13
b Kekuasaan terhadap harta benda anak.
Kekuasaan orang tua terhadap harta benda anak ditentukan dalam Pasal 307 ayat 1 KUHPerdata yang mengatur bahwa pemegang
kekuasaan orang tua terhadap anak yang belum dewasa harus mengurus harta kekayaan anak itu.
Anak merupakan golongan orang yang tidak cakap melakukan perbuatan hukum. Dengan demikian pengurusan dan tanggung jawab
terhadap harta benda anak diwakili oleh orang tuanya. Dalam Pasal 47 ayat 2 UUP jo Pasal 98 ayat 2 Kompilasi Hukum Islam ditentukan
bahwa orang tua mewakili anak mengenai perbuatan hukum di dalam dan di luar Pengadilan.
Pasal 48 UUP jo Pasal 110 Kompilasi Hukum Islam menentukan bahwa orang tua tidak diperbolehkan memindahkan hak
atau menggadaikan barang-barang tetap yang dimiliki anaknya yang belum berumur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan
perkawinan, kecuali apabila kepentingan anak itu menghendakinya. Dengan demikian dapat diketahui bahwa orang tua tidak boleh menjual,
menghibahkan atau menjaminkan harta-harta milik anaknya kecuali hal itu untuk kepentingan anaknya. Misalnya; menjual harta anaknya untuk
biaya pengobatan anaknya atau untuk biaya sekolah anaknya.
3. Pencabutan Kekuasaan Orang Tua
Menurut Pasal 49 ayat 1 UUP jo Pasal 109 Kompilasi Hukum Islam kekuasaan salah satu orang tua atau kedua orang tua terhadap
anaknya yang belum dewasa dapat dicabut untuk waktu tertentu, apabila orang tua sangat melalaikan kewajibannya terhadap anaknya atau
berkelakuan buruk sekali. Orang tua meskipun dicabut kekuasaannya, mereka tetap
berkewajiban untuk memberi biaya pemeliharaan dan pendidikan kepada
14 anaknya Pasal 49 ayat 2 UUP. Pencabutan kekuasaan orang tua tidak
menghapuskan kewajiban untuk membiayai pemeliharaan dan pendidikan anaknya. Demikian juga kekuasaan orang tua yang dicabut tidak termasuk
kekuasaan sebagai wali nikah. Pencabutan kekuasaan orang tua terhadap anaknya dapat dilakukan
melalui Pengadilan atas permintaan pihak-pihak: a. Orang tua yang lain ayah atau ibunya.
b. Keluarga dalam garis lurus ke atas, misalnya kakek atau neneknya. c. Saudara kandung yang telah dewasa
d. Pejabat yang berwenang. Pencabutan kekuasaan orang tua juga diatur dalam Pasal 10 UU
Kesejahteraan Anak yang menentukan bahwa orang tua yang terbukti melalaikan tanggungjawabnya atas terwujudnya kesejahteraan anak
sehingga mengakibatkan timbulnya hambatan dalam pertumbuhan dan perkembangan anak, dapat dicabut kuasa asuhnya sebagai orang tua
terhadap anaknya. Demikian juga menurut Pasal 30 UU Perlindungan Anak ditentukan
bahwa dalam hal orang tua melalaikan kewajibannya, terhadapnya dapat dilakukan tindakan pengawasan atau kuasa asuh orang tua dapat dicabut
melalui penetapan pengadilan.
B. Tinjauan Tentang Perlindungan Anak 1. Pengertian Anak.
Pengaturan mengenai anak tersebar dalam berbagai peraturan, sehingga pengertian anakpun dapat diperoleh dari berbagai peraturan
tersebut. Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia, anak adalah manusia yang masih kecil yang belum dewasa Badudu dan Sutan Muhammad,
1994: 45. Dari batasan tersebut dapat diketahui bahwa dalam memberikan pengertian mengenai anak dikaitkan dengan kedewasaan.
15 Dalam berbagai peraturan perundangan, dapat dijumpai pengertian
mengenai anak yang didasarkan pada umur yang telah dicapai. Pasal 1 butir 2 UU Kesejahteraan Anak menentukan bahwa anak adalah
seseorang yang belum mencapai umur 21 tahun dan belum pernah kawin. Menurut Pasal 1 Konvensi Hak Anak Tahun 1989, anak adalah setiap
manusia yang berusia di bawah 18 tahun, atau berdasarkan Undang- undang yang berlaku bagi anak-anak, ditetapkan bahwa kedewasaan
dicapai lebih awal. Anak menurut Pasal 1 butir 1 Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak selanjutnya ditulis UU Pengadilan
Anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah mencapai umur 8 tahun tetapi belum mencapai umur 18 tahun dan belum pernah kawin.
Anak menurut Pasal 1 butir 1 UU Perlindungan Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 delapan belas tahun, termasuk anak yang masih
dalam kandungan. Dalam perspektif Islam anak adalah seseorang yang belum genap berusia 15 tahun Ahmad Azhar Basyir, 2000: 31.
Dari beberapa pengertian anak tersebut dapat diketahui bahwa dalam memberikan pengertian anak belum jelas dalam mengungkapkan
apa yang dimaksud dengan anak. Anak dalam bidang hukum perdata maupun perspektif Islam dapat
diartikan seseorang yang belum dewasa yang dianggap belum mampu untuk melakukan perbuatan hukum. Untuk itu apabila anak melakukan
perbuatan hukum yang menyangkut kepentingannya harus diwakili oleh walinya.
Mengenai batas usia dewasa terdapat berbagai pengaturan yang berkaitan dengan perbuatan tertentu atau kepentingan tertentu. Untuk
melakukan pekerjaan, menurut Undang-undang Kerja No. 12 tahun 1948 jo. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1951 ditentukan bahwa orang dewasa
ialah orang laki-laki maupun perempuan yang berumur 18 tahun ke atas. Untuk menjadi saksi di pengadilan orang harus berumur 15 tahun Pasal
16 145 ayat 1 no. 3, 145 ayat 4 HIR, 172 ayat 1 no. 4 jo. 173 Rbg., Pasal
1912 BW. Untuk melangsungkan perkawinan, Pasal 7 UUP menentukan 19 tahun bagi pria dan bagi wanita 16 tahun. Dewasa untuk melakukan
perbuatan hukum pada umumnya, berdasarkan penafsiran argumentum a contrario Pasal 330 KUHPerdata adalah apabila telah berusia 21 tahun
atau sudah melangsungkan perkawinan sebelum umur tersebut. UUP tidak secara jelas menentukan kapan seseorang dianggap telah dewasa. Pasal
47 ayat 1 UUP menentukan bahwa anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan ada di bawah
kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya. Sedangkan Pasal 47 ayat 2 UUP menentukan bahwa orang tua mewakili
anak tersebut mengenai perbuatan hukum di dalam dan di luar Pengadilan. Dengan demikian dapat ditafsirkan bahwa dewasa menurut UUP adalah
setelah 18 tahun atau sudah melangsungkan perkawinan, karena anak sebelum mencapai usia 18 tahun apabila melakukan perbuatan hukum
di dalam dan di luar Pengadilan masih harus diwakili.
2. Penggolongan Anak