Pandangan Hidup Waska tentang harapan.

kematian, ya, dia berharap mati. Ia ingin mati untuk mendapatkan ketenangan. Menurutnya, mati itu berarti ia terlepas dari beban hidup dan kebisingan akan kebutuhan yang begitu memaksa untuk dipenuhi. Kematian menurutnya adalah sumber ketenangan, yaitu segala sesuatu yang ia anggap tenang dan terhindar dari kehidupan nyata. Akan tetapi sangat disayangkan, kematian yang ia inginkan tidak ia peroleh. Ia dikhianati mentah-mentah oleh kehidupan. Harapan adalah sesuatu yang harus kita kerjakan untuk mencapainya. Untuk mencapai kematian itu, ia mencoba membunuh dirinya sendiri dengan berbagai cara. Akhirnya, sia- sia. Ia tetap hidup sampai di naskah drama selanjutnya. Sebagai naskah drama, jika naskah drama ini diasosiasikan seperti manusia, naskah atau pertunjukannya memiliki dua wajah, dua kepribadian. Wajah pertama, Waska dengan umang-umang sebagai bala tentaranya. Wajah kedua adalah Semar dan para anggota aktif orkes madun. Waska tidak dapat mati karena ia adalah wujud lain dari Semar, yang mana dalam naskah sebelumnya, yaitu Orkes Madun I atawa Madekur dan Tarkeni, usia Semar adalah 2400 tahun. Dalam pewayangan, tokoh Semar adalah tokoh Batara Ismaya yang tidak mengenal mati. Itu mengapa tokoh Waska yang sudah dimakan penyakit itu tidak juga mati. Di akhir cerita, Semar tidak pernah muncul lagi dalam diri Waska, akan tetapi Waska bukanlah Waska yang seutuhnya. Semar memang tidak bernaung lagi dalam tubuh Waska, melainkan meninggalkan warisan yang berupa keabadian. Semar sering berganti wujud menjadi Waska, dalam pewayangan, Semar dikenal sebagai Dewa yang mengejawantah, “apabila diperlukan dalam penyelesaian tuntutan yang sangat penting, Semar berubah wujud menjadi Sang- hyang Ismaya” 48 atau Batara Ismaya 48 Suwandono, dkk, Ensiklopedi Wayang Purwa, Jakarta: Balai Pustaka, 1991, h. 470

C. Implikasi naskah drama Umang-umang terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia

Menurut KBBI, kata implikasi berarti keterlibatan atau keadaan terlibat. Implikasi dalam sebuah naskah drama berarti melibatkan naskah drama dalam pembelajaran sastra di sekolah. Dalam penelitian ini, yang diimplikasikan kedalam pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia adalah naskah drama Umang-umang karya Arifin C. Noer. Sebagai salah satu bentuk karya sastra, drama merupakan bagian dari materi ajar bahasa dan sastra Indonesia yang tercantum dalam GBPP sekolah menengah atas SMA. Oleh sebab itu, materi ajar ini harus disuguhkan sesuai dengan kompetensi yang ingin dicapai, yaitu siswa mampu memahami drama dan menganalisa pementasan drama, serta memerankan tokoh dalam drama. Drama adalah bentuk sastra yang dapat merangsang gairah dan mengasyikan para pemain dan penonton sehingga sangat digemari masyarakat. Selain mudah disesuaikan untuk dimainkan dan dinikmati masyarakat segala umur, drama sangat tinggi nilai pendidikannya. “Drama merupakan peragaan tingkah laku manusia yang mendasar, drama baru dapat disusun dan dipentaskan dengan berhasil jika diikuti pengamatan yang teliti baik oleh penulis, maupun para pemainnya”. 49 Apabila mencermati kompetensi materi ajar drama yang terpapar dalam silabus kelas IX, maka materi ajar ini diarahkan agar siswa tidak terbatas mengetahui sejauh mana memahami tema, watak tokoh, alur, serta konflik dalam drama saja. Pelibatan langsung seperti pementasan drama juga dibutuhkan untuk mengasah peserta didik ke arah kemampuan dalam menghadapi kenyataan di luar sekolah. Salah satu upaya dalam mencapai tujuan pengajaran sastra yaitu, pengetahuan sastra yang diajarkan kepada siswa hendaknya berangkat dari suatu penghayatan atas suatu karya sastra yang kongkrit. Hal ini dimaksudkan agar pengalaman sastra yang diajarkan pada siswa melekat dan berakar kuat. 49 B. Brahmanto, Metode Pengajaran Sastra, Yogyakarta: KANISIUS, 1988, h. 89 Kenyataannya, kegiatan mementaskan drama dalam materi ajar jarang sekali dilakukan. Hal ini disebabkan ruang dan waktu yang tersedia dalam kurikulum untuk mengarahkan siswa ke arah tersebut cukup terbatas. Mengacu pada alasan itulah, sebagian guru tidak mengarahkan secara optimal peserta didik untuk menggali kemampuan mereka dalam menyusun naskah drama dan bagaimana mementaskannya. Semua itu terlepas agar materi yang diajarkan tidak bertumpu pada kemampuan kognitif semata. Padahal, dunia drama adalah dunia yang menyenangkan bagi peserta didik seusia mereka, karena dalam prosesnya, mereka dapat bermain serta berekspresi dengan bebas tanpa sekat yang membatasi ruang ekspresi yang ditampilkannya. Kenyamanan yang menyenangkan adalah hal yang tidak dapat ditawar bila guru ingin membangun kepercayaan diri peserta didik. Dengan kepercayaan diri, maka mereka dengan senang hati mengeksplor segala kreativitasnya dan selalu ingin berbuatberlaku. Pengajaran drama di SMA tidaklah direncanakan untuk melahirkan dramawan-dramawan muda atau Arifin-arifin muda. Melainkan untuk melahirkan kelompok remaja siswa yang meminati dan menggairahi drama. Dalam prosesnya, drama sangat berpengaruh dalam pengembangan karakter, penguatan karakter, dan pengembangan mental peserta didik, karena yang diajarkan di panggung kecil itu, bagaimana tubuh manusia di atas panggung memiliki sosok yang kuat dan juga karakter yang kuat. Drama berada pada wilayah rohani sesuatu yang bersih tidak ada niat buruk, maka dari itu, si pemain harus melatih dirinya sedemikian rupa, karena tubuhnya merupakan pusat artistik dan di atas panggung ia bekerja sama dengan orang banyak dan juga ia mengemban pesan untuk disampaikan pada orang banyak. Mempelajari drama, artinya kita belajar mengenal dan memahami satu sama lain, karena ia hidup dalam satu komunitas. Konsekuensinya adalah bagaimana satu sama lain saling mengenal, dan mengenalnya pun bukan secara basa-basi. Tetapi mengenal yang intim, artinya mengenal kekurangan dan kelebihan orang yang di dalamnya, di mana mengenal kekurangan kelebihan itu menjadi modal dasar untuk masuk ke dalam wilayah penciptaan.