Latar Belakang KESIMPULAN DAN SARAN

f. Kebakaran hutan Adapun dampak dari kerusakan hutan adalah : a. Aspek lingkungan ; terjadinya tanah longsor, erosi dan polusi udara dari kebakaran hutan. b. Aspek ekonomi ; berkurangnya ketersediaan bahan baku kayu, menurunnya kapasitas industri perkayuan, berkurangnya kesempatanlapangan pekerjaan serta berkurangnya pendapatan masyarakat maupun pendapatan negara. c. Aspek sosial ; perubahan tata nilai, menguatnya potensi konflik sosial, terganggunya aktifitas dan pemenuhan kebutuhan sosial. Menurut Handoyo dan Lukas 2003 dalam Rumboko dan Hakim 2006 pada periode tahun 1997-2003 terjadi tingkat kerusakan hutan yang paling parah di Provinsi Jawa Barat. Tahun 1990 luas hutan di Jawa Barat masih 790.000 hektar, tahun 1997 luasnya menurun menjadi sekitar 600.000 hektar, tahun 2000 setelah reformasi berjalan 3 tahun luas hutan menjadi kurang dari 350.000 hektar, kemudian memasuki tahun 2003 luas hutan di Jawa Barat hanya kurang dari 80.000 hektar saja. Akibat langsung dari kerusakan hutan yang bersifat deforestasi berkurangnya luas kawasan hutan adalah bertambahnya luas lahan kritis. Menurut Effendi dan Sylviani 2006 lahan kritis didefinisikan sebagai lahan yang mengalami proses kerusakan fisik, kimia dan biologi karena tidak sesuai penggunaan dan kemampuannya, yang akhirnya membahayakan fungsi hidrologis, orologis, produksi pertanian, pemukiman dan kehidupan sosial ekonomi dan daerah lingkungan pengaruhnya. Rehabilitasi lahan kritis memerlukan perencanaan yang matang dari aspek teknologi spesifik lokasi yang akan digunakan, jenis tanaman pilihan, pola budidaya yang akan digunakan, pola pemberdayaan masyarakat setempat, dan perangkat hukum yang diperlukan untuk membuat gerakan rehabilitasi lahan kritis lebih terarah serta mencegah meluasnya lahan kritis baru. Hasil pengukuran yang dilaksanakan oleh Dinas Kehutanan Kabupaten Purwakarta pada tahun 2003 tercatat luas lahan kritis yang berada pada tanah milik masyarakat seluas 10.987 Ha atau 11,30 persen dari luas wilayah Kabupaten Purwakarta, luas wilayah Kabupaten Purwakarta adalah 97.172 Ha. Lahan-lahan kritis tersebut tersebar di 17 tujuh belas kecamatan yang ada di Kabupaten Purwakarta dengan luas rata-rata sebesar 646,26 Ha. Terdapat 4 empat kecamatan yang luas lahan kritisnya lebih dari 1.000 Ha yaitu Kecamatan Tegalwaru, Wanayasa, Darangdan dan Bojong. Luas lahan kritis di Kecamatan Tegalwaru 1.265 Ha atau 17,27 persen dari luas kecamatan, luas Kecamatan Tegalwaru 7.323 Ha. Di Kecamatan Wanayasa terdapat lahan kritis seluas 1.113 Ha atau 19,68 persen dari luas kecamatan, luas Kecamatan Wanayasa 5.655 Ha. Luas lahan kritis di Kecamatan Darangdan adalah 1.018 Ha atau 15,10 persen dari luas kecamatan, luas Kecamatan Darangdan 6.739 Ha. Luas lahan kritis di Kecamatan Bojong adalah 1.006 Ha atau 14,65 persen dari luas kecamatan, luas Kecamatan Bojong 6.869 Ha. Luas lahan kritis terkecil terdapat di Kecamatan Purwakarta seluas 100 Ha atau sebesar 4,03 persen dari luas wilayah kecamatan, luas Kecamatan Purwakarta 2.483 Ha. Salah satu pembangunan sektor kehutanan yang dilaksanakan Pemerintah Kabupaten Purwakarta dalam rangka menangani masalah lahan kritis yang sejalan dengan program Pemerintah Pusat Departemen Kehutanan Republik Indonesia adalah pembangunan hutan rakyat. Pembangunan hutan rakyat merupakan pengambilan kebijakan yang tepat karena dapat memberikan manfaat secara ekonomi bagi taraf hidup masyarakat, serta manfaat ekologi bagi perbaikan kondisi lingkungan. Menurut Hayati 2006 hutan rakyat mempunyai peran positif baik secara ekonomi maupun secara ekologi. Secara ekonomi hutan rakyat dapat meningkatkan pendapatan, penyediaan lapangan kerja dan memacu pembangunan daerah. Sedangkan dari aspek ekologi, hutan rakyat mampu berperan positif dalam mengendalikan erosi dan limpasan permukaan, memperbaiki kesuburan tanah dan menjaga keseimbangan tata air. Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial 2006 dalam Syahadat 2006 secara umum menyebutkan luas hutan rakyat di Indonesia adalah 1.271.505,61 hektar, dengan jumlah perkiraan tegakan sebanyak 42.965.519 pohon. Sedangkan di Provinsi Jawa Barat luas hutan rakyat adalah 79.056,06 hektar atau 6,22 persen dari total luas hutan rakyat nasional, dengan jumlah perkiraan potensi tegakan sebanyak 4.457.327,47 pohon atau sebesar 10,37 persen dari perkiraan potensi tegakan hutan rakyat di Indonesia. Santoso 2007 menyatakan prinsip pendekatan penelitian dan pengembangan dalam pembangunan hutan tanaman rakyat adalah landasan berpikir yang komprehensif integral yaitu memandang pembangunan hutan tanaman rakyat sebagai suatu sektor usaha kehutanan yang utuh mencakup sub sektor hulu, tengah, hilir dan jasa penunjang guna menghasilkan nilai tambah yang setinggi-tingginya bagi kepentingan pemilik usaha hutan tanaman rakyat maupun seluruh unit aktivitas yang ikut berusaha dan memperoleh dampak manfaatnya. Aspek biofisik lingkungan bertujuan untuk meminimumkan dampak negatif dan memaksimumkan dampak positif pembangunan hutan tanaman rakyat terhadap kondisi biofisik, sekaligus mempertahankan dan meningkatkan upaya konservasi lingkungan. Rehabilitasi lahan kritis dengan hutan rakyat diarahkan untuk terbentuknya hutan rakyat yang produktif dan pemulihan lahan untuk usahatani konservasi, yang akan berfungsi untuk mengurangi resiko terjadinya banjir dan kekeringan. Pemilihan teknologi budidaya dan jenis tanaman diserahkan sepenuhnya kepada masyarakat. Untuk meningkatkan pendapatan petani hendaknya dipilih jenis-jenis pohon yang cepat tumbuh dari jenis kayu unggulan yang bernilai ekonomi tinggi. Untuk mencegah penebangan kayu secara intensif namun diperlukan kayu untuk bangunan kepentingan pribadi hendaknya kayu diambil dari hasil penjarangan Effendi dan Sylviani, 2006. Pembangunan hutan rakyat di Kabupaten Purwakarta diakomodir oleh dua kegiatan yaitu Kegiatan Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan GNRHL yang dananya berasal dari APBN, dan Kegiatan Gerakan Rehabilitasi Lahan Kritis GRLK yang dananya berasal dari APBD Provinsi Jawa Barat. Pembangunan hutan rakyat di Kabupaten Purwakarta tahun 20042005 seluas 2.250 Ha atau 20,48 persen dari luas total lahan kritis, yang terdiri dari Kegiatan GNRHL seluas 2.000 Ha atau sebesar 18,21 persen dari luas lahan kritis, dan Kegiatan GRLK seluas 250 Ha atau 2,27 persen dari luas lahan kritis. Kegiatan GNRHL tersebar di 11 sebelas kecamatan yaitu Kecamatan Tegalwaru, Wanayasa, Darangdan, Bojong, Sukasari, Sukatani, Plered, Maniis, Jatiluhur, Pondok Salam dan Pasawahan. Sedangkan Kegiatan GRLK tersebar di 6 enam kecamatan yaitu Kecamatan Purwakarta, Babakan Cikao, Bungursari, Kiarapedes, Campaka dan Cibatu. Tingkat keberhasilan pembangunan hutan rakyat dapat dinilai melalui pertumbuhan tanaman hutan rakyat dengan indikator persentase tumbuh tanaman yang merupakan perbandingan antara jumlah tanaman yang tumbuh dengan jumlah tanaman yang ditanam. Dinas Kehutanan dan Konservasi Sumberdaya Alam Kabupaten Purwakarta telah melakukan penilaian persentase tumbuh tanaman untuk mengetahui tingkat keberhasilan hutan rakyat pada lokasi-lokasi hutan rakyat tahun 20042005. Hasil penilaian menunjukkan ternyata nilai persentase tumbuh tanaman hutan rakyat nilainya sangat beragam. Beberapa lokasi hutan rakyat memiliki nilai persentase tumbuh tanaman yang baik dengan nilai mencapai 70 persen sampai dengan 90 persen, tetapi terdapat pula lokasi- lokasi hutan rakyat yang dinilai tidak berhasil dengan nilai persentase tumbuh tanaman kurang dari atau sama dengan 55 persen. Tingkat keberhasilan hutan rakyat ini diduga dipengaruhi oleh faktor teknis maupun faktor sosial ekonomi. Sehingga perlu dilakukan penelitian atau kajian bagaimana atau sejauh mana faktor-faktor teknis dan sosial ekonomi tersebut berpengaruh terhadap tingkat keberhasilan hutan rakyat di Kabupaten Purwakarta?

1.2. Perumusan Masalah

Pembangunan hutan rakyat yang dilaksanakan Pemerintah Kabupaten Purwakarta bertujuan untuk merehabilitasi lahan kritis pada tanah milik masyarakat dan meningkatkan taraf ekonomi masyarakat. Tujuan pembangunan hutan rakyat ini baru dapat tercapai jika tanaman hutan rakyat dapat tumbuh dengan baik. Berdasarkan penilaian persentase tumbuh tanaman ternyata tingkat keberhasilan hutan rakyat di Kabupaten Purwakarta tidak merata atau beragam. Permasalahan ketidakmerataan tingkat keberhasilan hutan rakyat ini dapat dipengaruhi oleh faktor teknis dan faktor sosial ekonomi. Faktor teknis merupakan faktor-faktor yang berhubungan dengan hal-hal teknis dalam usahatani hutan rakyat. Beberapa faktor teknis antara lain adalah pemupukan, pembersihan lahan, pola tanam dan gangguan penggembalaan hewan ternak. Faktor sosial ekonomi merupakan faktor-faktor yang berhubungan dengan kondisi sosial ekonomi petani hutan rakyat. Beberapa faktor sosial ekonomi tersebut antara lain adalah umur petani, tingkat pendidikan petani, pendapatan petani dan status lahan. Intensitas pelaksanaan pemupukan dan pembersihan lahan oleh para petani hutan rakyat tidak sama. Ada petani yang melaksanakan pemupukan dan pembersihan lahan lebih intensif sebanyak tiga sampai empat kali dalam jangka waktu satu tahun, dan ada pula petani yang melaksanakan pemupukan dan pembersihan lahan hanya satu kali selama setahun. Sistem pola tanam hutan rakyat yang dilakukan petani juga berbeda, dibagi menjadi 2 dua jenis yaitu pola tanam dengan sistem tumpang sari dan tidak dengan tumpang sari. Hutan rakyat dengan pola tumpang sari biasanya menggabungkan penanaman tanaman hutan rakyat dengan tanaman semusim seperti jagung, mentimun, kacang panjang dan tanaman lainnya. Beberapa lokasi hutan rakyat di Kabupaten Purwakarta rawan terhadap adanya gangguan hewan ternak yang digembalakan secara liar. Penggembalaan