dikelola. Secara nasional, hanya 40% dari sampah kota yang dapat dikelola sedangkan sisanya dibakar atau dibuang ke badan air dan lahan terbuka (KMNLH 1997). Dampak yang terjadi adalah pencemaran udara, air dan tanah dengan resiko pada kesehatan lingkungan. Permasalahan pengelolaan persampahan meliputi koordinasi yang buruk, tidak ada unit perencana, sistem akuntansi lemah, terbatasnya dana, produktivitas pekerja lemah dan pengelola merupakan organisasi yang kecil di lingkungan pemerintah kota (Anschütz 1996).

Jumlah sampah tergantung dari jumlah penduduk dan tingkat timbulan sampah (waste generation). Masalah yang berkaitan dengan pertumbuhan jumlah penduduk adalah kenyataan bahwa sebagian penduduk terkonsentrasi di daerah perkotaan dengan tingkat kepadatan tinggi. Agenda 21 menyebutkan bahwa pada tahun 1990 sebanyak 30% dari penduduk Indonesia tinggal di perkotaan. Persentase ini akan meningkat menjadi 50% pada tahun 2020 dengan konsentrasi pertumbuhan di kota besar dan metropolitan. Tingkat timbulan sampah juga akan meningkat sebanyak lima kali lipat sebagai akibat dari berubahnya pola konsumsi karena meningkatnya kesejahteraan.

Agenda 21 juga menyebutkan bahwa Indonesia mempunyai kebijakan untuk berpegang pada prinsip pembangunan yang berkelanjutan, sehingga strategi dalam pengelolaan sampah pun harus mengikuti prinsip tersebut. Berdasarkan prinsip tersebut, maka pengelolaan limbah padat (sampah) mengikuti prinsip bahwa sampah tidak boleh terakumulasi di alam sehingga mengganggu siklus materi dan nutrien, bahwa pembuangan sampah harus dibatasi pada tingkat yang tidak melebihi daya dukung lingkungan untuk menyerap pencemaran dan menerapkan sistem tertutup dalam penggunaan materi seperti daur ulang dan pengomposan harus dimaksimalkan.

Berdasarkan prinsip pembangunan berkelanjutan maka strategi pengelolaan sampah harus dimulai dari sumber sampah sampai tempat


(17)

pembuangan akhir. Terdapat empat komponen yang menentukan keberhasilan pengelolaan sampah. Pertama, minimasi limbah, yaitu upaya mengurangi jumlah sampah baik dari proses produksi industri maupun dari rumah tangga. Kedua, daur ulang dan pembuatan kompos, yaitu memanfaatkan sampah baik organik maupun anorganik yang masih bernilai untuk didaur ulang atau dijadikan kompos. Ketiga, peningkatan pelayanan umum. Tidak seluruh sampah dapat didaur ulang atau dijadikan kompos, selalu saja ada sebagian sampah yang tetap harus dibuang. Karena itu, pelayanan umum diperlukan untuk mengelola sampah yang sudah tidak bisa dimanfaatkan. Keempat, meningkatkan pengolahan dan pembuangan sampah yang akrab lingkungan, yaitu usaha pengelolaan tempat pembuangan akhir secara benar tanpa mengakibatkan terjadinya pencemaran lingkungan.

Pengelolaan sampah kota terdiri dari 6 elemen, yaitu sumber sampah, pewadahan, pengumpulan, pengangkutan, pengolahan, dan pembuangan akhir (Tchobanoglous et al. 1993). Keterbatasan lahan pembuangan mengharuskan dilakukannya usaha mengurangi sampah yang harus dibuang ke lokasi pembuangan akhir (WasteNet 2006). Kota Bandung merupakan salah satu kota di Indonesia yang mempunyai permasalahan dengan ketersediaan tempat pembuangan akhir (TPA) sampah. Sebagai Kota Metropolitan Secara topografi Kota Bandung terletak pada ketinggian 791 Meter di atas permukaan laut (dpl), titik tertinggi di daerah Utara dengan ketinggian 1.050 meter dan terendah di sebelah Selatan 675 Meter di atas permukaan laut. Kota Bandung terdiri dari 26 kecamatan mempunyai luas 167,29 km2 atau 16.729 hektar dengan jumlah penduduk 2.228.268 jiwa dan kepadatan penduduk 133 jiwa per hektar (BPS 2003).

Sampai dengan bulan Februari 2005, seluruh sampah Kota Bandung dibuang ke TPA Leuwigajah yang berjarak 15 km dari pusat kota. Namun pada tanggal 21 Februari 2005 terjadi longsor di TPA tersebut sehingga pembuangan dialihkan ke TPA lain. Salah satu TPA pengganti adalah TPA Cicabe yang sebenarnya sudah ditutup.

Saraswati (2003) melakukan penentuan lokasi TPA berdasarkan pada Standar Nasional Indonesia (SNI) dengan pendekatan sistem informasi geografis. Berdasarkan studi tersebut lokasi yang sesuai untuk TPA sampah berada di


(18)

Kabupaten Bandung. Bila lokasi TPA sampah terpilih semakin jauh jaraknya dari pusat Kota Bandung, akan mengakibatkan biaya pengangkutan lebih tinggi sehingga biaya operasional pengelolaan sampah di Kota Bandung akan semakin tinggi.

Berdasarkan permasalahan ketersediaan lahan untuk TPA sampah di Kota Bandung, perlu dilakukan usaha untuk meminimalkan timbulan sampah di sumber. Usaha tersebut dilakukan melalui 3R (reduce, reuse, recycle) oleh sumber sampah. Reduce adalah meminimalkan jumlah sampah yang timbul, misalnya dengan tidak menggunakan barang sekali pakai. Reuse adalah menggunakan barang yang sifatnya tidak sekali pakai. Recycle adalah mendaur ulang sampah menjadi bahan baku dalam pembuatan kompos dan produk daur ulang. Melalui 3R maka jumlah sampah yang harus dibuang ke lokasi pembuangan akhir akan menyusut karena hanya berupa sampah sisa. Usaha recycle hanya bisa berjalan bila sumber sampah bersedia untuk melakukan pemilahan pada sampah, yaitu memisahkan antara sampah yang berupa bahan organik dan non organik. Sampah organik dapat dijadikan kompos, sedangkan sampah anorganik dapat dijadikan bahan baku produk daur ulang.

Aspek kelembagaan sering ditafsirkan sebagai organisasi. Sebenarnya organisasi merupakan salah satu bentuk dari aspek kelembagaan. Dalam mengkaji aspek kelembagaan selain organisasi yang menjadi perhatian, juga aspek peraturan, norma dan etika. Pada prinsipnya, aspek kelembagaan melibatkan aktor atau pelaku yang terlibat dalam pengelolaan. Agar pengelolaan persampahan secara terpadu dapat dicapai, peran sumberdaya manusia perlu diperhatikan. Karena itu, aspek partisipasi atau peranserta masyarakat perlu ditingkatkan dalam pengelolaan persampahan ini (Djogo et al. 2003). Diperlukan pengkajian untuk mengintegrasikan partisipasi masyarakat ke dalam aspek kelembagaan dalam pengelolaan persampahan kota.


(19)

1.2. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian adalah untuk menyusun model pengembangan kelembagaan pengelolaan persampahan kota, untuk itu tujuan antaranya adalah: 1. Menganalisis kelembagaan eksisting pada pengelolaan persampahan Kota

Bandung.

2. Menyusun skenario untuk mengembangkan kelembagaan pengelolaan persampahan kota berbasis partisipasi masyarakat.

3. Mengembangkan kelembagaan pengelolaan persampahan kota berbasis partisipasi masyarakat.

4. Membuat simulasi reduksi jumlah sampah dan strategi pencapaiannya.

1.3. Kerangka Pemikiran

Aspek kelembagaan dan partisipasi masyarakat merupakan aspek penting dalam pengelolaan persampahan. Bila pengembangan pada kedua aspek ini dilakukan tepat dan sinergis dengan aspek operasional pengelolaan sampah maka diharapkan akan dapat mengatasi permasalahan persampahan kota. Pada pengelolaan persampahan, lembaga yang menangani pengelolaan persampahan secara umum belum optimal, jika ditinjau dari komponen organisasi, peraturan, pembiayaan dan sumberdaya manusia. Ketidakoptimalan tersebut perlu untuk dikuantifikasi dengan pengkajian (assessment) dan analisis. Hasil pengkajian dan analisis ini merupakan masukan untuk pengembangan kelembagaan (Patan Conservation and Development Program 1996).

Teknik operasional pengelolaan sampah terdiri dari penanganan sampah disumber, pengumpulan, pemindahan, pengolahan, pengangkutan, dan pembuangan akhir (Tchobanoglous et.al. 1993). Penelitian akan dibatasi pada sumber sampah berupa rumah tangga. Pengumpulan sampah rumah tangga dikelola oleh organisasi Rukun Tetangga dan Rukun Warga (RT/RW) setempat, berupa pengambilan sampah dari setiap rumah. Sampah dari hasil pengumpulan kemudian dibawa ke suatu tempat pembuangan sementara (TPS) yang merupakan milik organisasi pengelola sampah kota. Oleh organisasi pengelola sampah kota


(20)

tersebut, sampah selanjutnya diangkut untuk dibuang ke tempat pembuangan akhir (TPA) sampah. Di TPA terdapat kegiatan pemanfaatan sampah oleh pemulung yang mengambil barang bekas yang masih bernilai dan produsen kompos yang memanfaatkan sampah organik. Diluar sistem pengelolaan sampah terdapat lembaga swadaya masyarakat yang mempunyai kegiatan yang berkaitan dengan masalah lingkungan.

Berdasarkan hal tersebut maka perlu dilakukan pengkajian terhadap masyarakat penghasil sampah, masyarakat pengelola sampah, dan masyarakat pemanfaat sampah, pemerintah, dan lembaga swadaya masyarakat (LSM), (Gambar 1).

Gambar 1. Kerangka pemikiran berdasarkan kelompok pelaku yang terlibat dalam pengelolaan persampahan kota (diadopsi dari Tchobanoglous et.al. 1993)


(21)

Pada Gambar 1, tampak bahwa terdapat lima kelompok besar pelaku pengelolaan persampahan kota, yaitu masyarakat penghasil sampah, masyarakat pengelola sampah, pemerintah, dan masyarakat pemanfaat sampah serta masyarakat pemerhati lingkungan. Masyarakat penghasil sampah terbagi menjadi dua, yaitu penghasil sampah domestik (rumah tangga) dan non domestik (pasar, pertokoan, industri rumah tangga). Sampah domestik dikelola oleh organisasi masyarakat, umumnya dari organisasi Rukun Tetangga (RT/RW), sedangkan sampah non domestik dikelola langsung oleh Dinas atau Perusahaan Daerah. Sampah kemudian diangkut ke tempat pembuangan akhir (TPA). Masyarakat pemanfaat sampah adalah mereka yang mengambil material yang masih bernilai dari sampah. Terdapat dua jenis material yaitu yang bersifat organik untuk dijadikan kompos dan yang bersifat anorganik untuk didaur ulang. Material ini dapat diperoleh langsung dari sumber, dari RT/RW, atau TPA.

Dilihat dari terkonsentrasinya para pemulung di TPA maka tampak bahwa kegiatan pengambilan material daur ulang hampir seluruhnya terjadi di TPA. Keadaan ini secara tidak langsung merugikan karena seluruh sampah harus diangkut ke TPA sehingga membutuhkan biaya besar. Bahan organik sudah tidak dalam kondisi segar untuk dikomposkan, dan material daur ulang relatif kotor dan sulit untuk dipilah karena sudah dalam kondisi tercampur.

Masyarakat pemanfaat sampah perlu ditingkatkan perannya dalam pengelolaan sampah, dengan cara mengintegrasikannya kedalam lembaga pengelola sampah. Pengintegrasian lembaga berbasis masyarakat ini dapat dilakukan dengan beberapa skenario. Konsep pengembangan kelembagaan ini diperoleh dengan bantuan para pakar melalui analisis prospektif. Para pakar yang terlibat meliputi pakar di bidang persampahan, pakar kelembagaan, wakil dari pengelola persampahan kota dan wakil dari LSM.

1.4. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian yang diharapkan adalah terhadap ilmu pengetahuan, para stakeholders dan pemerintah.

1. Bagi ilmu pengetahuan agar dapat menambah khasanah ilmu bidang lingkungan terutama pengelolaan persampahan kota.


(22)

2. Bagi stakeholder dalam pengambilan keputusan dalam pengelolaan sampah kota.

3. Bagi Pemerintah Pusat dan Daerah merupakan acuan untuk menetapkan suatu kebijakan.

1.5. Novelty (Kebaruan)

Jumlah sampah terus meningkat sejalan dengan pertumbuhan jumlah penduduk. Keterbatasan lahan tempat pembuangan akhir membuat pengelolaan sampah harus mengarah pada usaha menekan jumlah sampah yang harus dibuang dengan cara memanfaatkan sampah. Penelitian-penelitian sudah ada bersifat partial, yaitu hanya difokuskan pada salah satu stakeholder. Schenberg et al. (1999) dan Bulle S. (1999) melakukan penelitian tentang hubungan gender dan sampah. Moningka (2000) dan Anschutz (1996) melakukan penelitian tentang jenis partisipasi masyarakat. Damanhuri (2005) melakukan penelitian untuk mengetahui potensi daur ulang sampah Kota Bandung. Penelitian ini merupakan penelitian yang utuh yaitu meliputi semua stakeholder yang berperan dari hulu sampai dengan hilir, yaitu mulai dari sumber sampah sampai dengan usaha pemanfaatan sampah melalui program reduce, reuse dan recycle (3R).


(23)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengelolaan Persampahan Kota

Sampah adalah buangan yang ditimbulkan dari aktivitas manusia dan hewan, berbentuk padat, dan dibuang karena sudah tidak berguna atau tidak diinginkan keberadaannya Pengelolaan sampah dilakukan dengan tujuan mengendalikan secara sistematik semua kegiatan yang berhubungan dengan timbulnya sampah, penanganan sampah di sumbernya; penanganan, pemilahan, dan pengolahan sampah di sumbernya; pengumpulan; pengolahan dan daur ulang sampah; pemindahan dan pengangkutan; dan pembuangan akhir (Tchobanoglous

et. al. 1993).

Timbulnya sampah merupakan salah satu konsekuensi dari kegiatan kota. Sampah berasal dari daerah permukiman, pasar, pertokoan, fasilitas umum, dan sebagainya. Secara umum, sebagian besar dari sampah kota berasal dari permukiman yaitu berupa sampah dapur (garbage). Hal inilah yang menyebabkan lebih dari 60% volume sampah kota bersifat organik atau dapat membusuk. Terhadap sampah dapat dilakukan usaha daur ulang, misalnya pembuatan kompos dari sampah organik dan pemanfaatan barang bekas dari sampah anorganik (kertas, plastik, dan sebagainya). Sampah yang tidak didaurulang harus dibuang ke tempat pembuangan sampah (TPA). Pengelolaan sampah di Indonesia secara umum terdiri dari lima aspek, yaitu teknik operasional, organisasi, pembiayaan, peraturan, dan peranserta masyarakat. Kelima aspek tersebut diharapkan dapat berjalan secara terintegrasi sehingga diperoleh hasil pengelolaan persampahan yang optimal.

Pada tahun 1997, Yayasan Kirai Indonesia bersama UNESCO menganalisis dan mendata timbulan sampah di Jakarta, berdasarkan data yang diperoleh dari pemerintah kota. Jumlah sampah penduduk kota Jabotabek (Jakarta, Bogor, Bekasi, Tangerang) mencapai lebih dari 35.000 m3 per hari, 26.000 m3 diantaranya berasal dari Jakarta (CSI 2003). Sebesar 83% sampah dikumpulkan oleh masyarakat lokal, pemulung, pemerintah lokal dan perusahaan swasta. Sisanya sebesar 17% dibuang ke sungai. Di luar kota Jakarta, hanya sekitar 50% sampah yang dikumpulkan, dan 20% diantaranya tidak sampai ke tempat


(24)

pembuangan akhir sampah, kemungkinan besar dibuang di tempat pembuangan liar (Gambar 2).

Pembuangan sebagian sampah Jakarta ke laut mengakibatkan tertutupnya dasar laut Kepulauan Seribu dengan plastik. Keadaan ini mengganggu kehidupan bentos seperti terumbu karang, rumput laut dan spesies lain yang berkembang biak di dasar laut. Kerugian ekonomi akan dirasakan oleh para nelayan dan semua kehidupan dalam laut. Untuk menghadapi sampah yang timbul setiap hari di Jakarta, kota ini membutuhkan organisasi dengan program manajemen dan infrastruktur persampahan yang baik.

2.1.1. Aspek Teknik Operasional

Aspek teknik operasional pengelolaan persampahan terdiri dari pewadahan, pengumpulan, pemindahan, pengangkutan, dan pembuangan akhir. Diagram alir aspek teknik operasional tersebut digambarkan pada Gambar 3. Pewadahan

Rumah tangga 52% Pasar tradisional 17% Pasar moderen 15% Industri 15% Jalan 1% 25.58 m3/hr Pasar lokal Organik Anorganik Usaha daur ulang Pasar produk daur ulang

Pemulung Anorganik Lapak Peng- olahan

Industri daur ulang

Pengelolaan oleh DKI 21.741

m3/hr

Organik dan anorganik

Tempat Pembuangan Sementara atau Tempat

Pembuangan Akhir

Perusahaan swasta untuk jalan protokol

Sampah terbuang ke sungai 1.400 m3/hr

Ke Teluk Jakarta 1.000 m3/hr SUMBER PENGELOLAAN SAMPAH DI JAKARTA

Dikumpulkan dari sungai (DKI) 400 m3/hr

85%

5%


(25)

dilakukan oleh sumber sampah, yaitu rumah tangga, toko, pedagang pasar, pengelola sekolah, dan sebagainya. Bentuk wadah yang digunakan ditentukan sendiri sesuai selera dan kemampuan pemiliknya, dapat berupa tong logam, bin plastik, kotak kayu, atau bak pasangan bata. Setelah terkumpul di dalam wadah, sampah dapat diolah sendiri oleh pemiliknya, misalnya dijadikan kompos, atau menunggu untuk diambil oleh petugas. Pada beberapa tahun terakhir ini, terdapat gerakan dunia berupa 3R (reduce, reuse, recycle) terutama untuk sampah rumah tangga. Gerakan ini diharapkan bisa menekan persen pertumbuhan jumlah sampah.

Pewadahan à Pengumpulan à Pemindahan â Pengangkutan

â

Pembuangan akhir

Sumber

Masyarakat /

Pengelola Pengelola

Pengumpulan sampah adalah mengambil sampah dari sumber untuk dikelola lebih lanjut. Pekerjaan pengumpulan sampah di daerah permukiman umumnya dikelola dan dilakukan oleh organisasi masyarakat, misalnya RT/RW (Rukun Tetangga/Rukun Warga), LKMD (Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa), dan sebagainya. Kegiatan ini dibiayai dari iuran yang dipungut dari masyarakat yang dilayani. Pengumpulan sampah di daerah non permukiman, termasuk penyapuan jalan, umumnya dilakukan oleh pengelola persampahan kota, misalnya pada daerah komersial, taman kota, pasar, dan sebagainya. Selain oleh masyarakat dan pengelola persampahan kota, pengumpulan sampah juga dapat dilakukan oleh perusahaan swasta yang bekerja sesuai kontrak kerja.


(26)

Teknis pengumpulan adalah dengan cara mendatangi sumber untuk mengambil sampah. Pengumpulan dilakukan secara manual dengan peralatan bantu berupa gerobak atau sejenisnya. Bila sampah dari suatu sumber jumlahnya cukup tinggi, misalnya dari pasar atau supermarket, pengumpulan dilakukan dengan truk yang akan langsung mengangkut sampah tersebut ke tempat pembuangan akhir.

Pemindahan sampai dengan pembuangan sampah umumnya dilakukan oleh pengelola persampahan. Sampah hasil pengumpulan akan dikumpulkan di lokasi pemindahan (transfer depo) untuk nantinya diangkut ke tempat pembuangan akhir (TPA). Lokasi pemindahan secara prinsip berupa area tempat menumpahkan sampah dari alat pengumpul (gerobak). Untuk menjaga kebersihan, lokasi pemindahaan saat ini umumnya berupa kontainer tertutup yang selanjutnya akan diangkut ke TPA. Pengangkutan sampah dapat dilakukan dengan berbagai jenis truk, mulai dari truk terbuka sampai truk yang dilengkapi dengan alat pemadat (kompaktor). Metode pembuangan akhir yang umum dipakai di Indonesia adalah

open dumping (penimbunan terbuka). Mengingat akibat yang banyak timbul, yaitu

bau dan pencemaran air tanah oleh leachate, metode ini secara berangsur telah diganti dengan sanitary atau controlled landfill (Schubeler 1996).

2.1.2. Aspek Organisasi

Organisasi pengelola persampahan di Indonesia tampak cukup beragam, umumnya disesuaikan dengan jumlah sampah yang harus ditangani. Beberapa bentuk organisasi yang dikenal ada Seksi, Sub Dinas, Dinas, dan Perusahaan Daerah Kebersihan. Organisasi tersebut bisa khusus menangani sampah atau campuran. Kabupaten Sleman, misalnya, pengelolaan persampahan dilakukan oleh Seksi Kebersihan dan Pertamanan Sub Dinas Cipta Karya - Dinas Pekerjaan Umum, Pengairan dan Pertambangan (PUPP) Kabupaten Sleman. Penangan secara tercampur juga ditemui di Kota Balikpapan, yaitu pengelolaan persampahan yang berada dibawah tanggung jawab Dinas Kebersihan Pertamanan dan Pemakaman. Namun ada pula kota-kota yang sudah mempunyai organisasi yang khusus menangani sampah, misalnya Kota Bekasi yang sampahnya dikelola


(27)

oleh Sub Dinas Kebersihan DPU, atau sampah Kota Mataram dan Palembang yang dikelola oleh Dinas Kebersihan. Di Kota Makassar, pengelolaan sampah dilakukan oleh 3 badan, yaitu Dinas Keindahan untuk kota Makassar, Perusahaan Daerah Kebersihan untuk Kecamatan Tamalan Rea dan Kecamatan Birikanay, dan perusahaan swasta untuk daerah permukiman (real estate). Ada pula kerjasama antara beberapa kota dalam pengelolaan persampahan, misalnya dalam hal pembuangan akhir. Sebagai contoh adalah TPA Piyungan yang berada di Kabupaten Bantul yang berfungsi sebagai TPA gabungan dari Kota Yogyakarta, Kabupaten Sleman, dan Kabupaten Bantul. Semula, Kabupaten Sleman mempunyai TPA sendiri yang berada di Tambak Boyo. Namun TPA ini berada pada elevasi tinggi, sedemikian rupa sehingga berpotensi mencemari daerah-daerah yang lebih rendah. Penggunaan TPA Piyungan merupakan solusi yang paling aman karena terletak pada elevasi terendah terhadap Kota Yogyakarta, Kabupaten Sleman, dan Kabupaten Bantul. Kota Bandung telah memiliki organisasi yang lebih mandiri, yaitu Perusahaan Daerah Kebersihan (Departemen Kimpraswil 2003).

Kondisi yang beragam dari organisasi pengelolaan persampahan secara langsung juga memperlihatkan adanya keragaman dalam lingkup tanggung jawab dan kewenangan. Organisasi dengan bentuk Seksi, misalnya, memperlihatkan relatif kecilnya kewenangan yang dimiliki dan panjangnya jalur birokrasi yang harus dilalui dalam pengajuan sarana untuk pelaksanaan operasi dilapangan. Perusahaan Daerah lebih memiliki keleluasaan namun pada umumnya belum mampu mandiri, terutama dalam hal pendanaan mengingat terbatasnya kemampuan masyarakat dalam membayar retribusi sampah.

Bentuk badan pengelola persampahan dan dasar hukum pembentukan badan pengelola umumnya sesuai dengan kategori kota berdasarkan kriteria Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah (Kimpraswil) yaitu untuk kota besar & metropolitan (dengan jumlah penduduk antara 500.000 sampai dengan 1.000.000 jiwa) bentuk organisasi pengelola adalah Perusahaan Daerah atau Dinas Kebersihan dan Pertamanan; untuk kota sedang (dengan jumlah penduduk antara 200.000 sampai 500.000 jiwa) bentuk organisasi pengelola adalah Dinas Kebersihan dan Pertamanan; untuk kota kecil (dengan jumlah penduduk sebesar


(28)

antara 20.000 sampai 200.000 jiwa) bentuk organisasi pengelola Suku Dinas Kebersihan dan Pertamanan atau Seksi dibawah Dinas PU.

2.1.3. Aspek Pembiayaan

Aspek pembiayaan meliputi sumber dana dan biaya pengelolaan persampahan yang terdiri dari biaya operasi, pemeliharaan dan administrasi. Mengingat adanya dua tahap pengelolaan sampah, yaitu pengumpulan oleh RT/RW atau organisasi masyarakat dan pengelolaan selanjutnya oleh pengelola persampahan kota, maka terdapat dua macam pungutan yang harus dibayar oleh masyarakat. Masyarakat membayar iuran sampah kepada RT/RW, dan membayar retribusi kepada pengelola persampahan. Selain dari retribusi, sumber dana lainnya adalah dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).

Pemungutan retribusi dapat dilakukan secara langsung kepada masyarakat, misalnya melalui RT/RW yang membuang sampahnya ke lokasi pemindahan. Namun dapat pula dipungut secara tidak langsung dengan cara ‘menumpang’ pada pungutan lain. Di Bandung, misalnya, retribusi sampah dipungut pada saat rumah tangga membayar rekening listrik. Di Bekasi, pemungutan retribusi dilakukan langsung dari masyarakat oleh petugas atau pengemudi truk sampah yang bekerja sama dengan RT/RW. Hasil pemungutan kemudian disetorkan kepada Badan Keuangan dan Kekayaan Daerah (Bakukeda) yang kemudian memasukkannya ke kas daerah. Anggaran biaya rutin dan pembangunan kemudian dialokasikan dalam DIPDA.

Retribusi sebagai sumber dana belumlah mampu membiayai seluruh kegiatan pengelolaan persampaha n. Pemungutan retribusi sampah di Kota Bekasi pada tahun 2002, misalnya, baru terealisasi sebesar 81% dari target sesuai wajib retribusi. Retribusi tersebut diperoleh dari daerah permukiman (71%), pertokoan/ komersial (25%), dan lainnya (4%). Bila dibandingkan dengan besarnya kebutuhan biaya pengelolaan persampahan maka masih dibutuhkan subsidi yang harus ditanggung oleh Pemerintah Daerah. Subsidi pada tahun 2002 adalah sebesar 40% dari biaya pengelolaan (Departemen Kimpraswil 2003).


(29)

2.1.4. Aspek Peratura n

Peraturan yang hampir selalu ada meliputi peraturan tentang organisasi pengelola persampahan dan tarif retribusi yang umumnya berupa Peraturan Daerah (Perda). Peraturan lainnya biasanya tidak banyak berfungsi dikarenakan kurangnya kekuatan hukum yang me nyertai pemberlakukan suatu peraturan. Hal yang terjadi di Kota Bekasi, misalnya, peraturan tentang K3 (Ketertiban, Kebersihan dan Keindahan) dan peraturan tentang larangan dan sanksi yang berkaitan dengan persampahan belum dapat berfungsi. Hal ini dikarenakan belum adanya badan hukum yang mengawasi pelaksanaan Perda dan dapat melakukan tindakan terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh masyarakat atau badan usaha berkaitan dengan Perda tentang K3.

2.1.5. Aspek Peranserta Masyarakat

Peranserta masyarakat yang sudah berjalan relatif baik sampai saat ini adalah melakukan pengumpulan sampah yang dikoordinasi oleh organisasi-organisasi kemasyarakatan dan membayar retribusi sampah. Sejalan dengan gerakan 3R, kampanye dan penyuluhan kepada masyarakat sudah banyak dilakukan dengan tujuan agar masyarakat mau mengurangi sampahnya, menggunakan kembali barang-barang yang masih bisa dimanfaatkan, dan mendaur ulang sampahnya. Untuk tujuan ini masyarakat diminta kesediaannya untuk melakukan pemilahan sampah, yaitu memisahkan antara sampah basah (organik) dan sampah kering (anorganik). Sampah basah bisa dimanfaatkan untuk dijadikan kompos, sedangkan sampah kering berupa kertas, plastik, logam, kaca, dan sebagainya dapat dijadikan bahan baku industri daur ulang.

Di Kota Bandung, misalnya, pada tahun 1999 telah dilakukan Program Peningkatan Kesadaran Masyarakat dalam Hal Pengelolaan dan Daur Ulang Sampah yang merupakan kerjasama antara PD Kebersihan dengan GTZ. Program ini bertujuan mengubah perilaku masyarakat terhadap sampah berkenaan dengan terus meningkatnya jumlah sampah, salah satunya adalah mengajak masyarakat untuk mau memilah sampahnya. Melalui program ini, masyarakat diharapkan akan sadar atas konsekuensi dari terus meningkatnya jumlah sampah, yaitu akan


(30)

terus meningkatnya kebutuhan lahan untuk TPA, masalah pencemaran tanah dan air tanah, masalah kesehatan lingkungan, dan semakin tingginya biaya lingkungan dimasa yang akan datang. Konsekuensi tersebut juga mendorong keinginan Kota Bandung untuk mendirikan Pusat Daur Ulang Sampah Terpadu. Keinginan ini banyak disebabkan oleh komposisi sampah Kota Bandung yang berpotensi besar untuk didaur ulang, yaitu 70% berupa sampah basah dan hampir 30% berupa sampah kering (PD Kebersihan 2005).

Kenyataan yang banyak ditemui dala m hal peranserta masyarakat adalah rendahnya kesadaran tentang persampahan dan tidak adanya perangkat hukum yang mampu mengatur perilaku masyarakat, misalnya sanksi terhadap orang yang membuang sampah secara tidak semestinya, sanksi terhadap rumah tangga yang tidak mau memilah sampahnya, atau penghargaan terhadap rumah tangga yang sudah melakukan daur ulang. Meskipun demikian telah mulai tampak adanya kegairahan masyarakat untuk melakukan pembuatan kompos. Di Jakarta, misalnya, kegiatan pembuatan kompos unt uk media tanaman telah dilakukan di daerah Cilandak dibawah pembinaan Ibu Bambang Wahono di daerah Banjarsari Cilandak. Melalui kegiatan tersebut masyarakat diajak untuk menanam tanaman obat untuk keperluan sendiri. Vermikomposting, yaitu pembuatan kompos dengan cacing, telah dilakukan di SMU 34 Pondok Labu Jakarta Selatan. Permasalahannya adalah bahwa kegiatan masyarakat tersebut belum mampu bersinergi dengan pengelolaan persampahan kota, selain itu relatif masih sangat kecilnya jumlah sampah yang diolah oleh masyarakat terhadap jumlah sampah secara keseluruhan.

2.2. Teori Kelembagaan

2.2.1. Lembaga/ Institusi

Menurut Scott (2001) institusi atau lembaga memiliki tiga pilar. Tiga pilar dari institution adalah sistem regulasi, sistem norma dan sistem kultur kognitif. Pilar regulatif dari institusi adalah institusi menjaga dan mengatur perilaku


(31)

rule-setting), pemantauan (monitoring) dan sanksi. Proses regulasi meliputi penetapan peraturan, pemeriksaan, penentuan sanksi (rewards dan punishment) dalam rangka mempengaruhi perilaku di masa datang. Proses ini akan terjadi melalui mekanisme difusi informal maupun dengan secara formal.

Pilar normatif meliputi dimensi ketentuan (prescriptive), penilaian

(evaluative) dan kewajiban (obligatory) dalam kehidupan sosial. Sistem normatif

meliputi nilai dan norma. Nilai merupakan konsep disukai atau diinginkannya sesuatu, sesuai dengan standar yang ada dalam struktur atau perilaku yang berlaku. Norma menjelaskan bagaimana sesuatu harus dilakukan, norma menetapkan atau mensahkan maksud untuk mengejar nilai.

Pilar kultural kognitif dari institution adalah dengan menjembatani antara dunia luar dari stimulus dan respons dari organisme (individu). Hal ini merupakan internalisasi simbolis dari hal- hal yang merepresentasikan objek yang ada. Simbol, kata-kata, tanda-tanda, gesture memiliki pengaruh dengan menentukan maksud yang ditentukan terhadap objek dan kegiatan.

Kelembagaan dan kebijakan selalu menjadi isu penting dalam pembangunan. Sejarah menunjukkan bahwa di negara-negara maju kelembagaan yang baik merupakan kunci dari keberhasilan pengelolaan negara, pembangunan, pasar, perdagangan atau bisnis. Selama ini pemerintah Indonesia cenderung lebih menekankan pada pembangunan ekonomi dengan mengutamakan pembangunan infrastruktur fisik, teknologi, ekonomi dan politik. Sangat sedikit diperhatikan pembangunan infrastruktur kelembagaan (institusi). Di lain pihak kebijakan pemerintah cenderung tidak kons isten selalu berubah dan sulit dilaksanakan secara utuh. Ini memerlukan perhatian yang serius, karena pada dasarnya hampir semua kegagalan pembangunan bersumber dari dua persoalan fundamental yaitu kegagalan kebijakan dan kegagalan kelembagaan.

Institusi atau kelembagaan adalah pusat dari teori kebijakan dan institusi dianggap sebagai unsur untuk pembuatan dan pembentuk kebijakan. Misalnya kebanyakan kebijakan ditetapkan dalam bentuk aturan dan ketetapan yang merupakan unsur-unsur utama dalam kelembagaan. Kebijakan yang dibuat pemerintah biasanya disebut kebijakan publik karena dibuat untuk kepentingan publik (rakyat atau masyarakat banyak). Analisis tentang keterkaitan dan dampak


(32)

institusi pada kebijakan publik dianggap tidak lengkap atau dapat dikatakan pincang tanpa memperhatikan perpaduan antara analisis kebijakan publik dan analisis kelembagaan.

Menurut Djogo et. al. (2003), unsur-unsur dan aspek kelembagaan antara lain meliputi: (a) institusi merupakan landasan untuk membangun tingkah laku sosial masya rakat; (b) norma tingkah laku yang mengakar dalam masyarakat dan diterima secara luas untuk melayani tujuan bersama yang mengandung nilai tertentu dan menghasilkan interaksi antar manusia yang terstruktur; (c) peraturan dan penegakan aturan/ hukum; (d) aturan dalam masyarakat yang memfasilitasi koordinasi dan kerjasama dengan dukungan tingkah laku, hak dan kewajiban anggota; (e) kode etik; (f) kontrak; (g) pasar; (h) hak milik (property rights atau

tenureship) (i) organisasi; (j) insentif untuk menghasilkan tingkah laku yang

diinginkan

Dari unsur dan aspek kelembagaan tersebut di atas tampak bahwa lingkup kajian kelembagaan cukup luas. Karena itu pembatasan atau pendefinisian wilayah kajian kelembagaan perlu ditentukan. Hal ini penting agar dalam pengembangan kelambagaan yang akan dilakukan menjadi lebih terarah.

2.2.2. Organisasi

Organisasi adalah jaringan dari peran yang diatur dalam hirarki dengan tujuan membatasi kewenangan individual dan mengkoordinasi kegiatan sesuai dengan sistem aturan dan prosedur (Bandaragoda 2000). Organisasi adalah kelompok individu dengan peran tertentu dan terikat oleh beberapa kebutuhan, peraturan, dan prosedur untuk mencapai suatu tujuan. Seperti halnya lembaga, organisasi juga membentuk kegiatan manusia.

Scott (2001) mendefinisikan organisasi sebagai sesuatu yang diciptakan untuk memaksimalkan kesejahteraan, pendapatan, atau tujuan lainnya dengan cara menciptakan kesempatan melalui struktur kelembagaan dalam masyarakat.

Hubungan antar lembaga dan organisasi dapat dilihat dengan dua cara yaitu: (1) Melihat bagaimana suatu organisasi tumbuh menjadi mantap dan bagaimana organisasi tersebut tumbuh dengan dipengaruhi oleh suatu kerangka kerja


(33)

kelembagaan; dan (2) Organisasi yang telah mapan, yang didalamnya telah berlaku norma dan kebiasaan, pada kenyataannya adalah sebuah lembaga. Berdasarkan definisinya, lembaga adalah alat yang mengatur terbentuknya kegiatan manusia. Sehingga dapat dikatakan bahwa lembaga dapat berfungsi memberikan batasan dan sekaligus keleluasaan bagi suatu kelompok untuk melakukan suatu kegiatan (Scott 2001). Sebagai contoh adalah sistem hukum dan pengadilan yang membatasi tingkah laku manusia namun sekaligus juga membebaskan manusia untuk melakukan kegiatan yang tidak melawan hukum.

Fungsi lembaga ini juga berlaku dibidang persampahan. Masyarakat mempunyai keleluasaan untuk melakukan berbagai kegiatan yang menghasilkan sampah. Namun untuk hal tersebut terdapat batasan norma yang membatasi masyarakat untuk tidak membuang sampahnya secara sembarangan. Norma ini diperkuat dengan peraturan tentang tata cara membuang sampah dan sanksi hukum bagi masyarakat yang melanggar peraturan tersebut (Moningka 2000).

2.2.3. Kelembagaan Lingkungan

Menurut Muller-Glodde (1994) kelembagaan lingkungan (environmental

institution) merupakan norma dan nilai sosial, kerangka politis, program-program

lingkungan, pola perilaku dan komunikasi serta pergerakan sosial, yang membentuk interaksi sosial dari individu-individu yang menyusun organisasi dan kelompok secara langsung dan tidak langsung mempengaruhi peraturan yang mengatur sumber daya alam.

Individu- individu menciptakan bentuk dan substansi dari lembaga- lembaga melalui perilaku dan permintaan mereka, sementara lembaga (institusi) pada gilirannya mempengaruhi kehidupan individu dan pilihan-pilihan yang ada. Struktur kelembagaan merupakan kaitan (links), saluran komunikasi, yang memfasilitasi interaksi yang kompleks dari tiga variabel sistem yaitu individu, organisasi dan norma sosial. Hal ini menggambarkan hubungan antara variabel dan cara berinteraksi. Pengembangan kelembagaan dalam bidang lingkungan harus dilihat sebagai proses supra-sektoral dan supra- media, yang menghasilkan struktur kelembagaan yang memperbaiki sinergi dan komunikasi antara variabel


(34)

dalam sistem. Pengembangan kelembagaan dalam bidang lingkungan merupakan prosedur metodologis untuk mengembangkan dan memperluas pengetahuan, keterampilan, norma- norma, dan struktur.

2.2.4. Penelitian Aspek Kelembagaan

Institutional assessment (pengkajian kelembagaan) merupakan pendekatan

komprehensif untuk menggambarkan kapasitas dan kinerja kelembagaan. Pendekatannya dapat berupa pendeskripsian dari beragam faktor yang berperan dalam pengembangan kelembagaan yang meliputi : (1) kekuatan dari faktor luar lingkungan (administrasi dan hukum, politik, ekonomi, sosial dan budaya yang termasuk dalam analisis stakeholder); (2) faktor kelembagaan (sejarah, misi, budaya, kepemimpinan, struktur, sumberdaya manusia & finansial, sistem pengelolaan formal & informal, dan pengkajian kinerja); (3) keterkaitan antar lembaga (Morgan & Taschereasu 1996).

Penelitian di Jamaika mengamati perilaku institusi dan warganegara atau rumahtangga berkaitan dengan pengelolaan persampahan. Penelitian ini juga meneliti hubungan warganegara dan pemerintah lokal dalam mengimplementasikan teknologi pengelolaan persampahan. Juga memeriksa penataan dan hubungan antara pemerintah pusat dan lokal dalam merumuskan teknologi-teknologi baru (Pap 2003).

Secara umum penelitian hubungan dan perilaku institusi sektor persampahan di Jamaika meneliti tiga hal yang meliputi : (1) Apa perspektif warga lokal dalam pengelolaan persampahan dan bagaimana hal ini mempengaruhi kebijakan dan praktek pengelolaan persampahan.; (2) Bagaimana hubungan kelembagaan saat ini mempengaruhi kebijakan dan praktek pengelolaan persampahan; (3) Apa hubungan antara pemerintah pusat dan pemimpin lokal dan bagaimana hal ini mempengaruhi kebijakan dan praktek pengelolaan persampahan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perilaku di level rumah tangga dalam pengelolaan persampahan tergantung pada hubungan dan perilaku dalam lingkup kelembagaan yang lebih luas. Masalah kelembagan dari pemerintah pusat dan lokal mempengaruhi kebijakan dan praktek pengelolaan


(35)

persampahan yang selanjutnya mempengaruhi kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah lokal dan teknologi baru.

Teknologi dalam bentuk kebijakan baru dan teknik pembuangan baru tidak dapat mengatasi masalah lingkungan. Hal ini harus diikuti dengan analisis kelembagaan dan dilakukan reformasi agar teknologi baru cocok dengan situasi lokal dan dapat diimplementasikan. Pada tingkat lokal hubungan antara warganegara dan pemerintah pusat perlu perbaikan. Reformasi kelembagaan antara pemerintah pusat dan lokal perlu diperlihatkan perbaikannya. Pemerintah pusat harus diberikan kekuatan untuk mengatasi masalah persampahan yang berbeda di setiap area. Karena itu perlu dilibatkan perwakilan lembaga lokal di dalam perencanaan nasional.

2.2.5. Pengembangan Kelembagaan

Menurut Peters (2000) terdapat dua jenis perubahan kelembagaan yaitu pengembangan internal atau disebut institutionalization dan perubahan dalam nilai dan struktur. Tipe pertama, yaitu pengembangan internal melalui empat faktor yaitu otonomi, kemampuan beradaptasi, kompleksitas dan kohernsi. Otonomi berhubungan dengan lembaga atau institusi untuk dapat mengimplementasikan keputusannya sendiri, atau tanpa ketergantungan pada institusi lainnya. Kemampuan beradaptasi mengandung arti sejauh mana institusi dapat beradaptasi dengan adanya perubahan dari lingkungannya. Kompleksitas menggambarkan kapasitas institusi dalam membangun struktur internal yang dapat memenuhi tujuan. Koherensi menggambarkan kapasitas institusi untuk dapat mengelola beban kerja dan mengembangkan prosedur kerja. Tipe kedua, adalah perubahan nilai dan struktur yang meliputi perubahan isi atau kandungan dari institusi dan apa yang dipercaya/dianut oleh institusi.

Proses pengembangan kelembagaan, memiliki lima tahapan yang meliputi (1) Analisis dan diagnosis kerangka kerja kelembagaan, (2) Analisis dan diagnosis organisasi dalam konteks kelembagaan, (3) desain, (4) implementasi dan (5) monitoring dan evaluasi. Tahapan tersebut berjalan sesuai siklus terus menerus, seperti disajikan pada Gambar 4 (DFID 2003).


(36)

Pada tahap pertama ini, kerangka kerja kelembagaan dianalisis untuk melihat tujuan apa yang ingin dicapai dan mengapa termasuk peran para stakeholder. Kelemahan dan kekurangan dari kelembagaan perlu diidentifikasi. Tahap kedua adalah melihat organisasi-organisasi yang terlibat dalam kerangka kerja kelambagaan. Masalah- masalah dalam organisasi-organisasi diidentifikasi dalam lingkungan kelembagaan. Tahap ketiga adalah merancang intervensi. Dicari cara yang terbaik dalam menentukan perubahan. Ditentukan alternatif-alternatif intervensi dengan panduan untuk pemilihan alternative. Tahap keempat adalah implemantasi, bagaimana mengimplementasikan program perubahan. Harus ditekankan bahwa kepentingan pengelolaan intervensi merupakan suatu proses dan faktor yang penting yang menentukan keberhasilan atau kegagalan. Tahap kelima adalah monitoring dan evaluasi untuk melihat bagaimana tujuan telah dicapai dengan menetapkan proses untuk pemantauan.

Pengembangan kelembagaan (1) Analisis dan

diagnosis: kerangka kerja kelembagaan secara keseluruhan

(2) Analisis dan diagnosis: organisasi-organisasi dalam konteks

(3) Desain

(4) Implementasi (5) Monitoring

dan evaluasi


(37)

Wenban-Smith (2002) menyebutkan bahwa pengembangan kelembagaan merupakan proses yang terus menerus seperti siklus. Faktor- faktor yang membantu pengembangan kapasitas kelembagaan adalah faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal meliputi modal sosial, politik dan intelektual yang diekpresikan dengan kemampuan untuk menentukan konsensus terhadap isu tertentu, pemahaman terhadap persepsi dan nilai yang berlaku di masyarakat, tingkat kepercayaan yang cukup antar stakeholder, adanya keyakinan pihak lain akan menjaga komitmen, dukungan organisasi dan sumberdaya untuk melakukan hubungan terus menerus, informasi dasar dan adanya tanggapan terhadap tantangan dari luar. Faktor eksternal meliputi pemerintahan yang mengakui adanya penghargaan dari masyarakat yang memberikan dukungan atau usaha kolaborasi.

Kapasitas kelembagaan

yang kuat

Tantangan eksternal

Proses kolaborasi

Modal sosial, politik, intelektual Kapasitas

untuk negosiasi

trade-off

Pengelaman keberhasilan

Nilai masyarakat dan persepsi Kapasitas

untuk memperluas wawasan

Pengakuan eksternal

Informasi, Sumberdaya, Keahlian,


(38)

2.3. Peranserta (Partisipasi) Masyarakat

Partisipasi masyarakat dalam sistem manajemen persampahan dapat berupa partisipasi langsung dan partisipasi tidak langsung pada sistem, selain itu juga dapat dilakukan secara individual atau berkelompok. Partisipasi langsung dapat berupa melakukan pengumpulan primer dan membayar retribusi. Masyarakat membentuk organisasi (misalnya Rukun Tetangga) yang salah satu tugasnya adalah mengumpulkan sampah dari rumah tangga di wilayahnya. Sampah yang terkumpul kemudian dibawa ke tempat pembuangan sementara (TPS). Pengelola sampah kota selanjutnya akan mengangkut sampah tersebut ke tempat pembuangan akhir (TPA). Untuk jasa ini masyarakat membayar retribusi pengelolaan sampah.

Sementara partisipasi tidak langsung pada sistem merupakan upaya masyarakat untuk menurunkan tingkat timbulan sampah. Upaya ini akan menurunkan jumlah sampah sehingga akan meringankan beban kerja sistem manajemen persampahan. Tindakan yang dilakukan masyarakat dapat berupa upaya menghindari terjadinya sampah, penggunaan kembali, daur ulang, pengomposan, dan sebagainya.

Setiap anggota masyarakat berperan dengan cara yang bervariasi dalam partisipasinya terhadap pengelolaan sampah. Pada tingkat individual, rumah tangga bertanggung jawab atas sampah yang dihasilkannya. Kegiatan yang dilakukan dapat berupa menempatkan sampah di dalam wadah yang sesuai, memilah sampah, meletakkan wadah sampah pada tempat dan waktu yang tepat, dan membersihkan lingkungan sekitar rumahnya. Secara berkelompok, masyarakat dapat membentuk organisasi untuk melakukan kegiatan kampanye kebersihan dan usaha meningkatkan kesadaran masyarakat. Selanjutnya, partisipasi masyarakat dapat berupa kontribusi secara fisik atau finansial, misalnya menjadi penyapu jalan atau me mbayar retribusi sampah. Pada tahap lebih lanjut lagi, partisipasi dapat berupa ikut serta dalam memformulasi proyek dalam arti mengikuti secara aktif mulai dari perencanaan sampai dengan pelaksanaan proyek pengelolaan persampahan. Bentuk partisipasi tertinggi adalah menjadi anggota dalam organisasi pengelolaan persampahan dengan kegiatan berupa pemantauan atas mutu pengelolaan (Moningka 2000).


(39)

Sejalan dengan Moningka (2000), Anschütz (1996) memberikan gambaran tentang jenis partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sampah kota berbasis partisipasi masyarakat. Partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sampah ada empat yaitu (1) dengan cara menunjukkan perilaku dalam menjaga kebersihan, (2) dengan memberikan kontribusi uang atau tenaga, (3) dengan memberikan bantuan dalam administrasi dan (4) memberikan kontribusi dalam jasa pelayanan. Perilaku menjaga kebersihan dengan cara mengikuti aturan (jadwal dan tempat) dalam pengumpulan sampah, membawa sampah ke tempat pengumpulan, menaruh sampah dalam kantung atau tong, mengikuti penyuluhan kebersihan, menjaga kebersihan rumah dan sekitarnya, memisahkan sampah basah dan kering, mengomposkan sampah halaman. Memberikan kontribusi uang atau tenaga dengan cara membayar iuran pengumpulan sampah, menyumbang atau meminjamkan peralatan, menyumbang tenaga untuk pengumpulan. Memberikan bantuan dalam administrasi dengan cara menjawab pertanyaan bila ada survey atau penelitian, mengikuti pertemuan, memilih pemimpin atau wakil yang akan mengelola sampah, memberikan umpan balik terhadap pengelola tentang sistem pengumpulan dan pelayanan. Memberikan bantuan dalam jasa pelayanan dengan cara menjadi anggota komite, menjadi anggota organisasi kemasyarakatan yang mengelola persampahan, berperan serta dalam pengambilan keputusan.

Terdapat tiga manfaat yang diperoleh dalam pengembangan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sampah kota yaitu membangun kapasitas/ kemampuan lokal, melibatkan masyarakat dalam pengambilan keputusan dan memberikan kesempatan pada masyarakat untuk merencanakan dan menentukan strategi dalam pengelolaan sampah kota. Partisipasi masyarakat dapat membantu terbentuknya integrasi antara perbedaan kebutuhan dan masalah dalam pengelolaan sampah kota (Moningka 2000).

Menurut Bulle (1999) setiap anggota dari suatu komunitas mempunyai peran yang berbeda, maka terdapat banyak cara partisipasi dalam pengelolaan sampah kota. Partisipasi masyarakat sebagai individu yang dapat dilakukan adalah menyimpan sampah pada wadah yang tepat, memilah sampah yang dapat didaur ulang dengan bahan organik, meletakan sampah di tempat dan waktu yang telah tertentu, dan menjaga kebersihan lingkungan rumah. Partisipasi masyarakat


(40)

secara bersama-sama adalah dalam aktivitas organisasi untuk meningkatkan kepedulian terhadap kebersihan kota. Selanjutnya, partisipasi masyarakat dapat terlibat dalam manajemen persampahan dalam bentuk kontribusi misalnya bekerja sebagai penyapu atau membayar retribusi pengumpulan sampah. Partisipasi masyarakat yang lebih maju adalah dengan memberikan pendapat dan usulan untuk perbaikan pengelolaan persampahan kota. Partsipasi masyarakat paling tinggi adalah membentuk organisasi kemasyarakatan untuk memberikan masukan kepada pengambil keputusan dalam pengelolaan persampahan kota serta melakukan pengawasan.

Menurut Wilson et.al. (2001), untuk mencapai keberhasilan kampanye diperlukan kemahiran dalam mengkombinasikan berbagai cara kampanye. Terdapat berbagai seni untuk mengkombinasikan cara yang sedemikian rupa sehingga dapat memaksimalkan pengetahuan dan kesadaran masyarakat atau kelompok target terhadap isu manajemen persampahan.

2.4. Metode Penelitian Analisis Kelembagaan dan Peranserta Masyarakat

Bandaragoda (2000) menjelaskan panduan dalam menganalisis kelembagaan dalam pengelolaan sumberdaya air. Terdapat tiga kompone n yang dianalisis yaitu hukum, kebijakan dan administrasi. Sedangkan langkah analisisnya adalah seperti ditunjukkan oleh Gambar 4 berikut.


(41)

(1) Evaluasi hasil dari studi diagnostik komponen-komponen (2) Lakukan analisis tren untuk melacak perkembangan sejarah (3) Melacak perkembangan dari kelembagaan (4) Mengevaluasi implikasi kelembagaan dari kinerja saat

ini

(5) Kaji secara tepat

lembaga-lembaga yang ada (6) Mengidentifikasi perubahan kelembagaan yang mungkin

Gambar 6 Diagram analisis kelembagaan (Bandaragoda 2000)

Dari Gambar 6 tersebut di atas tergambar bahwa langkah pertama adalah evaluasi hasil studi sebelumnya terhadap komponen kelembagaan yaitu hukum, kebijakan dan administrasi. Langkah selanjutnya adalah melakukan analisis kecenderungan (tren) untuk melihat perkembangannya. Kemudian melacak perkembangan kelembagaan yang diikuti dengan mengevauasi dari implikasi kinerja kembagaan saat ini. Selanjutnya mengkaji secara tepat dan memadai berdasarkan langkah 1 sampai 4 terhadap lembaga- lembaga yang ada. Kemudian pada akhirnya mengidentifikasi perubahan kelembagaan yang mungkin.

Cullivan et. Al. (1988) menyusun panduan untuk pengkajian kelembagaan untuk bidang pengelolaan air dan air buangan. Pengkajian kelembagaan adalah prosedur yang sistematis dalam mengkaji kinerja suatu institusi berdasarkan pada indikator kinerja standar. Hasil pengkajian adalah profil kekuatan dan kelemahan dari kelembagaan yang telah dianalisis berdasarkan kategori utama dari fungsi


(42)

kelembagaan. Langkah pertama adalah melakukan studi lapangan langsung kepada lembaga yang akan dikaji. Hasil dari studi lapangan diperoleh kategori kinerja kelembagaan pengelolaan air dan air buangan. Untuk setiap kategori kinerja tersebut dilakukan interview dan pengamatan langsung. Data yang telah diperoleh kemudian dianalisis. Analisis dilakukan oleh individual asesor dan asesor tim. Kemudian dilakukan presentasi atau lokakarya seluruh tim asesor. Hasil akhir berupa profil kelembagaan.

Penelitian kelembagaan pada kehutanan masyarakat di di Nusa Tenggara Barat yaitu di Pulau Lombok dan Sumbawa (Awang et. al. 2000) menggambarkan potret kelembagaan masyarakat. Unsur kelembagaan dalam kehutanan masyarakat meliputi: (1) Organisasi terdiri dari ketertataan, keanggotaan, daya akomodasi aspirasi, kepengurusan, aturan organisasi dan aset organisasi; (2) Kepemimpinan yang digambarkan oleh gaya kepemimpinan. (3) Kegiatan produktif (4) Potensi konflik.

2.5. Model

Model merupakan usaha untuk menggambarkan, menganalisis, menyederhanakan atau menunjukkan sistem. Suatu model dibuat berdasarkan pada teori. Model yang baik harus dapat menggambarkan sifat penting dari sistem yang dimodelkan. Model merupakan pengganti dari suatu sistem yang nyata. Model digunakan bila bekerja dengan pengganti tersebut akan lebih mudah bila dibandingkan dengan sistem aktual. Contoh model adalah: blueprint untuk pekerjaan arsitektur, grafik untuk pekerjaan ahli ekonomi (Ford 1999).

Secara umum model didefinisikan sebagai suatu perwakilan atau abtraksi dari sebuah obyek atau situasi aktual. Model memperlihatkan hubungan-hubungan langsung maupun tidak langsung serta kaitan timbal balik (sebab akibat). Oleh karena model merupakan abstraksi dari suatu realitas, maka pada wujudnya kurang kompleks daripada realitas itu sendiri. Model dapat dikatakan lengkap bila dapat mewakili berbagai aspek dari realitas itu sendiri.

Salah satu dasar utama dalam pengembangan model adalah guna menemukan peubah-peubah yang penting dan tepat. Klasifikasi dari jenis-jenis


(43)

model adalah sebagai berikut : (1) Model fisik atau model skala, merupakan perwakilan fisik dari bentuk ideal maupun dalam skala yang berbeda. Misalnya maket suatu bangunan; (2) Model diagramatik atau model konseptual, dapat mewakili situasi dinamik (keadaan yang berubah menurut waktu). Contoh dari model ini adalah kurva permintaan, kurva distribusi frekuensi dan diagram alir. ; (3) Model matematik, dapat berupa persamaan atau formula (rumus). Persamaan merupakan bahasa universal yang menggunakan suatu logika simbolis (Eriyatno 1999).

Model matematik melibatkan fungsi dan angka dalam menggambarkan sistem, seringkali disebut dengan model komputer atau model numerik. Di lain pihak bila solusi analitis yang akan diperoleh dapat digambarkan dengan kombinasi dari berbagai fungsi matematis dasar, model ini disebut dengan model analitis. Model matematis ini dapat dikelompokan dalam dua bagian yaitu model statis dan dinamik. Model statik memberikan informasi tentang peubah-peubah model hanya pada titik tunggal dari waktu. Model dinamik mampu menelusuri jalur waktu dari peubah-peubah model. Model dinamik mempunyai kekuatan yang lebih tinggi dalam analisis dunia nyata.


(44)

III. METODE PENELITIAN

3.1. Tempat dan Waktu Penelitian

Lokasi penelitian adalah di Kota Bandung, dengan luas wilayah 16.729,00 hektar, terdiri dari 26 kecamatan. Gambar 8 menunjukkan peta administratif Kota Bandung yang terdiri dari 26 kecamatan. Kegiatan penelitian dilakukan dari pertengahan tahun 2004 sampai dengan awal tahun 2006.

Gambar 7 Peta wilayah Kota Bandung

3.2. Formulasi Permasalahan

Permasalahan umum dalam pengelolaan sampah di Indonesia adalah kapasitas atau kemampuan institusi atau pengelola yang lebih kecil dibandingkan jumlah sampah yang harus dikelola. Keadaan ini disebabkan oleh tidak seimbangnya sarana pengelolaan dengan jumlah sampah yang harus dikelola. Partisipasi nyata dari masyarakat sampai saat ini baru pada tahap membayar retribusi pengelolaan sampah. Di negara maju, misalnya Jepang, partisipasi sudah


(1)

rus dibuang. 3R tidak cukup dengan himbauan, seluruh sistem harus mendukung.

Masalah upaya mengurangi sampah plastik (peleburan) harus masuk dalam kebijakan pemkot

Mempopulerkan kembali keranjang belanja untuk mengurangi penggunaan kantung plastik

§ Harus ada sistem sanksi dan reward § Harus ada penyelarasan antara program

Kota Bandung dengan program pengelolaan sampah ditingkat RT/RW

§ Kita harus mencoba menggali kembali kearifan bangsa yang terlupakan § Penggunaan kertas dan daun lebih baik

dibandingkan kantung plastik § Bila menggunakan plastik, harus yang

berupa keranjang plastik

Keberhasilan 3R ~ manfaat ekonomi

Perlu meningkatkan peran pemulung, lapak, pabrik dan pabrik daur ulang yang selama ini dianggap ilegal. Urusan pajak perlu dipertimbangkan

§Urusan sampah bukanlah milik pemerintah

§Serahkan kepada organisasi atau perusahaan yang berminat terhadap 3R

Kebijakan dalam persampahan harus memperhatikan sektor ekonomi, sosial, politik, lingkungan, dan pembangunan kota

§ Pemerintah harus melakukan pembinaan dan mencari peluang pasar

§ Harus ada insentif bagi pengusaha daur ulang + bebas pajak bila perlu

§ Himbauan kpd pedagang besar/ supermarket untuk mengganti kantung plastik dengan kantung kertas Lain-lain § 3R jangan hanya slogan

§ 3R jangan hanya ditugaskan ke pembantu

§ Cek apakah PD Kebersihan sudah sesuai dengan visi dan misinya. Adakah audit thd kinerja PD Kebersihan ? § Harus ada usaha menangani sampah

plastik (melebur), serahkan kepada masyarakat

§Sudah saatnya PD Kebersihan membuka mata dan telinga pasca TPA Leuwigajah §Persoalan sampah harus diselesaikan

bersama semua komponen masyarakat §Pemilahan hanya menyelesaikan

sebagian dari masalah sampah §Yang paling utama = perubahan sikap

dan perilaku masyarakat thd sampah

§ 3R baru berupa slogan § Praktek 3R belum berjalan

§ Ongkos yang tinggi yang harus dibayar dari iuran sampah RT/RW, PD Kebersihan harus mencari solusi § Kebersihan harus dimulai dari lingkungan

terkecil

§ Untuk perubahan perlu warga yang cerdas dan kritis, kemudian action nyata sehingga mendesak adanya perubahan ditingkat pemerintah


(2)

Lampiran 6 Ringkasan peraturan yang berkaitan dengan pengelolaan sampah kota

136

Peraturan Daerah Kota Bandung Nomor 27 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kebersihan di Kota Bandung Pasal 4 ayat 2 Organisasi masyarakat melalui koordinasi RT/RW dan aparat Pemerintah Kewilayahan

menyelenggarakan pengelolaan kebersihan di lingkungan pemukiman berupa kegiatan pemilahan, pewadahan, penyapuan, pengumpulan dan pemindahan sampah ke TPS. Pasal 4 ayat 4 Pemerintah Kewilayahan menyelenggarakan bagian pengelolaan kebersihan berupa bina

peranserta dan kemitraan dalam pengelolaan sampah.

Pasal 6 ayat 1 Pemerintah Daerah dalam menyelenggarakan pengelolaan kebersihan atas sampah kota melalui kebijakan pengurangan sampah sejak dari sumbernya, pemanfaatan atau penggunaan kembali, daur ulang dan pengomposan sampah secara maksimal.

Keputusan Walikota Bandung Nomor 644 Tahun 2002 tentang Tarif Jasa Kebersihan di Kota Bandung Pasal 1v Rumah Tinggal Kelas 1 yaitu rumah tinggal dengan luas tanah lebih dari 500 m2 atau luas

bangunan lebih dari 350 m2 atau rumah tinggal dengan daya listrik terpasang lebih dari 6.600 VA.

Pasal 1w Rumah Tinggal Kelas 2 yaitu rumah tinggal dengan luas tanah diatas 350 m2 sampai dengan 500 m2 atau luas bangunan diatas 250 m2 sampai dengan 350 m2 atau rumah tinggal dengan daya listrik terpasang diatas 3.600 VA sampai dengan 6.600 VA.

Pasal 1x Rumah Tinggal Kelas 3 yaitu rumah tinggal dengan luas tanah lebih dari 200 m2 sampai dengan 350 m2 atau luas bangunan lebih dari 150 m2 sampai dengan 250 m2 atau rumah tinggal dengan daya listrik terpasang diatas 2.200 VA sampai dengan 3.600 VA.

Pasal 1y Rumah Tinggal Kelas 4 yaitu rumah tinggal dengan luas tanah lebih dari 100 m2 sampai dengan 200 m2 atau luas bangunan lebih dari 60 m2 sampai dengan 150 m2 atau rumah tinggal dengan daya listrik terpasang diatas 1.300 VA sampai dengan 2.200 VA.

Pasal 1z Rumah Tinggal Kelas 5 yaitu rumah tinggal dengan luas tanah lebih dari 60 m2 sampai dengan 100 m2 atau luas bangunan lebih dari 27 m2 sampai dengan 60 m2 atau rumah tinggal dengan daya listrik terpasang 900 VA sampai dengan 1.300 VA.

Pasal 1aa Rumah Tinggal Kelas 6 yaitu rumah tinggal dengan luas tanah sampai dengan 60 m2 atau luas bangunan sampai dengan 27 m2 atau rumah tinggal dengan daya listrik terpasang sampai dengan 450 VA.

Pasal 2 ayat 1 Obyek jasa kebersihan adalah :

1. Jasa pelayanan kebersihan di lingkungan pemukiman, pengumpulan sampah dari setiap rumah ke TPS;

2. Jasa pelayanan pengangkutan dan pembuangan sampah ke TPA; 3. Jasa pelayanan kebersihan umum;

4. Jasa pelayanan kebersihan khusus.

Pasal 3 Golongan dan besaran tarif atas obyek tagihan jasa sebagaimana dimaksud pada Pasal 2 ayat (1) huruf a yaitu tagihan jasa pelayanan pengelolaan kebersihan lingkungan pemukiman yang diselenggarakan oleh swakelola RT/RW atau organisasi masyarakat lainnya, ditetapkan berdasarkan hasil musyawarah dan mufakat ditingkat RT/RW.

Pasal 4 ayat 2 Golongan dan besaran tarif atas obyek sebagaimana dimaksud Pasal 2 ayat (1) adalah sebagai berikut :

Golongan Ia Kategori Rumah Tinggal dengan pelayanan tidak langsung yaitu : • Rumah Tinggal Kelas 1 sebesar Rp 7.500,00 / bulan

• Rumah Tinggal Kelas 2 sebesar Rp 6.000,00 / bulan • Rumah Tinggal Kelas 3 sebesar Rp 5.000,00 / bulan • Rumah Tinggal Kelas 4 sebesar Rp 4.000,00 / bulan • Rumah Tinggal Kelas 5 sebesar Rp 3.000,00 / bulan • Rumah Tinggal Kelas 6 sebesar Rp 2.000,00 / bulan Pasal 14 ayat

2

Terhadap wajib bayar kategori rumah tinggal yang dipakai atau dimiliki oleh keluarga kurang/tidak mampu atau kategori keluarga Pra-KS, diberikan keringanan membayar tagihan jasa kebersihan pada tarif dibawah terendah yaitu sebesar Rp 1.500,00 / bulan.


(3)

Lampiran 6 Ringkasan peraturan yang berkaitan dengan pengelolaan sampah kota

137

Peraturan Daerah Kota Bandung Nomor 11 Tahun 2005 (24 Oktober 2005) tentang Perubahan atas Peraturan Daerah Kota Bandung Nomor 03 Tahun 2005 tentang Penyelenggaraan Ketertiban, Kebersihan dan Keindahan Pasal 49 ayat 1f Tidak menyediakan tempat sampah di dalam pekarangan bagian depan, dikenakan pembebanan

biaya paksaan penegakan hukum sebesar Rp. 250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah), dan/atau sanksi administrasi berupa penahanan untuk sementara waktu Kartu Tanda Penduduk, atau Kartu Identitas Kependudukan lainnya, Izin Gangguan, SIUP, SIUK, atau izin -izin

lainnya, serta pemasangan/penempelan stiker/papan pengumuman pernyataan sebagai pelanggar, dan/atau pengumuman di media masa.

Pasal 49 ayat 1w Membuang benda yang berbau busuk yang dapat mengganggu penghuni sekitarnya dikenakan pembebanan biaya paksaan penegakan hukum sebesar Rp. 250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah), dan/atau sanksi administrasi berupa penahanan untuk sementara waktu Kartu Tanda Penduduk, atau Kartu Identitas Kependudukan lainnya, serta pemasangan/ penempelan

stiker/papan pengumuman pernyataan sebagai pelanggar, dan/atau pengumuman di media masa. Pasal 49 ayat 1hh Membakar sampah kotoran di badan jalan, jalur hijau, taman, selokan dan tempat umum sehingga

mengganggu ketertiban umum dikenakan pembebanan biaya paksaan penegakan hukum sebesar Rp. 250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah), dan/atau sanksi administrasi berupa penahanan untuk sementara waktu Kartu Tanda Penduduk, atau Kartu Identitas Kependudukan lainnya, dan/atau pengumuman di media masa.

Pasal 49 ayat 1qq Membuang benda-benda/bahan-bahan padat dan/atau cair ataupun berupa limbah ke dalam maupun di sekitar sungai dikenakan pembebanan biaya paksaan penegakan hukum sebesar Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah), dan/atau sanksi administrasi berupa penahanan untuk sementara waktu Kartu Tanda Penduduk, atau Kartu Identitas Kependudukan lainnya, IMB, SIUP, atau izin -izin lainnya, dan/atau pengumuman di media masa.

Pasal 49 ayat 1ggg Membuang sampah, kotoran atau barang bekas lainnya di saluran air/selokan, jalan, berm (bahu jalan), trotoar, tempat umum, tempat pelayanan umum dan tempat-tempat lainnya yang

mengganggu Ketertiban, Kebersihan dan Keindahan dikenakan pembebanan biaya paksaan penegakan hukum

sebesar Rp. 5.000.000,00 (lima juta rupiah), dan/atau sanksi administrasi berupa penahanan untuk sementara waktu Kartu Tanda Penduduk, atau Kartu Identitas Kependudukan lainnya, dan/atau pengumuman di media masa.

Pasal 49 ayat 1hhh Mengotori, merusak, membakar atau menghilangkan tempat sampah yang telah disediakan dikenakan pembebanan biaya paksaan penegakan hukum sebesar Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah), dan/atau sanksi administrasi berupa penahanan untuk sementara waktu Kartu Tanda Penduduk, atau Kartu Identitas Kependudukan lainnya, dan/atau pengumuman di media masa. Pasal 49 ayat 1iii Membakar sampah pada tempat-tempat yang dapat membahayakan dikenakan pembebanan biaya

paksaan penegakan hukum sebesar Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah), dan/atau sanksi administrasi berupa penahanan untuk sementara waktu Kartu Tanda Penduduk, atau Kartu Identitas Kependudukan lainnya, dan atau pengumuman di media masa.

Pasal 49 ayat 1jjj Membuang bangkai hewan di saluran atau sungai baik yang airnya mengalir ataupun tidak, dikenakan pembebanan biaya paksaan penegakan hukum sebesar Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah), dan/atau sanksi administrasi berupa penahanan untuk sementara waktu Kartu Tanda Penduduk, atau Kartu

Identitas Kependudukan lainnya, dan/atau pengumuman di media masa.

Pasal 49 ayat 1ppp Membakar sampah atau benda benda lainnya di bawah pohon yang menyebabkan matinya pohon tersebut maka dikenakan biaya paksaaan penegakkan hukum sebesar Rp. 5.000.000,00 (lima juta rupiah), dan/atau sanksi administrasi berupa penahanan untuk sementara waktu Kartu Tanda Penduduk, atau Kartu Identitas Kependudukan lainnya, dan/atau pengumuman di media masa. Pasal 49a Biaya paksaan penegakan hukum sebagaimana dimaksud Pasal 49 ayat(1) dibayarkan kepada Kas

Daerah sela mbat-lambatnya dalam jangka waktu 3 x 24 jam sejak ditetapkan.

Pasal 49c ayat 2 Setiap pelanggar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (1) selain dikenakan biaya paksaan penegakan hukum dan sanksi administrasi, juga dapat diancam dengan pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan atau denda paling banyak Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). Pasal 49d Tata cara pelaksanaan pembebanan biaya paksa penegakan hukum serta


(4)

Lampiran 6 Ringkasan peraturan yang berkaitan dengan pengelolaan sampah kota

138

Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 21/PRT/M/2006 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional

Pengembangan Sistem Pengelolaan Persampahan (KSNP-SPP)

Kebijakan Strategi

1. Pengurangan sampah semaksimal mungkin dimulai dari sumbernya.

• Meningkatkan pemahaman masyarakat akan upaya 3R (Reduce-Reuse Recycle) dan pengamanan sampah B3 (Bahan Buangan Berbahaya) rumah tangga

• Mengembangkan dan menerapkan sistem insentif dan disinsentif dalam pelaksanaan 3R

• Mendorong koordinasi lintas sektor terutama perindustrian & perdagangan

2. Peningkatan peran aktif masyarakat dan dunia usaha/swasta sebagai mitra pengelolaan.

• Meningkatkan pemahaman tentang pengelolaan sampah sejak dini melalui pendidikan bagi anak usia sekolah

• Menyebarluaskan pemahaman tentang pengelolaan persampahan kepada masyarakat umum

• Meningkatkan pembinaan masyarakat khususnya kaum perempuan dalam pengelolaan sampah • Mendorong pengelolaan sampah berbasis

masyarakat

• Mengembangkan sistem insentif dan iklim yang kondusif bagi dunia usaha/swasta

3. Peningkatan cakupan pelayanan dan kualitas sistem pengelolaan

• Optimalisasi pemanfaatan prasarana dan sarana persampahan

• Meningkatkan cakupan pelayanan secara terencana dan berkeadilan

• Meningkatkan kapasitas sarana persampahan sesuai sasaran pelayanan

• Melaksanakan rehabilitasi TPA yang mencemari lingkungan

• Meningkatkan kualitas pengelolaan TPA kearah sanitary landfill

• Meningkatkan pengelolaan TPA Regional • Penelitian, pengembangan, dan aplikasi teknologi

penanganan persampahan tepat guna dan berwawasan lingkungan

4. Pengembangan kelembagaan, peraturan dan perundangan.

• Meningkatkan Status dan kapasitas institusi pengelola

• Meningkatkan kinerja institusi pengelola persampahan

• Memisahkan fungsi / unit regulator dan operator • Meningkatkan kerjasama dan koordinasi dengan

pemangku kepentingan lain

• Meningkatkan kualitas SDM manusia • Mendorong pengelolaan kolektif atas

penyelenggaraan persampahan skala regional • Meningkatkan kelengkapan produk hukum/NPSM

sebagai landasan dan acuan pelaksanaan pengelolaan persampahan

• Mendorong penerapan sistem pengawasan dan penerapan sanksi hukum secara konsisten dalam rangka pembinaan aparat, masyarakat dan pemangku kepentingan lainnya.

5. Pengembangan alternatif sumber pembiayaan • Penyamaan persepsi para pengambil keputusan • Mendorong peningkatan pemulihan biaya


(5)

ABSTRAK

ENDANG SARASWATI. Model Pengembangan Kelembagaan Pengelolaan

Persampahan Kota Berbasis Partisipasi Masyarakat (Studi Kasus Kota Bandung).

Dibimbing oleh HADI S ALIKODRA, ENRI DAMANHURI dan HARTRISARI

HARDJOMIDJOJO.

Pengelolaan sampah Kota Bandung mempunyai masalah utama berupa

keterbatasan dalam kapasitas pelayanan, yaitu hanya sekitar 60% dari sampah kota. Hal

ini hanya bisa ditanggulangi melalui reduksi sampah oleh masyarakat. Oleh karena itu

partisipasi masyarakat menjadi basis pengelolaan sampah. Tujuan penelitian adalah

membuat model pengembangan kelembagaan pengelolaan sampah kota yang berbasis

partisipasi masyarakat. Stakeholder yang terlibat dalam pengelolaan sampah kota adalah

masyarakat penghasil sampah, pengelola sampah, pemanfaat sampah, pemerhati masalah

sampah, dan pemerintah.

Metode yang digunakan dalam penelitian adalah analisis statistik, organizational

capacity assessment tool (OCAT) dan analisis prospektif. Responden yang terlibat

meliputi 520 orang kepala rumah tangga, 26 orang Ketua RT, 26 orang Ketua RW, 26

orang Lurah, 26 orang Camat, 100 orang pemulung, 20 orang lapak, 4 orang pengusaha

daur ulang, 3 orang pengusaha kompos, dan 4 lembaga swadaya masyarakat.

Analisis statistik menghasilkan tujuh faktor dari rumah tangga yang berpengaruh

nyata terhadap pengelolaan persampahan. Ketujuh faktor tersebut adalah (1) jumlah

sampah (2) yang menangani sampah di rumah sebelum dibuang, (3) pengetahuan tentang

3R (

reduce, reuse, recycle

), (4) pemilahan, (5) pelaksanaan

reduce

, (6) pelaksanaan

reuse

dan (7) kesediaan melakukan

recycle

(daur ulang). Ibu rumah tangga merupakan pihak

yang paling berperan dalam pengelolaan sampah di rumah sebelum dibuang. Masyarakat

pengelola sampah adalah RT (rukun tetangga) dan RW (rukun warga) yang merupakan

community based organization.

Masyarakat pemanfaat sampah meliputi pemulung, lapak

(bandar), perusahaan pembuatan kompos dan produk daur ulang. Analisis terhadap

kapasitas organisasi pengelola persampahan kota, menunjukkan lembaga tersebut masih

dalam taraf pengembangan (

expanding

). Aspek terlemah dalam kapasitas organisasi

adalah aspek pelayanan.

Faktor kunci dalam pengembangan kelembagaan pada pengelolaan persampahan

kota berbasis partisipasi masyarakat adalah sosialisasi 3R, pemahaman 3R, peran ibu

rumah tangga, kegiatan usaha kompos, pemasaran kompos, kegiatan usaha daur ulang,

pemasaran produk daur ulang. Skenario yang terpilih dalam model pengembangan

kelembagaan pengelolaan persampahan berbasis partisipasi masyarakat adalah skenario

Agak Optimis. Strategi untuk pencapaian skenario tersebut adalah dengan sosialisasi

untuk pemahaman 3R. Sasaran utama sosialisasi adalah ibu rumah tangga.

Model kelembagaan pengelolaan persampahan berbasis partisipasi masyarakat

adalah rangkaian kegiatan pengelolaan sampah yang sinergis antara masyarakat

penghasil, pengelola, pemanfaat sampah dan masyarakat pemerhati lingkungan serta

pemerintah dalam aspek sosialisasi 3R dan pemasaran kompos dan produk daur ulang.

Hasil simulasi reduksi jumlah sampah sebesar 40% dicapai dalam 20 tahun yang terbagi

dalam 3 tahapan yaitu jangka pendek, menengah dan panjang. Hal tersebut dapat dicapai

bila sosialisasi 3R (

reduce, reuse

dan

recycle

) dilakukan serentak di 26 kecamatan.

Kata kunci : pengembangan kelembagaan, pengelolaan sampah kota, partisipasi

masyarakat


(6)

ABSTRACT

ENDANG SARASWATI. Institutional Development Model of Municipal Solid Waste

Management in Community Participation Based (with special reference to Bandung

City). Under direction of HADI S ALIKODRA, ENRI DAMANHURI and

HARTRISARI HARDJOMIDJOJO.

Waste management becomes a major problem for municipal institution and the

community of Bandung City. The major problem is waste generation exceeding

municipal waste management capacity. It is about 40% of municipal solid waste could

not be transported to final disposal site. To overcome this problem waste minimization

must be conducted from the source i.e. households by integrating institution and

community participation in waste management. The objective of the study is to develop

integrated institution in municipal waste management based on community participation.

The method was used in the study were statistical analysis, organizational capacity

assessment tool (OCAT) and prospective analysis. The respondents were 520

households, 26 neighborhood association heads, 26 sub district heads, 100 scavengers, 4

recycling business and 3 composting business and 4 non government organizations

(NGO’s).

The statistical analysis from household level showed that there were seven factors

of household characteristics significantly related to waste management in three regions of

population density i.e. :(1) waste volume, (2) person in charge in handling domestic waste

at home before disposing, (3) understanding level of 3R (4) waste separation; (5) reduce,

(6) reuse, and (7) willingness to recycle. The housewife had a major role in handling

domestic waste. Neighborhood associations (RT and RW) were community based

organizations who collecting domestic waste. Communities that used waste domestic

were scavengers, buyers, compost and recycling product business. Organizational

capacity assessment tool (OCAT) was conducted to show the capacity of municipal waste

management organization. The result shows that the organization was in expanding level;

however the weakest factor in organizational capacity was service aspect.

Prospective analysis was conducted by workshop method involving stakeholders

in waste management of Bandung City to create scenario to build synergy between

institutions and community participation. Identified key factors were 3R socialization, 3R

comprehension, the housewife role, composting business, composting marketing,

recycling product business, recycling product marketing. The scenario created was rather

optimistic scenario that socialized of 3R program should be encouraged; in order to

increase 3R comprehension with the main target of socialization were the housewives.

The model of institutional development in municipal solid waste management was

a synergy of waste management activities between the communities and government in

3R socialization. The simulation of 40% waste reduction would be achieved in 20 years,

that is divided into 3 phase (short, medium and long term) of socialization that should be

implement in 26 districts.