Analisis pemanfaatan TPA sampah pascaoperasi berbasis masyarakat (studi kasus TPA Bantar Gebang, Bekasi)

(1)

ANALISIS PEMANFAATAN TPA SAMPAH PASCA

OPERASI BERBASIS MASYARAKAT

(Studi Kasus TPA Bantar Gebang, Bekasi)

ROYADI

Disertasi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada

Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(2)

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Analisis

Pemanfaatan TPA Sampah Pascaoperasi Berbasis Masyarakat

(Studi Kasus TPA Bantar Gebang, Bekasi) adalah karya saya

sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan

dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber

informasi yang berasal atau yang dikutip dari karya yang

diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah

disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar Pustaka

Acuan dibahagian akhir disertasi ini.

Bogor, April 2006

Royadi

Nrp.99522708


(3)

ABSTRAK

ROYADI. Analisis Pemanfaatan TPA Sampah Pascaoperasi Berbasis Masyarakat (Studi Kasus TPA Bantar Gebang, Bekasi). Dibimbing oleh M. Sri Saeni, Lala M. Kolopaking dan Hartrisari Hardjomidjojo.

TPA Bantar Gebang yang beroperasi sejak tahun 1989 selesai kontrak pakainya oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tanggal 31 Desember 2003. Untuk mengatasi permasalahan TPA Sampah Pascaoperasi, perlu dilakukan kajian dan analisis untuk melihat kemungkinan yang terjadi dimasa depan didasarkan pada keadaan saat ini seperti sumberdaya dan lingkungan alam, sosial ekonomi, fisik kimia, mikrobiologi, dan keterlibatan masyarakat dalam pemanfaatan TPA Sampah Pascaoperasi Berbasis Masyarakat. Tujuan dan manfaat dari penelitian ini antara lain adalah: 1). Melakukan evaluasi terhadap kualitas air sumur, air sungai, air lindi dan mikrobiologi; 2). Memilih alternatif yang sesuai untuk pemanfaatan TPA Sampah Pascaoperasi Berbasis Masyarakat.

Analisis yang digunakan dalam penelitian ini antara lain adalah analisis fisik kimia, analisis sosial ekonomi dan prospektif analisis serta Analitic Hierarki Proces (AHP). Kesimpulan dari penelitian ini antara lain adalah: 1). Kualitas fisik kimia dan biologi air sumur, air sungai dan air lindi masih dibawah ambang batas yang diperbolehkan, kecuali untuk kekeruhan air sungai, kandungan nitrat, nitrit, BOD5, COD air lindi. 2). Alternatif pemanfaatan adalah sebagai TPA Terpadu, dengan kegiatan setiap zone sebagai berikut: Zone I dan II sebagai hutan kota/penghijauan, zone III, IV dan zone V sebagai TPA Sampah. Pema nfaatan sebagai TPA Terpadu menjadi sinergis antara pengelolaan sampah dengan hutan kota/penghijauan, daur ulang dan kompos. Faktor yang dominan dalam penentuan strategi bagi pemanfaatan TPA sampah pascaoperasi berbasis masyarakat antara lain adalah: luas lahan, IPAS, Peraturan Perundangan, Pendanaan, Keterlibatan Swasta, Teknologi dan donor agency; 3). Pemanfaatan sebagai TPA Terpadu akan menimbulkan multiplyer effect baik bagi lingkungan, masyarakat sekitar lokasi TPA dan pemerintah sebagai berikut: a). Bagi masyarakat sekitar lokasi TPA, terciptanya lapangan kerja mulai dari perencanaan, kontruksi dan pada saat operasi serta keterlibatan dalam pemilahan sampah, pembuatan kompos dan pembuatan bahan-bahan bangunan. b). Bagi lingkungan pupuk kompos yang dihasilkan dapat bermanfaat untuk meningkatkan tingkat kesuburan lingkungan melalui kegiatan penghijauan, pemulihan atau memperbaiki ekosistem yang rusak, serta dapat menghemat penggunaan lahan TPA; c). Bagi peningkatan pertanian, pupuk kompos yang dihasilkan dapat mengurangi tingkat keasaman tanah lahan pertanian akibat penggunaan pupuk kimia secara terus menerus, disamping itu pupuk kompos dapat meningkatkan produktivitas lahan; d). Pengembangan ekonomi lokal, dengan terkonsentrasinya tenaga kerja dalam jumlah besar dapat membuka peluang usaha baru bagi kegiatan lainnya berupa kegiatan usaha warungan, usaha- usaha jasa keuangan, jasa cetring untuk makan para perkerja serta usaha rumah/kost/pengontrakan rumah; dan e). Bagi Pemerintah Daerah, terserapnya tenaga kerja unskill dalam kegiatan ini dapat mengurangi kerawanan sosial yang ditimbulkan karena ketiadaan lapangan kerja. Kegiatan hasil produk dari kegiatan ini dapat menjadi sumber PAD bagi pemerintah dan sumber penerimaan pajak bagi negara.


(4)

ABSTRACT

ROYADI. Analysis Pemanfaatan TPA Sampah Pascaoperasi Berbasis Masyarakat (Case Study at TPA Bantar Gebang, Bekasi). Under the direction of M. Sri Saeni, Lala M. Kolopaking dan Hartrisari Hardjomidjojo.

TPA Bantar Gebang operating since 1989 finishing contract wear him by Local Government of DKI Jakarta on 31 December 2003, was so that needed effort to see possibility that happened future able to solve problem TPA after operation for based by situation of natural environment and resources, socio -economic, chemical-physical, microbiological, so that the exploiting of being based on the society. The goal of this research area: 1) evaluate to quality well water, river water and microbiological component; 2) Alternative which exploiting TPA garbage after operation being based on society.

Analysis which used in this research is chemicalphysical analysis, socio -economic analysis of society, prospective analysis and AHP analysis. Conclusion of this research is: 1) Physical, chemical, biological quality in the up and down wells and waters around TPA by BOD5 and of COD, nitrate, nitrit have been exceed of ESQ (environmental standard quality); 2) Alternatives for re- use of TPA Areais Interated TPA, base on zonation, such as: a). Zones I and II, for city forest/greenery; b). Zone III, IV and V, for TPA itself. The exploited of this TPA as an integrated TPA being sinergy among garbage management with city forest/greenery, re-cyeling and making artificial fertilize (kompos). Dominant factor in determining strategy for exploiting of TPA garbage after operation base on society is volume land, IPAS, regulation, financing, involvement of private sector, technology and donor agency; 3). Exploited TPA as an integrated TPA will drive given multiplyer effect, such as: a). For community around the TPA, open vacancy for employee since the planning, construction and operation the TPA. b). For Environment, production of artificial fertilize (kompos) will be raising (increasing) the land fertilization, revitalization of envoronment, and effectivewly of TPA land use. c). For Agriculture, kompos can dropped land zcid from using chemical fertilize, besides increase land productivity; d). For Development economic locally, increasing of the employee the bussines will be developt such as shop, home rental, finance, and food services. e). For local government, dropping social crisis by employing the unskill employee finally will increasing the PAD.


(5)

JUDUL DISERTASI : ANALI SI S PEMANFAATAN TPA SAMPAH PASCA OPERASI BERBASI S MASYARAKAT (Studi Kasus TPA Bantar Gebang Bekasi)

Nama Mahasiswa : R o y a d i

Nomor Pokok : 99522708

Disetujui, Komisi Pembimbing

Prof. Dr. I r. M. Sri Saeni, MS Ketua

Dr. I r. Lala M. Kolopaking, MS Anggota

Dr. I r. Hartrisari Hardjom idjojo, DEA Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

Dr. I r. H. Surjono Hadi Sutjahjo, MS

Tanggal Ujian: 8 Mei 2006

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof. Dr. I r. Syafrida Manuwoto, MSc Dekan


(6)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala karunia-Nya, sehingga Disertasi ini dapat diselesaikan. Penelitian yang dilakukan dengan judul Analisis Pemanfaatan TPA Sampah Pascaoperasi Berbasis Masyarakat (Studi Kasus TPA Bantar Gebang, Bekasi) dilaksanakan mulai dari bulan Juli 2004 sampai dengan Nopem ber 2004. Lokasi Penelitian ini adalah pada TPA sampah Bantar Gebang, Bekasi, Provinsi Jawa Barat.

Dalam melaksanakan penelitian dan penulisan ini penulis telah banyak mendapat bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, sehingga pada kesempatan ini panulis ingin memberikan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada:

1. Prof. Dr.Ir. M. Sri Saeni, MS, selaku Ketua komisi pembimbing, Dr. Lala M. Kolopaking, MS dan Dr. Ir. Hartrisari Hardjomidjojo, DEA, selaku anggota komisi pembimbing atas segala waktunya untuk memberikan bimbingan dan arahan serta saran yang diberikan kepada penulis.

2. Dr. Ir. Surjono Hadi Sutjahjo,MS., selaku Ketua Program Studi Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, yang selalu memacu agar cepat selesai dalam studi.

3. Dekan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor yang selalu mendukung penulis sebagai mahasiswa di Sekolah Pascasarjana IPB.

4. Pimpinan Direktorat Jenderal Bina Pembangunan Daerah, Departemen Dalam Negeri atas dukungan dan memberikan izin kepada penulis untuk dapat mengikuti pendidikan di Sekolah Pascasarjana IPB.

5. Prof.Dr.Ir. Bunasor Sanim, M.Sc dan Prof.Dr. Tjahya Supriatna, SU selaku penguji luar komisi.

6. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta atas pemberian izin penelitian di TPA Sampah Bantar Gebang, Bekasi kepada penulis.

7. Semua pihak yang telah membantu penulis tidak dapat disebut satu persatu namanya, baik secara moral maupun material.

Penulis mengharapkan semoga karya ini dapat bermanfaat bagi Pemerintah DKI Jakarta dan Pemda Kota Bekasi serta dunia ilmu pengetahuan dan pihak lain yang membutuhkannya.

Bogor, 8 Mei 2006 ROYADI


(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 25 Mei 1962 di Jakarta, sebagai putra ke-empat dari tujuh bersudara dari ayah Mukdi (almarhum) dan Ibu Sareah (almarhumah). Pada tahun 1976, penulis lulus dari SDN Gempol Pagi I Jakarta, lulus dari SMP Negeri 79 Jakarta tahun 1980 dan lulus dari SMA YMIK Jakarta jurusan Ilmu Pasti Alam tahun 1983 kemudian masuk CATAR AKABRI pada tahun 1983 di Ma gelang dan menyelesaikan Sarjana S1 pada Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Jakarta pada tahun 1992. Pada tahun 1994 mengikuti pendidikan Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN) di LPEM-UI kemudian tugas belajar di University of New South Wales, Sdney Australia, dan tahun 1996 mengikuti pendidikan Pascasarjana pada Program Studi Ilmu Sumberdaya Manusia, Program Pascasarjana Institut Pengembangan Wiraswasta Indonesai, Jakarta lulus tahun 1998. Pada tahun 2000 penulis melanjutkan studi pada Program Doktor di program studi Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Program Pascasarjana IPB Bogor.

Penulis bekerja di Departemen Dalam Negeri, pernah menjabat sebagai Kepala Seksi Perencanaan Kabupaten Kota, Direktorat Perencanaan Daerah, Kepala Seksi Bencana Alam pada Subdit Pengendalian Dampak dan Bencana Alam, Direktorat Fasilitasi Lingkungan Hidup dan Penataan Ruang dan pada saat ini menjabat sebagai Kepala Seksi Penataan Wilayah Khusus , Direktorat Fasilitasi Penataan Ruang dan Lingkungan Hidup, Direktorat Jenderal Bina Pembangunan Daerah.


(8)

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ... i

DAFTAR TABEL ... ... ii

DAFTAR GAMBAR ... iii

DAFTAR LAMPIRAN ... iv

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 2

A. Tujuan Penelitian... 2

B. Manfaat Penelitian... 3

1.3. Kerangka Pemikiran ... 3

1.4. Perumusan Masalah ... 5

1.5. Ruang Lingkup... 5

A. Lingkup Wilayah Penelitian... 5

B. Lingkup Materi Penelitian... 6

1.6. Hipotesis... 6

1.7. Novelty (Kebaruan)... 6

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pemberdayaan Masyarakat ... 7

2.2. Partisipasi Masyarakat... 13

2.3. Pencemaran Lingkungan ... 24

2.4. Pengertian-pengertian ... 26

A. Pengertian Sampah ... 26

B. Sumber dan Jenis Sampah... 27

C. Pengelolaan Sampah ... 29

D. Tempat Pembuangan Akhir (TPA)... 34

E. Lindi ... 35

III. METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian ... 37

3.2. Metode Pengumpulan Data... 37


(9)

a. Fisik dan Kimia... 37

b. Mikrobiologi Lingkungan... 41

c. Sosial Ekonomi Masyarakat... 43

B. Data Sekunder... 44

3.3. Tahapan Kegiatan Penelitian ... 45

3.4. Metode dan Analisis Data... 45

A.Data Fisik Kimia... 46

a. Analisis Kualitas Air Sumur... 46

b. Analisis Kualitas Air Sungai... 47

c. Analisis Kualitas Air Lindi... 47

B. Data Mikrobiologi... 47

C.Sosial Ekonomi dan Kesehatan Masyarakat... 47

D.Umur Pemanfaatan TPA... 48

E. Analitik Hierarki Proses (AHP)... 48

F. Teknik Prospektif... 50

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Gambaran Umum Lokasi………... 54

A. Letak Geografi ... 54

a. Letak dan Luas Wilayah... 54

b. Iklim... 56

c. Penduduk ... 56

B. Karakteristik Sampah Perkotaan dan TPA... 58

a. Karakteristik Sampah... 58

b. Komposisi Sampah... 59

c. Densitas atau Kepadatan Sampah... 60

C. Umur Teknis TPA Bantar Gebang... 61

D. Kualitas Lingkungan... 61

E. TPA Liar dan Pemulung... 62

a. TPA Liar... 62

b. Pemulung... 62


(10)

G. Peranserta Masyarakat, Swasta dan Pengelola TPA... 67

a. Peranserta Masyarakat... 67

b. Peranserta Swasta... 67

c. Pengelola TPA... 68

4.2. Evaluasi Fisik Kimia... 70

A. Perkembangan Kualitas Air Sumur... 70

a. Kekeruhan... 70

b. Suhu... 73

c. Kemasaman (pH)... 74

d. Total Disolved Solid (TDS)... 75

e. Chimical Oxigen Demand (COD)... 76

f. Kesadahan... 76

g. Nitrat (NO3?)... 77

h. Besi (Fe)... 79

i. Sulfida (S² ¯)... 79

j. Nitrit (NO2)... 80

k. Orto Fosfat... 81

l. Ammonia (N-NH3)... 82

m. Koliform Total (MPN)... 83

n. Escherichia Coli... 84

B. Perkembangan Kualitas Air Sungai... ... 85

C. Perkembangan Kualitas Air Lindi... 92

4.3. Komponen Mikrobiologi ... 97

4.4. Komponen Sosial Ekonomi... 99

A. Karakteristik Responden ... 99

B. Sosial Ekonomi Respond en... 100

C. Tanggapan Responden terhadap TPA Bantar Gebang... 101

D. Kesehatan Masyarakat... 103

E. Umur Teknis TPA... 107


(11)

a. Komposting... 107

b. Daur Ulang... 109

4.5. Hasil Sintesis AHP... 110

A. Hasil Sintesis AHP pada zone I... 112

B. Hasil Sintesis AHP pada zone II... 113

C. Hasil Sintesis AHP pada zone III... 114

D. Hasil Sintesis AHP pada zone IV... 115

E. Hasil Sintesis AHP pada zone V... 116

F. Prioritas Pemanfaatan TPA setiap zone... 117

4.6. Implikasi Kebijakan Skenario Prospektif Masa Depan... 118

A. Existing codition... 119

B. Need Analysis... 120

C. Gabungan antara Existing Condition dan Need Analysis... 122

a. Luas Lahan... 123

b. Instalasi Pengelolaan Air Sa mpah (IPAS)... 123

c. Peraturan Perundangan... 124

d. Pendanaan... 125

e. Teknologi... 126

f. Keterlibatan Swasta... 127

g. Donor Agency... 128

V. SIMPULAN DAN SARAN 5.1. Simpulan ... 131

5.2. Saran ... 133

DAFTAR PUSTAKA ... 135


(12)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1 : 2 : 3 : 4 : 5 : 6 : 7 : 8 : 9 : 10: 11: 12: 13: 14: 15: 16: 17: 18: 19: 20: 21: 22: 23: 24: 25: 26: 27: 28: 29: Evaluasi Partisipatif... Sumber dan Jenis Sampah………... Hasil Analisis Lindi Sistem Sanitary Landfill (ppm)………… ..…... Kualitas air sumur di TPA Bantar Gebang………... Kualitas Air Sungai Ciketing………….………... Kualitas Air Lindi………... Penyakit Bawaan Sampah……….... Beberapa Jenis Penyakit Bawaan Air………... Nilai dan definisi pendapat kualitatif………... Pedoman Penilaian Analisis Prospektif... Jumlah dan perkembangan penduduk di tiga Kelurahan………. Jumlah sampah yang dibawa ke TPA Bantar Gebang Tahun 2004... Komposisi bahan organik dan anorganik di TPA Bantar Gebang…... Perkiraan Jenis Dampak Penting di TPA Bantar Gebang……… Kualitas Air Sumur di Atas dari TPA 2004... Kualitas Air Sumur Bawah dari TPA 2004... Analisis Kualitas Air Sungai Sebelum TPA (inlet) 2004... Analisis Kualitas Air Sungai Sesudah TPA (outlet) 2004... Distribusi lalat di kawasan TPA Bantar Gebang dan sekitarnya……. Jenis pekerjaan responden... Tingkat pendapatan responden... Wujud gangguan terhadap air tanah... Penyebab gangguan terhadap air tanah……… .... Penyebab gangguan bau………... Jenis penyakit di Kota Bekasi dalam 7 tahun terakhir………... Persepsi responden terhadap gangguan kesehatan tahun 2001 s/d 2004... Umur Teknis TPA Bantar Gebang…………...……….... Faktor-faktor penentu atau kunci hasil gabungan faktor existing condition dan need analysis... Analisis tingkat kepentingan antar faktor...

20 28 30 38 39 40 41 42 48 52 58 60 61 65 71 72 86 87 99 101 101 102 102 103 104 106 107 122 129


(13)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1: 2: 3: 4: 5: 6: 7: 8: 9: 10: 11: 12: 13: 14: 15: 16: 17: 18: 19: 20: 21: 22: 23: 24: 25: 26:

Kerangka Pikir pemanfaatan TPA Pascaoperasi Berbasis Masyarakat.. Diagram kerangka dasar pemikiran pengelolaan sampah.………... Tahapan Kegiatan Penelitian... Tingkat pengaruh dan ketergantungan antar faktor dalam sistem…... Peta Kota Bekasi……….……….... Peta TPA Bantar Gebang……….... Kegiatan pemulung di TPA Bantar Gebang …...…………... Pengelolaan air lindi di TPA Bantar Gebang.………... Struktur Organisasi Dinas Kebersihan Provinsi DKI Jakarta.………… Lokasi Sumur bawah dari TPA... Perkembangan parameter pH air sumur... Sungai C iketing (outlet)………...………... Perkembangan parameter Nitrat air lindi ………... Perkembangan Nitrat di IPAS Periode Oktober-Nopember 2004... Perkembangan Nitrit di IPAS Periode Oktober-Nopember 2004... Perkembangan BOD5 di IPAS Periode Oktober-Nopember 2004…….

COD di IPAS Periode Oktober-Nopember 2004... pH di IPAS periode Oktober-November 2004... Lokasi TPA Bantar Gebang zone IV... Struktur Hirarki ... Hasil sintesis AHP untuk penggunaan zone I... Hasil sintesis AHP untuk penggunaan zone II... Hasil sintesis AHP untuk penggunaan zone III... Hasil sintesis AHP untuk penggunaan zone IV... Hasil sintesis AHP untuk penggunaan zone V... Tingkat Kepentingan faktor- faktor existing condition yang berpengaruh pada pemanfaatan TPA Terpadu...

4 31 45 51 55 57 63 66 69 70 74 86 92 94 95 96 96 97 110 111 112 113 114 115 116 120


(14)

27:

28:

29:

Tingkat kepentingan faktor- faktor need analysis yang berpengaruh pada sistem pemanfaatan TPA Terpadu... Tingkat kepentingan faktor- faktor gabungan antara existing condition dan need analysis yang berpengaruh pada sistem pemanfaatan TPA Terpadu... Model Pemanfaatan TPA Sampah Pascaoperasi Berbasis Masyarakat..

121

122


(15)

DAFTAR LAMPI RAN

Lampiran Halaman

Lampiran 1: Lampiran 2: Lampiran 3: Lampiran 4: Lampiran 5: Lampiran 6: Lampiran 7: Lampiran 8: Lampiran 9: Lampiran 10: Lampiran 11: Lampiran 12: Lamp iran 13: Lampiran 14: Lampiran 15: Lampiran 16: Lampiran 17: Lampiran 18: Lampiran 19: Lampiran 20: Lampiran 21: Lampiran 22: Lampiran 23: Lampiran 24:

Pertanyaan Analisis Prospektif...…….……...……….. Curah hujan bulanan di Bekasi (mm) tahun 1979-1988 Sta 841-Bekasi... Jumlah curah hujan bulanan, tahun1979-1988 Sta 841-Bekasi...

Analisis Kualitas Air Lindi sebelum diolah IPAS I (Inlet), 2004... Analisis Kualitas Air Lindi sebelum diolah IPAS 2 (Inlet) 2004... Analisis Kualitas Air Lindi sebelum diolah IPAS 3 (Inlet), 2004.... Analisis Kualitas Air Lindi sebelum diolah IPAS 4 (Inlet) 2004... Analisis Kualitas Air Lindi sesudah diolah IPAS I (Outlet), 2004... Analisis Kualitas Air Lindi sesudah dio lah IPAS 2 (Outlet) 2004... Analisis Kualitas Air Lindi sesudah diolah IPAS 3 (Outlet), 2004.. Analisis Kualitas Air Lindi sesudah diolah IPAS 4 (Outlet) 2004... Kualitas Air Lindi Titik Inlet dan Outlet Tahun 2003... Kualitas Air Lindi Titik Inlet dan Outlet Tahun 2002... Kualitas Air Lindi Titik Inlet dan Outlet Tahun 2001... Kualitas Air Lindi Titik Inlet dan Outlet Tahun 2000... Kualitas Air Sumur di Sekitar TPA Bantar Gebang Ta hun 2003... Kualitas Air Sumur di Sekitar TPA Bantar Gebang Tahun 2002... Kualitas Air Sumur di Sekitar TPA Bantar Gebang Tahun 2001... Kualitas Air Sumur di Sekitar TPA Bantar Gebang Tahun 2000... Kualitas Air Sungai Ciketing pada titik Inlet dan Outlet... Rencana Pengelolaan Lingkungan (RKL) LPA Bantar Gebang.….. Analisis Regresi Persepsi... Daftar pertanyaan masa lah TPA Bantar Gebang ………. Perjanjian Kerjasama No.96 Tahun 1999/168 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Sampah dan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sampah di Kecamatan Bantar Gebang, Kota Bekasi...

141 145 146 147 148 149 150 151 152 153 154 155 156 157 158 159 160 161 162 163 164 166 169 178


(16)

Lampiran 25:

Lampiran 26:

Perjanjian Tambahan (ADDENDUM) No. 127 tahun 2000 dan 227/2000 tentang Perjanjian Kerjasama Pengelolaan Sampah dan TPA Sampah di Kecamatan Bantar Gebang, Bekasi... Perjanjian Tambahan (ADDENDUM) Kedua No.22 Tahun 2002 dan 41 Tahun 2002 tentang Perjanjian Kerjasama Pengelolaan Sampah dan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah di Kecamatan Bantar Gebang, Kota Bekasi...

186


(17)

I . PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Salah satu masalah lingkungan hidup pada saat ini adalah masalah sampah. Meningkatnya pertumbuhan penduduk dan aktivitasnya, memberi kontribusi signifikan pada peningkatan sampah. Menurut Widyatmoko (2001), di kota-kota besar Indonesia setiap orang menghasilkan sampah 2 - 2,5 liter per hari, dengan mengasumsikan bahwa sampah yang dihasilkan mempunyai kepadatan yang sama dengan kepadatan sampah dalam truk yaitu 0,3 – 0,35 ton per m³, maka dalam satu tahun setiap orang me nghasilkan sampah 2,5 liter x 365 = 900 liter = 0,9 m³ atau 0,9 m³ x 0,35 kg/ m³ = 0,315 ton = 315 kg per tahun.

Jakarta dengan luas 655 km², jumlah penduduk 10.000.000 jiwa menghasilkan sampah 25.000 m³ per hari dengan bobot 25.000 m³ x 0,35 ton = 8,750 ton per hari. Dari jumlah tersebut, sampah yang tidak terangkut setiap harinya 7.500 m³ atau 365 hari x 7.500 m³ = 2.737.500 m³ per tahun. Sampah ini ditimbulkan dari berbagai lokasi kegiatan masyarakat yaitu daerah perumahan 58%, pasar 10 %, daerah komersial 15 %, daerah industri 15 %, serta jalan, taman dan sungai 2 %. Sampah-sampah ini dapat dibagi dalam dua jenis sampah, yaitu sampah organik 65 % dan sampah non-organik 35 %. Sampah yang terkumpul dan diangkut kurang lebih 70 % ke TPA Bantar Gebang, 16,5 % ke lokasi- lokasi informal, dan 13 % tidak terkelola, tercecer di dalam kota, jalan atau dibuang ke sembarang tempat misalnya ke sungai dan sepanjang pinggir jalan (Dinas Kebersihan DKI Jakarta, 2002). Persoalan sampah merupakan permasalahan lingkungan yang menyebar tidak mengenal batas-batas wilayah administratif, namun sistem pengelolaannya dibatasi oleh wilayah administratif. Oleh karena itu untuk menangani masalah persampahan dibutuhkan kerjasama antar wilayah administratif, misalnya untuk lokasi TPA sampah.

TPA Bantar Gebang secara administratif terletak di Kota Bekasi, dengan luas 108 ha dan dapat menampung sampah 14.000 m³ per hari, saat ini meningkat menjadi 20.000 m³ per hari dengan sistem sanitary landfill. Kondisi TPA saat ini tidak mampu lagi menampung sampah, lahan yang efektif digunakan dan mulai diisi pada setiap zone berbeda tahunnya. Zone I total lahan 25 ha, dengan lahan efektif yang digunakan 16,8 ha,


(18)

saat ini ketinggian sampah 8,2 meter, lahan ini mulai diisi sejak 1989 sampai dengan 1991; zone II total lahan 23 ha, dengan lahan efektif yang digunakan 11,3 ha saat ini ketinggian sampah 6,1 meter, lahan ini mulai diisi sejak 1992 sampai dengan 1994; zone III total lahan 30,2 ha, dengan lahan efektif yang digunakan 20,2 ha saat ini ketinggian sampah 8,6 meter, lahan ini mulai diisi sejak 1995 sampai dengan 1998; zone IV total lahan 14,3 ha, dengan lahan efektif yang digunakan 11,3 ha saat ini ketinggian sampah 4,7 meter, lahan ini mulai diisi sejak 1999 sampai dengan 2001; dan zone V total lahan 15,5 ha, dengan lahan efektif yang digunakan 12,3 ha saat ini ketinggian sampah 6,1, meter, lahan ini mulai diisi sejak 2002 sampai dengan 2003.

Pada zone yang tidak aktif terjadi proses suksesi vegetasi, timbunan sampah besar, pembentukan gas metana, proses akumulasi, degradasi, limpasan dan peresapan serta pembentukan air lindi yang berlangsung dan aliran air lindi ke dalam pengolahan terus berjalan, pencemaran sumur, sungai, gas dan konflik, perlu pengelolaan yang baik. Sedangkan pada zone yang aktif, dampak biologi khususnya keberadaan lalat tinggi 36,7 ekor per grill melebihi baku mutu Departemen Kesehatan RI Nomor 281-11/PD.03.04.11 tanggal 30 Oktober 1989 yaitu 30 per grill. Oleh karena itu pengelolaan sampah pada zone yang masih aktif perlu memperhatikan standar sanitary landfill dengan menimbun dan menutup sampah dengan tanah agar tidak menimbulkan bau menyengat hasil pembusukan bahan organik yang akan merangsang keberadaan lalat.

Dengan demikian, untuk mengatasi permasalahaan TPA sampah pascaoperasi, perlu dilakukan kajian dan analisis untuk melihat kemungkinan yang terjadi di masa depan didasarkan pada keadaan saat ini seperti sumberdaya dan lingkungan alam, sosial ekonomi, fisik kimia, mikrobiologi, dan keterlibatan masyarakat, dala m pemanfaatan TPA sampah pascaoperasi berbasiskan masyarakat.

1.2. Tujuan dan Manfaat Penelitian. A. Tujuan Penelitian

a. Melakukan evaluasi terhadap TPA saat ini dan melakukan analisis kualitas air sumur, air sungai, air lindi, komponen mikrobiologi serta sosial ekonomi dan kesehatan masyarakat;

b. Memilih alternatif yang sesuai untuk pemanfaatan TPA Pascaoperasi berbasis masyarakat.


(19)

B. Manfaat Penelitian

a. Memberi masukan kepada Pemda DKI Jakarta maupun Pemda Kota Bekasi alternatif memanfaatkan TPA pascaoperasi berbasis masyarakat yang sesuai dengan kondisi lingkungan sekitar.

b. Memberi masukan untuk penanggulangan dan pengendalian pencemaran di TPA Bantar Gebang, Bekasi Pascaoperasi.

c. Pengembangan model partisipasi masyarakat dalam pengelolaan lingkungan hidup khususnya pemanfaatan TPA Pascaoperasi.

d. Dapat digunakan kebijakan Pemerintah DKI Jakarta dan Kota Bekasi untuk pemanfaatan TPA Bantar Gebang Pascaoperasi.

e. Meningkatkan pendalaman di bidang ilmu lingkungan yang berkaitan dengan peranserta masyarakat dalam pengelolaan lingkungan khus usnya pemanfaatan TPA Pascaoperasi.

1.3. Kerangka Pemikiran

Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Bantar Gebang adalah suatu tempat penampungan sampah Kota Jakarta yang lokasinya berada di Kota Bekasi. Sehubungan telah berakhirnya pengelolaan TPA menurut Kesepakatan Kerjasama antara Pemerintah DKI Jakarta dan Pemerintah Kota Bekasi tahun 2003, maka pemanfaatan TPA Pasca operasi berbasis masyarakat perlu mendapat perhatian yang sangat serius.

Untuk menjawab permasalahan tersebut, maka kerangka pikir dalam penelitian ini dengan menggunakan berbagai skenario yang optimal dalam memprediksi semua kemungkinan keadaan yang akan terjadi di masa yang akan datang digunakan analisis Prospektif (Hartrisari 2002). Permasalahan yang terjadi mulai kondisi TPA saat ini hingga pada pemanfaatan TPA pascaoperasi dapat dilihat secara menyeluruh (holistik) dengan melibatkan semua stakeholders yang ada di dalamnya.

Dalam rangka memanfaatkan lahan bekas TPA, maka perlu dirumuskan kebijakan dan formulasi strategi, maka untuk menentukan alternatif pemanfaatannya digunakan AHP, dari berbagai alternatif pemanfaatan yang diperoleh dari analisis AHP, kemudian untuk menentukan skenario yang optimal dalam memprediksi semua kemungkinan keadaan yang akan terjadi di masa yang akan datang digunakan analisis Prospektif . Secara skematis kerangka pemikiran dalam merumuskan masalah penelitian ini secara ringkas dapat dilihat pada Gambar 1.


(20)

TPA SAMPAH BANTAR GEBANG

E. coli,coliform dan populasi lalat

Persepsi dan partisipasimasyarakat Kualitas Air Sumur,

Sungai dan air lindi

Gambar 1: Kerangka Pikir Pemanfaatan TPA Pascaoperasi Berbasis Masyarakat. Pemilihan alternatif

Pemanfaatan

Model Pemanfaatan TPA Pascaoperasi Berbasis

Masyarakat Luas 108,

5 zone, sanitary landfill

Pembentukan air lindi, gas metan, proses akumulasi,

degradasi dan limpasan serta peresapan

Pemulung, penyakit menular,

keracunan gas, mencemari sumur, sungai, dankonflik. Kontrol

Pemerintah kurang

TPA SAAT INI

Analisis


(21)

1.4. Perumusan Masalah

Berdasarkan informasi dari uraian sebelumnya, maka pokok permasalahannya dapat dirumuskan sebagai berikut:

a. TPA Bantar Gebang memiliki potensi timbunan sampah cukup besar, lahannya luas, terdiri 5 zone, dengan ketinggian sampah yang masih dibawah standar sanitary landfill rekomendasi JAICA, memiliki 4 IPAS yang masih beropersi dengan baik, dapat dimanfaatkan beberapa alternatif kegiatan;

b. Penumpukan sampah di TPA akan menghasilkan lindi yang dapat merembes ke dalam air tanah dan sungai, menurunkan kualitas air permukaan, sungai dan sumur penduduk.

c. TPA menyebabkan tumbuh dan berkembangnya media pembawa penyakit seperti lalat, kecoa, tikus, nyamuk dan cacing;

d. Bagaimana konsep pemanfaatan TPA sampah pascaoperasi berbasis masyarakat. Dalam penelitian ini aspek-aspek yang mempengaruhi pemanfaatan TPA pascaoperasi diuraikan menjadi aspek lingkungan fisik kimia, biologi, ekonomi, sosial budaya dan kesehatan. Analisis aspek-aspek tersebut diharapkan menghasilkan rekomendasi dan menentukan alternatif skenario unggulan yang menjadi masukan untuk merumuskan kebijakan pemanfaatan TPA Sampah Bantar Gebang pascaoperasi berbasis masyarakat.

Untuk mengatasi permasalahan ini, perlu dilakukan penelitian mengenai pemanfaatan TPA sampah pascaoperasi berbasis masyarakat. Upaya pemecahan masalah pemanfaatan TPA pascaoperasi dilakukan dengan mengetahui kondisi TPA saat ini maupun kondisi sosial ekonomi dan kesehatan masyarakat sekitar TPA kemudian masukan dan pendapat para pakar yang kemudian dianalisis untuk mengetahui pemanfaatan kedepan yang sesuai dengan kondisi yang ada.

1.5. Ruang Lingkup.

A. Lingkup Wilayah Penelitian

Lingkup wilayah atau lokasi penelitian adalah Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sampah Bantar Gebang adalah suatu tempat penampungan sampah Kota Jakarta yang lokasinya berada di Kota Bekasi yang meliputi tiga kelurahan pada Kecamatan Bantar


(22)

Gebang dalam Kota Bekasi, Jawa Barat. Secara administrasi tiga kelurahan tersebut adalah sebagai berikut: a). Kelurahan Ciketing Udik; b). Kelurahan Cikiwul; dan c). Kelurahan Sumurbatu.

B. Lingkup Materi Penelitian

Sehubungan telah berakhirnya pengelolaan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sampah Bantargebang menurut Kesepakatan Kerjasama antara Pemerintah DKI Jakarta dan Pemerintah Kota Bekasi tahun 2003, maka ruang lingkup materi penelitian dibatasi dengan pengembangan model pemanfaatan TPA sampah pascaoperasi berbasis masyarakat.

1.6. Hipotesis .

Berdasarkan latarbelakang dan perumusan masalah yang dikemukakan serta sesuai dengan kerangka pemikiran dan tujuan penelitian, maka hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah sebabagi berikut:

a. Sumur penduduk baik yang diatas maupun di bawah dari TPA dan air Sungai Ciketing telah tercemar;

b. Alternatif terbaik pemanfaatan TPA Sampah Pascaoperasi adalah digunakan sebagai TPA Terpadu;

c. Pemanfaatan sebagai TPA Terpadu menimbulkan multiplier effect bagi lingkungan, masyarakat sekitar TPA dan pemerintah;

1.7. Novelty (Kebaruan)

Berkaitan dengan novelty tersebut, kebaruan penelitian yang dilakukan adalah penyusunan model pemanfaatan TPA Sampah Pascaoperasi menjadi TPA Terpadu dengan analisis integratif pada aspek fisik kimia, mikrobiologi serta sosial dan kesehatan dan pendapat pakar yang berbasis masyarakat.


(23)

I I . TI NJAUAN PUSTAKA

2.1. Pemberdayaan Masyarakat

Kemandirian dan keberdayaan masyarakat merupakan prasyarat untuk menumbuhkan kemampuan masyarakat sebagai pelaku dalam pengelolaan lingkungan hidup bersama dengan pemerintah dan pelaku pembangunan lainnya (Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997). Konsep pemberdayaan dalam wacana pembangunan masyarakat selalu dihubungkan dengan konsep mandiri, partisipasi, jaringan kerja dan keadilan. Menurut McArdle (1989), pemberdayaan sebagai proses pengambilan keputusan oleh orang-orang yang secara konsekuen melaksanakan keputusan, orang-orang yang telah mencapai tujuan kolektif diberdayakan melalui kemandiriannya, bahkan merupakan keharusan untuk lebih diberdayakan melalui usaha mereka sendiri dan akumulasi pengetahuan, keterampilan serta sumber lainnya dalam rangka mencapai tujuan mereka tanpa bergantung pada pertolongan dari hubungan eksternal. Namun, bukan hanya untuk mencapai tujuannya yang penting, akan tetapi lebih pada makna pentingnya proses dalam pengambilan keputusan. Friedmann (1992), menyatakan bahwa proses pemberdayaan adalah upaya menjadikan suasana kemanusiaan yang adil dan beradap menjadi semakin efektif secara struktural baik di dalam kehidupan keluarga, masyarakat, negara, regional, internasional maupun bidang politik, ekonomi dan lain- lain. Proses pemberdayaan mengandung dua kecenderungan:

a. Menekankan pada proses pemberian atau mengalihkan sebagian kekuasaan, kekuatan atau kemampuan kepada masyarakat agar individu menjadi lebih berdaya;

b. Kemampuan individu untuk mengendalikan lingkungannya, adalah suatu proses pemahaman situasi yang sedang terjadi sehubungan dengan politik, ekonomi dan sosial yang tidak dapat dipaksakan dari luar.

Pemberdayaan masyarakat dipengaruhi pula oleh faktor sosial, politik dan psikologi. Konsep pemberdayaan masyarakat ini mencerminkan paradigma baru pembangunan. Upaya untuk memberdayakan masyarakat adalah meningkatkan harkat dan martabat lapisan masyarakat yang kondisinya sekarang tidak mampu untuk melepaskan diri dari perangkap ketidak mampuan dan keterbelakangan.


(24)

Menurut Hikmat (2001), pemberdayaan masyarakat merupakan strategi pembangunan yang berpusat pada kepentingan dan kebutuhan rakyat yang mempunyai arah pada kemandirian masyarakat. Oleh karena itu dalam pemberdayaan masyarakat pada dasarnya masyarakat perlu mengembangkan kesadaran atas potensi, masalah dan kebutuhannya sehingga akan terwujud rasa tanggungjawab dan kesadaran untuk memiliki dan memelihara program pengembangan masyarakat.

Pemberdayaan masyarakat adalah pengalaman dan pengetahuan masyarakat tentang keberdayaannya yang sangat luas dan berguna serta kemauan masyarakat untuk menjadi lebih baik. Proses ini bertitik tolak untuk memandirikan masyarakat agar dapat meningkatkan taraf hidupnya, menggunakan dan mengakses sumberdaya setempat sebaik mungkin, baik sumberdaya alam maupun sumberdaya manusia. Konsep pemberdayaan dalam wacana pembangunan masyarakat selalu dihubungkan dengan konsep mandiri, partisipasi, jaringan kerja dan keadilan Hikmat (2001). Pemberdayaan dan partisipasi merupakan strategi yang sangat potensial dalam rangka meningkatkan ekonomi, sosial dan transformasi budaya, proses ini akan dapat menciptakan pembangunan yang lebih berpusat pada rakyat.

Melibatkan masyarakat dalam perencanaan dan pengambilan keputusan dalam kegiatan pembangunan dan pemberdayaan sangat penting, menurut Uphoff (Sumardjo dan Saharudin, 2003) ada tiga alasan utama yaitu (1) sebagai langkah awal mempersiapkan masyarakat untuk berpartisipasi dan merupakan suatu cara untuk menumbuhkan rasa memiliki dan rasa tanggung jawab masyarakat terhadap program pembangunan yang dilaksanakan (2) sebagai alat untuk memperoleh informasi mengenai kebutuhan potensi dan sikap masyarakat setempat (3) masyarakat mempunyai hak untuk memberikan pemikir annya dalam menentukan program-program yang akan dilaksanakan di wilayah mereka. Sedangkan menurut Oppenheum (Sumardjo dan Saharudin, 2003) ada dua hal yang mendukung terjadinya partisipasi masyarakat dalam kegiatan pemberdayaan dan pembangunan, yaitu: (1) adanya unsur yang mendukung untuk berperilaku tertentu pada diri seseorang dan (2) iklim dan lingkungan yang memungkinkan terjadinya pelaku tersebut.

Menurut Syaukani (1999), pemberdayaan tidak hanya terpusat pada individu-individu masyarakat, tetapi juga pendukungnya misalnya peraturan, nilai- nilai modern,


(25)

kerja keras, hemat, keterbukaan, rasa tanggung jawab dan lain sebagainya. Pemberdayaan masyarakat adalah kemampuan setiap individu untuk terlibat dan berperan dalam pembangunan, dengan demikian masyarakat berhak dan wajib menyumbangkan potensinya dalam pembangunan, sekecil dan selemah apapun kualitas sumberdaya seseorang bisa diberdayakan dalam pembangunan di daerahnya.

Menurut Departemen Dalam Negeri (1996), Pembangunan Masyarakat Desa adalah seluruh kegiatan pembangunan yang dilaksanakan di desa dan kelurahan dan mencakup seluruh aspek kehidupan masyarakat. Kegiatan ini dilaksanakan secara terpadu dengan mengembangkan prakarsa dan swadaya gotong royong. Dalam memperdayakan masyarakat, pemerintah mengarahkan program-program yang diperuntukkan dan langsung akan dinikmati masyarakat, rencana dan pelaksanaannya dilakukan oleh masyarakat dan lembaga kemasyarakatan yang pelaksanaannya dilakukan oleh LKMD.

Pemberdayaan masyarakat adalah upaya meningkatkan kemampuan dan kualitas sumberdaya manusia dan masyarakat agar mampu secara mandiri melaksanakan kegiatan pembangunan untuk meningkatkan kesejahteraannya, dengan tujuan dan sasarannya, meningkatkan kualitas manusia dan masyarakat; pencapaian tujuan pembangunan masyarakat; semangat membangun pada seluruh masyarakat; dan menempatkan manusia sebagai subyek pembangunan. Sasarannya adalah pimpinan lembaga kemasyarakatan; tokoh masyarakat dan warga masyarakat dengan tidak membedakan jenis kelamin.

Pemberdayaan masyarakat adalah suatu kegiatan yang bertujuan membekali keterampilan dan pengetahuan kepada masyarakat agar mampu memberikan kontribusi dan dukungan terhadap proses pembangunan yang terjadi di lingkungannya. Masyarakat akan ikut menangani limbah domestik apabila mereka memiliki "keberdayaan", sehingga pemberdayaan masyarakat menjadi penting dan mendesak (Ditjen Bina Bangda, 2002).

Undang-undang Nomor 22 tahun 1999, menempatkan otonomi daerah secara utuh pada daerah Kabupaten dan Daerah Kota dengan tujuan untuk memberdayakan masyarakat, menumbuhkan prakarsa dan kreativitas, meningkatkan peranserta masyarakat, mengembangkan peran dan fungsi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Atas dasar ini, Daerah Kabupaten dan Daerah Kota mempunyai kewenangan dan keleluasaan untuk membentuk dan melaksanakan kebijakan menurut prakarsa dan aspirasi masyarakat (Elfian, 2001).


(26)

Prinsip dasar otonomi daerah adalah memberdayakan daerah dan pemberdayaan masyarakat. Agar Pemerintah Daerah mampu mengelola sumberdaya secara optimal, keputusan publik harus mampu menjawab permasalahan dengan memanfaatkan sumberdaya secara optimal di bidang pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan. Pemberdayaan masyarakat mempunyai makna sejauh mana masyarakat terlibat dalam pengambilan keputusan, melaksanakannya dan mengawasi keputusan tersebut, termasuk peningkatan kemampuan, pengetahuan, dan keterampilan menuju kemandirian, sehingga berperan sebagai penjinak bencana bukan menjadi korban bencana (Jurnal Otonomi Daerah, 2001).

Selanjutnya menurut Bangd a (2002), strategi pemberdayaan masyarakat antara lain adalah:

a. Keterbukaan Pemerintah Daerah dalam pengelolaan limbah domestik, yang segala sesuatunya dibicarakan dengan masyarakat, sehingga masyarakat menjadi faham dan mengerti.

b. Responsif dan aspiratif, menampung dan menindaklanjuti keinginan masyarakat dan tidak membiarkan masalah menjadi berlarut-larut.

c. Jemput bola, tidak menunggu timbul masalah baru bekerja, tetapi aktif untuk membantu masyarakat dalam keadaan apapun.

d. Dengan membentuk kelompok (1 kelompok = 10 orang) untuk mengelola dan menangani limbah domestik, kelompok ini menjadi ujung tombaknya.

e. Mengembangkan semangat “perang terhadap limbah domestik” dalam diri masyarakat melalui media elektronik, cetak, spanduk dan brosur.

f. Mengembangkan budaya bersih dan sehat dalam lingkungan RT, RW dan Desa atau Kelurahan.

Pelaksanaannya dapat berbentuk peningkatan pengetahuan dan keterampilan masyarakat antara lain: kursus, pelatihan, orientasi, lokakarya, seminar, studi banding, diseminasi dan sosialisasi. Setelah masyarakat memiliki pengetahuan dan keterampilan diharapkan mampu dan ikut serta dalam pengelolaan limbah domestik. Menurut Stewart (1994) pemberdayaan merupakan pelimpahan proses pengambilan keputusan dan tanggung jawab secara penuh. Pemberdayaan bukan berarti melepaskan pengendalian, tapi menyerahkan pengendalian. Dengan demikian pemberdayaan bukanlah masalah


(27)

hilangnya pengendalian atau hilangnya hal- hal lain, yang paling penting pemberdayaan memungkinkan pemanfaatan kecakapan dan pengetahuan masyarakat seoptimal mungkin untuk kepentingan masyarakat itu sendiri.

Pemberdayaan menyangkut dua kelompok yang saling terkait, yaitu masyarakat yang belum berkembang sebagai pihak yang harus diberdayakan, dan pihak yang menaruh kepedulian sebagai pihak memberdayakan, Sumodiningrat (1997). Dalam kaitan dengan upaya memberdayakan masyarakat guna mencapai kehidupan yang lebih baik. Payne (1997) suatu proses pemberdayaan bertujuan membantu masyarakat memperoleh daya untuk mengambil kep utusan dan menentukan tindakan yang dilakukan melalui peningkatan kemampuan dan rasa percaya diri untuk menggunakan daya yang dimiliki masyarakat, antara lain melalui transfer daya dari lingkungannya. MAcArdle (1989) mengemukakan bahwa hal terpenting dalam pemberdayaan adalah partisipasi aktif dalam setiap proses pengambilan keputusan.

Menurut Hikmat (2001), proses pemberdayaan mengandung dua kecenderungan; Pertama, proses pemberdayaan dengan kecenderungan primer menekankan pada proses memberikan keleluasaa n, kekuatan atau kemampuan kepada masyarakat agar individu yang bersangkutan menjadi lebih berdaya. Proses ini dapat dilengkapi dengan upaya membangun aset material guna mendukung pembangunan kemandirian mereka melalui organisasi. Kedua, proses pemberdayaan dengan kecenderungan sekunder menekankan atau memotivasi agar individu mempunyai kemampuan atau keberdayaan untuk menentukan apa yang menjadi pilihan hidupnya melalui proses dialog. Seringkali kecendrungan primer terwujud melalui kecenderungan sekunder terlebih dahulu. Selanjutnya disebutkan bahwa proses pemecahan masalah berbasiskan pemberdayaan masyarakat yang berdasarkan prinsif bekerja bersama masyarakat mempunyai hak- hak yang harus dihargai, sehingga masyarakat lebih mampu mengenali kebutuhannya dan dilatih untuk dapat merumuskan rencana serta melaksanakan pembangunan secara memadai dan swadaya. Dalam hal ini, praktisi pembangunan berperan dalam memfasilitasi proses dialog, diskusi, curah pendapat dan mensosialisasikan temuan masyarakat.

Menurut Moebyarto (1995), pemberdayaan masyarakat mengacu kepada kemampuan masyarakat untuk mendapatkan dan memanfaatkan akses dan kontrol atas


(28)

sumber hidup yang penting. Proses pemberdayaan merupakan wujud perubahan sosial yang menyangkut relasi antara lapisan sosial sehingga kemampuan individu "senasib" untuk saling berkumpul dalam suatu kelompok cenderung dinilai sebagai bentuk pemberdayaan yang paling efektif. Dalam rangka mewujudkan kesamaan derajat yang lebih besar antara perempuan dan laki- laki, pemberdayaan pere mpuan merupakan proses kesadaran pembentukan kapasitas terhadap partisipasi perempuan yang lebih besar dan tindakaan transformasi. Dalam rangka peningkatan partisipasi aktif laki- laki dan perempuan, maka perempuan harus terlibat secara proporsional, sehingga dapat menciptakan kemitraan yang adil, IRC, UNICEF dan Yayasan Dian Desa (1999).

Strategi pemberdayaan perempuan sebagai mitra sejajar laki- laki menggunakan pendekatan dua arah, yaitu saling menghormati, saling mendengar dan menghargai keinginan serta pendapat orang lain. Dalam proses pemberdayaan ini, terjadi pembagian kekuasaan secara demokratis atas dasar kebersamaan, keutamaan dan tenggang rasa. Pemberdayaan perempuan sebagai mitra sejajar laki-laki adalah kondisi dimana laki- laki dan perempuan memiliki kesamaan hak dan kewajiban yang terwujud dalam kesempatan, kedudukan, peranan yang dilandasi sikap dan perilaku yang saling membantu dan mengisi disemua bidang kehidupan (Priyono , 1996).

Praktek proyek pembangunan menunjukkan bahwa pendekatan partisipatif tidak secara otomatis diterapkan dengan cara yang sensitif gender. Bila tidak ada kaitan tertentu yang dilakukan untuk melibatkan semua segmen dalam komunitas dalam aksi partisipatif dari proyek, yang biasanya terjadi adalah laki-laki yang berpendidikan dan elit yang terlibat seperti yang ada dalam struktur kekuasaan dimana suara perempuan anggota masyarakat yang tidak beruntung dan miskin tidak didengar, Hemelrijk, et al (2001). Partisipasi merupakan komponen penting dalam pembangkitan kemandirian dan proses pemberdayaan (Craig dan Mayo, 1995). Partisipasi aktif dalam setiap proses pengambilan keputusan merupakan hal penting dalam pemberdayaan. Faktor- faktor determinin yang mempengaruhi proses pemberdayaan, antara lain, perubahan sistem sosial yang diperlukan sebelum pembangunan yang sebenarnya dimungkinkan terjadi. Karena itu perubahan struktur sosial masyarakat dalam sistem sosial menjadi faktor terpenting dalam melaksanakan pemberdayaan masyarakat, termasuk di dalamnya sistem ekonomi dan politik (Rojek, 1986).


(29)

Di dalam kerangka pemberdayaan dan kemandirian masyarakat, maka haruslah terjadi pergeseran fungsi birokrasi sebagai fasilitator. Selayaknya birokrasi harus kembali ke hakikat fungsi yang sebenarnya ialah sebaga i pelayan masyarakat, bukan mencampuradukan dengan pembangunan maupun pemberdayaan. Rakyat memegang hak dan wewenang yang tinggi untuk menentukan kebutuhan pembangunan, ikut terlibat secara aktif dalam pembangunan dan mengontrolnya serta memperoleh fasilitas dari pemerintah (Santoso, 2002).

Jadi pemberdayaan masyarakat adalah memberi daya atau kekuatan dan kemampuan serta meningkatkan harkat dan martabat untuk dapat berdiri sendiri diatas kakinya sendiri melalui penyuluhan dan pendampingan pada suatu kegiatan yang bertujuan membekali keterampilan dan pengetahuan kepada masyarakat agar mampu memberikan kontribusi dan dukungan terhadap pembangunan di lingkungannya.

2.2. Partisipasi Masyarakat

Partisipasi berasal dari bahasa Inggris "participation" yang berarti ambil bagian atau melakukan kegiatan bersama-sama dengan orang lain. Sedangkan dalam kamus Webster, arti partisipasi "mengambil bagian atau ikut menanggung bersama orang lain" Natsir (1986). Apabila dihubungkan dengan masalah sosial, maka arti partisipasi adalah suatu keadaan dimana seseorang ikut merasakan sesuatu bersama -sama dengan orang lain sebagai akibat adanya interaksi sosial, Fairchild (1977). Secara harfiah, partisipasi berarti "turut berperanserta dalam suatu kegiatan", "keikutsertaan atau peran serta dalam suatu kegiatan", "peran serta aktif atau proaktif dalam suatu kegiatan". Partisipasi dapat didefinisikan secara luas sebagai "bentuk keterlibatan dan keikutsertaan masyarakat secara aktif dan sukarela, baik karena alasan-alasan dari da lam dirinya maupun dari luar dirinya dalam keseluruhan proses kegiatan yang bersangkutan" (Moeliono, 2004).

Dari sudut terminologi partisipasi masyarakat dapat diartikan sebagai suatu cara melakukan interaksi antara dua kelompok, yaitu kelompok yang selama ini tidak diikutsertakan dalam proses pengambilan keputusan dan kelompok yang melakukan pengambilan keputusan. Partisipasi masyarakat merupakan insentif moral untuk mempengaruhi lingkup- makro yang lebih tinggi, tempat dibuatnya suatu keputusan-keputusan yang sangat menentukan kesejahteraan mereka.


(30)

Tjokroamidjojo (1990), menyatakan bahwa partisipasi masyarakat adalah keterlibatan masyarakat dalam menentukan arah, strategi dalam kebijaksanaan kegiatan, memikul beban dan pelaksanaan kegiatan, memetik hasil dan manfaat kegiatan secara adil. Partisipasi berarti memberi sumbangan dan turut serta menentukan arah atau tujuan pembangunan, yang ditekankan adalah hak dan kewajiban setiap orang. Koentjaraningrat (1974) berpendapat bahwa partisipasi berarti memberi sumbangan dan turut menentukan arah atau tujuan pembangunan, dimana ditekankan bahwa partisipasi itu adalah hak dan kewajiban bagi setiap masyarakat.

Jadi partisipasi dapat diartikan sebagai sesuatu keterlibatan seseorang atau masyarakat untuk berperanserta secara aktif dalam suatu kegiatan, dalam hal ini kegiatan pembangunan untuk menciptakan, melaksanakan serta memelihara lingkungan yang bersih dan sehat. Peranserta masyarakat berarti masyarakat ikut serta, yaitu mengikuti dan menyertai pemerintah dalam memberikan bantuan guna meningkatkan, memperlancar, mempercepat dan menjamin keberhasilan usaha pembangunan Santoso dan Iskandar (1974). Masyarakat diharapkan ikut serta, karena hasil pembangunan yang dilaksanakan pemerintah bersama-sama dengan masyarakat adalah untuk kesejahteraan masyarakat sendiri, dalam hal ini pemerintah memberi bantuan dan masyarakat mempunyai tanggapan untuk berpartisipasi secara aktif dalam proses pembangunan tersebut. Agar masyarakat dapat berpartisipasi dalam pembangunan diperlukan tiga syarat sebagai berikut: 1). adanya kesempatan untuk membangun; 2). adanya kemauan untuk memanfaatkan kesempatan; dan 3). adanya kemauan untuk berpartisipasi dalam pembangunan.

Secara teoritis, partisipasi merupakan alat dan sekaligus tujuan pembangunan masyarakat. Sebagai alat pembangunan, partisipasi berperan sebagai penggerak dan pengarah proses perubahan sosial yang dikehendaki, demokratisasi kehidupan sosial ekonomi serta yang berasaskan kepada pemerataan dan keadilan sosial, pemerataan hasil pembangunan yang bertumpu pada kepercayaan kemampuan masyarakat sendiri, selanjutnya sebagai tujuan pembangunan, partisipasi merupakan bentuk nyata kehidupan masyarakat yang sejahtera, adil dan makmur, Cary (1970). untuk menjamin kesinambungan pembangunan, maka partisipasi masyarakat harus tetap diperhatikan dan dikembangkan. Menurut Cary (1970), agar partisipasi dalam pembangunan dapat terus


(31)

berkembang perlu diperhatikan prasyarat sebagai berikut: 1). aspek partisipasi yang mendasar adalah luasnya pengetahuan dan latar belakang kemampuan untuk mengidentifikasi dan menentukan prioritas pemecahan masalah; 2). adanya kemampuan untuk belajar terhadap berbagai masalah sosial dan cara mengambil keputusan pemecahannya; dan 3). kemampuan untuk mengambil tindakan secara cepat dan tepat.

Menurut Cressey (1987), partisipasi menjadi fokus utama dalam usaha peningkatan tarap hidup masyarakat, dan tidak dapat dilepaskan dari pertanyaan-pertanyaan tentang kewenangan, otoritas, legitimasi serta pengendalian dan tampak terkait dengan aspek-aspek politik. Dalam prakteknya, partisipasi tidak dapat didefinisikan secara terbatas, tergantung pada aktor yang terlibat. Terdapat beberapa model partisipasi pada saat ini yang didasarkan pada pemikiran dan pendekatan terhadap persoalan, beberapa tipe partisipasi itu ialah:

a. Partisipasi dilihat sebagai kesatuan organik dari kepentingan perusahaan (organic unity of interest) partisipasi mengambil tempat melalui kerja kelompok dan struktur untuk mengusahakan aspek-aspek peningkatan dan pengembangan sesuai dengan sasaran dan tujuan perusahaan.

b. Partisipasi berdasarkan lembaga yang ada (statutory), biasanya dijumpai pada masyarakat yang memiliki konsensus politik yang stabil, umumnya bersifat formal, biasanya dimulai dari legalitas, berkembang ke lembaga-lembaga seperti perwakilan atau pengaturan tripartit.

c. Partisipasi sukarela (voluntary), tidak diprogram, muncul berdasarkan kebutuhan kelompok dan kebutuhan perusahaan dan bersifat positif kadang-kadang kepada pengambil keputusan bersama perusahaan.

d. Partisipasi manajeman sendiri (self management) yang mengembangkan demokrasi dan formalitas kontitusi seperti diskusi investasi dan pengembangan.

Menurut Hassan (1973), partisipasi dalam pembangunan berarti masyarakat ikut ambil bagian dalam suatu kegiatan, ikut ambil bagian dalam suatu kegiatan hanya dapat diharapkan bila yang bersangkutan merasa dirinya berkepentingan dan diberi kesempatan untuk ambil bagian. Dengan kata lain, partisipasi tidak mungkin optimal jika diharapkan dari mereka yang merasa tidak berkepentingan terhadap suatu kegiatan, dan juga tidak optimal jika mereka yang berkepentingan tidak diberi keleluasaan untuk ambil bagian.


(32)

Sedangkan Poerwadarminta (1986), berpendapat bahwa masyarakat adalah pergaulan hidup manusia (sehimpunan orang yang hidup bersama disuatu tempat dengan ikatan-ikatan aturan yang tertentu). Selanjutnya Soekanto (1986) berpendapat bahwa masyarakat adalah kelompok manusia yang telah hidup dan bekerja secara cukup lama sehingga mereka dapat mengatur diri sendiri dan menganggap diri mereka suatu kesatuan sosial dengan batas-batas yang telah dirumuskan dengan jelas. Masyarakat adalah sekelompok orang yang mempunyai identitas sendiri, yang membedakan dengan kelompok lain dan hidup diam dalam wilayah atau daerah tertentu secara tersendiri. Kelompok ini, baik sempit maupun luas mempunyai peranan akan adanya persatuan di antara anggota kelompok dan menganggap dirinya berbeda dengan kelompok lain. Mereka memiliki norma-norma, ketentuan-ketentuan dan peraturan-peraturan yang dipatuhi bersama sebagai suatu ikatan. Perangkat dan pranata tersebut dijadikan pedoman untuk memenuhi kebutuhan kelompok dalam arti seluas- luasnya (Widjaja, 1986).

Jenssen (1992) berpendapat, berbagai kelompok pada hakekatnya terlibat dalam pembangunan di daerah seperti administratur pembangunan, politisi, spesialis, teknisi, kelompok tani, pedagang, pelaku bisnis, manajer perorangan, guru, anggota lembaga keuangan dan organisasi-organisasi lainnya. Untuk itu, kontribusi mereka dalam mempersiapkan perencanaan yang direfleksikan dalam kepentingan gagasan, usulan dan harapan merupakan hal yang sangat diperlukan. Selanjutnya Departemen Dalam Negeri (1982), menyatakan bahwa partisipasi dilakukan dalam berbagai refleksi di antaranya dalam pengambilan keputusan, baik secara individu maupun secara institusional misalnya melalui kegiatan Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa (LKMD) dan Lembaga Masyarakat Desa (LMD). Upaya meningkatkan peranserta masyarakat dibutuhkan dalam pembangunan agar dapat memberikan hasil yang optimal. Partisipasi masyarakat dalam perencanaan secara teknis berlangsung berdasarkan pertimbangan sasaran dan tujuan. Sasaran yang dimaksud meliputi pembenahan administratif dan kepentingan umum. Selanjutnya Cressey (1987), menyatakan bahwa partisipasi dipengaruhi oleh konteks sosial ekonomi atau pemasaran, teknologi dan produktivitas, serta organisasi sosial dan kelembagaan. Selanjutnya menurut Cressey (1987) dan FAO (1991), bahwa komponen penting dalam partisipasi meliputi: waktu dan tahapan, isi kegiatan dan konstruksi proses termasuk didalamnya aktor yang terlibat.


(33)

Hamidjojo (1993) mengemukakan bahwa partisipasi masyarakat yang berintikan gotong-royong yang diangkat dari tradisi khas bangsa Indonesia dengan diberi persyaratan atau kualifikasi baru, yaitu rasionalitas, otoaktivitas (swadaya, individualitas atau kepribadian yang otonom, masyarakat yang dewasa dan harus bisa menolong diri sendiri. Keberhasilan partisipasi masyarakat haruslah didasari kewajaran, kesukarelaan, sikap, dan prilaku aktif yang langgeng. Dalam partisipasi masyarakat terkandung dua makna dwitunggal, yaitu bahwa swadaya dan gotong-royong, dan merupakan suatu prinsif kerjasama dan bentuk kerja yang spontan, di antara warga desa dan antara warga desa dan Kepala Desa beserta Pamong Desa, yang mengandung unsur: kekuatan atau prakarsa sendiri, berupa pengarahan kemampuan pikiran, tenaga, sosial dan hartabenda (daya), melaksanakan pekerjaan bagi kepentingan lingkungan tetangga, masyarakat dan pemerintah (rumah tangga) desa, dengan menjunjung tinggi semangat kebersamaan dan rasa keterikatan timbal balik dalam meraih dan menikmati hasil karya.

Partisipasi diartikan mengambil bagian atau ikut serta menanggung bersama orang lain. Jika dihubungkan dengan masalah sosial, maka arti pe rtisipasi adalah suatu keadaan yang seseorang ikut merasakan sesuatu bersama -sama dengan orang lain sebagai akibat adanya interaksi sosial (Fairchild, 1977). Hasil studi Uphoff dalam Cernea (1988) terhadap tiga proyek pembangunan pedesaan di Gana, Meksiko, dan Nepal menyimpulkan bahwa kegagalan suatu proyek disebabkan oleh ketergantungan yang luar biasa pada perencanaan yang tersentralisasi, tidak mendorong partisipasi. Bahkan sekalipun perencanaan mulai memperhatikan partisipasi, analisis lebih lanjut menunjukkan bahwa organisasi sosial dalam partisipasi tergolong lemah atau malahan tidak ada. Selanjutnya Uphoff (1988) lebih lanjut mendefinisikan lima cara untuk menjamin partisipasi pemanfaat dalam rancangan proyek dan pelaksanaan. Pertama, taraf partisipas i yang dikehendaki meski diperjelas sejak semula dan dengan cara yang dapat diterima untuk semua pihak. Kedua, harus ada tujuan yang realistis untuk partisipasi dan kelonggaran meski diberikan untuk kenyataan bahwa beberapa tahap perencanaan relatif berlarut, sedangkan fase lainnya akan lebih singkat. Ketiga, dikebanyakan bagian dunia perlengkapan khusus untuk memperkenalkan dan mendukung partisipasi memang diperlukan. Keempat, meski ada komitmen rencana untuk bersama-sama memikul tanggung jawab di semua tahap siklus proyek. Pada akhirnya disimpulkan bahwa tidak


(34)

semata dalam pembuatan keputusan proyek, tetapi juga menggali pengetahuan penduduk, mencatat bidang keahlian lokal yang dapat memberikan kontribusi sesungguhnya bagi rancangan proyek: mengumpulkan data sosial ekonomi, memantau dan mengevaluasi proyek yang dikumpulkan oleh orang luar; memberikan pemahaman teknis; dan memberikan kontribusi informasi ruang dan sejarah tentang proyek terdahulu yang mungkin sejenis dan penyebab keberhasilan dan kegagalan.

Menurut Davis dalam Sastropoetro (1988), ada beberapa syarat agar terdapat pertisipasi yang efektif, diantaranya adalah kemampuan. Seseorang dengan kemampuan ekonomi yang tinggi mampu berpartisipasi dalam berbagai bentuk, misalnya tenaga, uang, ide atau pemikiran dan sebagainya. Hal ini berarti bahwa tingkat partisipasinya juga lebih tinggi dibanding seseorang yang kemampuan ekonominya lebih rendah. Di samping itu partisipasinya juga lebih bersifat "murni" tanpa pamrih, tanpa motif ekonomi. Sebaliknya, seseorang yang kemampuan ekonominya rendah akan berpartisipasi atas dasar pamrih, yakni untuk memenuhi kebutuhan ekonominya. Kebutuhan ini bisa terpenuhi dengan berpartisipasi sebagai tenaga kerja, untuk memperoleh upah. Sedangkan menurut Arianta (1995) dalam penelitiannya mengenai partisipasi anggota lembaga perkeriditan desa menemukan bahwa faktor ekonomi merupakan salah satu faktor penyebab utama partisipasi dari anggota lembaga tersebut. Anggota masyarakat terdorong untuk berpartisipasi terhadap lembaga tersebut karena faktor ekonomi berupa keinginan untuk mendapatkan kehidupan yang lebih layak.

Menurut GTZ (1997), pendekatan partisipatif diperlukan untuk melibatkan semua pihak sejak langkah awal, mulai tahapan analisis masalah, penetapan rencana kerja sampai pelaksanaan dan evaluasinya. Kegiatan partisipatif dapat dikelompokkan pada dua kelompok sasaran yaitu: partisipasi para pengambil keputusan, dan partisipasi kelompok setempat yang terkait dalam pengelolaan lingkungan hidup.

Dengan adanya partisipasi masyarakat dalam pengelolaan lingkungan hidup, apabila berjalan sesuai dengan peraturan yang ada dan setiap masyarakat menjalankannya secara obyektif tidak hanya mengutamakan kepentingan dirinya atau kelompoknya saja, maka kerugian yang akan timbul tidak akan berarti dibandingkan manfaatnya (Suratmo, 1977). Selanjutnya menurut Suratmo (1999), manfaat partisipasi adalah:


(35)

a. Masyarakat dapat mengetahui rencana pembangunan di daerahnya, dan mengetahui dampak yang akan terjadi, serta dapat menanggulangi.

b. Meningkatkan pengetahuan masyarakat mengenai masalah lingkungan.

c. Masyarakat dapat menyampaikan informasi dan pendapatnya atau persepsinya kepada pemerintah.

d. Pemerintah mendapatkan informasi dari masyarakat yang tidak ada dalam Amdal. e. Dapat dihindarinya kesalah pahaman dan terjadinya konflik.

f. Masyarakat akan dapat menyiapkan diri untuk menerima manfaat proyek.

g. Meningkatnya perhatian dari pemerintah dan pemrakarsa proyek pada masyarakat. Kerugian partisipasi masyarakat yang sering terjadi berdasarkan pengalaman di Amerika Serikat menurut Canter (1977), adalah:

a. Informasi yang masuk dari masyarakat bermacam- macam bentuknya, mempersulit untuk mengambil keputusan.

b. Informasi dan pendapat dari masyarakat yang tidak banyak tahu atau tidak memahami mengenai proyek pembangunan, dampak dan pengelolaan lingkungan.

c. Masyarakat terkadang tidak berminat lagi dalam dengar pendapat, karena penjelasan yang diberikan pada masyarakat sering terlalu teknis.

d. Penyimpulan pendapat masyarakat tidak selalu berpegang pada pendapat terbanyak (mayoritas), tetapi berdasarkan pendapat-pendapat dan informasi yang logis dan dapat diterima secara ilmiah oleh pemerintah.

e. Kalau ada perbedaan pendapat diantara kelompok masyarakat, maka rumusan atau keputusan yang akan diambil menyebabkan selalu ada kelompok yang tidak puas. f. Dimanipulasikan untuk kepentingan pribadi atau suatu kelompok yang tidak baik.

Partisipasi ini dikatagorikan sebagai partisipasi langsung. Sebaliknya ada partisipasi tidak langsung, yaitu apabila warga dikerahkan karena adanya gagasan dari atas dimana warga dimobilisasi, dikerahkan secara paksa untuk aktif dalam kegiatan lingkungan (Huntington and Nilson (1977). Menurut Adimihardja (2001), proses partisipasi sesungguhnya adalah keterlibatan masyarakat secara menyeluruh mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan evaluasi, antara lain adalah:

a. Tahap perencanaan, dilakukan jika praktek pembangunan tidak berjalan sebagai perencana untuk masyarakat, tetapi sebagai pendapat dalam proses perencanaan yang


(36)

dilakukan oleh masyarakat, dengan melakukan diskusi kelompok terarah untuk membahas persoalan-persoalan yang terjadi diantara kelompok-kelompok atas organisasi sosial masyarakat dan mempraktekan analisa pola keputuasan yang dilakukan masyarakat dalam proses perencanaan.

b. Tahap pelaksanaan perencanaan partisipatif merupakan konsekwensi logis dari implementasi pemberdayaan masyarakat, masyarakat mempunyai peran utama, sebagai pengelola perencanaan mulai identifikasi potensi dan pendayagunaan sumber-sumber lokal sehingga penyusunan usulan rencana serta evaluasi mekanisme perencanaan. Tahap pengawasan dan evaluasi kegiatan pengawasan dan evaluasi partisipatif, teknik dan prosedur, instrumentasi, pengumpulan, pengelolaan dan analisis data, serta pelaporan harus diberikan kewenangan kepada masyarakat untuk melakukan kegiatan pengawasan dan evaluasi internal, seperti Tabel 1.

Tabel 1. Evaluasi Partisipatif

Aspek Evaluasi Partisipatif

Siapa

Apa

Bagaimana

Kapan

Mengapa

Anggota masyarakat, staf proyek, fasilitator masyarakat mengidentifikasi sendiri indikator keberhasilan termasuk hasil produk yang akan dicapai. Evaluasi sendiri, produk sederhana yang diadaptasi dengan budaya lokal, ada diskusi hasil dengan melibatkan partisipan dalam proses evaluasi. Evaluasi sendiri, metode sederhana yang diadaptasi dengan budaya lokal, ada diskusi hasil yang melibatkan persyaratan dalam proses evaluasi. Tergantung atas proses perkembangan masyarakat dan intensitas relatif sering.

Pemberdayaan masyarakat lokal untuk intensitas, mengontrol, melakukan tindakan koreksi.

Sumber: Narayama (1993).

Sedangkan Angell dalam Murray and Lappin (1967), menyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi partisipasi seseorang dalam mengikuti kegiatan di lingkungannya, antara lain: umur, pekerjaan, penghasilan, pendidikan dan lama tinggal. Individu yang berusia menengah keatas cendrung untuk aktif berpartisipasi dalam kegiatan yang ada dilingkungannya. Individu yang mempunyai pekerjaan tetap cend erung untuk berpartisipasi. Begitupula dengan penghasilan, makin tinggi penghasilan makin banyak partisipasi yang dib erikan, sebab jika seseorang tidak dapat memenuhi kebutuhan dirinya dan keluarganya cend erung untuk tidak berpartisipasi.


(37)

Inkeles (1969) menyatakan bahwa faktor- faktor yang mempengaruhi partisipasi seseorang dalam mengikuti kegiatan di lingkungannya, antara lain: umur, penghasilan, pekerjaan, pendidikan dan lama tinggal. Individu yang mempunyai tingkat pendidikan dan penghasilan yang tinggi cenderung untuk aktif berpartisipasi dalam kegiatan yang ada di lingkungannya. Ia juga mengemukakan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan individu, semakin luas pengetahuannya dan kesadarannya terhadap lingkungan yang akhirnya akan diikuti dengan keterlibatannya pada masalah-masalah kemasyarakatan. Faktor lama tinggal juga merupakan salah satu faktor yang tidak kecil perannya dalam mempengaruhi partisipasi seseorang dalam kegiatan yang ada di lingkungannya. Semakin lama tinggal di suatu tempat, semakin besar rasa memiliki dan perasaan dirinya sebagai bagian dari lingkungannya, sehingga timbul keinginan untuk selalu menjaga dan memelihara lingkungan dimana dia menetap. Partisipasi dapat bersifat individual atau kolektif, terorganisasi atau tidak terorganisasi yaitu secara spontan dan sukarela.

Pada hakekatnya, strategi dan pendekatan pembangunan manusia adalah menumbuhkan otonomi perilaku pribadi dan sosial yang terintegrasi. Interaksi tersebut merupakan kristalisasi dan faktor- faktor situasional dan beserta kognisi, keinginan, sikap, motivasi dan responnya. Latar belakang sosial kultural, status sosial dan tingkat kehidupan menentukan kesempatan dan kemampuan untuk turut berproses dalam pembangunan. Faktor internal manusia dan lingkungan sosial, terutama lembaga sosial untuk menumbuhkan self sustain capacity masyarakat, bekerjasama dengan lembaga pemerintahan mempunyai makna penting dalam pembangunan sumberdaya manusia yang berkelanjutan (Supriatna, 1997). Partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan akan terwujud sebagai suatu kegiatan nyata apabila terpenuhi faktor-faktor yang mendukungnya, yaitu: (1) adanya kesempatan, yaitu adanya suasana atau kondisi lingkungan yang disadari oleh orang tersebut bahwa dia berpeluang untuk berpartisipasi, (2) adanya kemauan; adanya sesuatu yang mendorong/menumbuhkan minat dan sikap mereka untuk termotivasi, misalnya berupa manfaat yang dapat dirasakan atas partisipasinya tersebut, (3) adanya kemauan, yaitu adanya kesadaran atau keyakinan pada dirinya bahwa dia mempunyai kemampuan untuk berpartisipasi, baik pikiran, tenaga, waktu atau sarana dan material lainnya (Slamet, 1994).


(38)

Ketiga faktor tersebut akan dipengaruhi oleh berbagai faktor di seputar kehidupan, manusia yang paling berinteraksi atau dengan lainnya, seperti psikologis individu (needs, harapan, motif, reward) pendidikan, adanya informasi, keterampilan, teknologi, kelembagaan yang mendukung, struktur dan stratifikasi sosial, budaya lokal serta peraturan dan pelayanan pemerintah. Sedangkan menurut Oppenheim (1973) dalam Sumardjo dan Saharudin (2003), ada unsur yang mendukung untuk berperilaku tertentu pada diri seseorang dan terdapat iklim atau lingkungan yang memungkinkan terjadinya perilaku tertentu.

Menurut Sahidu (1998) faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kemauan masyarakat untuk berpartisipasi adalah motif harapan, dan penguatan informasi. Faktor yang memberikan kesempatan masyarakat untuk berpartisipasi adalah pengaturan dan pelayanan, kelembagaan, struktur dan stratifikasi sosial, budaya lokal, kepemimpinan, sarana dan prasarana. Faktor yang mendorong adalah pendidikan, modal dan pengalaman yang dimiliki. Terdapat tiga prinsip dasar dalam menumbuhkan partisipasi masyarakat desa agar ikut serta dalam pembangunan, yaitu: (1) Learning process (learning by doing): Proses kegiatan dengan melakukan aktivitas kegiatan pelaksanaan program dan sekaligus mengamati, menganalisa kebutuhan dan keinginan masyarakat; (2). Institusional development. Melakukan kegiatan melalui pengembangan pranata sosial yang sudah ada dalam masyarakat. Karena institusi atau pranata sosial masyarakat merupakan daya tampung dan daya dukung sosial; (3) Participatory. merup akan suatu pendekatan yang umum dilakukan untuk dapat menggali need yang ada dalam masyarakat (Marzali, 2003).

Menurut Hikmat (2001), pemberdayaan dan partisipasi merupakan strategi yang sangat potensial dalam rangka peningkatan ekonomi, sosial dan transformasi budaya, proses ini pada akhirnya dapat menciptakan pembangunan yang lebih berpusat pada rakyat. Secara sederhana partisipasi mengandung makna peran serta seseorang untuk sekelompok orang atau sesuatu pihak dalam suatu kegiatan atau upaya mencapai sesuatu secara sadar diinginkan oleh pihak yang berperan serta tersebut. Bila menyangkut partisipasi dalam pembangunan masyarakat, maka menyangkut keterlibatan secara aktif dalam pengambilan keputusan, pelaksanaan, evaluasi dan menikmati hasilnya atas suatu usaha perubahan masyarakat yang direncanakan untuk mencapai tujuan-tujuan masyarakat (Sumardjo dan Saharudin (2003). Sedangkan menurut Bumberger dan Shams


(39)

(1989), terdapat dua pendekatan mengenai partisipasi masyarakat. Pertama, partisipasi merupakan proses sadar tentang pengembangan kelembagaan dan pemberdayaan dari masyarakat yang kurang beruntung berdasarkan sumberdaya dan kapasitas yang dimilikinya. Dalam proses ini tidak ada campur tangan dan prakarsa pemerintah. Kedua, partisipasi harus mempertimbangkan adanya investasi dari pemerintah dan LSM, di samping peran serta masyarakat. Hal ini sangat penting untuk implementasi proyek yang lebih efisien, mengingat kualitas sumber daya dan kapasitas masyarakat tidak memadai, jadi, masyarakat miskin tidak leluasa sebebas-bebasnya bergerak sendiri berpartisipasi dalam pengembangan kelembagaan dan pemberdayaan.

Partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan keputusan berdasarkan sifatnya dapat dibedakan menjadi yang bersifat konsultatif dan bersifat kemitraan. Dalam partisipasi masyarakat dengan pola hubungan konsultatif antara pihak pejabat pengambil keputusan dengan kelompok masyarakat yang berkepentingan, anggota-anggota masyarakatnya mempunyai hak untuk didengar pendapatnya dan untuk diberi tahu, dimana keputusan terakhir tetap berada ditangan pejabat pembuat keputusan tersebut. Dalam konteks partisipasi masyarakat yang bersifat kemitraan, pejabat pembuat keputusan dan anggota-anggota masyarakat merupakan mitra yang relatif sejajar kedudukkannya. Mereka bersama-sama membahas masalah, mencari alternatif pemecahan masalah dan membahas keputusan. Kenyataan menunjukan bahwa masih banyak yang memandang partisipasi masyarakat semata- mata hanya sebagai penyampaian informasi, penyuluhan bahkan sekedar alat public relation agar proyek tersebut dapat berjalan tanpa hambatan. Karena nya partisipasi masyarakat tidak saja digunakan sebagai sarana untuk mencapai tujuan, tetapi juga digunakan sebagai tujuan.

Partisipasi dalam pemanfaatan TPA berarti masyarakat ikut ambil bagian dalam suatu kegiatan, hanya dapat dirasakan bila masyarakat berkepentingan dan diberi kesempatan untuk ambil bagian. Partisipasi tidak mungkin optimal jika masyarakat yang berkepentingan tidak diberi keleluasaan untuk ambil bagian. Pendekatan partisipatif diperlukan untuk melibatkan semua pihak sejak langkah awal, mulai analisis masalah, penetapan rencana kerja sampai pelaksanaan dan evaluasinya. Lebih lanjut disebutkan bahwa seseorang akan berpartisipasi apabila terpenuhi prasyarat untuk berpartisipasi, yaitu adanya: 1). kesempatan, suasana atau kondisi lingkungan yang disadari oleh orang


(40)

tersebut bahwa dia berpeluang untuk berpartisipasi, 2). kemauan, sesuatu yang mendorong atau menumbuhkan minat dan resiko, mereka untuk termotivasi berpartisipasi, misalnya berupa manfaat yang dapat dirasakan atas partisipasinya tersebut, dan 3). kemampuan, adanya kesadaran atau keyakinan pada dirinya bahwa dia mempunyai kemampuan untuk berpartisipasi, bisa berupa pikiran, tenaga, waktu atau sarana dan material lainnya.

Dengan demikian partisipasi masyarakat adalah keterlibatan dan keikutsertaan seseorang atau masyarakat untuk berperanserta melakukan kegiatan bersama -sama dengan orang lain secara aktif dan sukarela dalam menentukan arah, strategi dan tujuan pembangunan.

2.3. Pencemaran Lingkungan

Menurut Saeni (1989), pencemaran adalah peristiwa adanya penambahan bermacam- macam bahan sebagai hasil dari aktivitas manusia ke dalam lingkungan yang biasanya memberikan pengaruh berbahaya terhadap lingkungan itu. Zat pencemar adalah zat yang mempunyai pengaruh menurunkan kualitas lingkungan, atau menurunkan nilai lingkungan itu. Kontaminan adalah zat yang menyebabkan perubahan dari susunan normal dari suatu lingkungan. Kontaminan tidak digolongkan sebagi zat pencemar bila tidak menimbulkan penurunan kualitas lingkungan. Selanjutnya menurut Saeni (1997), salah satu jenis bahan pencemar yang dapat membahayakan kesehatan manusia adalah logam berat. Zat yang bersifat racun dan yang sering mencemari lingkungan misalnya merkuri (Hg), timbal (Pb), kadmium (Cd), dan tembaga (Cu). Perusakan lingkungan hidup adalah tindakan yang menimbulkan perubahan langsung atau tidak langsung terhadap sifat fisik dan hayatinya yang mengakibatkan lingkungan hidup tidak berfungsi lagi dalam menunjang pemba ngunan berkelanjutan (UU No.23 Tahun 1997).

Menurut pasal 1 ayat 11 UU No. 23 Tahun 1997, baku mutu lingkungan hidup adalah ukuran batas atau kadar makhluk hidup, zat, energi atau komponen yang ada atau harus ada zat pencemar yang ditanggung keberadaannya dalam suatu sumber daya tertentu. Pasal 14 ayat 1 menyatakan bahwa setiap usaha kegiatan dilarang melanggar baku mutu dan kriteria baku kerusakan lingkungan hidup.

Pencemaran lingkungan merupakan bermacam- macam mahluk hidup, bahan, zat-zat pada suatu lingk ungan, yang menyebabkan timbulnya pengaruh yang berbahaya


(41)

terhadap lingkungan, karena adanya perubahan yang bersifat fisik, kimiawi, maupun biologis (Supardi, 1994). Pencemaran lingkungan mempunyai derajat pencemaran atau tahap pencemaran yang berbeda, didasarkan pada konsentrasi zat pencemar, waktu tercemarnya, lamanya kontak antara bahan pencemaran dengan lingkungan.

Menurut Tchobanoglous, et.al (1977), perolehan gas nitrogen (N2), karbon dioksida (CO2) dan metana (CH4), pada landfill tergantung banyaknya komponen organik pada landfill, hara yang tersedia, kadar air pada sampah, tingkat kepadatan sampah pada kondisi awal, waktu penimbunan dan lain- lain. Secara umum perolehan gas N2, CO2, CH4 pada landfill dapat dihitung dengan melakukan perkalian antara volume sampah pada landfill dengan nilai persen masing-masing gas, menurut jangka waktu penimbunan sampah.

Sampah merupakan sumber beberapa jenis penyakit menular, keracunan dan lain-lain (Slamet, 1994). Bahan beracun, bakteri, virus, jamur dan lain-lain- lain-lain ya ng ada dalam timbunan sampah, dapat berpindah tempat ke tempat lain melalui proses lindi. Apabila cairan dari sampah yang mengandung bibit penyakit masuk kedalam air permukaan, maka air permukaan tersebut akan berperan sebagai penyebar mikroba patogen atau penyakit menular di dalam air.

Ada empat hal penyebab pencemaran air tanah yaitu:

a. Bila jarak antara sumur dan jamban kurang dari 10 m untuk tanah biasa dan paling dekat 15 m untuk tanah porus atau gembur.

b. Lokasi sumur tersebut sebelumnya merupakan lokasi sumber limbah rumahtangga atau dekat industri atau bekas lokasi sampah (TPA).

c. Merembesnya air permukaan yang telah tercemar, WC dan air cucian ke dalam sumur. d. Masuknya debu yang sudah tercemar ke dalam sumur terbuka.

Dari keempat sumber pencemaran air tanah yang berasal dari TPA merupakan rembesan dari timbunan limbah di TPA sampah, dan merupakan sumber kontaminan potensial bagi air permukaan, air tanah dangkal maupun air tanah dalam. Selanjutnya Eugene (1987) mengemukakan bahwa lindi akan mencemari tanah, air tanah dan sungai. Jadi tingkat pencemaran air yang disebabkan oleh lindi tergantung dari sifat lindi, jarak aliran dengan air tanah dan sifat-sifat tanah yang dilaluinya. Oleh sebab itu untuk


(42)

menghindari pencemaran oleh lindi, sumber air sumur dangkal yang umumnya masih digunakan oleh penduduk sebagai air minum harus terletak jauh dari sanitary landfill.

Pencemaran air dapat mengganggu tujuan penggunaan air dan akan menyebabkan bahaya bagi manus ia melalui keracunan atau sumber dan penyebab penyakit. Daerah perkotaan dengan tingkat aktivitas masyarakat dan industri yang demikian tinggi secara bersamaan akan menghasilkan sampah sehingga membutuhkan tempat pembungan akhir sampah kota yang perlu dikelola dengan baik agar dampak pencemarannya tidak mempengaruhi masyarakat sekitarnya. Nitrat dalam hal ini merupakan pencemar utama yang dapat mencapai air tanah dangkal maupun air tanah dalam yang diakibatkan oleh aktivitas manusia termasuk dari penempatan sampah, Vasu at.al. (1998). Di samping itu pergerakan air sangat mudah dipengaruhi oleh pengambilan air atau pemompaan air tanah dangkal melalui sumur-sumur bor yang umumnya disiapkan oleh masyarakat untuk memenuhi kebutuhannya.

Secara umum sumber pencemaran air tanah berasal dari tempat-tempat pembuangan sampah, mudah meresap ke dalam tanah, sehingga sampah organik merupakan sumber primer pencemaran bakteriologik (Bitton, 1984 dalam Wuryadi, 1990). Menurut Bouwer (1987) menambahkan, jarak aman dari bidang resapan adalah 30 meter untuk daerah di atas muka air tanah, dan 60 meter di bawah muka air tanah.

Bakteri patogen yang biasanya disebarkan melalui air adalah bakteri amuba disentri, kolera dan tipus. Jumlah bakteri patogen dalam air umumnya sedikit dibandingkan dengan bakteri coli (coliform), sehingga bakteri ini dipakai sebagai bakteri indikator terhadap kualitas perairan karena jumlahnya banyak dan mudah diukur (Diana, 1992). Jenis bakteri coliform sebagai indikator adalah Escherichia coli dan Aerobacter coli. Dari kedua jenis tersebut, yang lebih umum dan lebih banyak terdapat di perairan atau tanah adalah jenis E. coli, yaitu sebagai indikator pencemar fecal (tinja), dihitung berdasarkan MPN (most probabel number) (Saeni, 1991).

2.4. Pengertian-pengertian A. Pengertian Sampah

Pengertian sampah dapat lebih jelas diketahui dengan mempelajari beberapa pengertian. Sampah adalah istilah umum yang sering digunakan untuk menyatakan limbah padat. Sedangkan limbah itu sendiri pada dasarnya adalah suatu bahan yang


(1)

3. Berapakah pendapatan/ penghasilan Bapak/ I bu/ Sdr/ bulan: a Kurang dari Rp.150.000,-

b Rp.150.000, - s/ d Rp.200.000,- c Rp.250.000, - s/ d Rp.350.000,- d Rp.400.000, - s/ d Rp.500.000,- e Rp.550.000, - s/ d Rp.700.000 ,- f Rp.750.000, - s/ d Rp.900.000,- g Lebih besar dari Rp.900.000, -

4. Apakah pekerjaan sebagai pengeloa TPA merupakan pekerjaan utama: a Ya

b Tidak

5. Apakah ada perubahan penghasilan setelah menjadi pengelola TPA: a Penghasilan meningkat

b Tidak ada perubahan c Lain nya.

B. Kondisi Sosial Budaya Pengelola:

1. Daerah asal Bapak/ I bu/ Sdr: ……….. 2. Dimana tempat tinggal Bapak/ I bu/ Sdr:

a. Tinggal menetap di luar lokasi TPA b. Tinggal menetap di dalam lokasi TPA 3. Tingkat pendidikan Bapak/ I bu/ Sdr adalah:

a. Buta huruf b. Tidak t amat SD c. Tam at SD

d. Tidak tamat SLTP e. Tamat SLTP f. Tidak tamat SLTA g. Tamat SLTA h. Tamat Akademi i. Tamat Universitas

4. Status tempat tinggal Bapak/ I bu yang tinggal menetap di luar TPA: a Kontrak tanah, bangunan buat sendiri

b Kontrak tanah berikut bangunan/ rumah. c Membeli tanah berikut bangunan rumah. d Rumah dan tanah warisan.

5. Berapakah tanggungan keluarga Bapak/ I bu/ Sdr: a 1 (sat u) orang

b 2 ( dua) orang c 3 (t iga) orang d 4 (empat) orang e 5 (lima) orang f lebih dari 5 orang

6. Dimanakah tempat sekolah anak Bapak/ I bu/ Sdr: a Sekolah di sekitar TPA

b Sekolah di kampu ng/ daerah c Lainnya.


(2)

7. Bagaimana system kerja Bapak/ I bu/ Sdr sebagai pengelola TPA: a Bekerja secara sendiri-sendiri

b Bekerja secara berkelompok berdasarkan jadwal kerja c Bekerja secara bersama-sama

8. Apakah Bapak/ I bu/ Sdr sebagai pengelola ada yang membina: a Tidak ada yang membina

b Ada yang membina ( siapa: ………)

9. Apakah ada pembinaan yang dilakukan oleh organisasi pemerintah/ pihak lain:

a Tidak ada

b Ada pembinaan (Siapa: ………..)

10. Apakah Bapak/ I bu/ Sdr setuju sebagai pengelola ada yang membina: a Setuju

b Tidak setuju

11. Siapa sebaiknya yang membina: a Para pengelola itu sendiri

b Lembaga Swadaya Masyarakat/ LSM c Pemerintah

d Lembaga lainnya

12. Apakah ada konflik sesama pengelola di lokasi TPA: a Tidak ada konflik

b Ada konflik

13. Apakah ada konflik antara pengelola dengan masyarakat sekitar TPA: a Tidak ada konflik

b Ada konflik

14. Apakah ada konflik antara pengelola dengan pemulung: a Tidak ada konflik

b Ada konflik

15. Apakah ada kerjasama antara pengelola di lokasi TPA: a Tidak ada

b Ada (misalnya: ……….)

C. Persepsi pengelola dengan keberadaan TPA:

1. Bagaimana tanggapan Bapak/ I bu/ Sdr dengan keberadaan TPA: a. Setuju dengan alasan:

1). Menambah lapangan kerja

2). Meningkatkan pendapatan/ penghasilan 3). Menambah peluang usaha

4). Menambah fasilitas umum (mis: jalan, MCK, dll) b. Tidak setuju.

2. Bagaimana tanggapan Bapak/ I bu/ Sdr tentang pengelolaan TPA: a. Baik

b. Cukup c. Buruk/ jelek.


(3)

3. Bagaimana situasi keamanan dan ketertiban masyarakat di sekitar TPA: a. Aman

b. Rawan

4. Pengaruh TPA dari pendapatan/ penghasilan: a. Meningkatkan tarap hidup

b. Tidak berpengaruh apa-apa c. Tidak tahu

5. Harapan-harapan apa bagi pengelola dengan adanya kegiatan TPA: a. Kegiatan TPA terus berlanjut

b. Para pemulung diperhatikan

c. Fasilitas kesehatan diperhatikan seperti pengobatan gratis. d. Agar suasana di TPA tetap aman.


(4)

ANALISIS KEBIJAKAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT

Analisis Kebijakan Pemberdayaan masyarakat di TPA berbasis masyarakat dengan pendekatan AHP diintegrasikan kedalam Prospektif.

Tujuan Integrasi untuk meningkatkan basis informasi kuantitatif dari proses-proses perencanaan strategis. Integrasi AHP kedalam Prospektif menghasilkan prioritas-prioritas yang ditentukan secara analitik berdasarkan faktor- faktor yang mencakup dalam AHP dan membuat mereka sepadan. AHP memberikan kerangka dasar untuk pembentukan suatu analisis keputusan , sementara Prospektif membantu dalam membuat AHP lebih analitik dan melakukan analisis sehingga strategi-strategi alternatif keputusan dapat diprioritaskan.

AHP adalah salah satu alat analisis dalam pengambilan keputusan untuk menentuklan kebijakan yang akan diambil dengan menetapkan prioritas dan membuat keputusan yang paling baik ketika aspek Kualitatif dan Kuantitatif dibutuhkan untuk dipertimbangkan. Penentuan prioritas strategi dilakukan dengan dua tahap yakni pembuatan hirarki prioritas dan survei penentuan bobot.

Sedangkan untuk menentukan bobot dari strategi digunakan metode survai. Wawancara dilakukan terhadap responden yang berkompeten dengan pemanfaatan TPA. Responden diharapkan memberikan nilai dalam angka terbatas untuk memberi tingkat urutan (skala) pentingnya strategis-strategis tersebut. Dalam AHP digunakan skala angka Saaty. mulai dari 1 yang menggambarkan antara satu atribut terhadap atribut lainnya sama penting dan untuk atribut yang sama selalu bernilai satu, sampai dengan 9 yang menggambarkan satu atribut ekstrim penting terhadap atribut lainnya.


(5)

ABSTRAK

ROYADI. Analisis Pemanfaatan TPA Sampah Pascaoperasi Berbasis Masyarakat (Studi Kasus TPA Bantar Gebang, Bekasi). Dibimbing oleh M. Sri Saeni, Lala M. Kolopaking dan Hartrisari Hardjomidjojo.

TPA Bantar Gebang yang beroperasi sejak tahun 1989 selesai kontrak pakainya oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tanggal 31 Desember 2003. Untuk mengatasi permasalahan TPA Sampah Pascaoperasi, perlu dilakukan kajian dan analisis untuk melihat kemungkinan yang terjadi dimasa depan didasarkan pada keadaan saat ini seperti sumberdaya dan lingkungan alam, sosial ekonomi, fisik kimia, mikrobiologi, dan keterlibatan masyarakat dalam pemanfaatan TPA Sampah Pascaoperasi Berbasis Masyarakat. Tujuan dan manfaat dari penelitian ini antara lain adalah: 1). Melakukan evaluasi terhadap kualitas air sumur, air sungai, air lindi dan mikrobiologi; 2). Memilih alternatif yang sesuai untuk pemanfaatan TPA Sampah Pascaoperasi Berbasis Masyarakat.

Analisis yang digunakan dalam penelitian ini antara lain adalah analisis fisik kimia, analisis sosial ekonomi dan prospektif analisis serta Analitic Hierarki Proces (AHP). Kesimpulan dari penelitian ini antara lain adalah: 1). Kualitas fisik kimia dan biologi air sumur, air sungai dan air lindi masih dibawah ambang batas yang diperbolehkan, kecuali untuk kekeruhan air sungai, kandungan nitrat, nitrit, BOD5,

COD air lindi. 2). Alternatif pemanfaatan adalah sebagai TPA Terpadu, dengan kegiatan setiap zone sebagai berikut: Zone I dan II sebagai hutan kota/penghijauan, zone III, IV dan zone V sebagai TPA Sampah. Pema nfaatan sebagai TPA Terpadu menjadi sinergis antara pengelolaan sampah dengan hutan kota/penghijauan, daur ulang dan kompos. Faktor yang dominan dalam penentuan strategi bagi pemanfaatan TPA sampah pascaoperasi berbasis masyarakat antara lain adalah: luas lahan, IPAS, Peraturan Perundangan, Pendanaan, Keterlibatan Swasta, Teknologi dan donor agency; 3). Pemanfaatan sebagai TPA Terpadu akan menimbulkan multiplyer effect baik bagi lingkungan, masyarakat sekitar lokasi TPA dan pemerintah sebagai berikut: a). Bagi masyarakat sekitar lokasi TPA, terciptanya lapangan kerja mulai dari perencanaan, kontruksi dan pada saat operasi serta keterlibatan dalam pemilahan sampah, pembuatan kompos dan pembuatan bahan-bahan bangunan. b). Bagi lingkungan pupuk kompos yang dihasilkan dapat bermanfaat untuk meningkatkan tingkat kesuburan lingkungan melalui kegiatan penghijauan, pemulihan atau memperbaiki ekosistem yang rusak, serta dapat menghemat penggunaan lahan TPA; c). Bagi peningkatan pertanian, pupuk kompos yang dihasilkan dapat mengurangi tingkat keasaman tanah lahan pertanian akibat penggunaan pupuk kimia secara terus menerus, disamping itu pupuk kompos dapat meningkatkan produktivitas lahan; d). Pengembangan ekonomi lokal, dengan terkonsentrasinya tenaga kerja dalam jumlah besar dapat membuka peluang usaha baru bagi kegiatan lainnya berupa kegiatan usaha warungan, usaha- usaha jasa keuangan, jasa cetring untuk makan para perkerja serta usaha rumah/kost/pengontrakan rumah; dan e). Bagi Pemerintah Daerah, terserapnya tenaga kerja unskill dalam kegiatan ini dapat mengurangi kerawanan sosial yang ditimbulkan karena ketiadaan lapangan kerja. Kegiatan hasil produk dari kegiatan ini dapat menjadi sumber PAD bagi pemerintah dan sumber penerimaan pajak bagi negara.


(6)

ABSTRACT

ROYADI. Analysis Pemanfaatan TPA Sampah Pascaoperasi Berbasis Masyarakat (Case Study at TPA Bantar Gebang, Bekasi). Under the direction of M. Sri Saeni, Lala M. Kolopaking dan Hartrisari Hardjomidjojo.

TPA Bantar Gebang operating since 1989 finishing contract wear him by Local Government of DKI Jakarta on 31 December 2003, was so that needed effort to see possibility that happened future able to solve problem TPA after operation for based by situation of natural environment and resources, socio -economic, chemical-physical, microbiological, so that the exploiting of being based on the society. The goal of this research area: 1) evaluate to quality well water, river water and microbiological component; 2) Alternative which exploiting TPA garbage after operation being based on society.

Analysis which used in this research is chemicalphysical analysis, socio -economic analysis of society, prospective analysis and AHP analysis. Conclusion of this research is: 1) Physical, chemical, biological quality in the up and down wells and waters around TPA by BOD5 and of COD, nitrate, nitrit have been exceed of ESQ (environmental standard quality); 2) Alternatives for re- use of TPA Areais Interated TPA, base on zonation, such as: a). Zones I and II, for city forest/greenery; b). Zone III, IV and V, for TPA itself. The exploited of this TPA as an integrated TPA being sinergy among garbage management with city forest/greenery, re-cyeling and making artificial fertilize (kompos). Dominant factor in determining strategy for exploiting of TPA garbage after operation base on society is volume land, IPAS, regulation, financing, involvement of private sector, technology and donor agency; 3). Exploited TPA as an integrated TPA will drive given multiplyer effect, such as: a). For community around the TPA, open vacancy for employee since the planning, construction and operation the TPA. b). For Environment, production of artificial fertilize (kompos) will be raising (increasing) the land fertilization, revitalization of envoronment, and effectivewly of TPA land use. c). For Agriculture, kompos can dropped land zcid from using chemical fertilize, besides increase land productivity; d). For Development economic locally, increasing of the employee the bussines will be developt such as shop, home rental, finance, and food services. e). For local government, dropping social crisis by employing the unskill employee finally will increasing the PAD.