dari itu, apabila ada bala tentaranya melakukan hal diluar keinginannya atau tidak mewujudkan kesadarannya akan kewajibannya, pasti Waska
tidak menyukainya. Hal yang tidak diinginkan Waska, yaitu bahwa bala tentaranya tidak sabar dan tidak memiliki tanggung jawab terhadap waktu.
Menurutnya, apabila ingin menjadi penjahat besar haruslah sabar dan harus seksama dalam memperhatikan, baik itu memperhatikan lawan,
bahkan kawan. Agar sewaktu-waktu, hal itu akan mengajari kita bagaimana caranya bertindak selanjutnya.
Menghargai waktu adalah bentuk tanggung jawab paling mendasar bagi Waska. Dari situlah kita berusaha dengan sekuat tenaga untuk
mencapai kesadaran kita akan tanggung jawab. Menurutnya, jika kita mencintai atau menginginkan sesuatu, kita harus menjalani setiap detik
dari prosesnya. Tidak boleh lemah, tidak banyak bicara, tidak banyak mengeluh, apalagi murung dan gagal. Pandangan hidup Waska akan
tanggung jawab adalah perihal membuktikan dan bekerja keras. Ia rela melakukan apapun agar rencana besarnya dalam merampok semesta
berhasil. Walaupun akibatnya ia tak dapat mati. Begitulah Waska, apapun yang diinginkannya harus dilaksankan
dengan baik dan dengan berbagai cara yang baik. Menurutnya, jika sesuatu dijalankan dengan mementingkan proses, apapun hasilnya, pasti akan
berpengaruh pada hati, pikiran, maupun jiwa. Pada saat itu Waska memang akan melakukan kegiatan yang sangat besar dan terencana,
karena ia dan komplotannya memang diasingkan dari dunia luar. Perbuatan besar itu tidak akan ia sia-siakan hanya karena salah satu bala
tentaranya tidak bertanggung jawab terhadap waktu. Oleh karena itu ia membunuh Engkos karena tidak sabar menghadapi waktu.
SAMBIL MELUDAHKAN SEDERETAN KATA- KATA
UMPATAN, WASKA
MELEMPARI ENGKOS DENGAN BATU DAN APA SAJA
YANG DIDAPAT. ORANG-ORANG YANG MENONTON
PUN IKUT
MELEMPARI, MEREKA BARU BERHENTI KETIKA ENGKOS
SUDAH NGGAK BERKUTIK LAGI.
Membunuh di sini adalah simbol untuk menjelaskan bahwa hal yang buruk tidak menghargai waktu, disiplin itu dihilangkan. Semua hal yang
kita lakukan pasti ada akibatnya dan harus harus ada yang dikorbankan.
4. Pandangan Hidup Waska tentang harapan.
Setiap manusia yang hidup pasti memiliki harapan. Harapan adalah keinginan yang diimpikan atau sesuatu itu belum terjadi. Apabila kita
ingin mewujudkannya, diperlukan kerja keras serta kegigihan yang kuat. Pandangan Waska tentang harapan adalah keputusasaan. Ia
menganggap dirinya adalah orang yang terbuang dari kehidupan nyata. Pekerjaan tidak ia miliki, keluarga dan kebahagiaan dalam keluarga hanya
dongeng menurutnya, berharap untuk diakui masyarakat pun sudah tidak bisa ia lakukan. Akhirnya, mengumpulkan manusia-manusia yang
memiliki kesamaan nasib dengannya dan menjadi penjahat besar adalah harapan barunya bagi kelangsungan hidup yang ia jalani.
Waska : Aku pernah memilih, tapi aku
ditolak, selalu
ditolak. Kemiskinan
telah menodongku, kelaparan telah menodongku, dan
aku tak rela dicincang oleh kemiskinan dan kelaparan, maka kutodongkan kekayaan”.
47
Kehidupan yang kejam memang tidak pernah memberi ampun bagi siapa saja yang tidak memiliki tempat pada kekayaan. Kemiskinan adalah
komedi bagi kekayaan, yang mana ceritanya sangat perih megiris ulu hati, akan tetapi tetap ditertawakan karena kebodohan. Miskin adalah simbol
kebodohan di zaman itu, tetapi Waska memiliki harapan yang besar, yaitu membalas dendam atas kepongahan dan kekayaan.
Harapan manusia sangatlah banyak, begitupun Waska yang berharap terlalu banyak. Berharap pada kenyataan ia diasingkan, berharap pada
hidup layak, ia tidak menjadi apa-apa. Akhirnya, ketika semua sudah habis ia harap, ia ingin sekali mendapat ketenangan yang menurutnya adalah
47
Arifin, Op,cit., h. 24
kematian, ya, dia berharap mati. Ia ingin mati untuk mendapatkan ketenangan. Menurutnya, mati itu berarti ia terlepas dari beban hidup dan
kebisingan akan kebutuhan yang begitu memaksa untuk dipenuhi. Kematian menurutnya adalah sumber ketenangan, yaitu segala
sesuatu yang ia anggap tenang dan terhindar dari kehidupan nyata. Akan tetapi sangat disayangkan, kematian yang ia inginkan tidak ia peroleh. Ia
dikhianati mentah-mentah oleh kehidupan. Harapan adalah sesuatu yang harus kita kerjakan untuk mencapainya. Untuk mencapai kematian itu, ia
mencoba membunuh dirinya sendiri dengan berbagai cara. Akhirnya, sia- sia. Ia tetap hidup sampai di naskah drama selanjutnya.
Sebagai naskah drama, jika naskah drama ini diasosiasikan seperti manusia, naskah atau pertunjukannya memiliki dua wajah, dua
kepribadian. Wajah pertama, Waska dengan umang-umang sebagai bala tentaranya. Wajah kedua adalah Semar dan para anggota aktif orkes
madun. Waska tidak dapat mati karena ia adalah wujud lain dari Semar, yang
mana dalam naskah sebelumnya, yaitu Orkes Madun I atawa Madekur dan Tarkeni, usia Semar adalah 2400 tahun. Dalam pewayangan, tokoh Semar
adalah tokoh Batara Ismaya yang tidak mengenal mati. Itu mengapa tokoh Waska yang sudah dimakan penyakit itu tidak juga mati.
Di akhir cerita, Semar tidak pernah muncul lagi dalam diri Waska, akan tetapi Waska bukanlah Waska yang seutuhnya. Semar memang tidak
bernaung lagi dalam tubuh Waska, melainkan meninggalkan warisan yang berupa keabadian. Semar sering berganti wujud menjadi Waska, dalam
pewayangan, Semar dikenal sebagai Dewa yang mengejawantah, “apabila
diperlukan dalam penyelesaian tuntutan yang sangat penting, Semar berubah wujud menjadi Sang-
hyang Ismaya”
48
atau Batara Ismaya
48
Suwandono, dkk, Ensiklopedi Wayang Purwa, Jakarta: Balai Pustaka, 1991, h. 470