107
bentuk penyediaan dana kompensasi termasuk di dalamnya adalah penyediaan fasilitas kesehatan berupa Puskesmas pembantu dengan segala kelengkapannya.
Keberadaan fasilitas kesehatan seperti Puskesmas pembantu tersebut, sangat dibutuhkan oleh masyarakat yang tinggal di sekitar lokasi TPA Bantar Gebang.
Diharapkan dengan adanya fasilitas kesehatan tersebut angka kesakitan masyarakat di sekitar lokasi TPA Bantar Gebang dapat ditekan seminimal mungkin.
E. Umur Teknis TPA
Perkiraan umur teknis TPA ditetapkan beberapa skenario antara lain menetapkan bahwa ketinggian sampah adalah sebesar 17 m dari dasar konstruksi atau
12 m dari permukaan tanah. Berdasarkan ketinggian tumpukan sampah tersebut, dengan luas total 76,06 ha, maka umur teknis TPA adalah selama 332 hari atau 1 tahun
seperti pada Tabel 27 Dinas Kebersihan DKI Jakarta, 2002. Berdasarkan skenario ini, ketinggian 12-15 m secara teknis memerlukan
persyaratan tertentu berupa pemadatan, harus sempurna sehingga dapat digunakan sebagai dasar bagi penumpukkan sampah berikutnya, dan untuk beroperasinya alat
berat, serta meningkatkan kemampuan IPAS, karena beban air lindi akan semakin besar, hal ini berimplikasi pada peningkatan kemampuan pengelolaan air lindi.
Tabel 27. Umur Teknis TPA Bantar Gebang
Zone Luas m²
Tinggi Teknis
m Tinggi
Aktual Selisih
m 3-4
Tinggi Harian
Susut Harian
Selisih 6-7
Umur hari
I 183.000
12 8,2
3,8 0.061
0.002 0.059
64.9 II
167.000 12
6,1 5,9
0.066 0.002
0.064 91.6
III 250.600
12 8,6
3,4 0.044
0.002 0.042
80.6 IV
64.900 12
4,7 7,3
0.171 0.002
0.169 43.2
V 95.000
12 6,1
5,9 0.117
0.002 0.115
51.4 Jumlah
760.700 331.7
Sumber: Evaluasi Pemantauan TPA Bantar Gebang, 2002.
F. Kompos dan Daur Ulang a. Komposting
Program komposting belum dapat sebagai faktor utama dalam reduksi sampah, paling tidak untuk jangka waktu 5 tahun kedepan. Walaupun demikian upaya-upaya
tersebut perlu terus diperbaiki dan dikembangkan. Sampah domestik merupakan potensi yang sangat besar untuk produksi kompos. Namun upaya yang diperlukan untuk
108
merubah perilaku dan kelembagaan pemilahan sampah pada sumbernya, khususnya sampah domestik, akan sangat banyak, tidak termasuk introduksi minset untuk
memandang kompos sebagai produk bermanfaat. Karena itu, bagi Jakarta, komposting tidak dapat dijadikan prioritas mendesak,
terutama dalam waktu dekat. Asumsi bahwa sumber kompos yang paling mudah dan praktis adalah sampah pasar, yang dapat dikumpulkan secara terpisah. Rencana
perkomposan perlu disusun tersendiri, meliputi identifikasi pemanfaatan kompos, komposisinya, kebutuhan lahan, serta pengelolaannya secara menyeluruh. Program
komposting sampah domestik perlu dikembangkan melalui proyek-proyek percontoha n. Komposting sampah domestik sekala besar dapat dilaksanakan melalui kemitraan
dengan sektor swasta. Kompos skala kecil dapat berhasil karena secara pembiayaan modal dapat kembali karena pasar juga belum terbentuk secara baik. Pembeli hanya
dari kalangan pengguna tanaman hias. Pada produksi skala sedang, yang menjadi kendala pertama adalah modal investasi, akan sulit pengembalian dan pinjaman karena
pasar tidak membeli produk sebanyak itu. Hal lain adalah faktor ongkos angkut, bahan bakar sampah organik terpilih kelokasi instalasi kompos. Jelas harga kompos yang saat
ini berlaku tidak akan cocok berarti akan lebih mahal. Program kompos secara umum perlu digerakan dari lapisan masyarakat bawah.
Selama ini melalui pilot proyek semua stakholder diundang, namun didalam pelaksanaan dilapangan hanya mereka yang benar-benar ingin memperoleh manfaat
dari proyek tersebut. Dengan demikian, jika dana proyek tidak dikucurkan lagi, maka kegiatan kompos berhenti dan masyarakat tidak melangsungkan pemilahan sampahnya
lagi. Dengan demikian, kondisi dan permasalahan pengkomposan terdiri dari beberapa aspek antara lain adalah:
a. Aspek Teknis: 1. Kompos melalui proses windrow pada program UDPK Unit Daur Ulang dan Produksi Kompos. 2. Sebetulnya ada proses produksi kompos lain yang
disebut Vermics, adalah kotoran cacing tanah yang bercampur dengan hasil pembusukan sampah organik. Kualitasnya sedikit lebih unggul dari proses windrow.
Ketekunan pengelola dan pemeliharaan cacing serta pasar kompos vermics ini sangat menentukan berhasil tidaknya metodologi ini. 3. Produksi kompos skala kecil
menunjukkan bahwa proses windrow dapat ditingkatkan kapasitasnya, melalui rekayasa mesin kompos Aerob maupun Anaerob. Dari segi waktu proses aerob lebih
109
lama, yaitu membutuhkan waktu di atas 35 hari, sedangkan proses anaerob sudah dapat diperoleh produksi kompos setelah 18-20 hari. dan 4. Permasalahan
pengkomposan ini terletak di pasar petani yang membutuhkan pupuk, kadang-kadang belum tertarik pada produk kompos ini.
b. Aspek Kelembagaan: Produk kompos hanya mempunyai pasar pada masyarakat yang gemar tanaman hias atau taman pekarangan saja. Karena itu produksi kompos secara
informal dan skala kecil cukup berhasil. c. Aspek Pembiayaan: Pada umumnya kegiatan produksi skala kecil yang dibina oleh
pemerintah Provinsi DKI Jakarta sudah termasuk pembiayaanya pada program 3R, zero waste atau UDPK. Kelompok swasta yang berkiprah di bidang kompos skala
kecil umumnya membiayai usahanya yang umumnya mereka mempunyai langganan pembeli. Pasar kompos belum terbentuk secara baik dan banyak usahawan lama- lama
yang menon-aktifkan produksinya. d. Aspek Hukum: SK Gubernur Nomor 12811988 tanggal 21 Juli 1988 tentang Pola
Penanggulangan Kebersihan Lingkungan di DKI Jakarta. Program kompos dapat dikatagorikan program sampah tidak dapat didaur ulang, namun diproses menjadi
material yang bermanfaat dan bernilai ekonomis. Proses konversi biologis sampah memiliki peran utama dalam menejemen
persampahan dan dapat diterapkan pada beberapa bagian dalam aliran limbah. Aplikasi dari proses biologi seperti misalnya pengomposan limbah atau produksi gas bio, dapat
mengkonversi limbah dalam aliran limbah. Proses biologi dapat juga digunakan setelah proses pengumpulan sampah sebagai berikut: mengurangi volume sampah pada TPA
lebih dari 50; pemulihan energi yang terdapat pada sampah sebagai biogas dan menghasilkan suatu produk yang lebih stabil dan bermanfaat seperti pupuk kompos.
b. Daur ulang
Diasumsikan bahwa 20 sampah per tahun akan dikembangkan termasuk tambahan 2 untuk daur ulang di Bantar Gebang. Model pemb uangan sampah di tiap
daerah pelayanan memperkirakan 20 daur ulang dan 4 di komposkan. Perbedaan penting adalah bahwa daur ulang sedang berlangsung serta harus dibatasi di dalam kota
dan dimodifikasi di Bantar Gebang, sedangkan komposting dapat dikatakan bahwa ada dan harus dibina sepanjang waktu. Salah satu program 3R adalah daur ulang, dapat
dikatakan bahwa sejumlah sampah yang akan diolah di TPA dapat diolah dengan proses
110
daur ulang. Pemilahan sampah pada sumbernya merupakan aktivitas penting dalam sistem manajemen persampahan terpadu. Pendekatan yang dapat dilakukan dalam
kegiatan daur ulang, mencakup: 1 identifikasi material untuk diubah atau diproses; 2 identifikasi kesempatan pakai ulang dan proses daur ulang, dan 3 spesifikasi dari
pembeli terhadap materi yang akan dipulihkan. Kondisi daur ulang di Bantar Gebang merupakan hal yang agak berbeda dan
memerlukan upaya- upaya drastis untuk memperbaiki kondisi sekarang yang sangat disesalkan. Sangat memperhatikan, bahwa TPA Bantar Gebang yang dimaksudkan
untuk dioperasikan secara sanitari landfill secara sempurna tidak jadi masalah berapa lama TPA tersebut akan digunakan, membiarkan para pemulung yang hidup dalam
kondisi menyedihkan dan bahkan bekerja dalam kondisi yang lebih menyedihkan lagi.
4.5. Hasil Sintesis AHP
Setelah proses pembentukan pohon hirarki keputusan, penentuan urutan prioritas penentuan formula pembobotan, maka dapat diambil sintesisnya untuk
dianalisis lebih lanjut. Untuk menentukan pemanfaatan TPA sampah pascaoperasi diperlukan alternatif pemilihan yang akan ditentukan kemudian, kriteria untuk membuat
keputusan antara lain seperti Gambar 20. Setelah proses pembentukan pohon hirarki keputusan, penentuan urutan prioritas parameter penilai pemanfaatan TPA pasca
operasi dan penentuan formula pembobotan parameter, maka dapat diambil sintesisnya untuk dianalisis lebih lanjut dengan menggunakan AHP.
Penyusunan struktur hirarki pemanfaatan TPA sampah pascaoperasi berbasis masyarakat berdasarkan keterkaitan yang menjadi bagian dari lingkup permasalahan
tersebut. Struktur hirarki disusun dari empat level, yaitu fokus, aktor, kriteria dan alternatif kebijakan.
Gambar 19: Lokasi TPA Bantar Gebang zone IV
Level I
Level I menggambarkan tujuan utama penggunaan AHP sebagai metode analisis keputusan yaitu memilih kebijakan pemanfaatan TPA Sampah Pascaoperasi Berbasis
Masyarakat.
111
Level II
Level II menampilkan aktor-aktor yang harus diperhitungkan dalam rangka pemanfaatan TPA sampah pascaoperasi berbasis masyarakat, aktor-aktor tersebut
meliputi: masyarakat, swasta dan pemerintah.
Level III
Level III menyajikan kriteria yang diperhitungkan dalam pemanfaatannya. Kriteria yang dijadikan bahan pertimbangan adalah: fisik-kimia, mikrobiologi dan
sosial ekonomi serta kesehatan yang merupakan arahan bagi perencanaan ke depan dalam pemanfaatan TPA sampah pascaoperasi.
Level IV
Level IV menampilkan penilaian untuk masing- masing kriteria yang mengacu pada kondisi exsisting dan perencanaan terhadap alternatif keputusan yang ditawarkan.
Ditetapkan lima tingkat penilaian yaitu sangat baik, baik, sedang, buruk, dan sangat buruk. Penilaian terhadap kriteria diberikan oleh pengambil keputusan berdasarkan
pada data yang diperoleh di lapangan. Untuk lebih jelasnya tiap level dalam memberikan arahan pemanfaatan TPA sampah pascaoperasi pada Gambar 20.
Gambar 20: Struktur Hirarki
Kriteria Aktor
Fisik Kimia Mikrobiologi
Sosial Ekonomi dan Kesehatan
1. Hutan KotaPenghijauan
2. Pariwisata
3. Lapangan Golf
4. TPA Terpadu
5. Perumahan
6. Penambangan Gas dan Energi Listrik
7. Lahan Budidaya
8. Industri
Pemanfaatan TPA Sampah Pascaoperasi
Berbasis Masyarakat
Swasta
Fokus
Pemerintah Masyarakat
Alternatif
112
Dari ketiga kriteria tersebut: fisik-kimia, mikrobiologi serta sosial ekonomi dan kesehatan, perlu ditentukan tingkat kepentingannya dengan menentukan bobot secara
sembarang atau dengan membuat skala interval untuk menentukan ranking setiap kriteria atau perbandingan berpasangan, tingkat kepentingan suatu kriteria relatif
terhadap kriteria lain dapat dinyatakan dengan jelas. Untuk menentukan bobot dari kriteria dengan jelas menentukan nilai eigen dengan menguadratkan matriks,
menghitung jumlah nilai dari setiap baris, kemudian melakukan normalisasi. Berdasarkan nilai eigen maka diketahui bahwa kriteria yang paling penting adalah fisik-
kimia, sosial ekonomi dan kesehatan serta mikrobiologi. Untuk menentukan alternatif yang akan dipilih dari delapan alternatif yang ada,
dalam pemanfaatan TPA sampah pascaoperasi berbasis masyarakat, kemudian dilakukan analisis setiap zone dengan menggunakan AHP Gambar 21. Hal ini sangat
baik dilakukan mengingat kondisi TPA sampah saat ini dan untuk menentukan pemanfaatannya kedepan, serta mengharapkan keterlibatan masyarakat sekitar TPA,
dengan tetap menjaga kua litas lingkungan. Kajian pembahasan AHP meliputi: data keluaran dan hasil. Data sintesis ditampilkan untuk level I dan masing- masing kriteria
di level II. AHP dalam masing- masing model penilaian pemanfaatan dapat diuraikan sebagai berikut:
A. Hasil Sintesis AHP pada zone I
Hasil sintesis untuk AHP dalam penilaian zone I adalah sebagai berikut:
Gambar: 21 Hasil sintesis AHP untuk penggunaan zone I Gambar 21 menunjukkan bahwa urutan peringkat alternatif tiga teratas pada
zone I pemanfaatannya adalah: Hutan KotaPenghijauan dengan nilai 0,381, TPA Terpadu dengan nilai 0,297, dan Penambangan gas dan energi listrik dengan nilai
113
0,179. Artinya ketiga alternatif pemanfaatan tersebut secara fisik-kimia, mikrobiologi dan sosial ekonomi serta kesehatan masyarakat pada zone I mempunyai daya dukung
lebih baik dibanding alternatif sisanya. Dari alternatif yang dipilih pada zone I dalam pemanfaatan TPA Pascaoperasi
Berbasis Masyarakat maka prioritas utama adalah Hutan KotaPenghijauan, berdasarkan analisis kesesuaian lahan dengan menggunakan AHP dengan skor berturut-
turut: 0,381; 0,297; 0,179; 0,073; 0,030; 0,021; 0,014 dan 0,005. Selain dapat membandingkan peringkat antara zone untuk pemanfaatan lahan, maka dapat
dibandingkan perbedaan skor dan alternatif ketiga teratas. Misalnya antara Hutan KotaPenghijauan dengan TPA Terpadu terdapat perbedaan skor 0,87 dan TPA Terpadu
dengan penambangan gas energi listrik perbedaannya 0,118, sedangkan antara penambangan gas dan energi listrik dengan lahan budidaya memiliki perbedaan skor
0,124. Secara teoritis perbedaan kesesuaian lahan untuk Hutan KotaPenghijauan dengan TPA Terpadu sangat kecil.
B. Hasil Sintesis AHP pada zone II